erwinadriansyah
New member
Numpang pasang cerita yaaaa . Silakan dikomentari atau dikritik jika berkenan <3D.
Bab 1: Vagina Dentata
“Va! Salva, sini!” pekikku serak karena masih tipsy akibat terlalu lama ditemani Jack Daniels. “Liat, nih!” kataku sambil menunjuk ke TV plasma 64 inci di depanku.
Orang yang kupanggil segera mendekat ke sofa tempatku berbaring, tentunya dengan agak sempoyongan karena sama telernya denganku, “Napa?” tanyanya sengau.
Dia seorang gadis berusia 21 tahun. Tubuhnya dibalut gaun mini putih berbahan satin berkerah halter dengan belahan dada nan mengundang, sayangnya lecek karena dibawa tidur sepulang clubbing semalam. Matanya bundar dan biasanya bersinar ceria, namun kini kuyu serta sedikit membengkak. Hal itu diperparah dengan riasan yang luntur ke mana-mana. Rambutnya yang ikal, sebahu dan kecokelatan pun porak-poranda.
Terlepas dari kekacauan penampilannya saat ini, tak bisa kusangkal Salva masih sanggup membuat pria panas dingin. Kulitnya putih bersih dan postur tubuhnya ideal dengan tinggi 175 sentimeter berikut buah dada ranum ukuran 34 C. Bentuk wajahnya bulat telur, dipermanis dengan hidung runcing dan bibir padat berisi.
Oh, jika aku bilang Salva masih sanggup membuat pria panas dingin, sudah pasti aku juga bisa. Tak lain dan tak bukan karena aku sama persis dengannya. Yap, kami kembar identik, bak pinang dibelah dua kalau kata orang. Sialnya, di detik ini pun ungkapan itu masih berlaku alias aku juga berantakan seperti dirinya.
“Laki lu,” kataku gusar sambil mengamati pasangan yang dikerubuti reporter gosip di layar kaca, “kayaknya perlu dikasih pelajaran, deh.”
Salva tercenung, tapi bulir-bulir air di sudut matanya sudah mengatakan semua. Nah, kalau sudah begini mau tak mau aku juga jadi ingin menangis. Ini salah satu hal yang kubenci dari fakta bahwa aku dan dia kembar, pikiran kami saling memengaruhi. Atau mungkin memang overdosis alkohol turut membuatku mellow, sialan!
“Gue sudah bilang, kan?” kubiarkan keketusanku menyolok. “Jangan pacaran sama anak band, apalagi yang kegatelan kayak dia.”
“Tapi, Var,” seperti biasa, dia mulai merengek dan membela diri, “Ara nggak kayak gitu! Dia baik!”
Aku mendesah, “Non, tuh,” kutunjuk TV, “Aradea lu yang baik hati, charming and bullshit banget!” Tinjuku mengepal, “Hajar!”
Kakakku yang lebih tua 3 menit itu kembali memandang kemesraan dua sejoli yang tertangkap kamera tepat saat wartawan infotainment mengajukan pertanyaan, “Katanya lagi jalan sama Salva, fotomodel yang belakangan ini lagi naik daun?”
“Oh itu, gue sama Salva cuma temen deket, kok,” roker berumur pertengahan 20-an, berkulit terang, bermuka badung dengan sorot mata liar dan rambut lurus sebahu itu menjawab. “Dia, tuh, udah kayak adek sendiri.”
Tak urung aku ngakak, “Anjrit, berani bener dia grepe-grepe adek sendiri.”
Responsku langsung disambut pandangan marah Salva. Dia memang tak pernah suka mulut lancangku, tapi salahnya sendiri cerita-cerita soal percintaan mereka sudah sampai ke second base alias menjangkau payudara.
“Ya, udah! Kita samperin!” tanggapan murka tersebut berarti Salva telah terbakar total.
“Gitu, dong!” kuacungkan jempol padanya. “Ntar gue telepon Ed ….”
Mendadak perutku bergejolak dan mata berkunang-kunang. Naluri serta-merta memaksaku menarik tubuh dan menjulurkan kepala ke sisi sofa. Perasaan menjijikkan itu terus menanjak hingga ke kerongkongan, sampai akhirnya ….
Yang terakhir kali kudengar sebelum semua berubah menjadi gelap adalah jeritan cempreng kembaranku, “Mbok Darmiiiiiii! Vara muntah!”
Sekali lagi kuperiksa dandanan di cermin tinggi yang memantulkan bayangan sekujur tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setelan celana panjang dan blazer hitam Armani berpadu blus putih kasual yang secara keseluruhan memudahkan pergerakan dan tidak mudah robek? Classy. Sepatu hak stiletto Manolo Blahnik sebagai senjata rahasia seandainya terdesak? Mantap. Sarung tangan cerpelai untuk memastikan manikur tidak rusak? Seksi. Rambut ikal disanggul cepol modern agar tidak dijambak? Oke. Riasan tipis natural berikut lipgloss merah muda serta smoky eyes? Cek. Anting-anting platina sebagai pelengkap? Sempurna!
Aku tersenyum sembari menyemprotkan Acqua Fiorentina ke sekitar leher dan membatin, Street chic.
Vara masuk ke kamar dan langsung menghambur ke meja rias, “Va, bagi parfum, dong. Punya gue abis.”
Kuamati dia ketika datang menghampiri. Adikku mengenakan busana super simpel. Jaket kulit hitam, okelah dari Michael Kors, dipadu celana jin dan sepatu bot. Rambut cokelat lurusnya pun tak memberi nilai lebih karena cuma dikucir kuda biasa. Dandanan? Minimum dan sekadar untuk menyembunyikan ekspresi kusut, namun tertolong fakta bahwa Vara telah tidur seharian dengan meletakkan irisan mentimun di kedua matanya.
Saat menyerahkan botol parfum yang kupegang padanya, dalam hati aku turut memberikan penilaian terhadap penampilannya, Biker lesbian.
Mungkin seharusnya aku lebih berhati-hati dengan pikiranku karena Vara memberikan pandangan menyelidik. Dan, masih dengan tatapan ‘gue-tau-lu-mikir-aneh-soal-baju-gue’, secara brutal dia menyemprotkan wewangian tersebut ke seluruh badannya.
Sadar aku harus mengikhlaskan produk mahal itu, kuputuskan untuk menanyakan hal yang lebih penting, “Lu yakin udah seger?”
Dia mengacungkan jempol sambil mematut diri di depan cermin, “Sip! Jahe anget bikinan Mbok Darmi paling top, deh!”
“Tapi kalo badan lu masih nggak enak ….”
Vara menyelaku, “Apa, sih? Lagian ada Ed ini.”
Baru saja aku hendak memaksanya mengurungkan niat untuk ikut, terdengar deru khas sebuah mobil berkecepatan tinggi memasuki halaman rumah.
“Panjang umur, tuh, orang,” gumamku lalu beralih ke saudariku, “Udah siap?”
Anggukannya mengiringi langkah kami keluar kamarku dan turun ke lantai dasar. Langkah kami menggema di wastu yang luas dan kosong ini, memantul di dinding marmernya yang indah dan mewah. Agak sedih juga karena bangunan megah ini berikut segala fasilitas serta perabotnya tak lebih dari pengingat konstan betapa hidup kami serupa dengannya, hampa. Mama dan Papa entah di mana, sibuk dengan segala urusan mereka. Tidak apa, karena sejak dulu aku selalu memiliki Vara.
Dan Vara selalu punya Salva … selalu …. bisikan seorang anak perempuan seolah menggema dari tempat dan waktu yang sangat jauh.
Aku tercekat dan seketika menoleh ke belakang, mencari-cari si pemilik suara. Kesunyian aula ruang tamu balik menatapku. Tidak ada siapa-siapa.
“Va?” Vara mengamit tanganku, “Kenapa?”
“Nggak,” aku menggeleng dan kembali melangkah, pasti gue masih teler.
Dalam keremangan senja, sebuah Ford Mustang GT/CS hitam keluaran 1968 telah terparkir di lintasan depan pintu utama rumah kami. Berdiri bersandar pada pintu penumpangnya adalah Edward, teman sekampus Vara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kesempatan ini kugunakan untuk memperhatikan busananya. Nuansa kelabu dari celana panjang dan rompi sutra beritsleting dikombinasikan dengan sepatu kulit hitam. Vonis pun kujatuhkan, Macho fashionista.
Memang begitulah adanya. Pemuda sebaya kami ini keriting, kekar, berkulit gelap dengan garis wajah tegas akibat tulang rahang menonjol. Ditambah kendaraan keren dan selera mode kelas atas, Ed boleh dikatakan sempurna … kecuali tentu saja tingginya yang hanya 160 sentimeter.
“Berangkat,” Vara memberikan instruksi.
Dia mengernyih, “Baik, Nyonya,” lalu membukakan pintu dan melipat kursi depan agar aku bisa masuk ke kursi tengah. “Silakan, Nona.”
Setelah kami semua naik, kendaraan ini melaju meninggalkan kawasan hunian mewah Sentul sementara di kursi penumpang depan, Vara mulai mengaduk-aduk kumpulan kaset Ed di laci dasbor, “Sumpe lu, hari gini masih make kaset? Mana jadul semua lagi!”
“Anjing!” sang pengemudi memaki. “Masih untung gue mau nemenin!”
Sekeras apa pun kata-katanya, aku tahu Edward takkan pernah menolak permintaan Vara. Terus terang, mereka serasi. Andai saja adikku lebih peka ….
“Jadi?” Vara mencondongkan badan ke arahku, “Laki lu kita labrak aja? Atau perlu dihajar juga?”
Otomatis mukaku cemberut mendengar caranya menyebut si keparat itu, “Tolong jangan sebut dia laki gue, ngebetein tau!”
Saudariku cengengesan tanpa penyesalan, “Ya, maap. Jadi? Labrak aja atau hajar juga?”
Aku mengangkat bahu, malas memikirkannya meski telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, “Gimana nanti aja, deh.” Kuputuskan untuk mengubah topik, “Ed, lu beneran tau Ara lagi di mana?”
“Bentar,” Edward memencet tombol di setir, “tadi siang udah disiapin semuanya,” dan sebuah tablet LCD perlahan mencuat keluar dari dasbor.
Alis Vara terangkat, “Lu masang ginian, tapi nggak masang CD Mp3 player?”
Jari supir kami menekan pilihan menu bertuliskan ‘Unified GPS-GPRS Tracking System’ di monitor, “Bukan gue yang masang, tapi temen gue.”
Perangkat itu kemudian menampilkan peta digital lengkap dengan nama jalan. Di salah satu bagiannya, sebuah titik berkelap-kelip merah biru.
“Apaan, tuh?” tanyaku.
“Lokasi mobil sama HP Ara,” jawab Ed.
“Anjrit!” seru adikku takjub. “Lu make pelacak?”
Jujur, aku juga kagum, “Dapet dari mana?”
“Dari temen.”
“Canggih banget temen lu. Intel Omen aja kalah kali,” rasa ingin tahu Vara tergolong wajar karena institusi Kepolisian Republik Indonesia yang dikepalai paman kami tersebut mungkin tidak punya yang seperti ini.
Si pemuda hitam mendesah, “Gak usah dipikirin, yang penting kita dateng, selesain urusan, pulang. By the way, Non, lu kenal daerah itu, nggak?”
Sadar dia tidak mau membahasnya lebih lanjut, aku lantas mengamati detail-detail di layar, “Daerah Kemang, Jalan Kemang Raya ….” Sebuah lampu menyala dalam kepalaku, “Ah, gue tau! Dia di Café Exotica.”
Seketika itu pula hatiku berubah kelam. Café Exotica adalah tempat aku dan Aradea biasa nongkrong, sekadar buang waktu dengan menikmati kebersamaan satu sama lain. Betapa muluknya kenangan itu, tapi pasti akan kutebus sangat setimpal setibanya kami di sana!
“Kemang,” kembaranku bersedekap, “harusnya, sih, nggak macet-macet banget hari Minggu malem kayak gini.”
Vara benar, dan berkat Edward yang mengemudi gila-gilaan, kurang dari sejam kami telah sampai. Selama itu tak sedikit pun indikator keberadaan Ara berpindah tempat. Ah, dia memang suka kafe tersebut dan betah berlama-lama di sana menikmati suasananya.
Betul saja, kami langsung disambut atmosfer yang nyaman dan apik ketika memasukinya. Bagian depannya adalah restoran dan diisi kursi-kursi serta meja-meja makan yang tertata rapi di bawah pencahayaan lembut. Makin ke belakang, melewati sekat kaca transparan berhiaskan pola-pola flora berwarna putih, suasana makin remang-remang karena di sanalah bar berada, lengkap dengan pendar ungu pada panel gerainya.
Seorang pelayan wanita menghampiri kami dengan senyum sopan karena mengenaliku, “Selamat malam, Mbak Salva. Mau makan bertiga?”
Sadar bahwa keadaan nantinya bisa berkembang sangat buruk, sedapat mungkin kubalas keramahtamahannya, “Kita ada janji sama Aradea. Dia di sini, kan?”
“Silakan,” dia lalu memandu kami ke arah bar melewati keramaian kafe yang baru terisi setengahnya.
Setelah memasuki area bar yang melebar pada kedua sisinya, kutolehkan kepala ke sayap kiri. Di sana terdapat panggung kecil tempat para pemusik menghibur pengunjung. Penampil kali ini adalah grup yang melantunkan “Don’t Cry” milik Guns N’ Roses dalam versi bossa nova. Didukung perkusi, piano, gitar akustik dan elektrik, bas serta seruling, suara si vokalis perempuan mengudara, mendayu-dayu nan menghanyutkan, menambah sendunya perasaanku.
Gue nggak akan nangis! batinku sambil melangkah ke sayap kanan yang berisi bilik-bilik berisi sofa setengah lingkaran untuk para tamu yang datang berkelompok.
Di salah satu kompartemen agak tertutup tersebut, kami mendapati Aradea ditemani dua pria anggota band-nya dan sepasang gadis remaja sekitar 17-19 tahun, salah satunya adalah yang kulihat di acara gosip pagi ini. Kondisi yang kurang terang membuatku tak bisa mengamati si berengsek secara jelas, tapi tampaknya dia mengenakan gaun malam one-shoulder berwarna biru. Parasnya? Biasa-biasa saja, bulat dengan mata agak sipit, hidung sedang dan rambut multilayer.
“Jadi ini maenan baru lu?” kuajukan pertanyaan itu agak lantang meski masih bernada tenang.
“Salva?” kekasihku tercinta berdiri, jelas-jelas terkejut oleh kedatanganku.
Edward menepukkan kedua tangannya, “Oke, yang laen tolong keluar dulu, ya. Non Salva mau ngobrol sebentar sama Ara dan pereknya.”
Rekan Aradea yang duduk paling pinggir bangkit, “Bangsat! Jaga mulu ….”
Ucapannya disela oleh pukulan Vara yang mendarat telak di rahang. Berdasarkan kilau yang mengikuti gerak cepat tangan saudariku, aku memperkirakan tinjunya telah dilapisi roti kalung alias brass knuckle.
Sang korban sempoyongan dan Ed melemparnya ke samping lalu menyeret temannya yang masih duduk agar keluar dari tempat sempit tersebut. Di sisi lain, Vara menarik gadis yang satunya lagi. Kegaduhan dimulai sudah dan musik berhenti mengalun, menyisakan jeritan berikut keriuhan baku hantam tak jauh di belakangku.
Sekarang hanya ada Ara dan pacar barunya di sofa tersebut serta aku yang terhalang sebuah meja bundar dari mereka.
Kuulurkan tangan kananku ke si remaja, “Kenalin, gue Salva,” begitu dia menjabatnya agak takut-takut, aku menambahkan, “pacarnya Ara.” Ah, betapa ekspresi tidak setuju di wajah kedua orang ini atas ucapanku barusan sangat enak dilihat, “Seinget gue, Ara belum mutusin gue dan gue juga belum mutusin dia, makanya tadi pagi gue agak kaget aja ngeliat lu berdua di acara gosip.”
Kulepaskan tawa pura-pura sementara ABG itu mulai merintih. Kalau mau, bisa saja aku meremukkan tangannya, tapi kuputuskan untuk membuatnya menderita lebih lama. Dasar cablo!
“Tapi tenang, gue cuma mau resmiin aja kalo abis ini gue sama Ara udah nggak ada hubungan lagi, biar lu bisa puas sama dia!”
Cengkeramanku makin keras dan dia pun menangis histeris sambil mencakar dan berupaya melepaskan tanganku. Sudah kuduga baju lengan panjang dan sarung tangan bisa mengurangi risiko kulit tergores kuku.
Ketika Ara hendak ikut campur, teriakan Vara terdengar, “Salva!”
Dengan tangan kiri, aku menangkap dan mengenakan roti kalung yang dilemparkan kembaranku. Tak sampai 2 detik kemudian senjata tersebut telah melengkapi jotosanku ke wajah Aradea. Hidungnya remuk dan mengocorkan darah segar.
Kulepaskan genggamanku dan sementara wanita muda itu jatuh terduduk ke sofa, aku beralih ke laki-laki yang dalam waktu singkat akan kuberhentikan sebagai kekasihku secara tidak hormat, “Kalo lu mau putus, lu tinggal bilang baik-baik, kita omongin baik-baik, terus kita cari jalan keluar yang terbaik, tapi karena lu nggak punya nyali, terpaksa gue yang nentuin.” Sambil berkacak pinggang, kutunjuk mukanya yang kini berantakan, “Aradea Ahmad, mulai detik ini kita putus!”
Aku berbalik dan berlalu. Sudah cukup sampai di situ. Tidak perlu ada penjelasan. Tak perlu ada tangisan.
Namun, “Lu kira lu siapa?” Dara itu telah melakukan kesalahan terbesar, tapi tak menyadarinya sama sekali karena mulutnya terus merepet, “Jangan mentang-mentang bokap lu cukong, om lu Kapolri, lu bisa seenak jidat! Sini kalo berani!”
Mendadak semua orang terdiam. Aku membalikkan badan dan mendapati dia telah berdiri, masih memegang tangannya, tapi kemarahan di wajahnya menggelegak di tengah air mata.
“Jangan, Na,” Ara meletakkan tangannya yang basah oleh darah di bahu kekasih barunya, berusaha mencegah ribut lebih panjang, tapi Nana atau siapalah namanya malah menyentak melepaskan diri.
Seringaiku menyeruak melihat adegan tadi, “Lu kira kita seenak jidat cuma gara-gara punya bokap cukong atau om Kapolri?” dan mulai mendekatinya.
“Lu salah,” Vara menimpali sambil mengiringi langkahku.
Banyak orang yang bilang keserasian gerakan kami kadang menakutkan, mungkin itulah yang terjadi sekarang. Para hadirin seolah membeku dan lamat-lamat aku dapat mendengar napas tertahan. Baguslah, kurasa tak ada salahnya memberi tontonan istimewa bagi mereka.
“Kita kayak gini karena emang kita kayak gini,” ucap kami serempak seirama setibanya di hadapan lawan yang mematung dengan raut pucat pasi bak anemia akut. “Lu tadi nanya siapa kita, kan? Kenalin,” tapi kini tak ada tangan yang terulur.
“Gue Varanus,” kata Vara dingin.
“Gue Salvator,” tambahku keji.
“Kita,” sepasang lengan kami terayun kencang, “biawak!” dan tamparan keras itu mendarat bersamaan di kedua pipi musuh, membuatnya ambruk dan harus ditangkap oleh Ara agar tidak jatuh ke lantai.
Kutatap mereka, “Lain kali ajarin bokin lu untuk tutup mulut kalo berurusan sama gue dan Vara.”
Dia mengangguk lemah dan aku bergerak menuju bar. Di mejanya kuletakkan dua kartu nama.
“Kalo lu-lu pengen minta ganti rugi,” aku berseru sambil berjalan ke pintu, “minta sama bokap gue. Kalo lu mau ngadu ke polisi, sekalian aja langsung ke om gue. Kartu namanya ada di meja bar.”
Gontai aku memasuki mobil Ed dan duduk di kursi belakang. Bagiku Café Exotica dan Ara sudah tamat. Aku takkan pernah lagi kembali pada keduanya. Beberapa saat kemudian para pengawalku pun naik bersama celotehan riang mereka.
“Kira-kira kita bakal kena pasal apa aja, nih?” tanya Vara ceria, entah apa sebabnya.
Ed nyengir lebar, “Paling 170, 335, sama 351. Maksimal 5 tahun penjara potong masa tahanan.”
Ocehan anak-anak Fakultas Hukum. Entahlah, aku tidak mengerti. Lahir batinku lelah, aku butuh istirahat. Maka kurebahkan tubuhku.
Sayup-sayup terngiang nyanyian sepasang anak perempuan, Vara dan Salva bertarung bersama, Vara dan Salva melepas angkara murka ….
Enggan memikirkan apa pun, kupejamkan mata … dan kubiarkan tangisan itu mengalir dalam kesunyian.
PETUALANGAN BIAWAK
Bab 1: Vagina Dentata
“Va! Salva, sini!” pekikku serak karena masih tipsy akibat terlalu lama ditemani Jack Daniels. “Liat, nih!” kataku sambil menunjuk ke TV plasma 64 inci di depanku.
Orang yang kupanggil segera mendekat ke sofa tempatku berbaring, tentunya dengan agak sempoyongan karena sama telernya denganku, “Napa?” tanyanya sengau.
Dia seorang gadis berusia 21 tahun. Tubuhnya dibalut gaun mini putih berbahan satin berkerah halter dengan belahan dada nan mengundang, sayangnya lecek karena dibawa tidur sepulang clubbing semalam. Matanya bundar dan biasanya bersinar ceria, namun kini kuyu serta sedikit membengkak. Hal itu diperparah dengan riasan yang luntur ke mana-mana. Rambutnya yang ikal, sebahu dan kecokelatan pun porak-poranda.
Terlepas dari kekacauan penampilannya saat ini, tak bisa kusangkal Salva masih sanggup membuat pria panas dingin. Kulitnya putih bersih dan postur tubuhnya ideal dengan tinggi 175 sentimeter berikut buah dada ranum ukuran 34 C. Bentuk wajahnya bulat telur, dipermanis dengan hidung runcing dan bibir padat berisi.
Oh, jika aku bilang Salva masih sanggup membuat pria panas dingin, sudah pasti aku juga bisa. Tak lain dan tak bukan karena aku sama persis dengannya. Yap, kami kembar identik, bak pinang dibelah dua kalau kata orang. Sialnya, di detik ini pun ungkapan itu masih berlaku alias aku juga berantakan seperti dirinya.
“Laki lu,” kataku gusar sambil mengamati pasangan yang dikerubuti reporter gosip di layar kaca, “kayaknya perlu dikasih pelajaran, deh.”
Salva tercenung, tapi bulir-bulir air di sudut matanya sudah mengatakan semua. Nah, kalau sudah begini mau tak mau aku juga jadi ingin menangis. Ini salah satu hal yang kubenci dari fakta bahwa aku dan dia kembar, pikiran kami saling memengaruhi. Atau mungkin memang overdosis alkohol turut membuatku mellow, sialan!
“Gue sudah bilang, kan?” kubiarkan keketusanku menyolok. “Jangan pacaran sama anak band, apalagi yang kegatelan kayak dia.”
“Tapi, Var,” seperti biasa, dia mulai merengek dan membela diri, “Ara nggak kayak gitu! Dia baik!”
Aku mendesah, “Non, tuh,” kutunjuk TV, “Aradea lu yang baik hati, charming and bullshit banget!” Tinjuku mengepal, “Hajar!”
Kakakku yang lebih tua 3 menit itu kembali memandang kemesraan dua sejoli yang tertangkap kamera tepat saat wartawan infotainment mengajukan pertanyaan, “Katanya lagi jalan sama Salva, fotomodel yang belakangan ini lagi naik daun?”
“Oh itu, gue sama Salva cuma temen deket, kok,” roker berumur pertengahan 20-an, berkulit terang, bermuka badung dengan sorot mata liar dan rambut lurus sebahu itu menjawab. “Dia, tuh, udah kayak adek sendiri.”
Tak urung aku ngakak, “Anjrit, berani bener dia grepe-grepe adek sendiri.”
Responsku langsung disambut pandangan marah Salva. Dia memang tak pernah suka mulut lancangku, tapi salahnya sendiri cerita-cerita soal percintaan mereka sudah sampai ke second base alias menjangkau payudara.
“Ya, udah! Kita samperin!” tanggapan murka tersebut berarti Salva telah terbakar total.
“Gitu, dong!” kuacungkan jempol padanya. “Ntar gue telepon Ed ….”
Mendadak perutku bergejolak dan mata berkunang-kunang. Naluri serta-merta memaksaku menarik tubuh dan menjulurkan kepala ke sisi sofa. Perasaan menjijikkan itu terus menanjak hingga ke kerongkongan, sampai akhirnya ….
Yang terakhir kali kudengar sebelum semua berubah menjadi gelap adalah jeritan cempreng kembaranku, “Mbok Darmiiiiiii! Vara muntah!”
***
Sekali lagi kuperiksa dandanan di cermin tinggi yang memantulkan bayangan sekujur tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setelan celana panjang dan blazer hitam Armani berpadu blus putih kasual yang secara keseluruhan memudahkan pergerakan dan tidak mudah robek? Classy. Sepatu hak stiletto Manolo Blahnik sebagai senjata rahasia seandainya terdesak? Mantap. Sarung tangan cerpelai untuk memastikan manikur tidak rusak? Seksi. Rambut ikal disanggul cepol modern agar tidak dijambak? Oke. Riasan tipis natural berikut lipgloss merah muda serta smoky eyes? Cek. Anting-anting platina sebagai pelengkap? Sempurna!
Aku tersenyum sembari menyemprotkan Acqua Fiorentina ke sekitar leher dan membatin, Street chic.
Vara masuk ke kamar dan langsung menghambur ke meja rias, “Va, bagi parfum, dong. Punya gue abis.”
Kuamati dia ketika datang menghampiri. Adikku mengenakan busana super simpel. Jaket kulit hitam, okelah dari Michael Kors, dipadu celana jin dan sepatu bot. Rambut cokelat lurusnya pun tak memberi nilai lebih karena cuma dikucir kuda biasa. Dandanan? Minimum dan sekadar untuk menyembunyikan ekspresi kusut, namun tertolong fakta bahwa Vara telah tidur seharian dengan meletakkan irisan mentimun di kedua matanya.
Saat menyerahkan botol parfum yang kupegang padanya, dalam hati aku turut memberikan penilaian terhadap penampilannya, Biker lesbian.
Mungkin seharusnya aku lebih berhati-hati dengan pikiranku karena Vara memberikan pandangan menyelidik. Dan, masih dengan tatapan ‘gue-tau-lu-mikir-aneh-soal-baju-gue’, secara brutal dia menyemprotkan wewangian tersebut ke seluruh badannya.
Sadar aku harus mengikhlaskan produk mahal itu, kuputuskan untuk menanyakan hal yang lebih penting, “Lu yakin udah seger?”
Dia mengacungkan jempol sambil mematut diri di depan cermin, “Sip! Jahe anget bikinan Mbok Darmi paling top, deh!”
“Tapi kalo badan lu masih nggak enak ….”
Vara menyelaku, “Apa, sih? Lagian ada Ed ini.”
Baru saja aku hendak memaksanya mengurungkan niat untuk ikut, terdengar deru khas sebuah mobil berkecepatan tinggi memasuki halaman rumah.
“Panjang umur, tuh, orang,” gumamku lalu beralih ke saudariku, “Udah siap?”
Anggukannya mengiringi langkah kami keluar kamarku dan turun ke lantai dasar. Langkah kami menggema di wastu yang luas dan kosong ini, memantul di dinding marmernya yang indah dan mewah. Agak sedih juga karena bangunan megah ini berikut segala fasilitas serta perabotnya tak lebih dari pengingat konstan betapa hidup kami serupa dengannya, hampa. Mama dan Papa entah di mana, sibuk dengan segala urusan mereka. Tidak apa, karena sejak dulu aku selalu memiliki Vara.
Dan Vara selalu punya Salva … selalu …. bisikan seorang anak perempuan seolah menggema dari tempat dan waktu yang sangat jauh.
Aku tercekat dan seketika menoleh ke belakang, mencari-cari si pemilik suara. Kesunyian aula ruang tamu balik menatapku. Tidak ada siapa-siapa.
“Va?” Vara mengamit tanganku, “Kenapa?”
“Nggak,” aku menggeleng dan kembali melangkah, pasti gue masih teler.
Dalam keremangan senja, sebuah Ford Mustang GT/CS hitam keluaran 1968 telah terparkir di lintasan depan pintu utama rumah kami. Berdiri bersandar pada pintu penumpangnya adalah Edward, teman sekampus Vara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kesempatan ini kugunakan untuk memperhatikan busananya. Nuansa kelabu dari celana panjang dan rompi sutra beritsleting dikombinasikan dengan sepatu kulit hitam. Vonis pun kujatuhkan, Macho fashionista.
Memang begitulah adanya. Pemuda sebaya kami ini keriting, kekar, berkulit gelap dengan garis wajah tegas akibat tulang rahang menonjol. Ditambah kendaraan keren dan selera mode kelas atas, Ed boleh dikatakan sempurna … kecuali tentu saja tingginya yang hanya 160 sentimeter.
“Berangkat,” Vara memberikan instruksi.
Dia mengernyih, “Baik, Nyonya,” lalu membukakan pintu dan melipat kursi depan agar aku bisa masuk ke kursi tengah. “Silakan, Nona.”
Setelah kami semua naik, kendaraan ini melaju meninggalkan kawasan hunian mewah Sentul sementara di kursi penumpang depan, Vara mulai mengaduk-aduk kumpulan kaset Ed di laci dasbor, “Sumpe lu, hari gini masih make kaset? Mana jadul semua lagi!”
“Anjing!” sang pengemudi memaki. “Masih untung gue mau nemenin!”
Sekeras apa pun kata-katanya, aku tahu Edward takkan pernah menolak permintaan Vara. Terus terang, mereka serasi. Andai saja adikku lebih peka ….
“Jadi?” Vara mencondongkan badan ke arahku, “Laki lu kita labrak aja? Atau perlu dihajar juga?”
Otomatis mukaku cemberut mendengar caranya menyebut si keparat itu, “Tolong jangan sebut dia laki gue, ngebetein tau!”
Saudariku cengengesan tanpa penyesalan, “Ya, maap. Jadi? Labrak aja atau hajar juga?”
Aku mengangkat bahu, malas memikirkannya meski telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, “Gimana nanti aja, deh.” Kuputuskan untuk mengubah topik, “Ed, lu beneran tau Ara lagi di mana?”
“Bentar,” Edward memencet tombol di setir, “tadi siang udah disiapin semuanya,” dan sebuah tablet LCD perlahan mencuat keluar dari dasbor.
Alis Vara terangkat, “Lu masang ginian, tapi nggak masang CD Mp3 player?”
Jari supir kami menekan pilihan menu bertuliskan ‘Unified GPS-GPRS Tracking System’ di monitor, “Bukan gue yang masang, tapi temen gue.”
Perangkat itu kemudian menampilkan peta digital lengkap dengan nama jalan. Di salah satu bagiannya, sebuah titik berkelap-kelip merah biru.
“Apaan, tuh?” tanyaku.
“Lokasi mobil sama HP Ara,” jawab Ed.
“Anjrit!” seru adikku takjub. “Lu make pelacak?”
Jujur, aku juga kagum, “Dapet dari mana?”
“Dari temen.”
“Canggih banget temen lu. Intel Omen aja kalah kali,” rasa ingin tahu Vara tergolong wajar karena institusi Kepolisian Republik Indonesia yang dikepalai paman kami tersebut mungkin tidak punya yang seperti ini.
Si pemuda hitam mendesah, “Gak usah dipikirin, yang penting kita dateng, selesain urusan, pulang. By the way, Non, lu kenal daerah itu, nggak?”
Sadar dia tidak mau membahasnya lebih lanjut, aku lantas mengamati detail-detail di layar, “Daerah Kemang, Jalan Kemang Raya ….” Sebuah lampu menyala dalam kepalaku, “Ah, gue tau! Dia di Café Exotica.”
Seketika itu pula hatiku berubah kelam. Café Exotica adalah tempat aku dan Aradea biasa nongkrong, sekadar buang waktu dengan menikmati kebersamaan satu sama lain. Betapa muluknya kenangan itu, tapi pasti akan kutebus sangat setimpal setibanya kami di sana!
“Kemang,” kembaranku bersedekap, “harusnya, sih, nggak macet-macet banget hari Minggu malem kayak gini.”
Vara benar, dan berkat Edward yang mengemudi gila-gilaan, kurang dari sejam kami telah sampai. Selama itu tak sedikit pun indikator keberadaan Ara berpindah tempat. Ah, dia memang suka kafe tersebut dan betah berlama-lama di sana menikmati suasananya.
Betul saja, kami langsung disambut atmosfer yang nyaman dan apik ketika memasukinya. Bagian depannya adalah restoran dan diisi kursi-kursi serta meja-meja makan yang tertata rapi di bawah pencahayaan lembut. Makin ke belakang, melewati sekat kaca transparan berhiaskan pola-pola flora berwarna putih, suasana makin remang-remang karena di sanalah bar berada, lengkap dengan pendar ungu pada panel gerainya.
Seorang pelayan wanita menghampiri kami dengan senyum sopan karena mengenaliku, “Selamat malam, Mbak Salva. Mau makan bertiga?”
Sadar bahwa keadaan nantinya bisa berkembang sangat buruk, sedapat mungkin kubalas keramahtamahannya, “Kita ada janji sama Aradea. Dia di sini, kan?”
“Silakan,” dia lalu memandu kami ke arah bar melewati keramaian kafe yang baru terisi setengahnya.
Setelah memasuki area bar yang melebar pada kedua sisinya, kutolehkan kepala ke sayap kiri. Di sana terdapat panggung kecil tempat para pemusik menghibur pengunjung. Penampil kali ini adalah grup yang melantunkan “Don’t Cry” milik Guns N’ Roses dalam versi bossa nova. Didukung perkusi, piano, gitar akustik dan elektrik, bas serta seruling, suara si vokalis perempuan mengudara, mendayu-dayu nan menghanyutkan, menambah sendunya perasaanku.
Gue nggak akan nangis! batinku sambil melangkah ke sayap kanan yang berisi bilik-bilik berisi sofa setengah lingkaran untuk para tamu yang datang berkelompok.
Di salah satu kompartemen agak tertutup tersebut, kami mendapati Aradea ditemani dua pria anggota band-nya dan sepasang gadis remaja sekitar 17-19 tahun, salah satunya adalah yang kulihat di acara gosip pagi ini. Kondisi yang kurang terang membuatku tak bisa mengamati si berengsek secara jelas, tapi tampaknya dia mengenakan gaun malam one-shoulder berwarna biru. Parasnya? Biasa-biasa saja, bulat dengan mata agak sipit, hidung sedang dan rambut multilayer.
“Jadi ini maenan baru lu?” kuajukan pertanyaan itu agak lantang meski masih bernada tenang.
“Salva?” kekasihku tercinta berdiri, jelas-jelas terkejut oleh kedatanganku.
Edward menepukkan kedua tangannya, “Oke, yang laen tolong keluar dulu, ya. Non Salva mau ngobrol sebentar sama Ara dan pereknya.”
Rekan Aradea yang duduk paling pinggir bangkit, “Bangsat! Jaga mulu ….”
Ucapannya disela oleh pukulan Vara yang mendarat telak di rahang. Berdasarkan kilau yang mengikuti gerak cepat tangan saudariku, aku memperkirakan tinjunya telah dilapisi roti kalung alias brass knuckle.
Sang korban sempoyongan dan Ed melemparnya ke samping lalu menyeret temannya yang masih duduk agar keluar dari tempat sempit tersebut. Di sisi lain, Vara menarik gadis yang satunya lagi. Kegaduhan dimulai sudah dan musik berhenti mengalun, menyisakan jeritan berikut keriuhan baku hantam tak jauh di belakangku.
Sekarang hanya ada Ara dan pacar barunya di sofa tersebut serta aku yang terhalang sebuah meja bundar dari mereka.
Kuulurkan tangan kananku ke si remaja, “Kenalin, gue Salva,” begitu dia menjabatnya agak takut-takut, aku menambahkan, “pacarnya Ara.” Ah, betapa ekspresi tidak setuju di wajah kedua orang ini atas ucapanku barusan sangat enak dilihat, “Seinget gue, Ara belum mutusin gue dan gue juga belum mutusin dia, makanya tadi pagi gue agak kaget aja ngeliat lu berdua di acara gosip.”
Kulepaskan tawa pura-pura sementara ABG itu mulai merintih. Kalau mau, bisa saja aku meremukkan tangannya, tapi kuputuskan untuk membuatnya menderita lebih lama. Dasar cablo!
“Tapi tenang, gue cuma mau resmiin aja kalo abis ini gue sama Ara udah nggak ada hubungan lagi, biar lu bisa puas sama dia!”
Cengkeramanku makin keras dan dia pun menangis histeris sambil mencakar dan berupaya melepaskan tanganku. Sudah kuduga baju lengan panjang dan sarung tangan bisa mengurangi risiko kulit tergores kuku.
Ketika Ara hendak ikut campur, teriakan Vara terdengar, “Salva!”
Dengan tangan kiri, aku menangkap dan mengenakan roti kalung yang dilemparkan kembaranku. Tak sampai 2 detik kemudian senjata tersebut telah melengkapi jotosanku ke wajah Aradea. Hidungnya remuk dan mengocorkan darah segar.
Kulepaskan genggamanku dan sementara wanita muda itu jatuh terduduk ke sofa, aku beralih ke laki-laki yang dalam waktu singkat akan kuberhentikan sebagai kekasihku secara tidak hormat, “Kalo lu mau putus, lu tinggal bilang baik-baik, kita omongin baik-baik, terus kita cari jalan keluar yang terbaik, tapi karena lu nggak punya nyali, terpaksa gue yang nentuin.” Sambil berkacak pinggang, kutunjuk mukanya yang kini berantakan, “Aradea Ahmad, mulai detik ini kita putus!”
Aku berbalik dan berlalu. Sudah cukup sampai di situ. Tidak perlu ada penjelasan. Tak perlu ada tangisan.
Namun, “Lu kira lu siapa?” Dara itu telah melakukan kesalahan terbesar, tapi tak menyadarinya sama sekali karena mulutnya terus merepet, “Jangan mentang-mentang bokap lu cukong, om lu Kapolri, lu bisa seenak jidat! Sini kalo berani!”
Mendadak semua orang terdiam. Aku membalikkan badan dan mendapati dia telah berdiri, masih memegang tangannya, tapi kemarahan di wajahnya menggelegak di tengah air mata.
“Jangan, Na,” Ara meletakkan tangannya yang basah oleh darah di bahu kekasih barunya, berusaha mencegah ribut lebih panjang, tapi Nana atau siapalah namanya malah menyentak melepaskan diri.
Seringaiku menyeruak melihat adegan tadi, “Lu kira kita seenak jidat cuma gara-gara punya bokap cukong atau om Kapolri?” dan mulai mendekatinya.
“Lu salah,” Vara menimpali sambil mengiringi langkahku.
Banyak orang yang bilang keserasian gerakan kami kadang menakutkan, mungkin itulah yang terjadi sekarang. Para hadirin seolah membeku dan lamat-lamat aku dapat mendengar napas tertahan. Baguslah, kurasa tak ada salahnya memberi tontonan istimewa bagi mereka.
“Kita kayak gini karena emang kita kayak gini,” ucap kami serempak seirama setibanya di hadapan lawan yang mematung dengan raut pucat pasi bak anemia akut. “Lu tadi nanya siapa kita, kan? Kenalin,” tapi kini tak ada tangan yang terulur.
“Gue Varanus,” kata Vara dingin.
“Gue Salvator,” tambahku keji.
“Kita,” sepasang lengan kami terayun kencang, “biawak!” dan tamparan keras itu mendarat bersamaan di kedua pipi musuh, membuatnya ambruk dan harus ditangkap oleh Ara agar tidak jatuh ke lantai.
Kutatap mereka, “Lain kali ajarin bokin lu untuk tutup mulut kalo berurusan sama gue dan Vara.”
Dia mengangguk lemah dan aku bergerak menuju bar. Di mejanya kuletakkan dua kartu nama.
“Kalo lu-lu pengen minta ganti rugi,” aku berseru sambil berjalan ke pintu, “minta sama bokap gue. Kalo lu mau ngadu ke polisi, sekalian aja langsung ke om gue. Kartu namanya ada di meja bar.”
Gontai aku memasuki mobil Ed dan duduk di kursi belakang. Bagiku Café Exotica dan Ara sudah tamat. Aku takkan pernah lagi kembali pada keduanya. Beberapa saat kemudian para pengawalku pun naik bersama celotehan riang mereka.
“Kira-kira kita bakal kena pasal apa aja, nih?” tanya Vara ceria, entah apa sebabnya.
Ed nyengir lebar, “Paling 170, 335, sama 351. Maksimal 5 tahun penjara potong masa tahanan.”
Ocehan anak-anak Fakultas Hukum. Entahlah, aku tidak mengerti. Lahir batinku lelah, aku butuh istirahat. Maka kurebahkan tubuhku.
Sayup-sayup terngiang nyanyian sepasang anak perempuan, Vara dan Salva bertarung bersama, Vara dan Salva melepas angkara murka ….
Enggan memikirkan apa pun, kupejamkan mata … dan kubiarkan tangisan itu mengalir dalam kesunyian.
Last edited: