gerimis
New member
Pupuk Hidup
Mata telanjang tak mungkin mampu melihat keberadaan mikrobakarena ukurannya memang teramat mungil.
Namun, jasa makhluk kecil itu sangat besar. Di lahan-lahan pertanian, mikroba berperan memperbaiki
tekstur tanah yang rusak. Jasad renik itu membantu meningkatkan produksi beragam
komoditas: tanaman hias, buah-buahan, sayuran, perkebunan, juga tanaman pangan. Singkat kata,
mikroba menjadi sumber dan penghantar nutrisi bagi beragam komoditas.
Mari lihat padi di sawah Suta Sentana, petani di Pagaden, Kabupaten Subang, Jawa Barat Tanaman hijau
royo-royo ketika muda. Menjelang panen bulir padi bernas berwarna kuning keemasan. Suta membawa pulang
8 ton gabah kering giling dan lahan 1 ha. Itu jelas peningkatan fantastis. Bandingkan dengan produksi
pacli ketika ia belum menggunakan pupuk berbasis
mikroba: 5 ton per ha. Mulai Januari 2008 Ia menggunakan pupuk berbasis mikroba dikombinasikan
dengan pupuk anorganik. Sejak itu pula lonjakan produksi di lahan Suta tenjadi.
Pemiskinan
Pupuk berbasis mikroba yang digunakan Suta itu disebut pupuk hayati atau pupuk hidup.
Disebut demikian karena mikroba di dalam pupuk merupakan makhluk hidup. Ada pula yang menyebut pupuk
organik karena hasil budidaya itu merupakan komoditas organik. Keruan saja, pupuk hayati bukan hanya
meningkatkan hasil panen. Ia turut berjasa menghemat yang Suta. Sejak menggunakan pupuk hayath,
Suta mengurangi penggunaan pupuk kimia atau anorganik hingga separuhnya, 150 kg.
Biasanya untuk lunasan 1 ha Ia memenlukan 300—450 kg pupuk.
Jika semakin banyak petani seperti Suta yang menggunakan pupuk hayati atau organik,
penghematan besar-besaran tentu tenjadi. Mengapa? Petani kita menggunakan pupuk bersubsidi.
Jika saat ini harga Urea Rpl.250 per kg, harga sebetulnya adalah Rp3.250. Jadi yang Rp2.000 itu
disubsidi pemerintah. Padahal, kebutuhan pupuk mencapai 8,5-juta ton per tahun termasuk
5,5-juta ton Urea. ltulah sebabnya pemerintah menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk
mensubsidi pupuk.
Subsidi pupuk itu menjadi kebijakan pemerintah sejak 1970. Ketika itu pemerintah mencanangkan
program swasembada pangan. Untuk meningkatkan produksi tanaman, salah satu elemen terpenting
adalah penggunaan pupuk kimia. Dalam 3 tahun terakhir saja, dana subsidi itu terus membumbung.
Dana itu bakal kian berlipat-lipat selama pemerintah menetapkan kebijakan subsidi pupuk. Sayangnya,
kebjakan itu kurang mendidik petani. Tanpa disadari kebijakan itu justru mendorong petani
boros menggunakan pupuk. Akhirnya petani jor-joran karena harga pupuk sangat murah,
petani tak peduli dengan jumlah. Penggunaan berlebihan itu juga karena adanya anggapan yang keliru.
Banyak petani berpikir, ketika pemberian pupuk ditingkatkan jumlahnya, maka produksi pun bakal
melonjak secara linier.
Mata telanjang tak mungkin mampu melihat keberadaan mikrobakarena ukurannya memang teramat mungil.
Namun, jasa makhluk kecil itu sangat besar. Di lahan-lahan pertanian, mikroba berperan memperbaiki
tekstur tanah yang rusak. Jasad renik itu membantu meningkatkan produksi beragam
komoditas: tanaman hias, buah-buahan, sayuran, perkebunan, juga tanaman pangan. Singkat kata,
mikroba menjadi sumber dan penghantar nutrisi bagi beragam komoditas.
Mari lihat padi di sawah Suta Sentana, petani di Pagaden, Kabupaten Subang, Jawa Barat Tanaman hijau
royo-royo ketika muda. Menjelang panen bulir padi bernas berwarna kuning keemasan. Suta membawa pulang
8 ton gabah kering giling dan lahan 1 ha. Itu jelas peningkatan fantastis. Bandingkan dengan produksi
pacli ketika ia belum menggunakan pupuk berbasis
mikroba: 5 ton per ha. Mulai Januari 2008 Ia menggunakan pupuk berbasis mikroba dikombinasikan
dengan pupuk anorganik. Sejak itu pula lonjakan produksi di lahan Suta tenjadi.
Pemiskinan
Pupuk berbasis mikroba yang digunakan Suta itu disebut pupuk hayati atau pupuk hidup.
Disebut demikian karena mikroba di dalam pupuk merupakan makhluk hidup. Ada pula yang menyebut pupuk
organik karena hasil budidaya itu merupakan komoditas organik. Keruan saja, pupuk hayati bukan hanya
meningkatkan hasil panen. Ia turut berjasa menghemat yang Suta. Sejak menggunakan pupuk hayath,
Suta mengurangi penggunaan pupuk kimia atau anorganik hingga separuhnya, 150 kg.
Biasanya untuk lunasan 1 ha Ia memenlukan 300—450 kg pupuk.
Jika semakin banyak petani seperti Suta yang menggunakan pupuk hayati atau organik,
penghematan besar-besaran tentu tenjadi. Mengapa? Petani kita menggunakan pupuk bersubsidi.
Jika saat ini harga Urea Rpl.250 per kg, harga sebetulnya adalah Rp3.250. Jadi yang Rp2.000 itu
disubsidi pemerintah. Padahal, kebutuhan pupuk mencapai 8,5-juta ton per tahun termasuk
5,5-juta ton Urea. ltulah sebabnya pemerintah menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk
mensubsidi pupuk.
Subsidi pupuk itu menjadi kebijakan pemerintah sejak 1970. Ketika itu pemerintah mencanangkan
program swasembada pangan. Untuk meningkatkan produksi tanaman, salah satu elemen terpenting
adalah penggunaan pupuk kimia. Dalam 3 tahun terakhir saja, dana subsidi itu terus membumbung.
Dana itu bakal kian berlipat-lipat selama pemerintah menetapkan kebijakan subsidi pupuk. Sayangnya,
kebjakan itu kurang mendidik petani. Tanpa disadari kebijakan itu justru mendorong petani
boros menggunakan pupuk. Akhirnya petani jor-joran karena harga pupuk sangat murah,
petani tak peduli dengan jumlah. Penggunaan berlebihan itu juga karena adanya anggapan yang keliru.
Banyak petani berpikir, ketika pemberian pupuk ditingkatkan jumlahnya, maka produksi pun bakal
melonjak secara linier.