spirit
Mod
Dua lelaki Jawa sedang menikmati rokok tembakau. (geheugen.delpher.nl).
Gelombang pasang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terkait dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 mulai berlangsung. Sebuah video viral menangkap suasana murung puluhan karyawan yang di-PHK di sebuah ritel besar di Depok, Jawa Barat. Di tempat lainnya, ratusan ribu orang di beragam sektor usaha dan bisnis juga telah kehilangan pekerjaannya.
Hampir 90 tahun lalu, PHK massal juga pernah melanda Hindia Belanda. Saat itu, ekspor Hindia Belanda jatuh dihantam resesi global pada awal dekade 1930-an. Barang melimpah, harganya turun, tapi orang sulit memperoleh uang.
Industri manufaktur di kota dan agroindustri mem-PHK buruh-buruhnya. Sebagian buruh kembali ke kampung halaman atau desanya untuk mencari pekerjaan lain.
"Mereka yang sudah menjadi penduduk kota, seperti para buruh di Surabaya, menggantungkan diri pada jaringan sosial kampung untuk bertahan hidup," catat Dick Howard dalam Surabaya, City of Work: A Socioeconomic Behaviour in Java. Salah satu jaring pengaman sosial perdesaan adalah usaha rokok rumahan.
Ketika resesi ekonomi menerpa, industri rokok skala menengah dan besar di Jawa bangkrut karena tak mampu menutup biaya operasional dan membayar kenaikan cukai rokok. Pemerintah kolonial menetapkan kenaikan cukai rokok pada masa krisis demi memperoleh dana segar. Tapi ini justru menjadi kuburan bagi industri rokok. Mereka sudah mencoba segala cara untuk bertahan.
"Sejumlah perusahaan rokok menurunkan kulitasnya. Namun pelanggan meninggalkan merek rokok itu," ungkap Rudy Badil dan T.R. Setiyanto Riyadi dalam Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya. Sebagian lagi memilih memberhentikan buruhnya. Tapi itu semua sia-sia. Kebangkrutan tetap mendatangi mereka.
"Di Ponorogo, satu pabrik dengan 1.000 buruh tutup usaha. Di Yogyakarta dan Solo, banyak pabrik milik bumiputra yang juga gulung tikar. Di wilayah timur, di Tulungagung, semua pabrik menghentikan produksi sementara,” tulis Ratna Saptari dalam "Kerja dan Politik pada 'Masa Sulit': Buruh Rokok Kretek di Jawa Timur dan Persoalan Periodisasi", termuat di Dari Krisis ke Krisis.
Kebangkrutan industri rokok skala besar dan menengah mendorong segelintir kecil buruhnya terserap ke usaha rokok rumahan. Peningkatan usaha rokok rumahan terjadi di Jawa Tengah dan Timur seperti di Cilacap, Kediri, dan Surabaya.
"Dalam tahun 1931–1932, rekor terbanyak kategori perusahaan kecil ada di Cilacap, sebanyak 14 perusahaan," catat Rudy Badil dan Setiyanto.
Di Kediri, unit-unit usaha kecil jumlahnya meningkat hampir tiga kali lipat. Sementara di Surabaya, para buruh menjadikan kerja melinting rokok sebagai pekerjaan tetap setelah mereka kehilangan pekerjaan di tempat lama. Tadinya pekerjaan itu hanyalah sambilan.
Di Malang, industri rokok kelobot rumahan juga mengalami perluasan usaha. Rokok kelobot adalah rokok kretek yang dibungkus dengan kulit jagung dan cukup laku pada masa resesi ekonomi.
"Sekalipun dihambat keterbatasan modal, para pengusaha kecil masih tetap bisa beroperasi dengan menjual rokok kelobot yang murah, yang dibuat dari campuran tembakau-cengkeh mutu rendah,” catat Ratna.
Perluasan usaha rokok rumahan berangkat pula dari peningkatan konsumsi rokok masyarakat. Pada masa malaise, orang masih tetap bisa membeli rokok murahan. Bahkan menurut Rudy Badil dan Setiyanto, jumlah penikmat rokok murahan meningkat dari waktu ke waktu pada periode sulit.
Sebagian penikmat rokok memilih beralih ke rokok murahan sebab kualitas dan harga rokok langganannya mulai berubah. Kualitas turun, tapi harga menjadi mahal tersebab kesulitan bahan baku rokok.
"Kesulitan-kesulitan yang dialami industri rokok kretek berkisar pada mahal dan langkanya bahan-bahan baku (raw-materials) pembuatan rokok, kebijakan fiskal, dan 'melemahnya' daya beli masyarakat," tulis Muhammad Wasith dalam "Masyarakat Industri Rokok Kretek: Studi Kasus Perusahaan Rokok Kretek Delima, Kudus 1914–1952", tesis pada Program Studi Magister Sejarah Universitas Indonesia.
Tapi usaha rokok rumahan relatif bertahan menghadapi kesulitan itu. Mereka memperoleh pasokan tembakau dan bahan mentah lainnya secara lokal sehingga harganya tetap terjangkau. Biaya operasional dan gaji buruhnya pun tak sebesar industri rokok skala menengah dan besar. Kebanyakan buruh adalah sanak keluarga sendiri yang sebelumnya kehilangan pekerjaan.
"Dengan demikian, industri rumahan merupakan bentuk usaha rokok kretek yang terbukti mampu eksis di tengah krisis," terang Rudy Badil dan Setiyanto. Selain itu, ia juga menjadi sekoci penyelamat bagi sejumlah orang-orang yang terkena PHK.