nurcahyo
New member
RUU Peradilan Militer Terancam Macet
Kapanlagi.com - Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga mengatakan, pembahasan RUU Peradilan Militer terancam macet, karena adanya perbedaan pendapat antara pemerintah dengan DPR.
"Pemerintah tidak menerima ketentuan yang mengatur anggota TNI yang melakukan pelanggaran hukum pidana umum diadili dalam peradilan umum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 65 UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI," ujarnya dalam diskusi dan peluncuran buku Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan, selama delapan tahun proses reformasi baru dihasilkan tiga undang-undang, yakni UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
"RUU Peradilan Militer sedang dalam pembahasan di DPR, RUU tentang Rahasia Negara baru saja diterima DPR, dan RUU tentang Intelijen Negara baru diharapkan akan masuk ke DPR dalam waktu dekat," ujarnya.
Theo menjelaskan, belakang ini juga muncul wacana untuk membentuk UU baru tentang Keamanan Nasional yang diikuti dengan perubahan dan atau penyesuaian UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, dan UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
"Wacana itu bermula dari pengertian yang beragam tentang pertahanan dan keamanan, sehingga menimbulkan ketidakrincian, ketidakjelasan, dan kekaburan penjabaran dalam penerapan fungsi, tugas, dan organisasi pada tataran UU dan pelakasanaanya," katanya.
Menurut Theo, memang ketiga UU tersebut belum ideal dan diperlukan perubahan sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan fungsi pertahanan, keamanan, dan payung hukum pelaksanaaan tugas, serta dinamika perkembangan saat ini.
Perbaikan ketiga UU tersebut atau adanya pembentukan UU baru dalam bentuk UU tentang Keamanan Nasional, lanjut Theo, maka akan berakibat pada retrukturisasi rencana pembentukan berbagai undang-undang.
Dalam kesempatan itu, Theo juga menyayangkan belum adanya Kebijakan Umum Pertahanan Negara sesuai UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang mengatur bahwa kebijakan umum tersebut ditetapkan oleh presiden.
UU itu juga menyebutkan, kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara dan rencana pengembangan kekuatan pertahanan dirumuskan oleh menteri pertahanan, rencana pengembangan strategi militer oleh Panglima TNI, serta pengawasan seluruh spektrum kebijakan pertahanan oleh DPR.
"Sampai sekarang kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi acuan dan dasar bagi perencanaan, penyelenggaran, dan pengawasan sistem pertahanan negara serta seluruh aturan ikatannya belum ditetapkan oleh Presiden," katanya.
Alasannya, UU Pertahanan Negara menyebutkan hal itu adalah wewenang Presiden dibantu oleh dewan keamanan nasional yang belum dibentuk hingga sekarang.
"Padahal, seharusnya hal itu tidak perlu jadi alasan, karena Presiden dapat mengubah undang-undang atau justru membentuk undang-undang baru," kata Theo
Kapanlagi.com - Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga mengatakan, pembahasan RUU Peradilan Militer terancam macet, karena adanya perbedaan pendapat antara pemerintah dengan DPR.
"Pemerintah tidak menerima ketentuan yang mengatur anggota TNI yang melakukan pelanggaran hukum pidana umum diadili dalam peradilan umum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 65 UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI," ujarnya dalam diskusi dan peluncuran buku Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan, selama delapan tahun proses reformasi baru dihasilkan tiga undang-undang, yakni UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
"RUU Peradilan Militer sedang dalam pembahasan di DPR, RUU tentang Rahasia Negara baru saja diterima DPR, dan RUU tentang Intelijen Negara baru diharapkan akan masuk ke DPR dalam waktu dekat," ujarnya.
Theo menjelaskan, belakang ini juga muncul wacana untuk membentuk UU baru tentang Keamanan Nasional yang diikuti dengan perubahan dan atau penyesuaian UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, dan UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
"Wacana itu bermula dari pengertian yang beragam tentang pertahanan dan keamanan, sehingga menimbulkan ketidakrincian, ketidakjelasan, dan kekaburan penjabaran dalam penerapan fungsi, tugas, dan organisasi pada tataran UU dan pelakasanaanya," katanya.
Menurut Theo, memang ketiga UU tersebut belum ideal dan diperlukan perubahan sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan fungsi pertahanan, keamanan, dan payung hukum pelaksanaaan tugas, serta dinamika perkembangan saat ini.
Perbaikan ketiga UU tersebut atau adanya pembentukan UU baru dalam bentuk UU tentang Keamanan Nasional, lanjut Theo, maka akan berakibat pada retrukturisasi rencana pembentukan berbagai undang-undang.
Dalam kesempatan itu, Theo juga menyayangkan belum adanya Kebijakan Umum Pertahanan Negara sesuai UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang mengatur bahwa kebijakan umum tersebut ditetapkan oleh presiden.
UU itu juga menyebutkan, kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara dan rencana pengembangan kekuatan pertahanan dirumuskan oleh menteri pertahanan, rencana pengembangan strategi militer oleh Panglima TNI, serta pengawasan seluruh spektrum kebijakan pertahanan oleh DPR.
"Sampai sekarang kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi acuan dan dasar bagi perencanaan, penyelenggaran, dan pengawasan sistem pertahanan negara serta seluruh aturan ikatannya belum ditetapkan oleh Presiden," katanya.
Alasannya, UU Pertahanan Negara menyebutkan hal itu adalah wewenang Presiden dibantu oleh dewan keamanan nasional yang belum dibentuk hingga sekarang.
"Padahal, seharusnya hal itu tidak perlu jadi alasan, karena Presiden dapat mengubah undang-undang atau justru membentuk undang-undang baru," kata Theo