fajarsany
New member
Di sebuah desa yang terletak di selatan Bandung, tepatnya di daerah Pangalengan, terdapat satu rumah peninggalan seorang bangsawan Belanda yang bernama Karel Theodorus. Tidak seperti kebanyakan elit Belanda lainnya yang condong menindas pribumi, dia bersikap baik pada warga sekitar. Kekayaannya digunakan untuk mengurus peternakan sapi dan perkebunan teh yang dia kelola, sekaligus menjadi sumber penghidupan utama bagi warga di desa itu.
Ketika terdengar kabar bahwa Hindia Belanda tak dapat dipertahankan lagi dari serbuan Jepang, setelah armada kapal perang sekutu dikalahkan di laut Jawa, Karel menulis sebuah lagu yang berjudul "Neervallen", sebuah lagu yang mengungkapkan kesedihannya karena Hindia Belanda harus jatuh ketangan Jepang. Hampir setiap malam dia memainkannya.
Ternyata, pasukan Jepang mendarat lebih cepat dari yang diperkirakan, mereka hampir ada di seluruh penjuru Nusantara. KNIL (tentara Hindia Belanda) tidak mampu berbuat banyak. Hampir seluruh warga sipil Belanda terjebak tidak dapat meloloskan diri ke Australia, dan mereka menjadi korban kekejaman tentara Jepang.
Karel bersama istri dan dua orang putrinya mencoba bersembunyi di ruang bawah tanah rumahnya. Tapi berhasil ditemukan oleh sekelompok tentara Jepang. Karel sekeluarga tewas di halaman rumah dengan cara disembelih hidup-hidup menggunakan pedang. Seluruh aset kekayaannya dirampas, tapi entah kenapa komandan kelompok tentara Jepang tadi menyuruh agar rumahnya dibiarkan utuh. Mayat Karel dan keluarganya dikuburkan di dekat pemakaman pribumi.
72 tahun kemudian, Yandi, seorang wartawan majalah ternama dari Jakarta datang ke desa tadi untuk mencari tahu tentang rumah Karel yang nantinya akan dibahas di majalah tersebut.
Seperti kebanyakan bangunan peninggalan zaman kolonial lainnya, rumah Karel dipenuhi oleh berbagai cerita mistis. Sayang, kini kondisinya mulai tak terurus, tapi barang-barang di dalamnya masih utuh, termasuk sebuah piano dan lembaran-lembaran lagu Neervallen. Konon menurut warga sekitar, jika ada yang masuk ke rumah Karel, kemudian memainkan lagu Neervallen menggunakan piano yang ada di dalamnya seorang diri saat suasana sedang sepi, kapanpun itu, maka setelah lagu selesai dimainkan, akan didatangi oleh sosok Karel bersama keluarganya sambil tersenyum.
Yandi yang menyukai tantangan, ingin membuktikan kebenaran cerita tersebut.
Pada suatu tengah siang, Yandi masuk kedalam dan menjelajahi rumah bertingkat dua itu yang ditambah dengan ruangan bawah tanah.
Di kamar Karel, tempat dimana piano itu berada, dia memainkan lagu Neervallen. Layaknya musik-musik Eropa abad 18 dan 19, lagunya panjang, bertempo lambat, dan bernada sedih. Yandi tidak menyanyikan liriknya karena tidak bisa berbahasa Belanda.
Di tengah lagu, dia tidak merasakan keanehan apapun; namun memasuki akhir lagu, dia merasa, hawa ruangan yang tadinya sejuk menjadi dingin, sedingin malam. Disitulah bulu kuduknya mulai berdiri, keringat dingin mulai membasahi tubuh. Dia mencoba berhenti, namun jari-jarinya terus menekan tuts seakan ada yang menggerakkan untuk menyelesaikan lagu itu.
Setelah lagu selesai dimainkan, mendadak kedua telinganya berbunyi “ngiiing”; kemudian, ketika dia melihat ke arah kanan, dia melihat sesosok laki-laki tinggi tanpa kepala berpakaian ala bangsawan Belanda dahulu, berdiri menghadapnya; di samping kirinya berdiri sesosok tubuh yang lebih pendek, menggunakan seragam tentara Jepang yang khas, kulitnya kuning, namun wajahnya rusak seperti habis terkena bom, tangan kanannya memegang pedang Katana, sedangkan di tangan kirinya dia menenteng kepala Karel yang menangis, dengan kulit putih yang pucat.
Ketika terdengar kabar bahwa Hindia Belanda tak dapat dipertahankan lagi dari serbuan Jepang, setelah armada kapal perang sekutu dikalahkan di laut Jawa, Karel menulis sebuah lagu yang berjudul "Neervallen", sebuah lagu yang mengungkapkan kesedihannya karena Hindia Belanda harus jatuh ketangan Jepang. Hampir setiap malam dia memainkannya.
Ternyata, pasukan Jepang mendarat lebih cepat dari yang diperkirakan, mereka hampir ada di seluruh penjuru Nusantara. KNIL (tentara Hindia Belanda) tidak mampu berbuat banyak. Hampir seluruh warga sipil Belanda terjebak tidak dapat meloloskan diri ke Australia, dan mereka menjadi korban kekejaman tentara Jepang.
Karel bersama istri dan dua orang putrinya mencoba bersembunyi di ruang bawah tanah rumahnya. Tapi berhasil ditemukan oleh sekelompok tentara Jepang. Karel sekeluarga tewas di halaman rumah dengan cara disembelih hidup-hidup menggunakan pedang. Seluruh aset kekayaannya dirampas, tapi entah kenapa komandan kelompok tentara Jepang tadi menyuruh agar rumahnya dibiarkan utuh. Mayat Karel dan keluarganya dikuburkan di dekat pemakaman pribumi.
***
72 tahun kemudian, Yandi, seorang wartawan majalah ternama dari Jakarta datang ke desa tadi untuk mencari tahu tentang rumah Karel yang nantinya akan dibahas di majalah tersebut.
Seperti kebanyakan bangunan peninggalan zaman kolonial lainnya, rumah Karel dipenuhi oleh berbagai cerita mistis. Sayang, kini kondisinya mulai tak terurus, tapi barang-barang di dalamnya masih utuh, termasuk sebuah piano dan lembaran-lembaran lagu Neervallen. Konon menurut warga sekitar, jika ada yang masuk ke rumah Karel, kemudian memainkan lagu Neervallen menggunakan piano yang ada di dalamnya seorang diri saat suasana sedang sepi, kapanpun itu, maka setelah lagu selesai dimainkan, akan didatangi oleh sosok Karel bersama keluarganya sambil tersenyum.
Yandi yang menyukai tantangan, ingin membuktikan kebenaran cerita tersebut.
Pada suatu tengah siang, Yandi masuk kedalam dan menjelajahi rumah bertingkat dua itu yang ditambah dengan ruangan bawah tanah.
Di kamar Karel, tempat dimana piano itu berada, dia memainkan lagu Neervallen. Layaknya musik-musik Eropa abad 18 dan 19, lagunya panjang, bertempo lambat, dan bernada sedih. Yandi tidak menyanyikan liriknya karena tidak bisa berbahasa Belanda.
Di tengah lagu, dia tidak merasakan keanehan apapun; namun memasuki akhir lagu, dia merasa, hawa ruangan yang tadinya sejuk menjadi dingin, sedingin malam. Disitulah bulu kuduknya mulai berdiri, keringat dingin mulai membasahi tubuh. Dia mencoba berhenti, namun jari-jarinya terus menekan tuts seakan ada yang menggerakkan untuk menyelesaikan lagu itu.
Setelah lagu selesai dimainkan, mendadak kedua telinganya berbunyi “ngiiing”; kemudian, ketika dia melihat ke arah kanan, dia melihat sesosok laki-laki tinggi tanpa kepala berpakaian ala bangsawan Belanda dahulu, berdiri menghadapnya; di samping kirinya berdiri sesosok tubuh yang lebih pendek, menggunakan seragam tentara Jepang yang khas, kulitnya kuning, namun wajahnya rusak seperti habis terkena bom, tangan kanannya memegang pedang Katana, sedangkan di tangan kirinya dia menenteng kepala Karel yang menangis, dengan kulit putih yang pucat.