FacebookTwitterGoogle+WhatsAppLineTelegramFacebook MessengerEmail
Rizal Ramli menulis untuk Wall Street Journal tentang pandangannya soal elektabilitas Presiden Jokowi untuk Pilpres 2019. Menurut mantan menteri keuangan dan ekonomi ini, Jokowi saat ini menjadi lebih rentan. Perlambatan laju pertumbuhan ekonomi bisa menjadi tantangan terbesarnya melawan Prabowo Subianto.
Oleh: Rizal Ramli (Wall Street Journal)
Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo menunggangi gelombang popularitas beberapa bulan yang lalu, dengan sebagian besar pakar dan lembaga survei memprediksi bahwa Jokowi akan dengan mudah memenangkan pemilihan presiden tahun 2019 untuk masa jabatan kepresidenan selama lima tahun periode kedua dalam bulan April mendatang. Namun, hari ini, dia terlihat semakin rentan karena perlambatan laju pertumbuhan ekonomi.
Hal itu telah mendorong presiden untuk mundur dalam upaya reformasi dan melakukan manuver yang menenangkan pemilih Muslim yang konservatif, gerakan yang mungkin telah membuat situasinya lebih buruk.
Kebijakan-kebijakan penting Widodo selama empat tahun masa kepresidenannya termasuk deregulasi, e-governance, perawatan kesehatan dan subsidi pendidikan untuk orang miskin, dan peningkatan besar-besaran dalam belanja infrastruktur. Penekanan pada infrastruktur akan membantu mengurangi ketidaksetaraan regional dalam jangka panjang, tetapi mengorbankan biaya ekonomi langsung. Ia menerima pujian tidak hanya dari warga Indonesia tetapi juga dari lembaga pemeringkat kredit dan lembaga internasional seperti Bank Dunia.
Pertumbuhan ekonomi telah bertumbuh secara stagnan di tingkat sedikit lebih dari 5 persen sebagian karena langkah-langkah penghematan, dan jajak pendapat nasional baru-baru ini menunjukkan lebih dari 30 persen pemilih belum memutuskan kandidat mana yang akan didukung.
Penantang utamanya, Prabowo Subianto — seorang jenderal purnawirawan yang pernah mencalonkan diri pada pilpres 2014 dan kalah dari Presiden Jokowi sebanyak enam poin— perlahan-lahan semakin populer. Hal itu menimbulkan kekhawatiran di dalam kubu Jokowi.
Kerentanan sang presiden membantu menjelaskan keputusannya pada bulan lalu untuk memilih Ma’ruf Amin, seorang ulama Islam garis keras, sebagai pasangan kandidat wakil presiden yang mendampinginya. Pilihan itu mengejutkan sebagian besar orang Indonesia, tetapi terdapat perhitungan politik dingin di baliknya.
Dengan menempatkan seorang ulama konservatif sebangan pasangan cawapres, Jokowi berusaha mencegah pertentangan warga yang mempertanyakan kepercayaan religiusnya sendiri, seperti yang terjadi dalam pemilihan presiden tahun 2014. Jokowi juga berharap Ma’ruf Amin dapat mempersuasi para pemilih yang konservatif untuk memilih keduanya.
Tetapi, keuntungan itu mungkin tidak akan terwujud, dan pilihan itu bahkan bisa merugikan suara Jokowi. Kaum Islam konservatif cenderung mempertanyakan ketulusan pilihan sang presiden, sementara mayoritas besar pemilih yang berasal dari kalangan moderat akan merasa ragu oleh risiko Amin mendapatkan suara untuk menyusun kebijakan sebagai wakil presiden kelak.
Mayoritas warga moderat memiliki alasan yang tepat untuk merasa khawatir. Amin, seorang cendekiawan Islam berusia 75 tahun, mengepalai Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan memegang posisi kepemimpinan di dalam Nahdlatul Ulama, organisasi Muslim terbesar di Indonesia. Dia memiliki sejarah panjang sebagai pendukung agenda sektarian, termasuk pemberlakuan hukum Syariah.
Amin telah membantu meningkatkan pengaruh Islam di semua partai besar. Dia telah menyebut Ahmadiyah dan Muslim Syiah sebagai “penyimpangan” dan mendukung kampanye untuk membatasi kegiatan mereka. Amin juga melobi untuk membatasi pembangunan tempat ibadah bagi kelompok agama minoritas.
Sebagai kepala MUI pada tahun 2016, Amin memimpin aksi protes melawan Gubernur keturunan China yang terkenal di Indonesia, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Dia menuduh Ahok, seorang pemeluk agama Kristen, telah melakukan penistaan terhadap agama Islam ketika dia mengatakan dalam sebuah kesempatan kampanye, bahwa Al-Qur’an tidak melarang Muslim untuk memilih calon non-Muslim. Pengadilan mencabut Ahok dari jabatan Gubernur Jakarta dan memvonisnya dua tahun hukuman penjara.
Ahok adalah anak didik Jokowi, menjabat sebagai wakil ketika Jokowi merupakan Gubernur Jakarta, dan melanjutkan proses reformasi birokrasi yang dulu dipimpinnya. Aliansi baru presiden merongrong popularitasnya, demikian juga dengan pengagum Ahok, serta komunitas etnis China dan umat Kristen.
Sementara itu, Prabowo membuat keputusan cerdas untuk berpasangan dengan Sandiaga Uno, seorang pengusaha berusia 49 tahun yang kini menjadi politisi. Uno dengan sempurna mengimbangi eksterior tangguh dan kurangnya daya tarik yang dimiliki Prabowo terhadap kalangan pemilih muda.
Kekayaan dan kemudaan Uno belum dapat dikatakan sebagai kekalahan bagi Jokowi. Tidak lama setelah pebisnis tersebut bergabung dalam ajang pilpres, sang presiden mulai mencoba menggambarkan dirinya sebagai politisi “keren.” Dalam video unik yang dirilis oleh tim kampanyenya, seorang pria yang menyerupai Jokowi (yang sebenarnya ialah seorang aktor Thailand) melakukan aksi motor yang berani dalam upacara pembukaan Asian Games 2018. Pada pertemuan Forum Ekonomi Dunia baru-baru ini di Hanoi, Jokowi membahas situasi perdagangan dunia dengan membuat analogi dengan film “Avengers” yang baru-baru ini dirilis.
Jokowi mungkin mahir menggunakan media untuk terhubung dengan pemilih, tetapi tantangan yang dihadapinya tidak dapat diselesaikan dengan pemasaran yang apik. Sebaliknya, pemilihan presiden tahun 2019 akan berkisar pada perlambatan laju pertumbuhan ekonomi.
Kejatuhan Rupiah adalah musuh terbesar Presiden Jokowi. Rupiah telah jatuh ke tingkat yang belum pernah terlihat sebelumnya sejak krisis keuangan Asia tahun 1997-1998. Dengan Federal Reserve kemungkinan akan terus menaikkan suku bunga jangka pendek, tidak ada bantuan yang terlihat. Kecemasan atas perang dagang Trump juga akan terus menimbulkan defisit neraca berjalan bagi ekonomi berkembang seperti Indonesia, yang mengalami tekanan lebih pada mata uang mereka.
Kelemahan Jokowi di bidang ekonomi telah memberikan peluang besar bagi Prabowo-Uno, sehingga tim kampanyenya berfokus pada isu-isu kesejahteraan rakyat. Seandainya masalah inflasi mulai nampak, pemilih yang ragu-ragu dapat memutuskan untuk memberikan kesetiaan mereka kepada pasangan Prabowo-Uni.
Peluang Jokowi untuk memenangkan masa jabatan kedua akan meningkat jika ia mengambil langkah-langkah reformasi yang lebih berani. Pertama, ia perlu meningkatkan iklim investasi, terutama untuk investor asing langsung. Perusahaan Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan mencari sasaran investasi di kawasan selatan karena mereka mulai mengurangi investasi mereka di China sebagai akibat dari perang perdagangan AS-China.
Vietnam, yang memiliki iklim investasi lebih ramah daripada Indonesia, paling diuntungkan dari tren ini. Presiden Jokowi juga perlu menstabilkan Rupiah untuk mengurangi inflasi, khususnya untuk makanan, karena hal ini memiliki dampak terbesar pada sentimen pemilih.
Rizal Ramli adalah mantan Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman di Indonesia.
https://www.matamatapolitik.com/riz...seketika-terlihat-rentan-jelang-pilpres-2019/
Rizal Ramli menulis untuk Wall Street Journal tentang pandangannya soal elektabilitas Presiden Jokowi untuk Pilpres 2019. Menurut mantan menteri keuangan dan ekonomi ini, Jokowi saat ini menjadi lebih rentan. Perlambatan laju pertumbuhan ekonomi bisa menjadi tantangan terbesarnya melawan Prabowo Subianto.
Oleh: Rizal Ramli (Wall Street Journal)
Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo menunggangi gelombang popularitas beberapa bulan yang lalu, dengan sebagian besar pakar dan lembaga survei memprediksi bahwa Jokowi akan dengan mudah memenangkan pemilihan presiden tahun 2019 untuk masa jabatan kepresidenan selama lima tahun periode kedua dalam bulan April mendatang. Namun, hari ini, dia terlihat semakin rentan karena perlambatan laju pertumbuhan ekonomi.
Hal itu telah mendorong presiden untuk mundur dalam upaya reformasi dan melakukan manuver yang menenangkan pemilih Muslim yang konservatif, gerakan yang mungkin telah membuat situasinya lebih buruk.
Kebijakan-kebijakan penting Widodo selama empat tahun masa kepresidenannya termasuk deregulasi, e-governance, perawatan kesehatan dan subsidi pendidikan untuk orang miskin, dan peningkatan besar-besaran dalam belanja infrastruktur. Penekanan pada infrastruktur akan membantu mengurangi ketidaksetaraan regional dalam jangka panjang, tetapi mengorbankan biaya ekonomi langsung. Ia menerima pujian tidak hanya dari warga Indonesia tetapi juga dari lembaga pemeringkat kredit dan lembaga internasional seperti Bank Dunia.
Pertumbuhan ekonomi telah bertumbuh secara stagnan di tingkat sedikit lebih dari 5 persen sebagian karena langkah-langkah penghematan, dan jajak pendapat nasional baru-baru ini menunjukkan lebih dari 30 persen pemilih belum memutuskan kandidat mana yang akan didukung.
Penantang utamanya, Prabowo Subianto — seorang jenderal purnawirawan yang pernah mencalonkan diri pada pilpres 2014 dan kalah dari Presiden Jokowi sebanyak enam poin— perlahan-lahan semakin populer. Hal itu menimbulkan kekhawatiran di dalam kubu Jokowi.
Kerentanan sang presiden membantu menjelaskan keputusannya pada bulan lalu untuk memilih Ma’ruf Amin, seorang ulama Islam garis keras, sebagai pasangan kandidat wakil presiden yang mendampinginya. Pilihan itu mengejutkan sebagian besar orang Indonesia, tetapi terdapat perhitungan politik dingin di baliknya.
Dengan menempatkan seorang ulama konservatif sebangan pasangan cawapres, Jokowi berusaha mencegah pertentangan warga yang mempertanyakan kepercayaan religiusnya sendiri, seperti yang terjadi dalam pemilihan presiden tahun 2014. Jokowi juga berharap Ma’ruf Amin dapat mempersuasi para pemilih yang konservatif untuk memilih keduanya.
Tetapi, keuntungan itu mungkin tidak akan terwujud, dan pilihan itu bahkan bisa merugikan suara Jokowi. Kaum Islam konservatif cenderung mempertanyakan ketulusan pilihan sang presiden, sementara mayoritas besar pemilih yang berasal dari kalangan moderat akan merasa ragu oleh risiko Amin mendapatkan suara untuk menyusun kebijakan sebagai wakil presiden kelak.
Mayoritas warga moderat memiliki alasan yang tepat untuk merasa khawatir. Amin, seorang cendekiawan Islam berusia 75 tahun, mengepalai Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan memegang posisi kepemimpinan di dalam Nahdlatul Ulama, organisasi Muslim terbesar di Indonesia. Dia memiliki sejarah panjang sebagai pendukung agenda sektarian, termasuk pemberlakuan hukum Syariah.
Amin telah membantu meningkatkan pengaruh Islam di semua partai besar. Dia telah menyebut Ahmadiyah dan Muslim Syiah sebagai “penyimpangan” dan mendukung kampanye untuk membatasi kegiatan mereka. Amin juga melobi untuk membatasi pembangunan tempat ibadah bagi kelompok agama minoritas.
Sebagai kepala MUI pada tahun 2016, Amin memimpin aksi protes melawan Gubernur keturunan China yang terkenal di Indonesia, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Dia menuduh Ahok, seorang pemeluk agama Kristen, telah melakukan penistaan terhadap agama Islam ketika dia mengatakan dalam sebuah kesempatan kampanye, bahwa Al-Qur’an tidak melarang Muslim untuk memilih calon non-Muslim. Pengadilan mencabut Ahok dari jabatan Gubernur Jakarta dan memvonisnya dua tahun hukuman penjara.
Ahok adalah anak didik Jokowi, menjabat sebagai wakil ketika Jokowi merupakan Gubernur Jakarta, dan melanjutkan proses reformasi birokrasi yang dulu dipimpinnya. Aliansi baru presiden merongrong popularitasnya, demikian juga dengan pengagum Ahok, serta komunitas etnis China dan umat Kristen.
Sementara itu, Prabowo membuat keputusan cerdas untuk berpasangan dengan Sandiaga Uno, seorang pengusaha berusia 49 tahun yang kini menjadi politisi. Uno dengan sempurna mengimbangi eksterior tangguh dan kurangnya daya tarik yang dimiliki Prabowo terhadap kalangan pemilih muda.
Kekayaan dan kemudaan Uno belum dapat dikatakan sebagai kekalahan bagi Jokowi. Tidak lama setelah pebisnis tersebut bergabung dalam ajang pilpres, sang presiden mulai mencoba menggambarkan dirinya sebagai politisi “keren.” Dalam video unik yang dirilis oleh tim kampanyenya, seorang pria yang menyerupai Jokowi (yang sebenarnya ialah seorang aktor Thailand) melakukan aksi motor yang berani dalam upacara pembukaan Asian Games 2018. Pada pertemuan Forum Ekonomi Dunia baru-baru ini di Hanoi, Jokowi membahas situasi perdagangan dunia dengan membuat analogi dengan film “Avengers” yang baru-baru ini dirilis.
Jokowi mungkin mahir menggunakan media untuk terhubung dengan pemilih, tetapi tantangan yang dihadapinya tidak dapat diselesaikan dengan pemasaran yang apik. Sebaliknya, pemilihan presiden tahun 2019 akan berkisar pada perlambatan laju pertumbuhan ekonomi.
Kejatuhan Rupiah adalah musuh terbesar Presiden Jokowi. Rupiah telah jatuh ke tingkat yang belum pernah terlihat sebelumnya sejak krisis keuangan Asia tahun 1997-1998. Dengan Federal Reserve kemungkinan akan terus menaikkan suku bunga jangka pendek, tidak ada bantuan yang terlihat. Kecemasan atas perang dagang Trump juga akan terus menimbulkan defisit neraca berjalan bagi ekonomi berkembang seperti Indonesia, yang mengalami tekanan lebih pada mata uang mereka.
Kelemahan Jokowi di bidang ekonomi telah memberikan peluang besar bagi Prabowo-Uno, sehingga tim kampanyenya berfokus pada isu-isu kesejahteraan rakyat. Seandainya masalah inflasi mulai nampak, pemilih yang ragu-ragu dapat memutuskan untuk memberikan kesetiaan mereka kepada pasangan Prabowo-Uni.
Peluang Jokowi untuk memenangkan masa jabatan kedua akan meningkat jika ia mengambil langkah-langkah reformasi yang lebih berani. Pertama, ia perlu meningkatkan iklim investasi, terutama untuk investor asing langsung. Perusahaan Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan mencari sasaran investasi di kawasan selatan karena mereka mulai mengurangi investasi mereka di China sebagai akibat dari perang perdagangan AS-China.
Vietnam, yang memiliki iklim investasi lebih ramah daripada Indonesia, paling diuntungkan dari tren ini. Presiden Jokowi juga perlu menstabilkan Rupiah untuk mengurangi inflasi, khususnya untuk makanan, karena hal ini memiliki dampak terbesar pada sentimen pemilih.
Rizal Ramli adalah mantan Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman di Indonesia.
https://www.matamatapolitik.com/riz...seketika-terlihat-rentan-jelang-pilpres-2019/