nurcahyo
New member
Presiden Tokoh Kunci Berantas Budaya Politik Yang Koruptif
Kapanlagi.com - Presiden dan partai politik adalah tokoh kunci untuk memberantas budaya politik yang koruptif yang sudah terlanjur membudaya.
Ketua Korea Independent Commission Against Corruption (KICAC), Soung Jin Chung, usai acara seminar internasional antikorupsi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa, mengatakan Presiden dan partai politik yang berkuasa mempunyai kekuatan untuk mengubah masyarakat.
"Ketika Presiden dan partai politik yang berkuasa mengubah masyarakat, mungkin mereka akan mendapatkan resistensi, itu posisi yang sulit," ujar Chung.
Tetapi, lanjut dia, dalam hal mengontrol dan memberantas korupsi, masyarakat kemudian akan mengagumi langkah-langkah yang dibuat oleh Presiden.
Karena itu, menurut Chung, Presiden adalah tokoh kunci dalam memberantas dan mengubah budaya politik yang koruptif, menjadi kultur politik yang dapat dipercaya oleh masyarakat.
Chung memaparkan, korupsi di bidang politik pernah menjadi masalah besar di Korsel. Dan karena itu pemerintah Korsel pada 2004 mengambil berbagai tindakan, di antaranya dengan menyediakan biaya untuk penyelenggaraan Pemilu.
Pada 2004, Pemerintah Korsel mengamandemen tiga undang-undang di bidang politik, yaitu UU Pemilu, UUB Parpol, dan UU Keuangan Politik.
Dalam UU yang diamandemen itu diatur bahwa perusahaan dan organisasi dilarang memberikan sumbangan politik, sedangkan sumbangan dari pribadi dibatasi antara 100 dolar AS dan 20 ribu dolar AS per tahun.
Setiap orang yang menerima uang, makanan, atau pemberian lain dari seorang politisi dapat dikenakan sanksi 50 kali lipat dari jumlah yang diterima.
Sebaliknya, mereka yang melaporkan pemberian itu ke Komisi Pemilu Nasional mendapatkan penghargaan senilai 50 kali lipat dari jumlah yang diterima.
Chung mengatakan, sampai saat ini di Korsel tidak banyak partai politik yang melanggar ketentuan itu, meski masih saja ada yang memanipulasi pemberian dari perusahaan menjadi pemberian perorangan.
"Tetapi, sekali saja ada partai yang melanggar ketentuan ini, maka masyarakat akan mengkritisi mereka dan karena itu partai-partai politik secara sukarela mematuhi ketentuan itu," ujarnya.
Chung menegaskan, keberhasilan pemberantasan korupsi di Korsel tidak bisa dipisahkan dari kesadaran dan partisipasi masyarakat yang tinggi serta kemauan politik dari pemerintahnya.
Masyarakat Korsel, lanjut dia, telah menyadari bahwa penegakan hukum di Korsel tidak pandang bulu dengan diseretnya dua mantan Presiden Korsel, Chun Doo Hwa dan Roh Tae Woo, ke pengadilan atas tuduhan menerima suap.
Tidak ketinggalan juga, dua anak mantan Presiden Korsel, Hang Up dan Hang Gu, yang diadili karena turut menerima suap.
"Jadi semua orang di Korsel tahu, bahwa tidak ada orang yang dapat lolos dari penegakan hukum," ujar Chung,
Ia juga menegaskan, proses pemberantasas korupsi di Korsel yang tidak pandang bulu itu juga sempat "menyakiti" pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
"Tetapi, itu harus dilewati, dan akhirnya kami bisa sampai pada tahap seperti ini, dengan pertumbuhan ekonomi yang terus berkembang," ujarnya.
Wakil Ketua KPK bidang Pencegahan, Erry Ryana Hadjapamekas, mengatakan pemberantasan korupsi mungkin untuk sementara akan mengakibatkan penurunan kegiatan ekonomi.
"Tetapi, penurunan itu hanya sementara dan dalam jangka panjag akan naik lagi. Itu rumus umum di semua negara, universal," katanya.
Jika fungsi pelayanan publik sudah diperbaiki, lanjut Erry, maka kegiatan ekonomi akan berjalan lagi dan akhirnya pertumbuhan ekonomi mulai naik.
Namun, ia mengatakan, hal itu tidak bisa dilakukan tanpa kemauan politik dari pemerintah serta komitmen yang berkelanjutan dari semua pihak.
Dalam seminar internasional yang diselenggarakan oleh KPK untuk menyambut hari antikorupsi sedunia yang diperingati setiap 9 Desember, hadir sebagai pembicara Ketua KICAC Soung Jin Chung, Ketua Badan Anti Rasuah Malaysa, Datuk Seri Zulkipli Mat Noor, Sekjen Menteri Koordinator Perekonomian, Komara Djaja, serta Direktur Bank Dunia di Indonesia, Andrew Steer.
Kapanlagi.com - Presiden dan partai politik adalah tokoh kunci untuk memberantas budaya politik yang koruptif yang sudah terlanjur membudaya.
Ketua Korea Independent Commission Against Corruption (KICAC), Soung Jin Chung, usai acara seminar internasional antikorupsi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa, mengatakan Presiden dan partai politik yang berkuasa mempunyai kekuatan untuk mengubah masyarakat.
"Ketika Presiden dan partai politik yang berkuasa mengubah masyarakat, mungkin mereka akan mendapatkan resistensi, itu posisi yang sulit," ujar Chung.
Tetapi, lanjut dia, dalam hal mengontrol dan memberantas korupsi, masyarakat kemudian akan mengagumi langkah-langkah yang dibuat oleh Presiden.
Karena itu, menurut Chung, Presiden adalah tokoh kunci dalam memberantas dan mengubah budaya politik yang koruptif, menjadi kultur politik yang dapat dipercaya oleh masyarakat.
Chung memaparkan, korupsi di bidang politik pernah menjadi masalah besar di Korsel. Dan karena itu pemerintah Korsel pada 2004 mengambil berbagai tindakan, di antaranya dengan menyediakan biaya untuk penyelenggaraan Pemilu.
Pada 2004, Pemerintah Korsel mengamandemen tiga undang-undang di bidang politik, yaitu UU Pemilu, UUB Parpol, dan UU Keuangan Politik.
Dalam UU yang diamandemen itu diatur bahwa perusahaan dan organisasi dilarang memberikan sumbangan politik, sedangkan sumbangan dari pribadi dibatasi antara 100 dolar AS dan 20 ribu dolar AS per tahun.
Setiap orang yang menerima uang, makanan, atau pemberian lain dari seorang politisi dapat dikenakan sanksi 50 kali lipat dari jumlah yang diterima.
Sebaliknya, mereka yang melaporkan pemberian itu ke Komisi Pemilu Nasional mendapatkan penghargaan senilai 50 kali lipat dari jumlah yang diterima.
Chung mengatakan, sampai saat ini di Korsel tidak banyak partai politik yang melanggar ketentuan itu, meski masih saja ada yang memanipulasi pemberian dari perusahaan menjadi pemberian perorangan.
"Tetapi, sekali saja ada partai yang melanggar ketentuan ini, maka masyarakat akan mengkritisi mereka dan karena itu partai-partai politik secara sukarela mematuhi ketentuan itu," ujarnya.
Chung menegaskan, keberhasilan pemberantasan korupsi di Korsel tidak bisa dipisahkan dari kesadaran dan partisipasi masyarakat yang tinggi serta kemauan politik dari pemerintahnya.
Masyarakat Korsel, lanjut dia, telah menyadari bahwa penegakan hukum di Korsel tidak pandang bulu dengan diseretnya dua mantan Presiden Korsel, Chun Doo Hwa dan Roh Tae Woo, ke pengadilan atas tuduhan menerima suap.
Tidak ketinggalan juga, dua anak mantan Presiden Korsel, Hang Up dan Hang Gu, yang diadili karena turut menerima suap.
"Jadi semua orang di Korsel tahu, bahwa tidak ada orang yang dapat lolos dari penegakan hukum," ujar Chung,
Ia juga menegaskan, proses pemberantasas korupsi di Korsel yang tidak pandang bulu itu juga sempat "menyakiti" pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
"Tetapi, itu harus dilewati, dan akhirnya kami bisa sampai pada tahap seperti ini, dengan pertumbuhan ekonomi yang terus berkembang," ujarnya.
Wakil Ketua KPK bidang Pencegahan, Erry Ryana Hadjapamekas, mengatakan pemberantasan korupsi mungkin untuk sementara akan mengakibatkan penurunan kegiatan ekonomi.
"Tetapi, penurunan itu hanya sementara dan dalam jangka panjag akan naik lagi. Itu rumus umum di semua negara, universal," katanya.
Jika fungsi pelayanan publik sudah diperbaiki, lanjut Erry, maka kegiatan ekonomi akan berjalan lagi dan akhirnya pertumbuhan ekonomi mulai naik.
Namun, ia mengatakan, hal itu tidak bisa dilakukan tanpa kemauan politik dari pemerintah serta komitmen yang berkelanjutan dari semua pihak.
Dalam seminar internasional yang diselenggarakan oleh KPK untuk menyambut hari antikorupsi sedunia yang diperingati setiap 9 Desember, hadir sebagai pembicara Ketua KICAC Soung Jin Chung, Ketua Badan Anti Rasuah Malaysa, Datuk Seri Zulkipli Mat Noor, Sekjen Menteri Koordinator Perekonomian, Komara Djaja, serta Direktur Bank Dunia di Indonesia, Andrew Steer.