nurcahyo
New member
Saatnya PLN Tinggalkan BBM
Maryadi (Detikcom)
Jakarta - Kondisi PLN yang carut marut karena terdesak tingginya biaya bahan bakar minyak (BBM) dan minimnya subsidi, memaksa perusahaan ini harus segera mencari energi pengganti yang lebih murah.
Dengan demikian tak ada lagi alasan kenaikan listrik gara-gara harga BBM yang terus meroket. Sayangnya, ketika PLN harus sudah meninggalkan BBM, dukungan pemerintah untuk penyediaan gas atau batubara masih minim.
Sudah menjadi rahasia publik, ihwal rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) salah satunya karena beban subsidi yang membengkak seiring kenaikan harga BBM.
Penggunaan BBM ini juga menjadi biang keladi dari kerugian yang terus didera PLN. Pasalnya, hampir sebagian pembangkit PLN saat ini masih menggunakan BBM sebagai penggeraknya.
Ada keanehan dalam penggunaan BBM ini, karena sejak awal pembangkit PLN sebenarnya didesain menggunakan gas. Akhirnya menjadi hal yang lucu, ketika PLN diobok-obok harus menggunakan gas saat ini.
Maka itu back to gas, giat dikampanyekan PLN. Pasalnya, diversifikasi energi pada pembangkit-pembangkit PLN mutlak dilakukan agar beban subsidi itu tak bertambah.
Belum maksimalnya penggunaan gas oleh PLN selama ini juga bukan tanpa sebab. Hal itu terjadi karena deplesi yang terjadi di beberapa ladang gas bumi di Indonesia akibat minimnya investasi tambahan di industri gas bumi pascakrisis ekonomi.
Mau tidak mau PLN dalam beberapa dekade ini lebih banyak menggunakan BBM, karena kebanyakan pembangkit listrik PLN mengandalkan teknologi diesel yang sangat boros dan mengakibatkan biaya tinggi. Akibatnya ketika harga minyak dunia naik, PLN menuntut kenaikan harga listrik.
Jalan keluar dalam jangka pendek adalah diversifikasi energi penggunaan gas agar tarif listrik tidak naik tinggi. Maka itu, pemerintah juga harus menopang beban PLN dengan memberikan harga gas yang lebih murah, agar biaya listrik yang dibebankan kepada masyarakat dan industri juga lebih rendah.
Diversifikasi energi juga sangat diperlukan untuk mengantisipasi terbatasnya jumlah subsidi pemerintah, yang cuma Rp 15 triliun, yang diperkirakan hanya akan cukup hingga bulan Juni 2006.
Mumpung harga gas saat ini lebih murah dari harga BBM nonsubsidi, sudah saatnya pemerintah mempersiapkan infrastruktur dengan menggarap kembali ladang-ladang gas yang selama ini 'ditidurkan', ketika harga gas belum bisa bersaing dengan harga BBM yang disubsidi.
Memang saat ini pemerintah masih terkendala infrastruktur dan permodalan. Sebab bisnis gas memiliki karakteristik padat modal (capital intensive), padat teknologi (technology intensive), dan berisiko tinggi (high risk).
Apalagi dengan kebijakan pemerintah ke depan yang akan menghapus total subsidi BBM, potensi investasi gas bumi semakin menjanjikan. Sebab end user-nya semakin meluas mulai dari pembangkit listrik PLN, industri pupuk, industri semen, industri besi baja, feedstock industri kimia, sampai bahan bakar gas (BBG) untuk kendaraan bermotor.
Jika tidak ada langkah diversifikasi energi dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin situasi ini akan makin mendorong relokasi industri ke negara lain. Lebih buruk lagi, pertumbuhan investasi jalan di tempat, karena investor tak tertarik berinvestasi di negeri ini
Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menyatakan, saat ini sudah tertutup pintu untuk pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan BBM. Pasalnya, dalam hitung-hitungan rasional walaupun harga minyak akan turun, tapi penurunannya tidak akan mampu lagi hingga dibawah level US$ 50 per barel.
Padahal dengan asumsi nilai tukar Rp 9.700 per dolar AS dan harga minyak US$ 50 per barel beban subsidi PLN pun tetap saja masih bertambah berat.
Makanya, sudah menjadi keharusan bagi PLN untuk melakukan switching bahan bakar pada pembangkitnya, dengan batubara ataupun gas. Apalagi harga batu bara masih murah dan gas masih melimpah di Indonesia.
Upaya diversifikasi energi di PLN ini bukan tak menuai kendala. Contohnya, pembangkit PLN di Cilegon yang mampu memasok listrik 740 MW. Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) seharusnya sudah memasok listrik mulai April 2006.
Namun hingga kini belum mendapatkan kepastian pasokan gasnya. Belum lagi masalah-masalah nonekonomis seperti dalam kasus Borang.
"Cilegon sudah siap pembangkitnya pada bulan April. Namun hingga kini PLN masih menunggu pasokan gas dari CNOOC," kata kata General Manager Pusat Pengaturan dan Pendistribusian Beban (P3B) PLN Jawa dan Bali, Muljo Adji.
Terlepas dari itu semua, sudah saatnya PLN kembali mengoperasionalkan pembangkitnya seperti pada khitahnya, yakni menggunakan gas.
Kebijakan pemerintah untuk mendahulukan pasokan gas bagi kebutuhan dalam negeri, boleh dibilang sebagai entry point bagi PLN untuk melakukan diversifikasi energi secara radikal
Maryadi (Detikcom)
Jakarta - Kondisi PLN yang carut marut karena terdesak tingginya biaya bahan bakar minyak (BBM) dan minimnya subsidi, memaksa perusahaan ini harus segera mencari energi pengganti yang lebih murah.
Dengan demikian tak ada lagi alasan kenaikan listrik gara-gara harga BBM yang terus meroket. Sayangnya, ketika PLN harus sudah meninggalkan BBM, dukungan pemerintah untuk penyediaan gas atau batubara masih minim.
Sudah menjadi rahasia publik, ihwal rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) salah satunya karena beban subsidi yang membengkak seiring kenaikan harga BBM.
Penggunaan BBM ini juga menjadi biang keladi dari kerugian yang terus didera PLN. Pasalnya, hampir sebagian pembangkit PLN saat ini masih menggunakan BBM sebagai penggeraknya.
Ada keanehan dalam penggunaan BBM ini, karena sejak awal pembangkit PLN sebenarnya didesain menggunakan gas. Akhirnya menjadi hal yang lucu, ketika PLN diobok-obok harus menggunakan gas saat ini.
Maka itu back to gas, giat dikampanyekan PLN. Pasalnya, diversifikasi energi pada pembangkit-pembangkit PLN mutlak dilakukan agar beban subsidi itu tak bertambah.
Belum maksimalnya penggunaan gas oleh PLN selama ini juga bukan tanpa sebab. Hal itu terjadi karena deplesi yang terjadi di beberapa ladang gas bumi di Indonesia akibat minimnya investasi tambahan di industri gas bumi pascakrisis ekonomi.
Mau tidak mau PLN dalam beberapa dekade ini lebih banyak menggunakan BBM, karena kebanyakan pembangkit listrik PLN mengandalkan teknologi diesel yang sangat boros dan mengakibatkan biaya tinggi. Akibatnya ketika harga minyak dunia naik, PLN menuntut kenaikan harga listrik.
Jalan keluar dalam jangka pendek adalah diversifikasi energi penggunaan gas agar tarif listrik tidak naik tinggi. Maka itu, pemerintah juga harus menopang beban PLN dengan memberikan harga gas yang lebih murah, agar biaya listrik yang dibebankan kepada masyarakat dan industri juga lebih rendah.
Diversifikasi energi juga sangat diperlukan untuk mengantisipasi terbatasnya jumlah subsidi pemerintah, yang cuma Rp 15 triliun, yang diperkirakan hanya akan cukup hingga bulan Juni 2006.
Mumpung harga gas saat ini lebih murah dari harga BBM nonsubsidi, sudah saatnya pemerintah mempersiapkan infrastruktur dengan menggarap kembali ladang-ladang gas yang selama ini 'ditidurkan', ketika harga gas belum bisa bersaing dengan harga BBM yang disubsidi.
Memang saat ini pemerintah masih terkendala infrastruktur dan permodalan. Sebab bisnis gas memiliki karakteristik padat modal (capital intensive), padat teknologi (technology intensive), dan berisiko tinggi (high risk).
Apalagi dengan kebijakan pemerintah ke depan yang akan menghapus total subsidi BBM, potensi investasi gas bumi semakin menjanjikan. Sebab end user-nya semakin meluas mulai dari pembangkit listrik PLN, industri pupuk, industri semen, industri besi baja, feedstock industri kimia, sampai bahan bakar gas (BBG) untuk kendaraan bermotor.
Jika tidak ada langkah diversifikasi energi dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin situasi ini akan makin mendorong relokasi industri ke negara lain. Lebih buruk lagi, pertumbuhan investasi jalan di tempat, karena investor tak tertarik berinvestasi di negeri ini
Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menyatakan, saat ini sudah tertutup pintu untuk pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan BBM. Pasalnya, dalam hitung-hitungan rasional walaupun harga minyak akan turun, tapi penurunannya tidak akan mampu lagi hingga dibawah level US$ 50 per barel.
Padahal dengan asumsi nilai tukar Rp 9.700 per dolar AS dan harga minyak US$ 50 per barel beban subsidi PLN pun tetap saja masih bertambah berat.
Makanya, sudah menjadi keharusan bagi PLN untuk melakukan switching bahan bakar pada pembangkitnya, dengan batubara ataupun gas. Apalagi harga batu bara masih murah dan gas masih melimpah di Indonesia.
Upaya diversifikasi energi di PLN ini bukan tak menuai kendala. Contohnya, pembangkit PLN di Cilegon yang mampu memasok listrik 740 MW. Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) seharusnya sudah memasok listrik mulai April 2006.
Namun hingga kini belum mendapatkan kepastian pasokan gasnya. Belum lagi masalah-masalah nonekonomis seperti dalam kasus Borang.
"Cilegon sudah siap pembangkitnya pada bulan April. Namun hingga kini PLN masih menunggu pasokan gas dari CNOOC," kata kata General Manager Pusat Pengaturan dan Pendistribusian Beban (P3B) PLN Jawa dan Bali, Muljo Adji.
Terlepas dari itu semua, sudah saatnya PLN kembali mengoperasionalkan pembangkitnya seperti pada khitahnya, yakni menggunakan gas.
Kebijakan pemerintah untuk mendahulukan pasokan gas bagi kebutuhan dalam negeri, boleh dibilang sebagai entry point bagi PLN untuk melakukan diversifikasi energi secara radikal