imnanay
New member
Sebulan, Tiga Tewas dari KRL, Penumpang di atas gerbong akan diproses hukum
KEBON SIRIH—Jumlah penumpang tewas yang naik atap kereta rel listrik (KRL) tahun lalu mencapai 40 orang. Kepala Daerah Operasi (Daops) I Jakarta, Purnomo Radiq Y, menyebutkan bahwa jumlah korban yang jatuh dari atap KRL rata-rata tiga orang per bulan.
Semua korban terjatuh saat menumpang KRL ekonomi, dan tewas seketika akibat tersengat listrik. Tabuh mereka terbakar akibat jatuh tersengat listrik tegangan mencapai 1.500 volt.
Untuk mencegah terus bertambahnya korban, Purnorno menginstruksikan jajarannya menggelar operaSi penumpang di atas atap KRL mulai 10 Mei. Pada tahap awal, kata Purnomo, operasi yustisi dilakukan di Stasiun Pasar Minggu. Selanjutnya akan mencakup beberapa titik stasiun di wilayah Jabodetabek.
Operasi itu, sambung Purnomo, akan melibatkan aparat Kementerian Perhubungan, Polda Metro Jaya, garnisun, kejaksaan, dan pengadilan di DKI Jakarta yang jumlah aparatnya meneapai 150 orang. “Operasi yustisi akan dilakukan selama dua pekan,” kata Purnomo, Rabu (4/5).
Setelah operasi yustisi di pagi hari, kegiatan sore hari PT Kereta Api indonesia (KAI) Daops I Jakarta akan langsung memasang penyemprot air secara permanen di beberapa titik persimpangan KRL. Penyemprot air itu, kata Purnomo, diberi pewarna agar baju penumpang di atas kereta yang terkena semprot teridentifikasi melakukan pelanggaran. “Sehingga jika sampai di stasiun, petugas tinggal menangkap dan memproses hukum yang bersangkutan,” ujarnya.
Pihaknya juga akan memasang rambu tanda bahaya yang dipasang di tiang lalu lintas untuk mencegah penumpang naik ke atap KRL. Cara lainnya, dengan menurunkan troli pada kabel listrik aliran atas menjadi rendah. Sehingga tak memberi ruang kepada orang untuk duduk di situ.
Jika tetap nekat, kata Purnomo, keselamatan panumpang bandel itu terancam jika memaksakan diri tak turun. Sebab, yang bersangkutan bisa tertubruk rambu tersebut yang berpotensi menimpa kepalanya.
Dikatakannya, sesuai Pasal 183 ayat 1 dan 207 UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, jika melanggar aturan itu penumpang bisa dikenakan pidana penjara paling lama tiga bulan dan/atau pidana paling besar Rp 15 juta. Purnomo mengatakan, jika dalam operasi yustisi terdapat penumpang yang tahun lalu tercatat melanggar, maka akan langsung dikenakan hukuman maksimal. “Dalam operasi, kami juga siapkan mobil tahanan agar palanggar yang tertangkap bisa langsung dihukum saat itu juga” jelas Purnomo.
Purnomo menyatakan bahwa penumpang di atas atap itu terbagi tiga jenis. Panumpang yang memang soksokan agar terlihat jagoan, penumpang yang menghindari petugas agar tak ditarik
tiket, dan penumpang yang tak terangkut di dalam gerbong yang penuh. Perilaku penumpang naik atap kereta yang sudah puluhan. tahun coba dihentikan itu diakui Purnomo susah ditertibkan. Padahal, pihaknya sudah melakukan berbagai rekayasa teknik untuk mencegahnya.
Ia menyebut bahwa masalah utama itu akibat tarif KRL yang super murah, Dari Jakarta menuju Depok, penumpang hanya membayar Rp 1.000. Akibatnya, gerbong ditambah terus, jika tarif tetap murah pasti tak akan mampu menampung penumpang. Maski begitu, pihaknya akan menertibkan penumpang di atas atap, sebab itu membahayakan diri. “ini untuk menunjukkan citra bangsa Indonesia di mata dunia agar lebih baik,” kata Pumomo.
Republika/c13 5 mei 2011, maghfiroh yenny
KEBON SIRIH—Jumlah penumpang tewas yang naik atap kereta rel listrik (KRL) tahun lalu mencapai 40 orang. Kepala Daerah Operasi (Daops) I Jakarta, Purnomo Radiq Y, menyebutkan bahwa jumlah korban yang jatuh dari atap KRL rata-rata tiga orang per bulan.
Semua korban terjatuh saat menumpang KRL ekonomi, dan tewas seketika akibat tersengat listrik. Tabuh mereka terbakar akibat jatuh tersengat listrik tegangan mencapai 1.500 volt.
Untuk mencegah terus bertambahnya korban, Purnorno menginstruksikan jajarannya menggelar operaSi penumpang di atas atap KRL mulai 10 Mei. Pada tahap awal, kata Purnomo, operasi yustisi dilakukan di Stasiun Pasar Minggu. Selanjutnya akan mencakup beberapa titik stasiun di wilayah Jabodetabek.
Operasi itu, sambung Purnomo, akan melibatkan aparat Kementerian Perhubungan, Polda Metro Jaya, garnisun, kejaksaan, dan pengadilan di DKI Jakarta yang jumlah aparatnya meneapai 150 orang. “Operasi yustisi akan dilakukan selama dua pekan,” kata Purnomo, Rabu (4/5).
Setelah operasi yustisi di pagi hari, kegiatan sore hari PT Kereta Api indonesia (KAI) Daops I Jakarta akan langsung memasang penyemprot air secara permanen di beberapa titik persimpangan KRL. Penyemprot air itu, kata Purnomo, diberi pewarna agar baju penumpang di atas kereta yang terkena semprot teridentifikasi melakukan pelanggaran. “Sehingga jika sampai di stasiun, petugas tinggal menangkap dan memproses hukum yang bersangkutan,” ujarnya.
Pihaknya juga akan memasang rambu tanda bahaya yang dipasang di tiang lalu lintas untuk mencegah penumpang naik ke atap KRL. Cara lainnya, dengan menurunkan troli pada kabel listrik aliran atas menjadi rendah. Sehingga tak memberi ruang kepada orang untuk duduk di situ.
Jika tetap nekat, kata Purnomo, keselamatan panumpang bandel itu terancam jika memaksakan diri tak turun. Sebab, yang bersangkutan bisa tertubruk rambu tersebut yang berpotensi menimpa kepalanya.
Dikatakannya, sesuai Pasal 183 ayat 1 dan 207 UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, jika melanggar aturan itu penumpang bisa dikenakan pidana penjara paling lama tiga bulan dan/atau pidana paling besar Rp 15 juta. Purnomo mengatakan, jika dalam operasi yustisi terdapat penumpang yang tahun lalu tercatat melanggar, maka akan langsung dikenakan hukuman maksimal. “Dalam operasi, kami juga siapkan mobil tahanan agar palanggar yang tertangkap bisa langsung dihukum saat itu juga” jelas Purnomo.
Purnomo menyatakan bahwa penumpang di atas atap itu terbagi tiga jenis. Panumpang yang memang soksokan agar terlihat jagoan, penumpang yang menghindari petugas agar tak ditarik
tiket, dan penumpang yang tak terangkut di dalam gerbong yang penuh. Perilaku penumpang naik atap kereta yang sudah puluhan. tahun coba dihentikan itu diakui Purnomo susah ditertibkan. Padahal, pihaknya sudah melakukan berbagai rekayasa teknik untuk mencegahnya.
Ia menyebut bahwa masalah utama itu akibat tarif KRL yang super murah, Dari Jakarta menuju Depok, penumpang hanya membayar Rp 1.000. Akibatnya, gerbong ditambah terus, jika tarif tetap murah pasti tak akan mampu menampung penumpang. Maski begitu, pihaknya akan menertibkan penumpang di atas atap, sebab itu membahayakan diri. “ini untuk menunjukkan citra bangsa Indonesia di mata dunia agar lebih baik,” kata Pumomo.
Republika/c13 5 mei 2011, maghfiroh yenny