Muslim Prancis Tuduh Macron Pecah Belah Masyarakat
REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Umat Muslim di Prancis mengatakan Presiden Emmanuel Macron telah memecah belah negara dengan pernyataan kontroversial tentang Islam yang telah berulang kali dia lontarkan dalam beberapa pekan terakhir.
Di tengah ketegangan antara pemerintah dan Muslim Prancis, Macron pada Senin (26/10) mengunggah foto di Twitter dan menuliskan kalimat "Kita adalah satu". Yasser Louati, kepala Komite Keadilan dan Kebebasan untuk Semua, menyebut pernyataan itu sebagai lelucon dan menuding presiden mengecualikan warga negara Muslim.
"Bagaimana kita bisa beralih dari Prancis yang dirayakan oleh dunia Muslim atau Arab karena penolakannya untuk bergabung dengan Amerika dalam menghancurkan Irak pada tahun 2003 ke Prancis hari ini yang diboikot di bawah Emmanuel Macron?" kata Louati dalam sebuah wawancara dengan Anadolu Agency.
Dia menambahkan, Macron kurang memahami kebijakan luar negeri. "Arogansi dia tidak hanya memecah belah penduduk Prancis tapi juga membawa mereka ke dalam krisis," tambah aktivis HAM itu.
Farid Hafez, seorang ilmuwan politik dan dosen di Universitas Salzburg Austria, menggambarkan langkah Macron sebagai manifestasi diskriminasi berdasarkan hukum.
"Macron mengikuti strateginya untuk menciptakan identitas Muslim Prancis yang pertama-tama tidak terlihat dan kedua tidak berbahaya secara politik, tidak mempertanyakan status quo kebijakan diskriminatif Prancis terhadap populasi Muslimnya," ungkap dia.
Pada 2 Oktober, Macron mengumumkan rencana kontroversial untuk mengatasi apa yang disebutnya separatisme Islam di Prancis, mengklaim bahwa agama Islam berada dalam krisis di seluruh dunia dan berjanji untuk membebaskan Islam di Prancis dari pengaruh asing.
Minggu lalu, dia membela kartun yang menghujat Nabi Muhammad dan setelah pembunuhan brutal guru sekolah menengah Samuel Paty, yang menunjukkan karikatur provokatif itu di kelas kelasnya.
Macron bersaing di jalur yang sama dengan sayap kanan
Warga Prancis akan memilih presiden dalam waktu kurang dari dua tahun pada April 2022. Namun, hasil survei saat ini menunjukkan Macron bersaing ketat dengan Marine Le Pen, pemimpin Reli Nasional sayap kanan. Banyak yang percaya strategi Macron untuk memenangkan pemilu berikutnya adalah dengan mengkooptasi argumen sayap kanan.
Menurut Enes Bayrakli, seorang peneliti di Yayasan Riset Politik, Ekonomi dan Sosial (SETA) yang berbasis di Ankara, Turki, Macron sedang mencoba untuk mengatasi kesengsaraan kebijakan dalam dan luar negeribya dengan mengkambinghitamkan Islam dan Muslim.
"Macron mencoba menghentikan kebangkitan sayap kanan dengan mengadopsi pernyataan ekstrim mereka," ujar dia.
Setuju dengan pendapat Bayrakili, Louati mengatakan Macron tidak memiliki hal lain untuk ditunjukkan dalam pencalonannya yang akan datang karena dia telah gagal secara sosial dan ekonomi, merujuk pada gerakan Rompi Kuning dan demonstrasi protes lainnya.
“Dia tidak punya apa-apa untuk ditunjukkan kepada kami selain dari politik identitas. Jadi pada dasarnya yang dia katakan adalah, saya tidak bisa memberi Anda masa depan yang cerah. Saya hanya bisa menjanjikan perang melawan Muslim," ujarnya.
Tanda-tanda gelombang teror Islamofobia
Bayrakli, yang juga salah satu editor European Islamophobia Report, mengatakan bahwa situasi Muslim di Eropa sedang memburuk.
“Saya melihat tanda-tanda gelombang teror Islamofobia di Eropa,” kata dia kepada Anadolu Agency, mengutip munculnya jaringan sayap kanan di seluruh penjuru benua.
Beberapa tahun terakhir telah terjadi lonjakan serangan teroris sayap kanan di negara-negara Barat. Menurut Indeks Terorisme Global 2019, serangan sayap kanan membengkak 320 persen selama lima tahun terakhir di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Oseania.
Pada 22 Juli 2011, teroris sayap kanan Norwegia Anders Breivik membunuh delapan orang dalam pemboman di Oslo dan menembak mati 69 lainnya di sebuah kamp pemuda di pulau Utoya. Pada 15 Maret 2019, Brenton Tarrant, seorang supremasi kulit putih Australia, membunuh 51 Muslim yang sedang bersiap melaksanakan sholat Jumat di Christchurch, Selandia Baru.
Sementara itu, pada 19 Februari 2020, seorang ekstremis sayap kanan Jerman menyerang dua kafe Turki di Kota Hanau, Jerman barat, menewaskan sembilan orang yang latar belakang migran. Permusuhan terhadap Muslim di Prancis meningkat secara signifikan dalam beberapa pekan terakhir.
Minggu lalu, dua wanita Muslim berjilbab ditikam berulang kali di taman di bawah Menara Eiffel, di mana penyerang meneriakkan hinaan seperti "orang Arab kotor". Bayrakli mengatakan inilah yang diharapkan oleh kelompok teroris seperti Daesh/ISIS dari Eropa.
“Mereka ingin Eropa memasuki gelombang kekerasan. Politisi Eropa juga masuk ke permainan ini karena kalkulasi politik yang murah," ujar dia.
- Keheningan negara anggota UE
Larangan mengenakan jilbab, pakaian renang burkini, dan penyembelihan halal serta pembatasan masjid di beberapa negara Eropa juga menuai kemarahan. Namun, rencana Macron untuk mengontrol pengaruh asing dari agama bukanlah hal baru bagi Eropa.
"Di Austria, pendanaan imam dari luar negeri sudah dilarang dengan UU Islam 2015," kata Hafez.
Macron, kata dia, mengikuti dan mencoba untuk memaksakan tindakan diskriminatif yang sama hanya terhadap Muslim, bukan orang dengan kepercayaan lain.
“Apa yang kita lihat adalah intervensi agama oleh negara. Ini sebenarnya bertentangan dengan sekularisme. Sebuah negara seharusnya tidak ikut campur dalam urusan internal agama dan perdebatan teologis," kata Bayrakli.
Ditanya tentang keheningan para pemimpin Eropa di tengah meningkatnya ketegangan di Prancis, Yasser Louati menafsirkannya sebagai ketidaksetujuan terhadap kebijakan Macron.
Di sisi lain, Enes Bayrakli justru menilai hal itu sebagai dukungan. "Uni Eropa bahkan menghindari penggunaan kata Islamofobia," ujar dia.
Menurut Bayrakli, Islamofobia telah menjadi ideologi dominan di abad ke-21, sama seperti penentangan terhadap komunisme selama Perang Dingin.
“Inilah mengapa ada kebodohan dan kebungkaman politik,” tambah dia.
.