Rita di Opera

Kalina

Moderator
Cerpen Dina Oktaviani
Aleyah dan Carlo memasuki gedung pertunjukan sepuluh menit sebelum opera dimulai.

"Aku ingat Rita," Carlo berkata.

Aleyah terdiam, tetap mempertahankan senyum plastis dan tatapan lurusnya, namun sesuatu di balik matanya mengembara amat jauh.

Di dalam ruangan, banyak mata yang telah terbiasa dalam gelap segera tertuju kepada pasangan yang sedang berjalan hati-hati di antara deret-deret kursi. Pasangan gaun hitam dan jas butut. Di belakang mereka, seorang wanita berjalan mengikuti irama dua orang di depannya sambil menyorotkan lampu senter ke bawah-depan. Apa yang dikenakannya tidak penting.

Tak lama kemudian tibalah pasangan itu di kursi paling depan: khusus undangan kehormatan. Wanita yang mengikuti mereka mengucapkan hal-hal tidak perlu dengan maksud basa-basi ramah-tamah kemudian berjalan cepat ke arah pintu masuk kembali.

Seisi ruangan mulai berisik. Kasak-kusuk tak terhindarkan demi adegan pra-pertunjukan tersebut.

"Bagaimana mungkin ia datang bersama gadis kemarin sore itu?"

"Di kursi kehormatan bersama perempuan dari dunia lain?"

"Jadi benar gosip itu?"

Sementara di deretan terhormat sang wanita bergaun hitam, Aleyah, mengeluh kepada kekasihnya.

"Aku merasa tidak nyaman berada terlalu dekat dengan panggung."

Dan sesaat setelah kalimat itu diucapkannya, seorang wanita setengah baya, dengan perawakan yang perkasa, menghampiri dan menegur mereka tiba-tiba, mengatakan bahwa dialah yang lebih berhak atas kursi Aleyah sambil mengacungkan selembar undangan. Wanita perkasa itu berhenti bicara sebentar ketika menyadari siapa pasangan Aleyah, kemudian justru lebih gesit lagi mengusir Aleyah.

"Ayo ke balkon, Carlo. Pasti ada hal buruk terjadi jika aku merasa tidak nyaman," kata Aleyah segera setelah wanita di hadapannya benar-benar berhenti bicara kepadanya. Carlo diam saja. Aleyah bangkit dan mulai berjalan. Carlo mengikutinya, tak peduli pada permintaan maaf yang berkali-kali dilontarkan wanita pemilik kursi terhormat di belakangnya, yang suaranya terdengar kecewa.

Hak sepatu Aleyah bergerak cepat melintasi kembali jalan di antara deretan-deretan kursi, bunyinya teredam lapisan karpet pada lantai gedung, menciptakan suasana surgawi, alam mimpi, separuh nyata. Pasti ada hal buruk terjadi!

Balkon telah lebih dulu penuh. Namun Carlo dengan mudah menyingkirkan dua orang dari kursi-kursi terbaik di balkon, dengan reputasi dan kedudukannya di dunia kesenian saat itu, di lingkungan itu. Aleyah duduk dengan nyaman setelah mengucapkan terima kasih seperlunya kepada orang yang mengalah untuknya, dan kepada orang yang mengalah untuk Carlo.

Bertepatan dengan terbukanya layar panggung, air mata jatuh di wajah Aleyah, namun bibirnya berusaha terus tersenyum. Seluruh dunia telah menjauh darinya, seluruh citra atas dirinya telah direduksi secara massif. Dia hanya seorang gadis sekarang, yang jatuh cinta dan hidup untuk menanggung seluruh risikonya. Ketika isakan pertama yang tak mampu ditahan oleh Aleyah terdengar, Carlo meremas telapak tangan Aleyah dan berbisik, "Maafkan aku." Dan Aleyah tak bergerak sedikit pun.

Pertunjukan dimulai. Carlo berusaha tak peduli sedikit pun pada ketidakbergerakan Aleyah --lebih jelasnya, hal itu tak mengurangi rasa cinta serta penderitaannya. Aleyah masih sangat muda, 20 tahun usianya, dipenuhi banyak bakat namun justru membuatnya seperti orang yang tak mengerjakan apa-apa: semuanya dia kerjakan. Sebelum hubungannya dengan Carlo secara tidak langsung membuatnya tersingkir dari berbagai lingkungan, dia membuat film, mengelola perpustakaan, mengurus pengajian, berbisnis jahe, sampai terjun ke politik. Sekolahnya ditinggalkan, minatnya terhadap filsafat dan pemikiran menggunung. Namun, di atas semuanya, Aleyah sesungguhnya seorang penyair yang baik.

Carlo seorang aktor, juga sutradara terkenal, paling terkenal di usianya (29 tahun). Muda, keras kepala, berhidung mancung, garapannya kontemporer, agak miskin pula. Istrinya, seorang aktris --juga nomor satu, sudah setahun diceraikannya secara ilegal. Ketika karir Carlo sedang tidak begitu baik belakangan ini, karir wanita itu justru berada di puncaknya secara profesional. Kenyataan itu kadang menyenangkan bagi Carlo, karena ia dapat berkata: "Itulah mengapa kuceraikan dia: segalanya menjadi lebih mudah dan lebih baik baginya."

Namun, seluruh dunia tidak percaya dengan gagasan itu. Nyata-nyata Rita yang berusia lebih tua daripada Carlo hanya sibuk bekerja keras sekarang, dan tak punya pacar. Meski itu terjadi mungkin karena dia tidak terlalu cantik dan sudah mulai tua.

"Tapi ini dunia modern, di mana semua orang berzina dan membaca koran. Pasti ada seseorang yang ingin tidur dengan orang yang sering masuk koran," demikian pikiran gila lain lagi dari Carlo yang sebagian ia kutip dari Camus.

Aleyah jatuh cinta pada Carlo bukan karena gagasan-gagasan semacam itu. Bahkan itu justru sering membuatnya merasa risih, karena, meskipun amat tertarik dan menekuni dunia sekuler, tradisi keluarga Aleyah yang Islami masih cukup memengaruhi pandangannya terhadap cara hidup, atau citra diri di masyarakat. Lebih-lebih, Aleyah merasa Carlo mengatakan hal semacam itu hanya sebagai pertunjukan kepintaran yang artifisial mengingat karakter Carlo yang cenderung intuitif.

Aleyah jatuh cinta pada Carlo pada sebuah pertunjukan teater setahun yang lalu, tanpa alasan. Malam itu Carlo menjadi pemeran utama dalam pentas Umang-Umang karya Arifin C. Noer. Dalam riasan tua, Carlo begitu memesona bagi Aleyah.

Usai pertunjukan, Aleyah menunggu pacarnya menjemput di bawah pohon di halaman parkir. Lama dia menunggu, namun Carlolah yang muncul, menemui beberapa orang di luar kemudian bercakap-cakap. Rambutnya yang panjang dan ikal telah diikat kembali, berwarna hitam. Wajahnya bersih, pakaiannya santai, sesantai seniman.

Pada waktu itu tiba-tiba Aleyah lupa akan pacarnya. Dia merasa, amat merasa, bahwa Carlo memperhatikannya sesekali di tengah percakapannya dengan orang-orang itu. Malam itu Carlo tidak terlihat bandel, kebiasaannya mengejar wanita pun bagai terpenggal seketika. Namun Aleyah tak punya kesempatan lagi untuk memperhatikan semua itu ketika pacarnya tiba dan mengantarnya pulang.

Malam itu, ketika tidur sendirian, Aleyah bermimpi Carlo mendatangi rumahnya. Kemudian mereka saling mengenali wajah, lalu berkenalan. Waktu begitu cepat untuk sampai pada percakapan dan kehangatan, dan begitu lambat mengakhirinya. Namun, ketika terbangun, Aleyah merasa pertemuan itu terlalu singkat. Maka dia memutuskan untuk kembali tidur. Seperti kebiasaan istimewanya, Aleyah terjatuh ke dalam mimpi yang sama, melanjutkan cerita sebelumnya. Pada kesempatan ini, Aleyah mengajukan pertanyaan kepada Carlo: "Untuk apa kau datang ke rumahku?"

"Sudah kubilang, aku mencari Ali. Aku tidak tahu kau pacarnya. Tapi, aku yakin akan bertemu denganmu."

Kemudian mereka berciuman dan saling memeluk. Adegan itu membuat Aleyah merasa lelah. Ketika bangun dia merasakan ketegangan yang luar biasa di bagian-bagian peka pada tubuhnya.

"Kau datang untukku," katanya setengah berbisik, kepada dirinya sendiri.

Pagi itu juga, setelah menyelesaikan masturbasinya, Aleyah menceritakan mimpinya kepada Ali, dan Ali tahu sesuatu pasti terjadi, hal yang buruk baginya. Ada sebuah kekuatan yang mendukung setiap kehendak Aleyah, tidak pernah meleset. Seperti sinergi alam semesta yang tunduk kepada keanggunan mimpi-mimpi Aleyah. Tidak seorang pun, tidak pula dirinya, pikir Ali, dapat mengganggu perwujudan kehendak Aleyah.

Sebenarnya hal itu terjadi karena Aleyah selalu berusaha amat keras --tidak ada yang dapat meragukan kegigihannya, namun keberhasilannya selalu menimbulkan nuansa yang mistis. Seakan Walid --ayah Aleyah-- berada di belakang semua kekuatan itu. Namun, tak ada yang benar-benar mengenal Walid, bahkan Aleyah sendiri. Kabar burung yang beredar, orang tua itu diasingkan ke sebuah negeri karena menyebarkan ajaran yang kontroversial, ia memiliki sebuah sekte terlarang. Ummi --ibu Aleyah-- sendiri, seorang muslim biasa: taat dan tidak banyak bergaul.

Begitulah, setelah memutuskan Ali, Aleyah mendatangi kembali gedung pertunjukan tadi malam. Dia bertemu Carlo, yang baru saja menceraikan Rita secara lisan untuk alasan yang paling spontan --tidak lagi mencintainya-- namun tak akan berhasil bagi pasangan Katolik. Wajah Carlo kusut, dan raut Aleyah penuh rasa bersalah. Mereka mulai saling menyapa di kafetaria, dan hubungan dimulai, seperti sebuah puisi:

siapa butuh cinta di tengah kebahagiaan
aku mencintaimu karena menderita
dan mencinta penderitaan
hanya karena darimu ia bermula

---
Rita yang menderita karena kehilangan cinta berada di atas panggung malam itu. Di babak kedua, dengan gaun surgawinya, dewi itu turun dengan sebuah mesin --deus ex machina. Suaranya tinggi dan melengking --seperti kabar yang disebarkannya tentang kekasih baru (mantan) suaminya, pikir Aleyah. Pikiran itu membuat Aleyah bangkit dari kursinya, mencengkeramkan kedua tangannya pada pagar balkon. Tubuhnya membungkuk, nafasnya seperti mau habis, lemah, dan galau. Carlo telah berada di sampingnya ketika Aleyah mulai menceracau:

"Aku bukan penyihir! Setiap bangsat punya caranya sendiri. Aku --aku mencintaimu. Itu caraku."

Suara itu tidak akan terdengar lebih jauh, tetapi dewi di panggung opera telah ambruk seketika. Tak ada improvisasi dalam opera, lampu panggung segera padam, lampu penonton sebaliknya. Kematian Rita segera dipastikan. Seolah tubuh Aleyah adalah gema bagi kata-katanya yang getir, semua orang memandanginya sekarang, dari dekat dan dari jauh.

Semangat modern dunia kesenian saat itu seketika digantikan dengan kisah kematian Rita yang mistis. Media massa mengakomodasi sub-selera itu secara berlebihan. Padahal maut sendiri sudah merupakan barang mistis. Aleyah yang rasional punya pertimbangan lain, berdasarkan logika juga konsultasinya dengan dokter forensik kemudian. Rita punya penyakit jantung dan punya masalah dengan ketinggian, dan mesin turun ke panggungnya mencengkeram tubuhnya terlalu keras, terutama di bagian dada. Dia tidak bisa bertahan lebih lama setelah mesin dilepas dari tubuhnya, kecuali sebentar saja, karena motivasi keaktorannya yang besar. Tapi siapa mau mendengar penjelasan yang lebih menyerupai pembenaran itu sekarang?

Carlo. Carlo mau. Dan menikah dengan Aleyah bertahun-tahun. Malam itu Carlo keluar menemani tubuh Aleyah yang kaku menahan beban hati dan pikirannya, juga pikiran orang banyak.

Dan malam ini mereka kembali ke gedung pertunjukan yang sama, tanpa selembar undangan kehormatan, langsung menuju balkon dan duduk dengan anggun --pasangan yang renta terlalu cepat.

Ketika lampu mulai dipadamkan, Aleyah berkata tanpa menggerakkan tubuhnya:

"Ya, aku ingat Rita."

Carlo meremas tangan Aleyah dan berbisik, "Aku tidak keberatan." Seperti sebuah puisi:
---
aku berikan harapan ke dalam hari-harimu
sebab tak mungkin menanggungnya sendirian
tubuhmu yang kosong, matamu yang takut
: dunia yang hilang
aku mengharapkan semua yang kaupunya

di jalan yang tak dipahami ini
di ruang yang ditinggalkan orang-orang baik
kau telah jatuh cinta karena menderita
dan karena cinta, akan menderita selamanya

1 Desember 2006
 
Back
Top