nurcahyo
New member
REPFED: Produk Teknologi Pangan
Keinginan manusia untuk mendapatkan makanan yang berkualitas rupanya tak pernah terpuaskan. Dibatasi oleh kesulitan untuk senantiasa menyiapkan dan menyantap makanan segar, manusia mengembangkan berbagai produk pangan awetan. Berbagai teknologi pengolahan pangan yang baru terus bermunculan. Trend terakhir menunjukkan adanya kebutuhan akan makanan awetan yang memiliki kualitas tak kalah dari makanan segar.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menyiapkan makanan berkualitas tinggi dengan tingkat pengolahan, penggunaan bahan pengawet dan waktu persiapan seminimal mungkin. Kebutuhan ini merupakan tantangan bagi para ahli teknologi pangan untuk dapat melahirkan suatu bentuk teknologi baru.
Salah satu produk pangan hasil teknologi baru yangnampaknya mampu menjawab kebutuhan tersebut adalah REPFED (refrigerated processed foods of extended durability). Secara kualitatif, produk REPFED dianggap lebih baik dari produk pangan awetan (makanan kaleng) dan makanan yang dimasak secara konvensional (Trends in Food Science & Technology, June 1997).
Produk REPFED ini diolah (baca: dimasak) pada suhu yang relatif rendah 65-95 ?C, kemudian segera didinginkan dan disimpan dalam lemari es (refrigerator) pada suhu 1-8 ?C. Penggunaan suhu rendah tersebut dimaksudkan untuk memaksimalkan kualitas citarasa produk - yang cenderung menurun pada pengolahan dengan temperatur yang lebih tinggi. Tentu saja produk pangan ini tidak steril (bebas mikroba) dan umur simpannya (shelf life) tergantung perlakuan pemanasan dan pendinginan yang dilakukan, serta karakter bahan pangannya sendiri (seperti: derajad keasaman dan aktivitas air). Namun secara umum produk REPFED mampu bertahan selama sekitar 42 hari.
Biasanya REPFED disiapkan dalam salah satu dari tiga cara berikut ini: (1) seluruh bahan dikemas dalam kantung tahan panas (heat-stable) kemudian di-vacuum, kemudian kantung ditutup rapat dan akhirnya dipanaskan; (2) masing-masing bahan dimasak secara terpisah baru kemudian dikemas; atau (3) seluruh bahan dimasak bersama, kemudian dikemas dan terakhir dipanaskan lagi.
Seperti telah disinggung di atas, produk REPFED memang tidak steril. Salah satu risiko keamanan konsumsinya adalah pertumbuhan bakteri Clostridium botulinum.
Namun demikian, ACMSF (the Advisory Committee on the Microbiological Safety of Food) - sebuah badan penasihat keamanan mikrobiologi pangan di Amerika Serikat, berhasil merekomendasikan beberapa prosedur pengolahan yang dapat menjamin keamanan produk REPFED, khususnya terhadap C. botulinum.
Beberapa prosedur yang direkomendasikan antara lain: (1) penyimpanan pada suhu kurang dari 3,3 ?C; (2) penyimpanan pada suhu 5 ?C atau kurang dengan umur simpan tak melampaui 10 hari; (3) penyimpanan pada suhu antara 5~10 ?C dengan umur simpan tak lebih dari 5 hari; (4) penyimpanan pada suhu rendah (1~3 ?C) dikombinasi dengan pemanasan 90 ?C selama 10 menit; (5) penyimpanan pada suhu rendah (1~3 ?C) dengan derajad keasaman produk kurang dari 5; dan (6) penyimpanan pada suhu rendah (1~3 ?C) dengan konsentrasi garam lebih dari 3,5%. (BW)
Sumber : Seri Iptek Pangan Volume 1: Teknologi, Produk, Nutrisi & Kemanan Pangan, Jurusan Teknologi Pangan - Unika Soegijapranata, Semarang
Keinginan manusia untuk mendapatkan makanan yang berkualitas rupanya tak pernah terpuaskan. Dibatasi oleh kesulitan untuk senantiasa menyiapkan dan menyantap makanan segar, manusia mengembangkan berbagai produk pangan awetan. Berbagai teknologi pengolahan pangan yang baru terus bermunculan. Trend terakhir menunjukkan adanya kebutuhan akan makanan awetan yang memiliki kualitas tak kalah dari makanan segar.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menyiapkan makanan berkualitas tinggi dengan tingkat pengolahan, penggunaan bahan pengawet dan waktu persiapan seminimal mungkin. Kebutuhan ini merupakan tantangan bagi para ahli teknologi pangan untuk dapat melahirkan suatu bentuk teknologi baru.
Salah satu produk pangan hasil teknologi baru yangnampaknya mampu menjawab kebutuhan tersebut adalah REPFED (refrigerated processed foods of extended durability). Secara kualitatif, produk REPFED dianggap lebih baik dari produk pangan awetan (makanan kaleng) dan makanan yang dimasak secara konvensional (Trends in Food Science & Technology, June 1997).
Produk REPFED ini diolah (baca: dimasak) pada suhu yang relatif rendah 65-95 ?C, kemudian segera didinginkan dan disimpan dalam lemari es (refrigerator) pada suhu 1-8 ?C. Penggunaan suhu rendah tersebut dimaksudkan untuk memaksimalkan kualitas citarasa produk - yang cenderung menurun pada pengolahan dengan temperatur yang lebih tinggi. Tentu saja produk pangan ini tidak steril (bebas mikroba) dan umur simpannya (shelf life) tergantung perlakuan pemanasan dan pendinginan yang dilakukan, serta karakter bahan pangannya sendiri (seperti: derajad keasaman dan aktivitas air). Namun secara umum produk REPFED mampu bertahan selama sekitar 42 hari.
Biasanya REPFED disiapkan dalam salah satu dari tiga cara berikut ini: (1) seluruh bahan dikemas dalam kantung tahan panas (heat-stable) kemudian di-vacuum, kemudian kantung ditutup rapat dan akhirnya dipanaskan; (2) masing-masing bahan dimasak secara terpisah baru kemudian dikemas; atau (3) seluruh bahan dimasak bersama, kemudian dikemas dan terakhir dipanaskan lagi.
Seperti telah disinggung di atas, produk REPFED memang tidak steril. Salah satu risiko keamanan konsumsinya adalah pertumbuhan bakteri Clostridium botulinum.
Namun demikian, ACMSF (the Advisory Committee on the Microbiological Safety of Food) - sebuah badan penasihat keamanan mikrobiologi pangan di Amerika Serikat, berhasil merekomendasikan beberapa prosedur pengolahan yang dapat menjamin keamanan produk REPFED, khususnya terhadap C. botulinum.
Beberapa prosedur yang direkomendasikan antara lain: (1) penyimpanan pada suhu kurang dari 3,3 ?C; (2) penyimpanan pada suhu 5 ?C atau kurang dengan umur simpan tak melampaui 10 hari; (3) penyimpanan pada suhu antara 5~10 ?C dengan umur simpan tak lebih dari 5 hari; (4) penyimpanan pada suhu rendah (1~3 ?C) dikombinasi dengan pemanasan 90 ?C selama 10 menit; (5) penyimpanan pada suhu rendah (1~3 ?C) dengan derajad keasaman produk kurang dari 5; dan (6) penyimpanan pada suhu rendah (1~3 ?C) dengan konsentrasi garam lebih dari 3,5%. (BW)
Sumber : Seri Iptek Pangan Volume 1: Teknologi, Produk, Nutrisi & Kemanan Pangan, Jurusan Teknologi Pangan - Unika Soegijapranata, Semarang