Forbian_Syah
New member
Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Pusat Ishak Djamaludin membantah ada pungutan liar dalam Program Nasional Agraria (Prona) yang digelar instansinya di Kelurahan Kwitang, Jakarta Pusat. ‘Kami tidak memungut biaya apapun pada program Prona ini. Kalau ada oknum kami yang melakukan itu pasti akan segera ditindak,” tegas Ishak, Rabu (26/5) siang.
Ishak menambahkan, jika di lapangan ditemukan adanya pungli hal itu bukan urusan BPN Jakpus. Ia menduga ada yang bermain di tingkat bawah. “Prona merupakan program yang seluruhnya ditanggung BPN. Warga selaku pemohon tidak dikenal biaya sepeser pun. Kalaupun membayar, warga hanya membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ke Kantor Pajak Pratama,” imbuh Ishak.
Ishak menjelaskan bahwa kuota pemohon sertifikat pada Prona 2009 di Kelurahan Kwitang sebanyak 350 pemohon, namun ada penambahan sehingga yang dikeluarkan sebanyak 380 seitifikat. Jumlah sertifikat yang dikeluarkan di Jakarta Pusat sebanyak 1.465 sertifikat tanah yang tersebar di Kelurahan Kramat. Paseban, Kwitang, Tanahtinggi dan Kampungrawa.
Untuk Prona tahun 2010, kuota yang akan diberikan sebanyak 420 sertifikat untuk lima kelurahan yaitu Gunungsahari Utara, Gunungsahari Selatan, Serdang. Kemayoran, dan Harapanmulya.
Sementaraitu Ketua RW 07 Kwitang Bambang Ismiyadi mengakui, dirinya menjadi koordinator yang mengumpulkan warga yang ingin mengajukan pembuatan sertifikat melalui Prona pada 2009. Warga dipunguti biaya Rp 150.000, yang digunakan untuk kah RT Rp 25.000, kas RW Rp 25.000, Zakat Infaq Sodakoh sebesar Rp 50.000, dan Rp 50.000 digunakan untuk surat-surat. “Uang Rp 50.000 digunakan untuk memfotokopi formulir yang diberikan dan BPN Jakpus sebanyak 16 lembar ke seluruh pemohon, antara lain seperti surat rekomendasi, KR, KTP, dan PBB menjadi rangkap 4,” katanya.
Uang itu masih ditambah Rp 100.000 sebagai biaya administrasi guna memberikan biaya transportasi, makan, dan minum kepada petugas yang melakukan pengukuran tanah. “Bahkan ada warga yang tidak membayar karena tidak mampu, akhirnya kami yang nalangin dulu Mas. Bayangin saja Mas, warga yang tidak mampu sebanyak lima orang dalam setiap RW,” ujar Bambang.
Menanggapi adanya warga yang membayar hingga Rp 900.000, kata Bambang, bukan untuk administrasi melainkan untuk membayar BPHTB yang besarannya disesuaikan dengan luas tanah pemohon. “Bahkan ada loh yang sampai membayar Rp 11 juta karena tanahnya memang luas,” tutur Bambang.
sumber : warkot
Ishak menambahkan, jika di lapangan ditemukan adanya pungli hal itu bukan urusan BPN Jakpus. Ia menduga ada yang bermain di tingkat bawah. “Prona merupakan program yang seluruhnya ditanggung BPN. Warga selaku pemohon tidak dikenal biaya sepeser pun. Kalaupun membayar, warga hanya membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ke Kantor Pajak Pratama,” imbuh Ishak.
Ishak menjelaskan bahwa kuota pemohon sertifikat pada Prona 2009 di Kelurahan Kwitang sebanyak 350 pemohon, namun ada penambahan sehingga yang dikeluarkan sebanyak 380 seitifikat. Jumlah sertifikat yang dikeluarkan di Jakarta Pusat sebanyak 1.465 sertifikat tanah yang tersebar di Kelurahan Kramat. Paseban, Kwitang, Tanahtinggi dan Kampungrawa.
Untuk Prona tahun 2010, kuota yang akan diberikan sebanyak 420 sertifikat untuk lima kelurahan yaitu Gunungsahari Utara, Gunungsahari Selatan, Serdang. Kemayoran, dan Harapanmulya.
Sementaraitu Ketua RW 07 Kwitang Bambang Ismiyadi mengakui, dirinya menjadi koordinator yang mengumpulkan warga yang ingin mengajukan pembuatan sertifikat melalui Prona pada 2009. Warga dipunguti biaya Rp 150.000, yang digunakan untuk kah RT Rp 25.000, kas RW Rp 25.000, Zakat Infaq Sodakoh sebesar Rp 50.000, dan Rp 50.000 digunakan untuk surat-surat. “Uang Rp 50.000 digunakan untuk memfotokopi formulir yang diberikan dan BPN Jakpus sebanyak 16 lembar ke seluruh pemohon, antara lain seperti surat rekomendasi, KR, KTP, dan PBB menjadi rangkap 4,” katanya.
Uang itu masih ditambah Rp 100.000 sebagai biaya administrasi guna memberikan biaya transportasi, makan, dan minum kepada petugas yang melakukan pengukuran tanah. “Bahkan ada warga yang tidak membayar karena tidak mampu, akhirnya kami yang nalangin dulu Mas. Bayangin saja Mas, warga yang tidak mampu sebanyak lima orang dalam setiap RW,” ujar Bambang.
Menanggapi adanya warga yang membayar hingga Rp 900.000, kata Bambang, bukan untuk administrasi melainkan untuk membayar BPHTB yang besarannya disesuaikan dengan luas tanah pemohon. “Bahkan ada loh yang sampai membayar Rp 11 juta karena tanahnya memang luas,” tutur Bambang.
sumber : warkot