spirit
Mod
Rugikan Rakyat, Siap-Siap Akan Panen Gugatan
Susi Fatimah. Senin, 9 Mei 2011 - 08:06 wib
SEPERTINYA, DPR dan pemerintah tetap akan menggolkan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen meski banyak mendapat penolakan dari masyarakat, terutama kalangan aktivis menyangkut sejumlah kewenangan.
Dijadwalkan, usai reses awal pekan ini, DPR dan pemerintah akan menggenjot pembahasan untuk mengejar target bulan Juli mendatang diketok palu. Sejumlah LSM menilai, RUU Intelijen ini syarat kontroversi karena hanya akan mengembalikan Badan Intelijen Negara (BIN) ke masa Orde Baru, yang punya kewenangan luas layaknya lembaga penegak hukum, seperti menangkap tanpa izin pengadilan dan melakukan penyadapan.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar menilai apabila DPR tetap ngotot mengesahkan RUU Intelijen ke depan akan menimbulkan banyak masalah. Hal ini karena, lanjutnya, RUU tersebut banyak bertentangan dengan perundang-undangan yang ada, sehingga ke depan akan semakin banyak gugatan terhadap undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan ini akan menghabiskan waktu dan biaya yang tidak kecil.
“Konsekuensinya akan ada banyak pihak yang akan menggugat ke MK, secara prosedural ini makan biaya dan makan waktu. Jadi sebaiknya tidak usah terlalu konyol dalam membahas RUU Intelijen ini,” kata Haris kepada okezone, baru-baru ini.
Salah satu hal yang dikhawatirkan menimbulkan banyak gugatan salah satunya adalah kewenangan penyadapan yang diberikan kepada BIN tanpa melalui izin pengadilan. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, bila setelah RUU tersebut disahkan kemudian masyarakat merasa hak konstitusionalnya dilanggar dapat mengajukan gugatan ke MK.
“Kita lihat nanti isi undang-undangnya, dari kewenangan penyadapan itu eksesif atau tidak dan bisa melanggar konstitusi atau tidak. Tetapi prinsipnya negara itu boleh melakukan penyadapan asal diatur undang-undang termasuk Undang-Undang Intelijen, termasuk juga bisa dilakukan oleh Undang-Undang Kominfo kalau Menkominfo mau memasukkan, termasuk juga oleh Undang-Undang KPK itu boleh saja,” kata Mahfud.
Hal yang sama diungkapkan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar dalam rapat kerja bersama Komisi I beberapa waktu lalu mengatakan kewenangan penyadapan BIN perlu dilindungi undang-undang untuk meminimalisasi tindakan intelijen ang sewenang-wenang dan melanggar HAM. “Dengan adanya undang-undang ini, BIN akan mampu melakukan kordinasi lebih baik,” ujar Patrialis.
Sehingga, Patrialis yakin kewenangan BIN dalam hal penyadapan dan kewenangan lainnya yang dicantumkan dalam UU Intelijen nantinya tak akan melanggar HAM. "Justru dengan adanya transparansi di dalam penyadapan, maka kekhawatiran kesewenangan pelanggaran HAM akan teratasi. Buat apa kita kucing-kucingan. Nah kalau ada pun intersepsi, gini lho penyadapan," ujarnya.
Termasuk menyadap komunikasi yang dilakukan penyelenggara negara, diyakini Patrialis, hal itu sah-sah saja dilakukan. "Kalau memang urgent dan dibutuhkan maka terserah BIN kita tidak bisa mengendalikan. Pemerintahan ini kan luas. Apa ada jaminan semua penyelenggara negara ini bagus, kan enggak juga. Jadi sebetulnya maksudnya itu baik," jelasnya.
Kendati demikian mekanisme penyadapan ini tetap harus memperhatikan adanya indikasi sebuah ancaman untuk stabilitas keamanan negara. Jika tidak, tentu BIN tidak akan sembarangan melakukan penyadapan. "Pro-kontra itu biasa. Demokrasi itu kalau tidak ada pro-kontra tidak jadi. Pemerintah memang menginginkan adanya intersepsi komunikasi dari yang namanya badan intelijen. Kalau dia tidak memiliki kewenangan penyadapan bagaimana mungkin dia memperoleh informasi sedangkan intelijen ini salah satu tugasnya mencari dan menggali sejauh mungkin informasi-informasi," paparnya.
Dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang kewenangan intelijen ini, lanjut dia, justru bisa diatur sedemikian rupa tentang bagaimana penyadapan serta tidak boleh menyadap sembarangan tanpa aturan. "Nanti juga ada yang ngawasi, DPR. DPR kan lembaga pengawas resmi. Masak kita mau bikin lembaga-lembaga lagi," tutupnya.
Anggapan adanya penyalahgunaan UU Intelijen tersebut tidak perlu dikhawatirkan juga dilontarkan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutanto. Menurutnya penyadapan akan dilakukan untuk kepentingan keamanan negara. Penyadapan dilakukan kepada mereka yang dinilai terlibat dalam tindak kejahatan.
"Penyadapan ini kan untuk tindakan yang bisa menganggu keamanan. Tentu akan diarahkan kepada mereka yang diperkirakan terlibat tindakan kejahatan. Masyarakat tidak perlu khawatir karena tidak sembarangan," katanya di sela-sela rapat Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Pagu Indikatif 2012 di Istana Bogor beberapa waktu lalu.
Penyadapan yang dilakukan intelijen, sambung Sutanto, berbeda dengan cara kerja kepolisian. Polisi, kata Sutanto melakukan penyadapan setelah terindikasi tindakan kejahatan dan melalui izin hakim. Sementara, intelijen melakukan penyadapan terhadap orang yang diduga melakukan tindakan kejahatan tanpa izin hakim. Namun data yang diperoleh intelijen akan diserahkan kepada kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan pengadilan.
"Intelijen kan mewaspadai giat-giat yang akan terjadi, jadi belum bisa diketahui orang-orangnya. Untuk kepentingan persidangan, nanti data intelijen akan diserahkan ke kepolisian dan tentunya nanti mengikuti cara-cara itu (minta izin hakim). Jadi semuanya terukur dan bila diketahui ada penyimpangan baru kemudian diserahkan ke proses hukum," tambahnya.
Mantan Kapolri itu juga menambahkan UU Intelijen tersebut terukur untuk tindakan dalam rangka keamanan nasional. DPR, lanjut Sutanto, juga tidak akan sembarangan dalam membuat UU. “Sehingga tindakan intelijen dalam rangka keamanan nasional dan itu kan dalam UU sudah ada langkah-langkah. Tentu DPR tidak sembarangan dalam membuat UU,” tandasnya.
sumber: okezone.com
Susi Fatimah. Senin, 9 Mei 2011 - 08:06 wib
SEPERTINYA, DPR dan pemerintah tetap akan menggolkan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen meski banyak mendapat penolakan dari masyarakat, terutama kalangan aktivis menyangkut sejumlah kewenangan.
Dijadwalkan, usai reses awal pekan ini, DPR dan pemerintah akan menggenjot pembahasan untuk mengejar target bulan Juli mendatang diketok palu. Sejumlah LSM menilai, RUU Intelijen ini syarat kontroversi karena hanya akan mengembalikan Badan Intelijen Negara (BIN) ke masa Orde Baru, yang punya kewenangan luas layaknya lembaga penegak hukum, seperti menangkap tanpa izin pengadilan dan melakukan penyadapan.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar menilai apabila DPR tetap ngotot mengesahkan RUU Intelijen ke depan akan menimbulkan banyak masalah. Hal ini karena, lanjutnya, RUU tersebut banyak bertentangan dengan perundang-undangan yang ada, sehingga ke depan akan semakin banyak gugatan terhadap undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan ini akan menghabiskan waktu dan biaya yang tidak kecil.
“Konsekuensinya akan ada banyak pihak yang akan menggugat ke MK, secara prosedural ini makan biaya dan makan waktu. Jadi sebaiknya tidak usah terlalu konyol dalam membahas RUU Intelijen ini,” kata Haris kepada okezone, baru-baru ini.
Salah satu hal yang dikhawatirkan menimbulkan banyak gugatan salah satunya adalah kewenangan penyadapan yang diberikan kepada BIN tanpa melalui izin pengadilan. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, bila setelah RUU tersebut disahkan kemudian masyarakat merasa hak konstitusionalnya dilanggar dapat mengajukan gugatan ke MK.
“Kita lihat nanti isi undang-undangnya, dari kewenangan penyadapan itu eksesif atau tidak dan bisa melanggar konstitusi atau tidak. Tetapi prinsipnya negara itu boleh melakukan penyadapan asal diatur undang-undang termasuk Undang-Undang Intelijen, termasuk juga bisa dilakukan oleh Undang-Undang Kominfo kalau Menkominfo mau memasukkan, termasuk juga oleh Undang-Undang KPK itu boleh saja,” kata Mahfud.
Hal yang sama diungkapkan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar dalam rapat kerja bersama Komisi I beberapa waktu lalu mengatakan kewenangan penyadapan BIN perlu dilindungi undang-undang untuk meminimalisasi tindakan intelijen ang sewenang-wenang dan melanggar HAM. “Dengan adanya undang-undang ini, BIN akan mampu melakukan kordinasi lebih baik,” ujar Patrialis.
Sehingga, Patrialis yakin kewenangan BIN dalam hal penyadapan dan kewenangan lainnya yang dicantumkan dalam UU Intelijen nantinya tak akan melanggar HAM. "Justru dengan adanya transparansi di dalam penyadapan, maka kekhawatiran kesewenangan pelanggaran HAM akan teratasi. Buat apa kita kucing-kucingan. Nah kalau ada pun intersepsi, gini lho penyadapan," ujarnya.
Termasuk menyadap komunikasi yang dilakukan penyelenggara negara, diyakini Patrialis, hal itu sah-sah saja dilakukan. "Kalau memang urgent dan dibutuhkan maka terserah BIN kita tidak bisa mengendalikan. Pemerintahan ini kan luas. Apa ada jaminan semua penyelenggara negara ini bagus, kan enggak juga. Jadi sebetulnya maksudnya itu baik," jelasnya.
Kendati demikian mekanisme penyadapan ini tetap harus memperhatikan adanya indikasi sebuah ancaman untuk stabilitas keamanan negara. Jika tidak, tentu BIN tidak akan sembarangan melakukan penyadapan. "Pro-kontra itu biasa. Demokrasi itu kalau tidak ada pro-kontra tidak jadi. Pemerintah memang menginginkan adanya intersepsi komunikasi dari yang namanya badan intelijen. Kalau dia tidak memiliki kewenangan penyadapan bagaimana mungkin dia memperoleh informasi sedangkan intelijen ini salah satu tugasnya mencari dan menggali sejauh mungkin informasi-informasi," paparnya.
Dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang kewenangan intelijen ini, lanjut dia, justru bisa diatur sedemikian rupa tentang bagaimana penyadapan serta tidak boleh menyadap sembarangan tanpa aturan. "Nanti juga ada yang ngawasi, DPR. DPR kan lembaga pengawas resmi. Masak kita mau bikin lembaga-lembaga lagi," tutupnya.
Anggapan adanya penyalahgunaan UU Intelijen tersebut tidak perlu dikhawatirkan juga dilontarkan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutanto. Menurutnya penyadapan akan dilakukan untuk kepentingan keamanan negara. Penyadapan dilakukan kepada mereka yang dinilai terlibat dalam tindak kejahatan.
"Penyadapan ini kan untuk tindakan yang bisa menganggu keamanan. Tentu akan diarahkan kepada mereka yang diperkirakan terlibat tindakan kejahatan. Masyarakat tidak perlu khawatir karena tidak sembarangan," katanya di sela-sela rapat Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Pagu Indikatif 2012 di Istana Bogor beberapa waktu lalu.
Penyadapan yang dilakukan intelijen, sambung Sutanto, berbeda dengan cara kerja kepolisian. Polisi, kata Sutanto melakukan penyadapan setelah terindikasi tindakan kejahatan dan melalui izin hakim. Sementara, intelijen melakukan penyadapan terhadap orang yang diduga melakukan tindakan kejahatan tanpa izin hakim. Namun data yang diperoleh intelijen akan diserahkan kepada kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan pengadilan.
"Intelijen kan mewaspadai giat-giat yang akan terjadi, jadi belum bisa diketahui orang-orangnya. Untuk kepentingan persidangan, nanti data intelijen akan diserahkan ke kepolisian dan tentunya nanti mengikuti cara-cara itu (minta izin hakim). Jadi semuanya terukur dan bila diketahui ada penyimpangan baru kemudian diserahkan ke proses hukum," tambahnya.
Mantan Kapolri itu juga menambahkan UU Intelijen tersebut terukur untuk tindakan dalam rangka keamanan nasional. DPR, lanjut Sutanto, juga tidak akan sembarangan dalam membuat UU. “Sehingga tindakan intelijen dalam rangka keamanan nasional dan itu kan dalam UU sudah ada langkah-langkah. Tentu DPR tidak sembarangan dalam membuat UU,” tandasnya.
sumber: okezone.com