nurcahyo
New member
Rosela Laba di Balik Kesegarannya
Oleh trubus
Selama empat tahun Bambang Irwanto bersusah-payah memperbanyak benih rosela asal Sudan. Jerih payah itu kini berbalas manis. Setiap bulan ia berhasil menjual rata-rata 750 kg rosela kering. Dengan harga jual Rp500.000 per kg, setidaknya Rp225-juta mengalir ke rekeningnya setiap bulan.
Bambang menjualnya dalam bentuk kemasan berisi 40 g. Harga jual per kemasan di tingkat konsumen Rp20.000 atau Rp500.000 per kg. Ia memasarkan dengan sistem keagenan. Para agen memperoleh diskon 40% dari harga jual. Setelah dikurangi potongan harga agen dan biaya produksi lain, Bambang meraup untung 15% atau Rp75.000 per kg. Dengan jumlah penjualan rata-rata 750 kg rosela kering per bulan, laba bersih yang dikutip Bambang Rp56-juta per bulan.
Meraih pendapatan sebesar itu tak sedikit pun terlintas dalam benak Bambang pada 4 tahun silam. Maklum, ketika itu ia hanya mengenal carcade-sebutan rosela di Timur Tengah-sebagai pelengkap pengobatan. Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai herbalis itu mengenal rosela dari salah seorang kolega di Sudan. Benih asal Sudan itu diperbanyak di lahan 1.000 m2 miliknya di Gunungkidul, Yogyakarta.
Laba tinggi
Kian bertambahnya pengguna rosela membawa secercah harapan bagi Bambang. Di benaknya lantas terbersit untuk berbisnis rosela. Pada 2005, ia getol mengajak pekebun yang bersedia menanam rosela yang kelak menjadi pemasok. Dari sekian banyak yang ditemui, Bambang hanya berhasil menghimpun beberapa pekebun karena belum paham budidaya intensif. Padahal berkebun rosela menjanjikan keuntungan menggiurkan.
Dari sehektar lahan, pekebun memanen 2-2,5 ton segar. Setelah dikeringkan, diperoleh 200-250 kg. Dengan harga beli di tingkat pekebun Rp175.000- Rp200.000 per kg, pekebun meraup omzet Rp35-juta-Rp50-juta per 6 bulan atau Rp5,8-juta-Rp8,3-juta per bulan. Sedangkan biaya penanaman hanya Rp5-juta/ha/musim tanam atau Rp833.000 per bulan. Artinya, pekebun bisa meraup laba bersih Rp5-juta-Rp7,5-juta per bulan. Keuntungan setinggi itu tentu saja menggiurkan. Akhirnya, hingga 2006, 50 orang pekebun bergabung menjadi plasma dengan areal tanam 100 ha.
Manisnya berbisnis rosela tak hanya dirasakan Bambang. Kus Yulianto, di Yogyakarta, turut mencecap laba dari rosela. Ia memproduksi rosela kering yang diolah menjadi rosela celup. Namun, yang dibudidayakan adalah cranberry. Meski bernama latin sama-Hibiscus sabdarifa-sosok kelopak cranberry berbeda. Bentuk kelopak menyerupai kotak, tidak menguncup seperti rosela yang kerap dibudidayakan di Indonesia. Benih cranberry diperoleh ketika mengunjungi pameran Floriade di Rotterdam, Belanda.
Setiap bulan, Kus Yulianto setidaknya menjual 5.000 dus cranberry isi 20 g. Harga per kotak Rp30.000. Total omzet yang diraup mencapai Rp150-juta per bulan. Setelah dikurangi biaya produksi, Kus memperoleh laba bersih Rp50-juta per bulan. Untuk memenuhi kebutuhan produksi, Kus menanam cranberry di lahan 6-7 ha. Lokasi kebun tersebar di Purwodadi dan Trenggalek, Jawa Timur.
Menjanjikan
Prospek bisnis rosela cukup menjanjikan, kata Bambang. Itu terlihat dari permintaan yang terus melonjak. Bahkan ia terpaksa menepis permintaan seorang pengusaha asal Jakarta yang meminta pasokan 15 ton rosela kering per tahun. Permintaan itu membuat Bambang kewalahan. Kapasitas produksi saya baru 5 ton rosela kering per tahun, katanya. Pada 2007, Bambang berencana menambah kapasitas produksi hingga 15 ton/tahun.
Permintaan rosela celup meningkat dari bulan ke bulan, kata Kus Yulianto. Jumlah permintaan ketika pertama kali memproduksi hanya 500 dus. Bulan berikutnya meningkat menjadi 1.000 dus, 2.000 dus, dan 3.000 dus. Sekarang dibatasi 5.000 dus per bulan, kata pria kelahiran Kediri 40 tahun silam itu. Kus juga terpaksa menolak permintaan dari Jakarta yang meminta 5.000 dus per bulan. Permintaan lain: Bob Sadino (10.000 dus per minggu) dan Yunani (1 kontainer per bulan), juga ditolak.
Peluang itulah yang mendorong Kus untuk memperluas penanaman. Awal 2006 ia menambah lahan 10 ha. Medio 2006, bertambah lagi 40 ha. Lokasi kebun meluas ke berbagai daerah seperti Tulungagung, Kediri, Jember, dan Banyuwangi. Harga beli ke pekebun pun melonjak tajam. Pada 2005, harga rosela kering yang semula Rp20.000 per kg, kini Rp100.000.
Permintaan impor salah seorang kolega di Arab Saudi juga mendorong KH Abdussalam Masduqie, di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, untuk menggeluti rosela. Rekan saya minta dikirim 1 kontainer rosela celup per bulan, kata Abdussalam. Pada November 2005, mantan anggota DPRD Jawa Timur itu pun mulai memproduksi rosela celup.
Untuk memenuhi pasokan bahan baku, ia menanam rosela di kebun miliknya di Bangil dan Nongkojajar. Anggota famili Malvaceae itu ditumpangsarikan dengan mangga dan apel. Hasil panen kemudian diolah dan dikemas mirip teh celup. Karena baru memulai, ia tidak mengolahnya sendiri tetapi bekerjasama dengan produsen teh celup di Bangil.
Rosela celup dikemas dalam dus berisi 25 kantong. Masing-masing kantong berisi 2 g atau setara 50 g per dus. Setiap bulan Abdussalam menjual 800 dus. Dengan harga jual Rp12.500 per dus, omzetnya Rp10-juta per bulan. Dari jumlah itu, laba bersihnya Rp1.500 per dus atau Rp1,2-juta per bulan. Pendapatan saya masih kecil. Jadi hanya untuk sampingan saja, ujarnya. Meski begitu, Abdussalam berencana akan membuat pabrik pengolahan sendiri dan juga memperluas areal tanam rosela.
Kendala
Berniaga rosela tak selamanya menyegarkan. Keliru dalam pengolahan kerap menjadi batu sandungan. Itu dirasakan betul oleh Kus Yulianto. Pada 2004 ia sempat berhenti menjual rosela dalam bentuk kemasan. Banyak yang komplain. Pengolahan kami belum sempurna, kata Cuk Himawan, rekan kerja Kus Yulianto. Oleh sebab itu, ia bekerjasama dengan Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonsesia (UPT BPPTK LIPI), Yogyakarta, untuk memperbaiki teknik pengolahan dan budidaya.
Membuka jejaring pasar rosela pun tak semudah membalikkan tangan. Pengetahuan masyarakat yang masih awam tentang rosela membuat pemasaran tersendat. Hendri Sutrisno, ditributor salah satu merek rosela di Jakarta, mesti tekun mengikuti pameran-pameran untuk menciptakan pasar.
Pasokan rosela yang terbatas membuat Ir Eri Pramono, produsen rosela di Surabaya, Jawa Timur, lebih memilih impor ketimbang membina plasma. Sulit mengajak pekebun agar menanam rosela karena masih asing. Kecuali bila diiming-imingi keuntungan tinggi, katanya. Oleh sebab itu, Eri mengimpor rosela dari Timur-Tengah. Beragam kerikil tajam itu tak menyurutkan langkah para produsen. Saya yakin, dengan memberi penjelasan kepada konsumen tentang manfaat rosela, peluang pasar akan tetap terbuka, kata Bambang.
Oleh trubus
Selama empat tahun Bambang Irwanto bersusah-payah memperbanyak benih rosela asal Sudan. Jerih payah itu kini berbalas manis. Setiap bulan ia berhasil menjual rata-rata 750 kg rosela kering. Dengan harga jual Rp500.000 per kg, setidaknya Rp225-juta mengalir ke rekeningnya setiap bulan.
Bambang menjualnya dalam bentuk kemasan berisi 40 g. Harga jual per kemasan di tingkat konsumen Rp20.000 atau Rp500.000 per kg. Ia memasarkan dengan sistem keagenan. Para agen memperoleh diskon 40% dari harga jual. Setelah dikurangi potongan harga agen dan biaya produksi lain, Bambang meraup untung 15% atau Rp75.000 per kg. Dengan jumlah penjualan rata-rata 750 kg rosela kering per bulan, laba bersih yang dikutip Bambang Rp56-juta per bulan.
Meraih pendapatan sebesar itu tak sedikit pun terlintas dalam benak Bambang pada 4 tahun silam. Maklum, ketika itu ia hanya mengenal carcade-sebutan rosela di Timur Tengah-sebagai pelengkap pengobatan. Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai herbalis itu mengenal rosela dari salah seorang kolega di Sudan. Benih asal Sudan itu diperbanyak di lahan 1.000 m2 miliknya di Gunungkidul, Yogyakarta.
Laba tinggi
Kian bertambahnya pengguna rosela membawa secercah harapan bagi Bambang. Di benaknya lantas terbersit untuk berbisnis rosela. Pada 2005, ia getol mengajak pekebun yang bersedia menanam rosela yang kelak menjadi pemasok. Dari sekian banyak yang ditemui, Bambang hanya berhasil menghimpun beberapa pekebun karena belum paham budidaya intensif. Padahal berkebun rosela menjanjikan keuntungan menggiurkan.
Dari sehektar lahan, pekebun memanen 2-2,5 ton segar. Setelah dikeringkan, diperoleh 200-250 kg. Dengan harga beli di tingkat pekebun Rp175.000- Rp200.000 per kg, pekebun meraup omzet Rp35-juta-Rp50-juta per 6 bulan atau Rp5,8-juta-Rp8,3-juta per bulan. Sedangkan biaya penanaman hanya Rp5-juta/ha/musim tanam atau Rp833.000 per bulan. Artinya, pekebun bisa meraup laba bersih Rp5-juta-Rp7,5-juta per bulan. Keuntungan setinggi itu tentu saja menggiurkan. Akhirnya, hingga 2006, 50 orang pekebun bergabung menjadi plasma dengan areal tanam 100 ha.
Manisnya berbisnis rosela tak hanya dirasakan Bambang. Kus Yulianto, di Yogyakarta, turut mencecap laba dari rosela. Ia memproduksi rosela kering yang diolah menjadi rosela celup. Namun, yang dibudidayakan adalah cranberry. Meski bernama latin sama-Hibiscus sabdarifa-sosok kelopak cranberry berbeda. Bentuk kelopak menyerupai kotak, tidak menguncup seperti rosela yang kerap dibudidayakan di Indonesia. Benih cranberry diperoleh ketika mengunjungi pameran Floriade di Rotterdam, Belanda.
Setiap bulan, Kus Yulianto setidaknya menjual 5.000 dus cranberry isi 20 g. Harga per kotak Rp30.000. Total omzet yang diraup mencapai Rp150-juta per bulan. Setelah dikurangi biaya produksi, Kus memperoleh laba bersih Rp50-juta per bulan. Untuk memenuhi kebutuhan produksi, Kus menanam cranberry di lahan 6-7 ha. Lokasi kebun tersebar di Purwodadi dan Trenggalek, Jawa Timur.
Menjanjikan
Prospek bisnis rosela cukup menjanjikan, kata Bambang. Itu terlihat dari permintaan yang terus melonjak. Bahkan ia terpaksa menepis permintaan seorang pengusaha asal Jakarta yang meminta pasokan 15 ton rosela kering per tahun. Permintaan itu membuat Bambang kewalahan. Kapasitas produksi saya baru 5 ton rosela kering per tahun, katanya. Pada 2007, Bambang berencana menambah kapasitas produksi hingga 15 ton/tahun.
Permintaan rosela celup meningkat dari bulan ke bulan, kata Kus Yulianto. Jumlah permintaan ketika pertama kali memproduksi hanya 500 dus. Bulan berikutnya meningkat menjadi 1.000 dus, 2.000 dus, dan 3.000 dus. Sekarang dibatasi 5.000 dus per bulan, kata pria kelahiran Kediri 40 tahun silam itu. Kus juga terpaksa menolak permintaan dari Jakarta yang meminta 5.000 dus per bulan. Permintaan lain: Bob Sadino (10.000 dus per minggu) dan Yunani (1 kontainer per bulan), juga ditolak.
Peluang itulah yang mendorong Kus untuk memperluas penanaman. Awal 2006 ia menambah lahan 10 ha. Medio 2006, bertambah lagi 40 ha. Lokasi kebun meluas ke berbagai daerah seperti Tulungagung, Kediri, Jember, dan Banyuwangi. Harga beli ke pekebun pun melonjak tajam. Pada 2005, harga rosela kering yang semula Rp20.000 per kg, kini Rp100.000.
Permintaan impor salah seorang kolega di Arab Saudi juga mendorong KH Abdussalam Masduqie, di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, untuk menggeluti rosela. Rekan saya minta dikirim 1 kontainer rosela celup per bulan, kata Abdussalam. Pada November 2005, mantan anggota DPRD Jawa Timur itu pun mulai memproduksi rosela celup.
Untuk memenuhi pasokan bahan baku, ia menanam rosela di kebun miliknya di Bangil dan Nongkojajar. Anggota famili Malvaceae itu ditumpangsarikan dengan mangga dan apel. Hasil panen kemudian diolah dan dikemas mirip teh celup. Karena baru memulai, ia tidak mengolahnya sendiri tetapi bekerjasama dengan produsen teh celup di Bangil.
Rosela celup dikemas dalam dus berisi 25 kantong. Masing-masing kantong berisi 2 g atau setara 50 g per dus. Setiap bulan Abdussalam menjual 800 dus. Dengan harga jual Rp12.500 per dus, omzetnya Rp10-juta per bulan. Dari jumlah itu, laba bersihnya Rp1.500 per dus atau Rp1,2-juta per bulan. Pendapatan saya masih kecil. Jadi hanya untuk sampingan saja, ujarnya. Meski begitu, Abdussalam berencana akan membuat pabrik pengolahan sendiri dan juga memperluas areal tanam rosela.
Kendala
Berniaga rosela tak selamanya menyegarkan. Keliru dalam pengolahan kerap menjadi batu sandungan. Itu dirasakan betul oleh Kus Yulianto. Pada 2004 ia sempat berhenti menjual rosela dalam bentuk kemasan. Banyak yang komplain. Pengolahan kami belum sempurna, kata Cuk Himawan, rekan kerja Kus Yulianto. Oleh sebab itu, ia bekerjasama dengan Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonsesia (UPT BPPTK LIPI), Yogyakarta, untuk memperbaiki teknik pengolahan dan budidaya.
Membuka jejaring pasar rosela pun tak semudah membalikkan tangan. Pengetahuan masyarakat yang masih awam tentang rosela membuat pemasaran tersendat. Hendri Sutrisno, ditributor salah satu merek rosela di Jakarta, mesti tekun mengikuti pameran-pameran untuk menciptakan pasar.
Pasokan rosela yang terbatas membuat Ir Eri Pramono, produsen rosela di Surabaya, Jawa Timur, lebih memilih impor ketimbang membina plasma. Sulit mengajak pekebun agar menanam rosela karena masih asing. Kecuali bila diiming-imingi keuntungan tinggi, katanya. Oleh sebab itu, Eri mengimpor rosela dari Timur-Tengah. Beragam kerikil tajam itu tak menyurutkan langkah para produsen. Saya yakin, dengan memberi penjelasan kepada konsumen tentang manfaat rosela, peluang pasar akan tetap terbuka, kata Bambang.