talipocong
New member
Siapapun yang berutang kepada rentenir itu sudah pasti tidak akan pernah sanggup membayarnya. Utang yang tak berbayar bakal ditebus dengan nyawanya...!
Siang itu, dua orang pemuda berjalan cepat menuju Desa Margayoso. Walau berasal dari daerah yang berbeda, namun keduanya menimba ilmu yang sama. Karena mendapat kabar buruk mengenai kedua orang tuanya di desa, maka Mustafa pun memutuskan untuk pulang ke Desanya dengan mengajak Fauzi, pemuda yang sholeh dan taat beribadah.
Sudah hampir sebelas tahun di pesantren Al Huda, Jawa Timur, yang dipimpin oleh Kyai Shoheh, Fauzi menjalani puasa sunnah Nabi Daud AS. Dan kebiasaan itulah yang membuat dia memiliki berbagai kelebihan ketimbang santri lainnya. Fauzi mempunyai beberapa ilmu yang kesemuanya dikuasai dengan nyaris sempurna. Di antaranya, ilmu Gendam Dahana Sukma dan Ilmu Meraga Sukma yang bisa menundukkan jin kafir
Mereka sudah hampir tiba di lokasi pekuburan umum yang sangat luas dan letaknya agak terpencil. Ketika jalan setapak di samping pekuburan yang mereka lewati hampir habis, mendadak Fauzi menahan langkah Mustafa.
"Mus, berhenti dulu sebentar. Nampaknya, di dalam sana sedang ada mayat yang baru dikubur," kata Fauzi.
Mustafa melayangkan pandangannya ke arah kuburan. Ia melihat beberapa orang lelaki, tengah menurunkan mayat ke dalam liang lahat.
"Mus, sebaiknya kita ke sana sebentar! " ajak Fauzi.
"Untuk apa?" tanya Mustafa.
"Kita ikut mendoakan si mayat agar arwahnya mendapat ketenangan dan pengampunan di akhirat nanti," ajak Fauzi.
Sebetulnya Mustafa ingin protes. Di benaknya, ia hanya ingin agar secepatnya sampai di rumah guna melihat keadaan ibu, bapak, adik, dan saudara-saudaranya.
Setibanya di sana, ternyata yang sedang dikuburkan adalah mayat seorang petani yang semalam mati secara tak wajar.
"Mati tak wajar bagaimana, Pak?" bisik Fauzi kepada seorang pelayat.
"Seluruh tubuhnya penuh luka seperti diserang binatang buas, bahkan lehernya nyaris putus," jawab si pelayat.
"Kenapa bisa begitu, Pak?" potong Mustafa.
"Menurut kabar, karena ia tak bisa membayar utangnya kepada seorang rentenir terkaya di desa kami. Sudah banyak korban yang jatuh," jawab lelaki itu.
Sebenarnya, Fauzi ingin bertanya banyak tentang kematian orang yang dianggap tak wajar oleh penduduk desa. Namun, karena kasihan pafa Mustafa yang sangat rindu kepada keluarganya, maka sengaja menyembunyikan semua keinginan itu.
***
Setiba di rumah orang tua Mustafa, malamnya mereka bercengkrama dengan suasana hangat bersama ayahnya Mustafa. Saat inilah ayah Mustafa mencerittakan kesulitannya.
"Bapak terlibat utang pada seorang rentenir di desa ini. Tiap saat utang Bapak selalu bertambah. Kerbau dan sawah sudah Bapak jual untuk melunasi. Tapi jangankan biangnya, bunganya saja sudah mencekik leher," cerita Pak Tukiman, ayahnya Mustafa.
Mustafa terpukul sedih. Ia tidak bisa memberikan saran, kecuali satu; "Jika Bapak sudah terjepit, bagaimana jika rumah ini kita jual."
"Percuma! Sebab Bapak sudah terikat perjanjian dengan rentenir itu," sergah bapaknya.
"Perjanjian apa?"
"Jika dalam tiga kali panen Bapak tidak bisa melunasi, maka nyawalah yang jadi tebusannya. Sebab, saat mengucapkan perjanjian peminjam uang untuk yang ketiga kalinya, Bapak harus membubuhkan cap jempol dengan darah," jelas Pak Tukiman. "Anehnya, sejak itu si rentenir itu tak pernah menagih utang-utangnya," sambungnya.
Fauzi yang semula hanya diam langsung saja menengahi. "Pak, bolehkah saya mengajukan usul?" tanyanya.
"Silahkan, Nak!" ujar Pak Tukiman.
"Sebenarnya, masalah ini bisa dipecahkan. Saya pikir, rentenir itu memang sengaja mencari tumbal dengan cara meminjamkan uang pada orang-orang yang sedang terjepit," jawab Fauzi tegas. "Kalau boleh saya tahu, siapa nama rentenir itu, Pak?"
"Gondo Kusumo. Orang desa sini biasa memanggilnya dengan Pak Gondo."
Sesaat Fauzi terdiam. Ia mengerutkan keningnya, dan setelah itu terdengar kata-katanya; "Benar, dia punya peliharaan yang amat ganas yang tiap tahun harus diberinya makan. Dan makanannya adalah nyawa dari yang terlibat utang dengan pemilik iblis itu."
Fauzi menghela nafas berat. "Padi yang fuso juga perbuatannya. Maksudnya, agar panen calon korbannya selalu gagal, dan akhirnya meminjam uang kepadanya," sambungnya.
"Nak Fauzi, kapan kira-kira iblis itu akan datang kemari? Hari apa, bulan apa, dan jam berapa?" berondong Pak Tukiman, dengan tegang.
"Iblis itu akan datang kira-kira seminggu lagi. Tepatnya, di malam Selasa Kliwon," tegas Fauzi. "Tolong carikan saya orang yang belum dikenal oleh Pak Gondo dan bisa mengantarkan saya ke rumahnya," pintanya kemudian.
Hari itu juga keluarga Pak Tukiman sibuk. Semua anggota keluarga berusaha untuk memenuhi permintaan Fauzi yang telah berjanji akan menolongnya. Dan Mustafa sendiri berusaha untuk menenangkan hati Bapaknya yang mulai dicekam rasa cemas dan takut. Bahkan seisi rumah nampak mulai ketakutan.
"Nak Fauzi, kalau boleh bapak tahu untuk apa mau datang ke tempat tinggal rentenir itu?" tanyak pak Tukiman.
"Untuk meminjam uang sebelum iblis itu datang menagih utang sekaligus nyawa Pak Tukiman," jawab Fauzi.
Meski ragu akan kemampuan Fauzi, namun Pak Tukiman tetap mencarikan orang yang akan mengantarkan Fauzi ke rumah rentenir itu. Ia adalah adik kandung Pak Tukiman yang baru datang dari Lampung, dan untuk sementara tinggal di rumah adik Pak Tukiman yang lain di desa itu juga.
Malam itu juga, di rumah Pak Tukiman berkumpul orang-orang yang akan melaksanakan perintah Fauzi. Dan esok siangnya, Fauzi pergi ke rumah Pak Gondo dengan diantar oleh Sukron.
"Siapakah kalian ini? Dan ada keperluan apa datang kemari?" tanya pak Gondo pada kedua tamunya.
"Nama saya Fauzi, Pak. Dan ini paman saya yang baru datang dari Lampung, namanya Sukron. Baru satu bulan kami tinggal di sini, dan kami datang kemari untuk keperluan penting," tutur Fauzi sopan.
"Perlu penting apa?" tanya Pak Gondo seraya mengerutkan kening.
"Saya dengar Pak Gondo suka menolong orang yang sedang dalam kesulitan. Jadi, bisakah saya meminta tolong kepada Bapak? Saya ingin mencoba berdagang di desa ini, tapi tidak punya modal. Bisakah Pak Gondo meminjamkan uang pada saya? Dan jika usaha dagang saya maju, saya akan secepatnya mengembalikan," kata Fauzi.
"Apakah saudara punya agunan?"
"Maksud bapak?"
"Misalnya, sawah, rumah atau kerbau dan sapi."
"Maaf, saya tidak punya apa-apa selain kepercayaan. Saya berani jamin, dalam tempo sepuluh hari ini saya bisa mengembalikan uang pinjaman itu," kata Fauzi mantap.
"Kalau tidak, apa yang akan saudara lakukan?" tanya pak Gondo.
"Nyawa sayalah sebagai taruhannya!" tegas Fauzzi.
"Kau berani membayar utang dengan taruhan nyawamu?" tanya rentenir itu kaget.
"Ya!" Fauzi mengangguk pasti.
Pak Gondo terkesiap. Baru pertama kali ia menghadapi orang yang berani mati dengan cara yang mengerikan. Akhirnya pak Gondo mengangguk dengan hati penuh tawa kemenangan.
''Berapa uang yang saudara Fauzi butuhkan?'' tanya rentenir itu terburu-buru. Dan Fauzi pun menyebut angka sebesar pinjaman ditambah dengan bunga yang menjadi beban Pak Tukiman. Tarohlah Rp. 25 juta.
''Sebesar itu?'' Pak Gondo agak kaget.
''Ya, pinjaman itu sesuai dengan jaminan nyawa saya, pak.'' kata Fauzi.
''Baiklah. Kapan saudara memerlukannya?''
''Sekarang!''
''Sekarang?''
''Ya.''
''Baiklah. Tunggu, saya ambilkan dulu!'' Pak Gondo pun masuk ke dalam kamarnya. Dan tak lama kemudian, ia sudah ke luar dengan membawa tumpukan uang. Sebelum pulang, Fauzi diminta untuk membubuhkan tanda tangan di selembar kain putih dengan darahnya.
Sekembalinya dari rumah Pak Gondo, Pak Tukiman dan keluarganya terheran-heran ketika Fauzi memerintahkan mereka untuk segera pergi dari desa sejauh-jauhnya.
"Kalau bisa, menyeberang ke pulau lain. Bawalah semua uang ini untuk bekal selama di sana. Nanti kalau keadaan sudah aman, silahkan kembali lagi!" ujar Fauzi sambil menyerahkan semua uang pinjamannya.
"Tapi bagaimana kalau iblis itu datang untuk menagih utang dan nyawa saya?" tanya pak Tukiman.
"Dia tidak bisa mencari bapak, karena saya telah menggantikan diri bapak. Saya akan menghadapi iblis itu dengan segenap kemampuan yang saya miliki," kata Fauzi.
Karena didesak, akhirnya pak Tukiman mengalah. Dengan berat hati, mereka pun meninggalkan desa itu untuk pergi sejauh-jauhnya. Dan dengan berbekal uang pemberian Fauzi, keluarga Pak Tukiman berangkat menuju ke Lampung. Hanya Mustafa dan Sukron yang tetap tinggal di desa itu.
Malam itu, dengan ditemani Sukron dan Mustafa, Fauzi menunggu kedatangan iblis penagih uutang. Segala keperluan yang dibutuhkan sudah tersedia. Keris pun sudah terselip di pinggangnya. Untuk menghadapi iblis itu, ia cukup menusukkan keris pusaka atau menyabetkan tasbih yang selalu dikalungkan di lehernya.
Udara malam itu cukup dingin. Tubuh Sukron dan Mustara menggigil di samping Fauzi yang duduk bersila. Sukron bukan kedinginan karena udara dan angin kencang yang tiba-tiba saja merasuk ke dalam rumah. Ia menggigil karena takut.
Ketika malam makin larut, Fauzi terus berkomat-kamit membaca doa. Entah berapa ribu bait doa-doa yang ia lafalkan. Tiba-tiba saja, telinganya menangkap suara langkah kaki yang sangat berat. Berdebam-debam dan membuat atap rumah seakan hendak runtuh, disusul gemerincingnya rantai yang terseret di tanah.
Iblis itu datang. Fauzi pun bersiap-siap dengan menggenggam hulu keris dan untaian tasbih di pinggangnya. Dan tanpa diketahui dari mana munculnya, tiba-tiba, iblis itu sudah berdiri di hadapannya. Nafasnya terdengar memburu bak bunyi lokomotif tua.
Sejak kemunculan iblis itu, Sukron langsung jatuh pingsan di dekat kaki Fauzi. Sementara, Mustafa menggigil ketakutan di sudut ruangan.
Kedua tangan raksasa yang sebesar batang pohon pisang itu terulur kearah leher Fauzi. Dengan gerak reflek, Fauzi berdiri dan mengumandangkan takbir berkali-kali. Seiring dengan itu, keris yang terselip di pinggangnya, dihunus dan langsung ditusukkan ke perut iblis itu berkali-kali. Untuk beberapa saat, Fauzi terlibat dalam pertarungan yang amat dahsyat.
Beberapa kali tubuh Fauzi terbanting keras. Tapi dengan gesitnya ia langsung melenting dan berdiri sambil menghujamkan kerisnya ke seluruh tubuh iblis raksasa itu. Bahkan, beberapa kali sabetan tangan kirinya yang menggenggam tasbih berhasil mengenai tubuh si iblis.
Tak lama kemudian, raksasa itu mengeluarkan suara pekikan yang amat keras, seolah bunyi petir yang bersahut-sahutan. Kemudian dengan suara lolongan yang panjang dan menyayat hati, tubuh iblis itu terpental menjebol dinding rumah dan hancur berantakan.
Fauzi mengusap wajahnya berkali-kali sambil mengucap Hamdallah dan menyarungkan kerisnya. Mustafa dan Sukron baru terbangun pada keesokkan harinya, dan keduanya mendapatkan tubuh Fauzi yang tengah tertidur lelap di atas ranjang Pak Tukiman.
***
Pagi itu seluruh penduduk desa geger. Pasalnya, rentenir yang bernama Gondo Kusuma itu mati mendadak di rumahnya. Bahkan menurut keterangan seorang penduduk yang siang itu ikut melayat, saat diketemukan oleh istri dan anak-anaknya tubuh pak Gondo dalam keadaan hangus terbakar.
Jerit tangis pilu pun terdengar di sekitar rumahnya. Namun tak ada seorang pun yang berani mendatangi rumah itu. Bahkan hanya beberapa orang saja yang mengantar jenazah almarhum Gondo Kusumo ke pemakaman. Dengan matinya lintah darat itu, kini, kehidupan di desa itu pun kembali tenang dan damai.
Pak Tukiman beserta keluarganya akhirnya kembali ke rumahnya. Sejak kejadian itu, mereka menjadi hamba-hamba Allah yang taat beribadah.
sumber :
http://www.susuhangin.com/SIZE]
Siang itu, dua orang pemuda berjalan cepat menuju Desa Margayoso. Walau berasal dari daerah yang berbeda, namun keduanya menimba ilmu yang sama. Karena mendapat kabar buruk mengenai kedua orang tuanya di desa, maka Mustafa pun memutuskan untuk pulang ke Desanya dengan mengajak Fauzi, pemuda yang sholeh dan taat beribadah.
Sudah hampir sebelas tahun di pesantren Al Huda, Jawa Timur, yang dipimpin oleh Kyai Shoheh, Fauzi menjalani puasa sunnah Nabi Daud AS. Dan kebiasaan itulah yang membuat dia memiliki berbagai kelebihan ketimbang santri lainnya. Fauzi mempunyai beberapa ilmu yang kesemuanya dikuasai dengan nyaris sempurna. Di antaranya, ilmu Gendam Dahana Sukma dan Ilmu Meraga Sukma yang bisa menundukkan jin kafir
Mereka sudah hampir tiba di lokasi pekuburan umum yang sangat luas dan letaknya agak terpencil. Ketika jalan setapak di samping pekuburan yang mereka lewati hampir habis, mendadak Fauzi menahan langkah Mustafa.
"Mus, berhenti dulu sebentar. Nampaknya, di dalam sana sedang ada mayat yang baru dikubur," kata Fauzi.
Mustafa melayangkan pandangannya ke arah kuburan. Ia melihat beberapa orang lelaki, tengah menurunkan mayat ke dalam liang lahat.
"Mus, sebaiknya kita ke sana sebentar! " ajak Fauzi.
"Untuk apa?" tanya Mustafa.
"Kita ikut mendoakan si mayat agar arwahnya mendapat ketenangan dan pengampunan di akhirat nanti," ajak Fauzi.
Sebetulnya Mustafa ingin protes. Di benaknya, ia hanya ingin agar secepatnya sampai di rumah guna melihat keadaan ibu, bapak, adik, dan saudara-saudaranya.
Setibanya di sana, ternyata yang sedang dikuburkan adalah mayat seorang petani yang semalam mati secara tak wajar.
"Mati tak wajar bagaimana, Pak?" bisik Fauzi kepada seorang pelayat.
"Seluruh tubuhnya penuh luka seperti diserang binatang buas, bahkan lehernya nyaris putus," jawab si pelayat.
"Kenapa bisa begitu, Pak?" potong Mustafa.
"Menurut kabar, karena ia tak bisa membayar utangnya kepada seorang rentenir terkaya di desa kami. Sudah banyak korban yang jatuh," jawab lelaki itu.
Sebenarnya, Fauzi ingin bertanya banyak tentang kematian orang yang dianggap tak wajar oleh penduduk desa. Namun, karena kasihan pafa Mustafa yang sangat rindu kepada keluarganya, maka sengaja menyembunyikan semua keinginan itu.
***
Setiba di rumah orang tua Mustafa, malamnya mereka bercengkrama dengan suasana hangat bersama ayahnya Mustafa. Saat inilah ayah Mustafa mencerittakan kesulitannya.
"Bapak terlibat utang pada seorang rentenir di desa ini. Tiap saat utang Bapak selalu bertambah. Kerbau dan sawah sudah Bapak jual untuk melunasi. Tapi jangankan biangnya, bunganya saja sudah mencekik leher," cerita Pak Tukiman, ayahnya Mustafa.
Mustafa terpukul sedih. Ia tidak bisa memberikan saran, kecuali satu; "Jika Bapak sudah terjepit, bagaimana jika rumah ini kita jual."
"Percuma! Sebab Bapak sudah terikat perjanjian dengan rentenir itu," sergah bapaknya.
"Perjanjian apa?"
"Jika dalam tiga kali panen Bapak tidak bisa melunasi, maka nyawalah yang jadi tebusannya. Sebab, saat mengucapkan perjanjian peminjam uang untuk yang ketiga kalinya, Bapak harus membubuhkan cap jempol dengan darah," jelas Pak Tukiman. "Anehnya, sejak itu si rentenir itu tak pernah menagih utang-utangnya," sambungnya.
Fauzi yang semula hanya diam langsung saja menengahi. "Pak, bolehkah saya mengajukan usul?" tanyanya.
"Silahkan, Nak!" ujar Pak Tukiman.
"Sebenarnya, masalah ini bisa dipecahkan. Saya pikir, rentenir itu memang sengaja mencari tumbal dengan cara meminjamkan uang pada orang-orang yang sedang terjepit," jawab Fauzi tegas. "Kalau boleh saya tahu, siapa nama rentenir itu, Pak?"
"Gondo Kusumo. Orang desa sini biasa memanggilnya dengan Pak Gondo."
Sesaat Fauzi terdiam. Ia mengerutkan keningnya, dan setelah itu terdengar kata-katanya; "Benar, dia punya peliharaan yang amat ganas yang tiap tahun harus diberinya makan. Dan makanannya adalah nyawa dari yang terlibat utang dengan pemilik iblis itu."
Fauzi menghela nafas berat. "Padi yang fuso juga perbuatannya. Maksudnya, agar panen calon korbannya selalu gagal, dan akhirnya meminjam uang kepadanya," sambungnya.
"Nak Fauzi, kapan kira-kira iblis itu akan datang kemari? Hari apa, bulan apa, dan jam berapa?" berondong Pak Tukiman, dengan tegang.
"Iblis itu akan datang kira-kira seminggu lagi. Tepatnya, di malam Selasa Kliwon," tegas Fauzi. "Tolong carikan saya orang yang belum dikenal oleh Pak Gondo dan bisa mengantarkan saya ke rumahnya," pintanya kemudian.
Hari itu juga keluarga Pak Tukiman sibuk. Semua anggota keluarga berusaha untuk memenuhi permintaan Fauzi yang telah berjanji akan menolongnya. Dan Mustafa sendiri berusaha untuk menenangkan hati Bapaknya yang mulai dicekam rasa cemas dan takut. Bahkan seisi rumah nampak mulai ketakutan.
"Nak Fauzi, kalau boleh bapak tahu untuk apa mau datang ke tempat tinggal rentenir itu?" tanyak pak Tukiman.
"Untuk meminjam uang sebelum iblis itu datang menagih utang sekaligus nyawa Pak Tukiman," jawab Fauzi.
Meski ragu akan kemampuan Fauzi, namun Pak Tukiman tetap mencarikan orang yang akan mengantarkan Fauzi ke rumah rentenir itu. Ia adalah adik kandung Pak Tukiman yang baru datang dari Lampung, dan untuk sementara tinggal di rumah adik Pak Tukiman yang lain di desa itu juga.
Malam itu juga, di rumah Pak Tukiman berkumpul orang-orang yang akan melaksanakan perintah Fauzi. Dan esok siangnya, Fauzi pergi ke rumah Pak Gondo dengan diantar oleh Sukron.
"Siapakah kalian ini? Dan ada keperluan apa datang kemari?" tanya pak Gondo pada kedua tamunya.
"Nama saya Fauzi, Pak. Dan ini paman saya yang baru datang dari Lampung, namanya Sukron. Baru satu bulan kami tinggal di sini, dan kami datang kemari untuk keperluan penting," tutur Fauzi sopan.
"Perlu penting apa?" tanya Pak Gondo seraya mengerutkan kening.
"Saya dengar Pak Gondo suka menolong orang yang sedang dalam kesulitan. Jadi, bisakah saya meminta tolong kepada Bapak? Saya ingin mencoba berdagang di desa ini, tapi tidak punya modal. Bisakah Pak Gondo meminjamkan uang pada saya? Dan jika usaha dagang saya maju, saya akan secepatnya mengembalikan," kata Fauzi.
"Apakah saudara punya agunan?"
"Maksud bapak?"
"Misalnya, sawah, rumah atau kerbau dan sapi."
"Maaf, saya tidak punya apa-apa selain kepercayaan. Saya berani jamin, dalam tempo sepuluh hari ini saya bisa mengembalikan uang pinjaman itu," kata Fauzi mantap.
"Kalau tidak, apa yang akan saudara lakukan?" tanya pak Gondo.
"Nyawa sayalah sebagai taruhannya!" tegas Fauzzi.
"Kau berani membayar utang dengan taruhan nyawamu?" tanya rentenir itu kaget.
"Ya!" Fauzi mengangguk pasti.
Pak Gondo terkesiap. Baru pertama kali ia menghadapi orang yang berani mati dengan cara yang mengerikan. Akhirnya pak Gondo mengangguk dengan hati penuh tawa kemenangan.
''Berapa uang yang saudara Fauzi butuhkan?'' tanya rentenir itu terburu-buru. Dan Fauzi pun menyebut angka sebesar pinjaman ditambah dengan bunga yang menjadi beban Pak Tukiman. Tarohlah Rp. 25 juta.
''Sebesar itu?'' Pak Gondo agak kaget.
''Ya, pinjaman itu sesuai dengan jaminan nyawa saya, pak.'' kata Fauzi.
''Baiklah. Kapan saudara memerlukannya?''
''Sekarang!''
''Sekarang?''
''Ya.''
''Baiklah. Tunggu, saya ambilkan dulu!'' Pak Gondo pun masuk ke dalam kamarnya. Dan tak lama kemudian, ia sudah ke luar dengan membawa tumpukan uang. Sebelum pulang, Fauzi diminta untuk membubuhkan tanda tangan di selembar kain putih dengan darahnya.
Sekembalinya dari rumah Pak Gondo, Pak Tukiman dan keluarganya terheran-heran ketika Fauzi memerintahkan mereka untuk segera pergi dari desa sejauh-jauhnya.
"Kalau bisa, menyeberang ke pulau lain. Bawalah semua uang ini untuk bekal selama di sana. Nanti kalau keadaan sudah aman, silahkan kembali lagi!" ujar Fauzi sambil menyerahkan semua uang pinjamannya.
"Tapi bagaimana kalau iblis itu datang untuk menagih utang dan nyawa saya?" tanya pak Tukiman.
"Dia tidak bisa mencari bapak, karena saya telah menggantikan diri bapak. Saya akan menghadapi iblis itu dengan segenap kemampuan yang saya miliki," kata Fauzi.
Karena didesak, akhirnya pak Tukiman mengalah. Dengan berat hati, mereka pun meninggalkan desa itu untuk pergi sejauh-jauhnya. Dan dengan berbekal uang pemberian Fauzi, keluarga Pak Tukiman berangkat menuju ke Lampung. Hanya Mustafa dan Sukron yang tetap tinggal di desa itu.
Malam itu, dengan ditemani Sukron dan Mustafa, Fauzi menunggu kedatangan iblis penagih uutang. Segala keperluan yang dibutuhkan sudah tersedia. Keris pun sudah terselip di pinggangnya. Untuk menghadapi iblis itu, ia cukup menusukkan keris pusaka atau menyabetkan tasbih yang selalu dikalungkan di lehernya.
Udara malam itu cukup dingin. Tubuh Sukron dan Mustara menggigil di samping Fauzi yang duduk bersila. Sukron bukan kedinginan karena udara dan angin kencang yang tiba-tiba saja merasuk ke dalam rumah. Ia menggigil karena takut.
Ketika malam makin larut, Fauzi terus berkomat-kamit membaca doa. Entah berapa ribu bait doa-doa yang ia lafalkan. Tiba-tiba saja, telinganya menangkap suara langkah kaki yang sangat berat. Berdebam-debam dan membuat atap rumah seakan hendak runtuh, disusul gemerincingnya rantai yang terseret di tanah.
Iblis itu datang. Fauzi pun bersiap-siap dengan menggenggam hulu keris dan untaian tasbih di pinggangnya. Dan tanpa diketahui dari mana munculnya, tiba-tiba, iblis itu sudah berdiri di hadapannya. Nafasnya terdengar memburu bak bunyi lokomotif tua.
Sejak kemunculan iblis itu, Sukron langsung jatuh pingsan di dekat kaki Fauzi. Sementara, Mustafa menggigil ketakutan di sudut ruangan.
Kedua tangan raksasa yang sebesar batang pohon pisang itu terulur kearah leher Fauzi. Dengan gerak reflek, Fauzi berdiri dan mengumandangkan takbir berkali-kali. Seiring dengan itu, keris yang terselip di pinggangnya, dihunus dan langsung ditusukkan ke perut iblis itu berkali-kali. Untuk beberapa saat, Fauzi terlibat dalam pertarungan yang amat dahsyat.
Beberapa kali tubuh Fauzi terbanting keras. Tapi dengan gesitnya ia langsung melenting dan berdiri sambil menghujamkan kerisnya ke seluruh tubuh iblis raksasa itu. Bahkan, beberapa kali sabetan tangan kirinya yang menggenggam tasbih berhasil mengenai tubuh si iblis.
Tak lama kemudian, raksasa itu mengeluarkan suara pekikan yang amat keras, seolah bunyi petir yang bersahut-sahutan. Kemudian dengan suara lolongan yang panjang dan menyayat hati, tubuh iblis itu terpental menjebol dinding rumah dan hancur berantakan.
Fauzi mengusap wajahnya berkali-kali sambil mengucap Hamdallah dan menyarungkan kerisnya. Mustafa dan Sukron baru terbangun pada keesokkan harinya, dan keduanya mendapatkan tubuh Fauzi yang tengah tertidur lelap di atas ranjang Pak Tukiman.
***
Pagi itu seluruh penduduk desa geger. Pasalnya, rentenir yang bernama Gondo Kusuma itu mati mendadak di rumahnya. Bahkan menurut keterangan seorang penduduk yang siang itu ikut melayat, saat diketemukan oleh istri dan anak-anaknya tubuh pak Gondo dalam keadaan hangus terbakar.
Jerit tangis pilu pun terdengar di sekitar rumahnya. Namun tak ada seorang pun yang berani mendatangi rumah itu. Bahkan hanya beberapa orang saja yang mengantar jenazah almarhum Gondo Kusumo ke pemakaman. Dengan matinya lintah darat itu, kini, kehidupan di desa itu pun kembali tenang dan damai.
Pak Tukiman beserta keluarganya akhirnya kembali ke rumahnya. Sejak kejadian itu, mereka menjadi hamba-hamba Allah yang taat beribadah.
sumber :
http://www.susuhangin.com/SIZE]
Last edited: