spirit
Mod
ICW soal Novel Baswedan dkk Nonaktif: Misi Utama Pimpinan KPK Berhasil
Buntut revisi UU KPK pada 2019 masih berimbas hingga saat ini. Salah satunya ialah terkait alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Sebanyak 75 pegawai KPK dinonaktifkan sebagai imbas dari ketidaklulusan mereka dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dinilai sejumlah pihak janggal. Mereka yang tidak lulus itu justru para pegawai KPK yang dinilai berintegritas.
"Setelah mengobrak-abrik KPK dengan berbagai kebijakan kontroversi, akhirnya misi utama Pimpinan KPK berhasil, yakni menyingkirkan puluhan pegawai KPK yang selama ini dikenal berintegritas dan memiliki rekam jejak panjang selama bekerja di institusi antirasuah itu," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Selasa (11/5).
Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang membuat 75 pegawai KPK tidak lulus hingga dinonaktifkan itu memang menuai polemik. Sebab, materi pertanyaan dinilai melenceng dari tugas KPK bahkan tak terkait dengan Wawasan Kebangsaan.
TWK memang buntut dari alih status pegawai KPK menjadi ASN. Namun, UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 dan PP 41 Tahun 2021 tentang alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak menjelaskan soal TWK. Ketentuan soal TWK baru muncul dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 yang diteken Firli Bahuri.
"Kebijakan TWK diduga merupakan upaya terselubung yang didorong oleh Ketua KPK, Firli Bahuri, melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021," kata peneliti ICW lainnya, Wana Alamsyah.
Terlebih lagi, kata dia, putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa peralihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh mengurangi hak pegawai. Namun saat ini, 75 pegawai tersebut dinonaktifkan oleh KPK.
Para pegawai yang termasuk dalam 75 orang itu ialah Novel Baswedan hingga Ketua Wadah Pegawai Yudi Purnomo.
"Selain itu, adanya unsur kesengajaan dan paksaan agar hasil TWK dijadikan dasar untuk memberhentikan puluhan pegawai KPK itu juga melanggar UU Ketenagakerjaan. Tentu seluruh regulasi itu harus dipatuhi oleh KPK sebagai lembaga negara dengan tidak mengakomodir hasil TWK," ucapnya.
Wana mengatakan, peralihan status kepegawaian menjadi ASN ini sebenarnya melanggar prinsip pembentukan KPK. Sebab, konsep ASN bisa mengganggu independensi pegawai.
Hal itu telah diatur secara rinci dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) dan Jakarta Statement on Principles for Anti-Corruption Agencies bahwa salah satu syarat Lembaga Antikorupsi adalah memiliki pegawai independen.
"Jadi, baik alih status sebagai ASN maupun TWK telah bertentangan dengan banyak regulasi, baik hukum positif Indonesia maupun kesepakatan-kesepakatan internasional," ucapnya.
Pelemahan KPK
Wana menilai, TWK ini hanyalah merupakan bagian dari rangkaian pelemahan yang berasal dari internal KPK. Sebelumnya, upaya pelemahan KPK dan demokrasi Indonesia telah dimulai sejak disahkannya UU 19 Tahun 2019.
ICW juga mencatat setidaknya ada dua hal penting yang harus diperhatikan terkait TWK yang telah dilaksanakan oleh KPK.
Pertama, tes ini dinilai adalah upaya untuk mengeliminasi penyelidik, penyidik, dan staf KPK yang memiliki integritas melawan korupsi tanpa pandang bulu siapa pun pelaku korupsinya.
"Rencana pemecatan penyelidik dan penyidik itu juga terjadi di saat KPK sedang menangani beberapa kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik pendukung pemerintah, misalnya suap pengadaan paket bansos sembako di Kementerian Sosial, suap ekspor benih lobster, korupsi KTP-Elektronik, dan lain-lain," ucapnya.
Kedua, substansi TWK memuat pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan dengan praktik kerja KPK. Menurut penuturan staf KPK yang didapatkan ICW, dalam soal tes tersebut terdapat unsur sexist, diskriminatif dan intervensi dalam kehidupan personal.
"Hal ini mengkonfirmasi dugaan bahwa persoalan kompetensi, integritas dan anti-korupsi bukan menjadi prioritas pada pengujian tersebut," ucapnya.
Firli Bahuri yang Jadi Sorotan
Ketua KPK, Firli Bahuri. Foto: KemenPAN RB
Kisruh dan kegaduhan atas rencana pemecatan 75 pegawai KPK, dinilai oleh ICW, tidak dapat dilepaskan dari kepemimpinan Firli Bahuri. Sebelumnya, terdapat sederet persoalan serius yang juga terjadi pada era kepemimpinannya.
Mulai dari terlihat enggan meringkus Harun Masiku, pencurian barang bukti emas oleh pegawai KPK, suap dan gratifikasi yang diterima oleh penyidik KPK dalam penyelidikan perkara Wali Kota Tanjungbalai dan terakhir, munculnya video yang menunjukkan pertemuan antara Firli Bahuri dengan salah satu Komisaris PT Pelindo.
Selain itu, kata Wana, kondisinya kian suram terjadi saat Firli selaku pegawai maupun Ketua KPK telah dua kali melanggar kode etik. Baik karena bertemu dengan kepala daerah yang diduga berperkara maupun menggunakan moda transportasi mewah seperti helikopter.
ICW pun kemudian mendesak Presiden Joko Widodo segera bersikap dengan menolak adanya pemberhentian puluhan pegawai KPK. Sebab, persoalan ini muncul atas buah dari kebijakan Presiden yang memilih Firli sebagai pimpinan KPK dan regulasi yang mengakomodir alih status kepegawaian KPK melalui UU 19 Tahun 2019.
"Dengan buruknya kepemimpinan Firli Bahuri, KPK berada di ambang kehancuran, kemerosotan reputasi dan kehilangan kepercayaan publik yang kian serius. Agar KPK tetap dapat dijaga dari kehancuran dan pembusukan, maka Dewan Pengawas harus mengambil tindakan tegas dan serius," kata Wana.
"Berbagai akumulasi persoalan dan kegaduhan di KPK tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab Ketua KPK dan Pimpinan KPK yang lain. Oleh karena itu, ICW mendesak agar Dewan Pengawas KPK mengambil inisiatif untuk melakukan pemeriksaan terhadap para Pimpinan KPK, termasuk Firli Bahuri atas berbagai dugaan pelanggaran etik," pungkas Wana.