Dipi76
New member
Kitab Pararaton, sering disebut Kitab Para Datu atau Kisah Ken Angrok menurut Muljana ditulis pada 1613 M. Sumber lain mencatat bahwa Pararaton dibuat pada 1641. Dalam Sejarah Nasional Indonesia II dikatakan bahwa Pararaton ditulis pada akhir abad ke-15 dalam bentuk prosa (gancaran) (2008: 421), ditulis dengan gaya sastra Jawa Tengahan dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1.126 baris.
Pararaton menceritakan kronik Singasari sejak Ken Angrok (Ken Arok) sampai habisnya Kerajaan Majapahit. Pararaton adalah salah satu sumber sejarah penting masa Kerajaan Majapahit di samping Nagarakretagama karangan Mpu Prapanca. Pararaton berhasil diterjemahkan pada 1896 oleh Brandes, dan berhasil terbit pada 1920 setelah dilakukan penyuntingan oleh Krom.
Hal menarik mengenai serat ini adalah tidak jelasnya siapa pengarang Pararaton itu sendiri.Yang dapat dijadikan jejak penelusuran asal-mula serat ini adalah nama desa dan waktu penyelesaian Pararaton. Ini menjadi kontroversi ketika mendapati kenyataan bahwa Pararaton ditulis pada 1613 M, tepatnya pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma di Mataram berkuasa. Keabsahannya berbeda dengan Nagarakretagama yang ditulis oleh Prapanca pada masa Majapahit, apalagi bila dibandingkan dengan prasasti-prasasti yang sudah pasti terbukti keabsahannya sebagai sebuah sumber sejarah. Padahal Pararaton ini adalah rujukan utama para sejarawan dalam menganalisis sejarah Singasari dan Majapahit, dan hingga saat ini belum diketahui siapa penanggungjawab kebenaran-kebenaran peristiwa pada Pararaton tersebut.
Pararaton lebih ke arah sebuah novel yang sarat dengan kisah kepahlawanan, intrik politik, asmara, dendam, dan hasrat akan harta dan kekuasaan. Dan bila ditelisik lebih jauh, serat ini memberitahukan bahwa budaya politik nusantara adalah budaya saling mengudeta satu sama lain. Di dalamnya digambarkan dengan gamblang tentang perebutan kekuasaan, saling iri-dengki antarsaudara, obsesi yang begitu tinggi, sifat megalomania, dendam pribadi, dan lain-lain. Hanya saja, apabila dibandingkan dengan Nagarakretagama, Pararaton nampak lebih objektif karena tidak hanya membicarakan yang manis-manis mengenai sejarah Singasari dan Majapahit .
Pararaton ini berkisah tentang awal mula Ken Angrok lahir hingga menjelang jatuhnya Majapahit pada masa Bhre Pandan Salas (Sri Adi Suraprabhawa inghawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta ). Di dalamnya penuh dengan mitos, fantasi, dan khayalan yang digunakan untuk melegitimasi tokoh-tokoh yang diceritakan di dalamnya. Fakta dan fantasi yang terbaur menjadi satu membuat para ahli sejarah meragukan bahwa Pararaton ditulis untuk merekam kejadian-kejadian pada masa lampau. Hal ini diungkap oleh Berg yang berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supernatural dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk menentukan kejadian-kejadian di masa depan.
Terjemahan "Kitab Para Datu" atau "Kisah Ken Angrok"
Tuhan, Pencipta, Pelindung, dan Pengakhir Alam, semoga tak ada halangan,
sujudku sesempurna-sempurnanya.
Bagian 1
Demikian inilah kisah Ken Angrok. Asal mulanya, ia dijadikan manusia: Adalah seorang anak janda di Jiput, bertingkah laku tak baik, memutus-mutus tali kekang kesusilaan, menjadi gangguan Hyang yang bersifat gaib; pergilah ia dari Jiput, mengungsi ke daerah Bulalak. Nama yang dipertuan di Bulalak itu: Mpu Tapawangkeng, ia sedang membuat pintu gerbang asramanya, dimintai seekor kambing merah jantan oleh roh pintu.
Kata Tapawangkèng: "Tak akan berhasil berpusing kepala, akhirnya ini akan menjebabkan diriku jatuh ke dalam dosa, kalau sampai terjadi aku membunuh manusia, tak akan ada yang dapat menyelesaikan permintaan korban kambing merah itu."
Kemudian orang yang memutus-mutus tali kekang kesusilaan tadi berkata, sanggup menjadi korban pintu Mpu Tapawangkeng, sungguh ia bersedia dijadikan korban, agar ini dapat menjadi lantaran untuk dapat kembali ke surga Dewa Wisnu dan menjelma lagi di dalam kelahiran mulia, ke alam tengah lagi, demikianlah permintaannya. Demikianlah ketika ia direstui oleh Mpu Tapawangkeng, agar dapat menjelma, disetujui inti sari kematiannya, akan menikmati tujuh daerah. Sesudah mati, maka ia dijadikan korban oleh Mpu Tapawangkeng.
Selesai itu, ia terbang ke surga Wisnu, dan tidak bolak inti perjanjian yang dijadikan korban, ia meminta untuk dijelmakan di sebelah timur Kawi. Dewa Brahma melihat lihat siapa akan dijadikan temannya bersepasang.
Sesudah demikian itu, adalah mempelai baru, sedang cinta mencintai, yang laki laki bernama Gajahpara, yang perempuan bernama Ken Endok, mereka ini bercocok tanam. Ken Endok pergi ke sawah, mengirim suaminya, ialah si Gajahpara; nama sawah tempat ia mengirim Ayuga; desa Ken Endok bernama Pangkur.
Dewa Brahma turun ke situ, bertemu dengan Ken Endok, pertemuan mereka kedua ini terjadi di ladang Lalaten; dewa Brahma mengenakan perjanjian kepada istri itu: "Jangan kamu bertemu dengan lakimu lagi, kalau kamu bertemu dengan suamimu, ia akan mati, lagi pula akan tercampur anakku itu, nama anakku itu: Ken Angrok, dialah yang kelak akan memerintah tanah Jawa."
Dewa Brahma lalu menghilang. Ken Endok lalu ke sawah, berjumpa dengan Gajahpara. Kata Ken Endok: "Kakak Gajahpara, hendaknyalah maklumi, saya ditemani di dalam pertemuan oleh Hyang yang tidak tampak di ladang Lalateng, pesan beliau kepadaku: jangan tidur dengan lakimu lagi, akan matilah lakimu, kalau ia memaksa tidur dengan kamu, dan akan tercampurlah anakku itu." Lalu pulanglah Gajahpara, sesampainya di rumah Ken Endok diajak tidur, akan ditemani di dalam pertemuan lagi. Ken Endok segan terhadap Gajahpara. "Wahai, Kakak Gajahpara, putuslah perkawinanku dengan Kakak, saya takut kepada perkataan Sang Hyang. Ia tidak mengizinkan aku berkumpul dengan Kakak lagi." Kata Gajahpara: "Adik, bagaimana ini, apa yang harus kuperbuat, nah tak berkeberatan saya, kalau saya harus bercerai dengan kamu; adapun harta benda pembawaanmu kembali kepadamu lagi, Adik, harta benda milikku kembali pula kepadaku lagi". Sesudah itu Ken Endok pulang ke Pangkur di seberang utara, dan Gajahpara tetap bertempat tinggal di Campara di seberang selatan. Belum genap sepekan kemudian matilah Gajahpara.
Kata orang yang mempercakapkan: "Luar biasa panas anak di dalam kandungan itu, belum seberapa lama perceraian, orangtua perempuan sudah diikuti, orangtua laki-laki segera meninggal dunia." Akhirnya sesudah genap bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki, dibuang di kuburan kanak-kanak oleh Ken Endok. Selanjutnya ada seorang pencuri, bernama Lembong, tersesat di kuburan anak-anak itu, melihat benda bernyala, didatangi oleh Lembong, mendengar anak menangis, setelah didekati oleh Lembong itu, nyatalah yang menyala itu anak yang menangis tadi, diambil dan dibawa pulang, diaku anak oleh Lembong. Ken Endok mendengar, bahwa Lembong memungut seorang anak, teman Lembonglah yang memberitakan itu dengan menyebut-nyebut anak, yang didapatinya di kuburan kanak kanak, tampak bernyala pada waktu malam hari. Lalu Ken Endok datang kepadanya, sungguhlah itu anaknya sendiri. Kata Ken Endok: "Kakak Lembong, kiranya Tuan tidak tahu tentang anak yang Tuan dapat itu, itu adalah anak saya, Kakak, jika Kakak ingin tahu riwayatnya, demikianlah: Dewa Brahma bertemu dengan saya, jangan Tuan tidak memuliakan anak itu, karena dapat diumpamakan, anak itu beribu-dua berayah-satu, demikian persamaannya."
Lembong beserta keluarganya semakin cinta dan senang, lambat laun anak itu akhirnya menjadi besar, dibawa pergi mencuri oleh Lembong. Setelah mencapai usia sebaya dengan anak gembala, Ken Angrok bertempat tinggal di Pangkur. Habislah harta benda Ken Endok dan harta benda Lembong, habis dibuat taruhan oleh Ken Angrok. Kemudian ia menjadi anak gembala pada yang dipertuan di Lebak, menggembalakan sepasang kerbau, lama kelamaan kerbau yang digembalakan itu hilang, kerbau sepasang diberi harga delapan ribu oleh yang dipertuan di Lebak. Ken Angrok sekarang dimarahi oleh orangtua laki laki dan perempuan, kedua duanya: "Nah, Buyung, kami berdua mau menjadi hamba tanggungan, asal kamu tidak pergi saja, kami sajalah yang akan menjalani, menjadi budak tanggungan pada yang dipertuan di Lebak."
Akhirnya tidak dihiraukan, Ken Angrok pergi, kedua orangtuanya ditinggalkan di Campara dan di Pangkur. Lalu Ken Angrok pergi mencari perlindungan di Kapundungan; orang yang diungsi dan dimintai tempat berlindung tak menaruh belas kasihan. Ada seorang penjudi permainan saji berasal dari Karuman, bernama Bango Samparan, kalah bertaruhan dengan seorang ****** **** di Karuman, ditagih tak dapat membayar uang, Bango Samparan itu pergi dari Karuman, berziarah ke tempat keramat Rabut Jalu, mendengar kata dari angkasa, disuruh pulang ke Karuman lagi. "Kami memunyai anak yang akan dapat menyelesaikan hutangmu, ia bernama Ken Angrok." Pergilah Bango Samparan dari Rabut Jalu, berjalan pada waktu malam, akhirnya menjumpai seorang anak, dicocokkan oleh Bango Samparan dengan petunjuk Hyang, sungguhlah itu Ken Angrok, dibawa puIang ke Karuman, diaku anak oleh Bango Samparan.
Dia itu lalu ke tempat berjudi, ****** **** ditemui oleh Bango Samparan dilawan berjudi, kalahlah ****** itu, kembali kekalahan Bango Samparan, memang betul petunjuk Hyang itu, Bango Samparan pulang, Ken Angrok dibawa pulang oleh Bango Samparan. Bango Samparan berbayuh dua orang bersaudara, Genuk Buntu nama istri tuanya dan Tirtaya nama istri mudanya. Ada pun nama anak-anaknya dari istri muda ialah: Panji Bawuk, anak tengah Panji Kuncang, adiknya ini Panji Kunal dan Panji Kenengkung, bungsu seorang anak perempuan bernama Cucu Puranti. Ken Angrok diambil anak oleh Genuk Buntu. Lama ia berada di Karuman, tidak dapat sehati dengan semua para Panji itu, Ken Angrok berkehendak pergi dari Karuman. Lalu ia ke Kapundungan bertermu dengan seorang anak gembala anak Tuwan Sahaja, kepala desa tertua di Sagenggeng, bernama Tuwan Tita; ia bersahabat karib dengan Ken Angrok.
Tuwan Tita dan Ken Angrok sangat cinta-mencinta, selanjutnya Ken Angrok bertempat tinggal pada Tuwan Sahaja, tak pernah berpisahlah Ken Angrok dan Tuwan Sahaja itu, mereka ingin tahu tentang bentuk huruf huruf, pergilah ke seorang guru di Sagenggeng, sangat ingin menjadi murid, minta diajar sastra. Mereka diberi pelajaran tentang bentuk bentuk bentuk dan penggunaan pengetahuan tentang huruf huruf hidup dan huruf huruf mati, semua perubahan huruf, juga diajar tentang sengkalan, perincian hari tengah bulan, bulan, tahun Saka, hari enam, hari lima, hari tujuh, hari tiga, hari dua, hari sembilan, nama-nama minggu. Ken Angrok dan Tuwan Tita kedua-duanya pandai diajar pengetahuan oleh guru. Ada tanaman guru, menjadi hiasan halaman, berupa pohon jambu, yang ditanamnya sendiri.
Buahnya sangat lebat, sungguh padat karena sedang musimnya, dijaga baik tak ada yang diizinkan memetik, tak ada yang berani mengambil buah jambu itu. Kata guru: "Jika sudah masak jambu itu, petiklah." Ken Angrok sangat ingin, melihat buah jambu itu, sangat dikenang kenangkan buah jambu tadi. Setelah malam tiba waktu orang tidur sedang nyenyak-nyenyaknya, Ken Angrok tidur, kini keluarlah kelelawar dari ubun-ubun Ken Angrok, berbondong bondong tak ada putusnya, semalam-malaman makan buah jambu sang guru. Pada waktu paginya buah jambu tampak berserak serak di halaman, diambil oleh pengiring guru. Ketika guru melihat buah jambu rusak berserakan di halaman itu, maka rnenjadi susah. Kata guru kepada murid murid: "Apakah sebabnya maka jambu itu rusak?" Menjawablah pengiring guru: "Tuanku, rusaklah itu, karena bekas kelelawar makan jambu itu." Kemudian guru mengambil duri rotan untuk mengurung jambunya dan dijaga semalam malaman. Ken Angrok tidur lagi diatas balai-balai sebelah selatan, dekat tempat daun ilalang kering, di tempat ini guru biasanya menganyam atap.
Menurut penglihatan, guru melihat kelelawar penuh sesak berbondong bondong, keluar dari ubun-ubun Ken Angrok, semuanya makan buah jambu guru, bingunglah hati guru itu, merasa tak berdaya mengusir kelelawar yang banyak dan memakan jambunya, marahlah guru itu, Ken Angrok diusir oleh guru, kira kira pada waktu tengah malam guru rnengusirnya.
Ken Angrok terperanjat, bangun terhuyung-huyung, lalu keluar, pergi tidur di tempat ilalang di luar. Ketika guru menengoknya keluar, ia melihat ada benda menyala di tengah ilalang, guru terperanjat mengira kebakaran, setelah diperiksa yang tampak menyala itu adalah Ken Angrok, ia disuruh bangun, dan pulang, diajak tidur di dalam rumah lagi, menurutlah Ken Angrok pergi tidur di ruang tengah lagi. Pagi-paginya ia disuruh mengambil buah jambu oleh guru, Ken Angrok senang, katanya: "Aku mengharap semoga aku menjadi orang, aku akan membalas budi kepada guru."
Lama kelamaan Ken Angrok telah menjadi dewasa, menggembala dengan Tuwan Tita, membuat pondok, bertempat di sebelah timur Sagenggeng, di ladang Sanja, dijadikan tempatnya untuk menghadang orang yang lalu lintas di jalan, dengan Tuwan Titalah temannya. Adalah seorang penyadap enau di hutan orang Kapundungan, memunyai seorang anak perempuan cantik, ikut serta pergi ke hutan, dipegang oleh Ken Angrok, ditemani didalam pertemuan di dalam hutan, hutan itu bernama Adiyuga. Makin lama makin berbuat rusuhlah Ken Angrok, kemudian ia memperkosa orang yang melalui jalan, hal ini diberitakan sampai di negara Daha, bahwasanya Ken Angrok berbuat rusuh itu, maka ia ditindak untuk dilenyapkan oleh penguasa daerah yang berpangkat akuwu, bernama Tunggul Ametung.
Pergilah Ken Angrok dari Sagenggêng, mengungsi ke tempat keramat, Rabut Gorontol. "Semoga tergenang di dalam air, orang yang akan melenyapkan saya," kutuk Ken Angrok, "semoga keluar air dan tidak ada, sehingga terdjadilah tahun tak ada kesukaran di Jawa." Ia pergi dari Rabut Gorontol, mengungsi ke Wayang, ladang di Sukamanggala.
Ada seorang pemikat burung pitpit, ia memerkosa orang yang sedang rnemanggil-manggil burung itu, lalu menuju ke tempat keramat Rabut Katu. Ia heran, melihat tumbuh tumbuhan katu sebesar beringin, dari situ lari mengungsi ke Jun Watu, daerah orang sempurna, mengungsi ke Lulumbang, bertempat tinggal pada penduduk desa, keturunan golongan tentara, bernama Gagak Uget. Lamalah ia bertempat tinggal di situ, memerkosa orang yang sedang rnelalui jalan.
Ia lalu pergi ke Kapundungan, mencuri di Pamalantenan, ketahuanlah ia, dikejar dikepung, tak tahu ke mana ia akan mengungsi, ia memanjat pohon tal, di tepi sungai. Setelah siang, diketahui, bahwasanya ia memanjat pohon tal itu, ditunggu orang Kepundungan di bawah, sambil dipukulkan canang, pohon tal itu ditebang oleh orang-orang yang mengejarnya.
Sekarang ia menangis, menyebut-nyebut Sang Pentjipta Kebaikan atas dirinya, akhirnya ia mendengar sabda dari angkasa, ia disuruh memotong daun tal, untuk dijadikan sayapnya kiri-kanan, supaya dapat melayang ke seberang timur, mustahil ia akan mati. Lalu ia memotong daun tal mendapat dua helai, dijadikan sayapnya kiri-kanan, ia melayang ke seberang timur, dan mengungsi ke Nagamasa, diikuti dikejar, mengungsilah ia kedaerah Oran masih juga dikejar diburu, lari mengungsi ke daerah Kapundungan, yang dipertuan di daerah Kapundungan didapatinya sedang bertanam, Ken Angrok ditutupi dengan cara diaku anak oleh yang dipertuan itu. Anak yang dipertuan di daerah itu sedang bertanam, banyaknya enam orang, kebetulan yang seoarang sedang pergi mengeringkan empangan, tinggal lima orang; yang sedang pergi itu diganti menanam oleh ken Angrok, datanglah yang mengejarnya, seraya berkata kepada penguasa daerah: "Wahai, tuan kepala daerah, ada seorang perusuh yang kami kejar, tadi mengungsi ke mari." Menjawablah penguasa daerah itu: "Tuan-tuan, kami tidak sungguh bohong, ia tidak di sini; anak kami enam orang, yang sedang bertanam ini genap enam orang, hitunglah sendiri saja, jika lebih dari enam orang tentu ada orang lain di sini." Kata orang-orang yang mengejar: "Memang sungguh, anak penguasa daerah enam orang, betul juga yang bertanam itu ada enam orang." Segera pergilah yang mengejar. Kata penguasa daerah kepada ken Angrok: "Pergilah kamu, Buyung, jangan kembali yang mengejar kamu, kalau kalau ada yang membicarakan kata-kataku tadi, akan sia sia kamu berlindung kepadaku, pergilah mengungsi ke hutan." Maka kata Ken Angrok: "Semoga berhenti lagilah yang mengejar." Itulah sebabnya maka Ken Angrok bersembunyi di dalam hutan, Patangtangan nama hutan itu.
Selanjutnya ia mengungsi ke Ano, pergi ke hutan Terwag, ia semakin merusuh. Adalah seorang kepala lingkungan daerah Luki akan melakukan pekerjaan membajak tanah, berangkatlah ia membajak ladang, mempesiapkan tanahnya untuk ditanami kacang, membawa nasi untuk anak yang menggembalakan lembu kepala lingkungan itu, dimasukkan ke dalam tabung bambu, diletakkan di atas onggokan; sangat asyiklah kepala lingkungan itu, selalu membajak ladang kacang saja, maka dirunduk diambil dan dicari nasinya oleh Ken Angrok, tiap hari terjadi demikian itu. Kepala lingkungan bingunglah, karena tiap-tiap hari kehilangan nasi untuk anak gembalanya, kata kepala lingkungan: "Apakah sebabnya maka nasi itu hilang?"
Sekarang nasi anak gembala kepala lingkungan di tempat membajak itu diintai, dengan bersembunyi, anak gembalanya disuruh membajak, tak lama kemudian Ken Angrok datang dari dalam hutan, maksud Ken Angrok akan mengambil nasi, ditegor oleh kepala lingkungan: "Terangnya, kamulah, Buyung, yang nengambil nasi anak gembalaku tiap-tiap hari itu."
Ken Angrok menjawab: "Betullah, Tuan kepala lingkungan, saya inilah yang mengambil nasi anak gembala Tuan tiap-tiap hari, karena saya lapar, tak ada yang kumakan."
Kata kepala lingkungan: "Nah, Buyung. datanglah ke asramaku, kalau kamu lapar, mintalah nasi tiap-tiap hari, memang saya tiap-tiap hari mengharap ada tamu datang".
Lalu Ken Angrok diajak pergi ke rumah tempat tinggal kepala lingkungan itu, dijamu dengan nasi dan lauk-pauk. Kata kepala lingkungan kepada istrinya: "Nini Bhatari, saya berpesan kepadamu, kalau Ken Angrok datang ke mari, meski saya tak ada di rumah juga, lekas-lekas terima sebagai keluarga, kasihanilah ia." Diceriterakan, Ken Angrok tiap-tiap hari datang, seperginya dari situ menuju ke Lulumbang, ke banjar Kocapet. Ada seorang kepala lingkungan daerah Turyantapada, ia pulang dari Kebalon, bernama Mpu Palot, ia adalah tukang emas, berguru kepada kepala desa tertua di Kebalon yang seakan akan sudah berbadankan kepandaian membuat barang-barang emas dengan sesempurna-sesempurnanya. Sungguh ia telah sempurna tak bercacad, Mpu Palot pulang dari Kebalon, membawa beban seberat lima tahil, berhenti di Lulumbang, Mpu Palot itu takut akan pulang sendirian ke Turyantapada, karena ada orang dikabarkan melakukan perkosaan di jalan, bernama Ken Angrok. Mpu Palot tidak melihat orang lain, ia berjumpa dengan Ken Angrok di tempat beristirahat. Kata Ken Angrok kepada Mpu Palot: "Wahai, akan pergi ke manakah tuanku ini?" Kata Mpu, menjawabnya: "Saya sedang bepergian dari Kebalon, Buyung, akan pulang ke Turyantapada, saya takut di jalan, memikir-mikir ada orang yang melakukan perkosaan di jalan, bernama Ken Angrok."
Tersenyumlah Ken Angrok: "Nah, Tuan, anaknda ini akan menghantarkan pulang Tuan, anaknda nanti yang akan melawan kalau sampai terdjadi berjumpa dengan orang yang bernama ken Angrok itu, laju sajalah Tuan pulang ke Turyantapada, jangan khawatir."
Mpu di Tuyantapada itu merasa berhutang budi mendengar kesanggupan Ken Angrok. Setelah datang di Turyantapada, Ken Angrok diajar ilmu kepandaian membuat barang-barang emas, lekas pandai, tak kalah kalau kesaktiannya dibandingkan dengan Mpu Palot, selanjutnya Ken Angrok diaku anak oleh Mpu Palot, itulah sebabnya asrama Turyantapada dinamakan daerah Bapa.
Demikianlah Ken Angrok mengakui Mpu Palot sebagai ayah. Karena masih ada kekurangan Mpu Palot itu, maka Ken Angrok disuruhi pergi ke Kebalon oleh Mpu Palot, disuruh menyempurnakan kepandaiaan membuat barang-barang emas pada orang tertua di Kebalon, agar dapat menyelesaikan bahan yang ditinggalkan oleh bapak kepala lingkungan. Ken Angrok berangkat menuju ke Kebalon, tidak dipercaya Ken Angrok itu oleh penduduk di Kebalon.
Ken Angrok lalu marah : "Semoga ada lobang di tempat orang yang hidup menepi ini." Ken Angrok menikam, orang lari mengungsi kepada kepala desa tertua di Kebalon, dipanggil berkumpul petapa petapa yang berada di Kebalon semua, para guru Hyang, sampai pada para punta, semuanya keluar, membawa pukul perunggu, bersama sama mengejar dan memukul Ken Angrok dengan pukulan perunggu itu. Maksud para petapa itu akan memperlihatkan kehendaknya untuk membunuh Ken Angrok.
Segera mendengar suara dari angkasa: "Jangan kamu bunuh orang itu, wahai para petapa, anak itu adalah anakku, masih jauh tugasnya di alam tengah ini." Demikanlah suara dari angkasa, terdengar oleh para petapa. Maka ditolong Ken Angrok, bangun seperti sedia kala.
Ken Angrok lalu mengenakan kutuk: "Semoga tak ada petapa di sebelah timur Kawi yang tidak sempurna kepandaianya membuat benda-benda emas." Ken Angrok pergi dari Kebalon, mengungsi ke Turyantapada, ke daerah lingkungan Bapa; sempurnalah kepandaiannya tentang emas.
Ken Angrok pergi dari lingkungan Bapa menuju ke daerah desa Tugaran. Kepala tertua di Tugaran tidak menaruh belas digangguilah orang Tugaran oleh Ken Angrok, arca penjaga pintu gerbangnya didukung diletakkan di daerah lingkungan Bapa, kemudian dijumpai anak perempuan kepala tertua di Tugaran itu, sedang menanam kacang di sawah kering.
Gadis ini lalu ditemani didalam pertemuan oleh Ken Angrok, lama-kelamaan tanaman kacang menghasilkan berkampit-kampit; inilah sebabnya pula maka kacang Tugaran benihnya mengkilat besar dan gurih. Ia pergi dari Tugaran pulang ke daerah Bapa lagi. Kata Ken Angrok: "Kalau saja kelak menjadi orang, saya akan memberi perak kepada yang dipertuan di daerah Bapa ini." Di kota Daha dikabarkan tentang Ken Angrok, bahwa ia merusuh dan bersembunyi di Turyantapada, dan Daha. Diadakan tindakan untuk melenyapkannya, ia dicari oleh orang orang Daha, pergilah dari daerah Bapa menuju ke Gunung Pustaka. Ia pergi dari situ, mengungsi ke Limbehan, kepala tertua di Limbehan menaruh belas kasihanlah dimintai perlindungan oleh Ken Angrok itu, akhirnya Ken Angrok berziarah ke tempat keramat Rabut Gunung Panitikan.
Kepadanya turun petunjuk dewa, disuruh pergi ke Rabut Gunung Lejar pada hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama, para dewa bermusyawarah berapat. Demikian ini kata seorang nenek kebayan di Panitikan: "Saya akan membantu menyembunyikan kamu, Buyung, agar supaya tak ada yang akan tahu, saya akan menyapu di Gunung Lejar pada waktu semua dewa-dewa bermusyawarah." Demikian kata nenek kebayan di Panitikan itu. Ken Angrok lari menuju ke Gunung Lejar, hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama tiba, ia pergi ke tempat musyawarah.
Ia bersembunyi di tempat sampah ditimbuni dengan semak belukar oleh nenek kebayan Panitikan. Lalu berbunyilah suara tujuh nada, guntur, petir, gempa guruh, kilat, topan, angin ribut, hujan bukan masanya, tak ada selatnya sinar dan cahaya, maka demikian itu ia mendengar suara tak ada hentinya, berdengung-dengung bergemuruh. Ada pun inti musyawarah para dewa: "Yang rnemperkokoh Nusa Jawa, daerah manalah mestinya." Demikianlah kata para dewa, saling mengemukakan pembicaraan: "Siapakah yang pantas menjadi raja di Pulau Jawa?" demikian pertanyaan para dewa semua. Menjawablah Dewa Guru: "Ketahuilah, dewa-dewa semua, adalah anakku, seorang manusia yang lahir dari orang Pangkur, itulah yang memperkokoh Tanah Jawa."
Kini keluarlah Ken Angrok dari tempat sampah, dilihat oleh para dewa; semua dewa menjetujui, ia direstui bernama nobatan Batara Guru, demikian itu pujian dari dewa-dewa, yang bersorak-sorai riuh-rendah. Diberi petunjuklah Ken Angrok agar mengaku ayah kepada seorang brahmana yang bernama Sang Hyang Lohgawe. Dia ini baru saja dari Jambudipa, disuruh menemuinya di Taloka. Itulah asal mulanya ada brahmana di sebelah timur Kawi. Pada waktu ia menuju ke Jawa, tidak berperahu. hanya menginjak rumput kekatang tiga potong, setelah mendarat dari air, lalu menuju ke daerah Taloka, dang Hyang Lohgawe berkeliling mencari Ken Angrok.
Kata Dang Hyang Lohgawe: "Ada seorang anak, panjang tangannya melampaui lutut, tulis tangan kanannya cakra dan yang kiri sangka, bernama Ken Angrok. Ia tampak pada waktu aku memuja, ia adalah penjelmaan Dewa Wisnu, pemberitahuannya dahulu di Jambudwipa, demikian. "Wahai Dang Hyang Lohgawe, hentikan kamu memuja arca Wisnu, aku telah tak ada di sini, aku telah menjelma pada orang di Jawa, hendaknya kamu mengikuti aku di tempat perjudian."
Tak lama kemudian Ken Angrok didapati di tempat perjudian, diamat-amati dengan baik baik, betul ia adalah orang yang tampak pada Dang Hyang Lohgawe sewaktu ia memuja. Maka ia ditanyai. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Tentu buyunglah yang bernama Ken Angrok, adapun sebabnya aku tahu kepadamu, karena kamu tampak padaku pada waktu aku memuja."
Menjawablah Ken Angrok: "Betul, Tuan, anaknda bernama Ken Angrok." Dipeluklah ia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Kamu saya aku anak, Buyung, kutemani pada waktu kesusahan dan kuasuh ke mana saja kamu pergi." Ken Angrok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel, ikut pula brahmana itu. Setelah ia datang di Tumapel, tibalah saat yang sangat tepat, ia sangat ingin menghamba pada akuwu kepala daerah di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung.
Dijumpainya dia itu, sedang dihadap oleh hamba hambanya, Kata Tunggul Ametung: "Selamatlah tuanku brahmana, di mana tempat asal Tuan? Saya baru kali ini melihat Tuan."
Menjawablah Dang Hyang Lohgawe: Tuan Sang Akuwu, saya baru saja datang dari seberang, saja ini sangat ingin menghamba kepada sang akuwu." Menjawablah Tunggul Ametung: "Nah, senanglah saya, kalau Tuan Dang Hyang dapat bertempat tinggal dengan tenteram pada anaknda ini." Demikianlah kata Tunggul Ametung. Lamalah Ken Angrok menghamba kepada Tunggul Ametung yang berpangkat akuwu di Tumapel itu. Kemudian adalah seorang pujangga, pemeluk agama Buddha, menganut aliran Mahayana, bertapa di ladang orang Panawijen, bernama Mpu Purwa. Ia memunyai seorang anak perempuan tunggal, pada waktu ia belum menjadi pendeta Mahayana.
Anak perempuan itu luar biasa cantik moleknya, bernama Ken Dedes. Dikabarkan, bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, termasyur di sebelah timur Kawi sampai Tumapel. Tunggul Ametung mendengar itu, lalu datang di Panawijen, langsung menuju ke desa Mpu Purwa, bertemu dengan Ken Dedes; Tunggul Ametung sangat senang melihat gadis cantik itu. Kebetulan Mpu Purwa tak ada di pertapaannya, sekarang Ken Dedes sekonyong konyong dilarikan oleh Tunggul Ametung. Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak rnenjumpai anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; ia tidak tahu soal yang sebenarnya, maka Mpu Purwa menjatuhkan serapah yang tidak baik: "Nah, semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk keris dan diambil istrinya. Demikian juga orang orang di Panawidjen ini, semoga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak keluar air kolamnya ini, dosanya: mereka tak mau memberitahu, bahwa anakku dilarikan orang dengan paksaan."
Demikian kata Mpu Purwa: "Ada pun anakku yang menyebabkan gairat dan bercahaya terang, kutukku kepadanya, hanya: semoga ia mendapat keselamatan dan kebahagiaan besar."
Demikian kutuk pendeta Mahayana di Panawidjen. Setelah datang di Tumapel, Ken Dedes ditemani seperaduan oleh Tunggul Ametung, Tunggul Ametung tak terhingga cinta kasihnya. Baru saja Ken Dedes menampakkan gejala-gejala mengandung, Tunggul Ametung pergi bersenang senang, bercengkerama beserta istrinya ke Taman Boboji; Ken Dedes turun dari kereta kebetulan disebabkan karena nasib, tersingkap betisnya, terbuka sampai rahasianya, lalu kelihatan bernyala oleh Ken Angrok, terpesona ia melihat, tambahan pula kecantikannya memang sempurna, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, jatuh cintalah Ken Angrok, tak tahu apa yang akan diperbuat. Setelah Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama itu, Ken Angrok memberitahu kepada Dang Hyang Lohgawe, berkata: "Bapa Dang Hyang, ada seorang perempuan bernyala rahasianya, tanda perempuan yang bagaimanakah demikian itu, tanda buruk atau tanda baikkah itu?" Dang Hyang menjawab: "Siapa itu, Buyung?" Kata Ken Angrok: "Bapa, memang ada seorang perempuan, yang kelihatan rahasianya oleh hamba." Kata Dang Hyang: "Jika ada perempuan yang demikian, Buyung, perempuan itu namanya: Nawiswari, ia adalah perempuan yang paling utama, Buyung, jika memperistri perempuan itu, akan menjadi maharaja."
Ke Angrok diam, akhirnya berkata: "Bapa Dang Hyang, perempuan yang bernyala rahasianya itu ialah istri sang akuwu di Tumapel, jika demikian akuwu akan saya bunuh dan saya ambil istrinya, tentu ia akan mati, itu kalau Tuan mengizinkan." Jawab Dang Hyang: " Ya, tentu matilah, Buyung, Tunggul Ametung olehmu, hanya saya tidak pantas memberi izin itu kepadamu, itu bukan tindakan seorang pendeta, batasnya adalah kehendakmu sendiri."
Kata Ken Angrok: "Jika demikian, Bapa, hamba memohon diri kepada Tuan." Sang Brahmana menjawab: "Akan ke mana kamu, Buyung?" Ken Angrok menjawab: "Hamba pergi ke Karuman, ada seorang penjudi yang mengaku anak kepada hamba bernama Bango Samparan, ia cinta kepada hamba, dialah yang akan hamba mintai pertimbangan, mungkin ia akan menyetujuinya."
Kata Dang Hyang: "Baiklah kalau demikian, kamu jangan tinggal terlalu lama di Karuman, Buyung." Kata Ken Angrok: "Apakah perlunya hamba lama di sana?" Ken Angrok pergi dari Tumapel, sedatangnya Karuman, bertemu dengan Bango Samparan. "Kamu ini keluar dari mana, lama tidak datang kepadaku, seperti di dalam impian saja bertemu dengan kamu ini, lama betul kamu pergi."
Ken Angrok menjawab: "Hamba berada di Tumapel, Bapa, menghamba pada sang akuwu. Ada pun sebabnya hamba datang kepada Tuan. Adalah seorang istri akuwu, turun dari kereta, tersingkap rahasianya, kelihatan bernyala oleh hamba. Ada seorang brahmana yang baru saja datang di Jawa, bernama Dang Hyang Lohgawe, ia mengaku anak kepada hamba, hamba bertanya kepadanya: 'Apakah nama seorang perempuan yang menyala rahasianya itu?' Kata Sang Brahmana: 'Itu yang disebut seorang perempuan ardanareswari, sungguh baik tanda itu, karena siapa saja yang memperistrinya, akan dapat menjadi maharaja.' Bapa Bango, hamba ingin menjadi raja, Tunggul Ametung akan hamba bunuh, istrinya akan hamba ambil, supaya anaknda menjadi raja, hamba minta persetujuan Bapa Dang Hyang. Kata Dang Hyang: 'Buyung Angrok, tidak dapat seorang brahmana memberi persetujuan kepada orang yang mengambil istri orang lain, ada pun batasnya kehendakmu sendiri.' Itulah sebabnya hamba pergi ke Bapa Bango, untuk meminta izin kepada Bapa, sang akuwu akan hamba bunuh dengan rahasia, tentu akuwu mati oleh hamba."
Bersambung
-dipi-
Pararaton menceritakan kronik Singasari sejak Ken Angrok (Ken Arok) sampai habisnya Kerajaan Majapahit. Pararaton adalah salah satu sumber sejarah penting masa Kerajaan Majapahit di samping Nagarakretagama karangan Mpu Prapanca. Pararaton berhasil diterjemahkan pada 1896 oleh Brandes, dan berhasil terbit pada 1920 setelah dilakukan penyuntingan oleh Krom.
Hal menarik mengenai serat ini adalah tidak jelasnya siapa pengarang Pararaton itu sendiri.Yang dapat dijadikan jejak penelusuran asal-mula serat ini adalah nama desa dan waktu penyelesaian Pararaton. Ini menjadi kontroversi ketika mendapati kenyataan bahwa Pararaton ditulis pada 1613 M, tepatnya pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma di Mataram berkuasa. Keabsahannya berbeda dengan Nagarakretagama yang ditulis oleh Prapanca pada masa Majapahit, apalagi bila dibandingkan dengan prasasti-prasasti yang sudah pasti terbukti keabsahannya sebagai sebuah sumber sejarah. Padahal Pararaton ini adalah rujukan utama para sejarawan dalam menganalisis sejarah Singasari dan Majapahit, dan hingga saat ini belum diketahui siapa penanggungjawab kebenaran-kebenaran peristiwa pada Pararaton tersebut.
Pararaton lebih ke arah sebuah novel yang sarat dengan kisah kepahlawanan, intrik politik, asmara, dendam, dan hasrat akan harta dan kekuasaan. Dan bila ditelisik lebih jauh, serat ini memberitahukan bahwa budaya politik nusantara adalah budaya saling mengudeta satu sama lain. Di dalamnya digambarkan dengan gamblang tentang perebutan kekuasaan, saling iri-dengki antarsaudara, obsesi yang begitu tinggi, sifat megalomania, dendam pribadi, dan lain-lain. Hanya saja, apabila dibandingkan dengan Nagarakretagama, Pararaton nampak lebih objektif karena tidak hanya membicarakan yang manis-manis mengenai sejarah Singasari dan Majapahit .
Pararaton ini berkisah tentang awal mula Ken Angrok lahir hingga menjelang jatuhnya Majapahit pada masa Bhre Pandan Salas (Sri Adi Suraprabhawa inghawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta ). Di dalamnya penuh dengan mitos, fantasi, dan khayalan yang digunakan untuk melegitimasi tokoh-tokoh yang diceritakan di dalamnya. Fakta dan fantasi yang terbaur menjadi satu membuat para ahli sejarah meragukan bahwa Pararaton ditulis untuk merekam kejadian-kejadian pada masa lampau. Hal ini diungkap oleh Berg yang berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supernatural dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk menentukan kejadian-kejadian di masa depan.
Terjemahan "Kitab Para Datu" atau "Kisah Ken Angrok"
Tuhan, Pencipta, Pelindung, dan Pengakhir Alam, semoga tak ada halangan,
sujudku sesempurna-sempurnanya.
Bagian 1
Demikian inilah kisah Ken Angrok. Asal mulanya, ia dijadikan manusia: Adalah seorang anak janda di Jiput, bertingkah laku tak baik, memutus-mutus tali kekang kesusilaan, menjadi gangguan Hyang yang bersifat gaib; pergilah ia dari Jiput, mengungsi ke daerah Bulalak. Nama yang dipertuan di Bulalak itu: Mpu Tapawangkeng, ia sedang membuat pintu gerbang asramanya, dimintai seekor kambing merah jantan oleh roh pintu.
Kata Tapawangkèng: "Tak akan berhasil berpusing kepala, akhirnya ini akan menjebabkan diriku jatuh ke dalam dosa, kalau sampai terjadi aku membunuh manusia, tak akan ada yang dapat menyelesaikan permintaan korban kambing merah itu."
Kemudian orang yang memutus-mutus tali kekang kesusilaan tadi berkata, sanggup menjadi korban pintu Mpu Tapawangkeng, sungguh ia bersedia dijadikan korban, agar ini dapat menjadi lantaran untuk dapat kembali ke surga Dewa Wisnu dan menjelma lagi di dalam kelahiran mulia, ke alam tengah lagi, demikianlah permintaannya. Demikianlah ketika ia direstui oleh Mpu Tapawangkeng, agar dapat menjelma, disetujui inti sari kematiannya, akan menikmati tujuh daerah. Sesudah mati, maka ia dijadikan korban oleh Mpu Tapawangkeng.
Selesai itu, ia terbang ke surga Wisnu, dan tidak bolak inti perjanjian yang dijadikan korban, ia meminta untuk dijelmakan di sebelah timur Kawi. Dewa Brahma melihat lihat siapa akan dijadikan temannya bersepasang.
Sesudah demikian itu, adalah mempelai baru, sedang cinta mencintai, yang laki laki bernama Gajahpara, yang perempuan bernama Ken Endok, mereka ini bercocok tanam. Ken Endok pergi ke sawah, mengirim suaminya, ialah si Gajahpara; nama sawah tempat ia mengirim Ayuga; desa Ken Endok bernama Pangkur.
Dewa Brahma turun ke situ, bertemu dengan Ken Endok, pertemuan mereka kedua ini terjadi di ladang Lalaten; dewa Brahma mengenakan perjanjian kepada istri itu: "Jangan kamu bertemu dengan lakimu lagi, kalau kamu bertemu dengan suamimu, ia akan mati, lagi pula akan tercampur anakku itu, nama anakku itu: Ken Angrok, dialah yang kelak akan memerintah tanah Jawa."
Dewa Brahma lalu menghilang. Ken Endok lalu ke sawah, berjumpa dengan Gajahpara. Kata Ken Endok: "Kakak Gajahpara, hendaknyalah maklumi, saya ditemani di dalam pertemuan oleh Hyang yang tidak tampak di ladang Lalateng, pesan beliau kepadaku: jangan tidur dengan lakimu lagi, akan matilah lakimu, kalau ia memaksa tidur dengan kamu, dan akan tercampurlah anakku itu." Lalu pulanglah Gajahpara, sesampainya di rumah Ken Endok diajak tidur, akan ditemani di dalam pertemuan lagi. Ken Endok segan terhadap Gajahpara. "Wahai, Kakak Gajahpara, putuslah perkawinanku dengan Kakak, saya takut kepada perkataan Sang Hyang. Ia tidak mengizinkan aku berkumpul dengan Kakak lagi." Kata Gajahpara: "Adik, bagaimana ini, apa yang harus kuperbuat, nah tak berkeberatan saya, kalau saya harus bercerai dengan kamu; adapun harta benda pembawaanmu kembali kepadamu lagi, Adik, harta benda milikku kembali pula kepadaku lagi". Sesudah itu Ken Endok pulang ke Pangkur di seberang utara, dan Gajahpara tetap bertempat tinggal di Campara di seberang selatan. Belum genap sepekan kemudian matilah Gajahpara.
Kata orang yang mempercakapkan: "Luar biasa panas anak di dalam kandungan itu, belum seberapa lama perceraian, orangtua perempuan sudah diikuti, orangtua laki-laki segera meninggal dunia." Akhirnya sesudah genap bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki, dibuang di kuburan kanak-kanak oleh Ken Endok. Selanjutnya ada seorang pencuri, bernama Lembong, tersesat di kuburan anak-anak itu, melihat benda bernyala, didatangi oleh Lembong, mendengar anak menangis, setelah didekati oleh Lembong itu, nyatalah yang menyala itu anak yang menangis tadi, diambil dan dibawa pulang, diaku anak oleh Lembong. Ken Endok mendengar, bahwa Lembong memungut seorang anak, teman Lembonglah yang memberitakan itu dengan menyebut-nyebut anak, yang didapatinya di kuburan kanak kanak, tampak bernyala pada waktu malam hari. Lalu Ken Endok datang kepadanya, sungguhlah itu anaknya sendiri. Kata Ken Endok: "Kakak Lembong, kiranya Tuan tidak tahu tentang anak yang Tuan dapat itu, itu adalah anak saya, Kakak, jika Kakak ingin tahu riwayatnya, demikianlah: Dewa Brahma bertemu dengan saya, jangan Tuan tidak memuliakan anak itu, karena dapat diumpamakan, anak itu beribu-dua berayah-satu, demikian persamaannya."
Lembong beserta keluarganya semakin cinta dan senang, lambat laun anak itu akhirnya menjadi besar, dibawa pergi mencuri oleh Lembong. Setelah mencapai usia sebaya dengan anak gembala, Ken Angrok bertempat tinggal di Pangkur. Habislah harta benda Ken Endok dan harta benda Lembong, habis dibuat taruhan oleh Ken Angrok. Kemudian ia menjadi anak gembala pada yang dipertuan di Lebak, menggembalakan sepasang kerbau, lama kelamaan kerbau yang digembalakan itu hilang, kerbau sepasang diberi harga delapan ribu oleh yang dipertuan di Lebak. Ken Angrok sekarang dimarahi oleh orangtua laki laki dan perempuan, kedua duanya: "Nah, Buyung, kami berdua mau menjadi hamba tanggungan, asal kamu tidak pergi saja, kami sajalah yang akan menjalani, menjadi budak tanggungan pada yang dipertuan di Lebak."
Akhirnya tidak dihiraukan, Ken Angrok pergi, kedua orangtuanya ditinggalkan di Campara dan di Pangkur. Lalu Ken Angrok pergi mencari perlindungan di Kapundungan; orang yang diungsi dan dimintai tempat berlindung tak menaruh belas kasihan. Ada seorang penjudi permainan saji berasal dari Karuman, bernama Bango Samparan, kalah bertaruhan dengan seorang ****** **** di Karuman, ditagih tak dapat membayar uang, Bango Samparan itu pergi dari Karuman, berziarah ke tempat keramat Rabut Jalu, mendengar kata dari angkasa, disuruh pulang ke Karuman lagi. "Kami memunyai anak yang akan dapat menyelesaikan hutangmu, ia bernama Ken Angrok." Pergilah Bango Samparan dari Rabut Jalu, berjalan pada waktu malam, akhirnya menjumpai seorang anak, dicocokkan oleh Bango Samparan dengan petunjuk Hyang, sungguhlah itu Ken Angrok, dibawa puIang ke Karuman, diaku anak oleh Bango Samparan.
Dia itu lalu ke tempat berjudi, ****** **** ditemui oleh Bango Samparan dilawan berjudi, kalahlah ****** itu, kembali kekalahan Bango Samparan, memang betul petunjuk Hyang itu, Bango Samparan pulang, Ken Angrok dibawa pulang oleh Bango Samparan. Bango Samparan berbayuh dua orang bersaudara, Genuk Buntu nama istri tuanya dan Tirtaya nama istri mudanya. Ada pun nama anak-anaknya dari istri muda ialah: Panji Bawuk, anak tengah Panji Kuncang, adiknya ini Panji Kunal dan Panji Kenengkung, bungsu seorang anak perempuan bernama Cucu Puranti. Ken Angrok diambil anak oleh Genuk Buntu. Lama ia berada di Karuman, tidak dapat sehati dengan semua para Panji itu, Ken Angrok berkehendak pergi dari Karuman. Lalu ia ke Kapundungan bertermu dengan seorang anak gembala anak Tuwan Sahaja, kepala desa tertua di Sagenggeng, bernama Tuwan Tita; ia bersahabat karib dengan Ken Angrok.
Tuwan Tita dan Ken Angrok sangat cinta-mencinta, selanjutnya Ken Angrok bertempat tinggal pada Tuwan Sahaja, tak pernah berpisahlah Ken Angrok dan Tuwan Sahaja itu, mereka ingin tahu tentang bentuk huruf huruf, pergilah ke seorang guru di Sagenggeng, sangat ingin menjadi murid, minta diajar sastra. Mereka diberi pelajaran tentang bentuk bentuk bentuk dan penggunaan pengetahuan tentang huruf huruf hidup dan huruf huruf mati, semua perubahan huruf, juga diajar tentang sengkalan, perincian hari tengah bulan, bulan, tahun Saka, hari enam, hari lima, hari tujuh, hari tiga, hari dua, hari sembilan, nama-nama minggu. Ken Angrok dan Tuwan Tita kedua-duanya pandai diajar pengetahuan oleh guru. Ada tanaman guru, menjadi hiasan halaman, berupa pohon jambu, yang ditanamnya sendiri.
Buahnya sangat lebat, sungguh padat karena sedang musimnya, dijaga baik tak ada yang diizinkan memetik, tak ada yang berani mengambil buah jambu itu. Kata guru: "Jika sudah masak jambu itu, petiklah." Ken Angrok sangat ingin, melihat buah jambu itu, sangat dikenang kenangkan buah jambu tadi. Setelah malam tiba waktu orang tidur sedang nyenyak-nyenyaknya, Ken Angrok tidur, kini keluarlah kelelawar dari ubun-ubun Ken Angrok, berbondong bondong tak ada putusnya, semalam-malaman makan buah jambu sang guru. Pada waktu paginya buah jambu tampak berserak serak di halaman, diambil oleh pengiring guru. Ketika guru melihat buah jambu rusak berserakan di halaman itu, maka rnenjadi susah. Kata guru kepada murid murid: "Apakah sebabnya maka jambu itu rusak?" Menjawablah pengiring guru: "Tuanku, rusaklah itu, karena bekas kelelawar makan jambu itu." Kemudian guru mengambil duri rotan untuk mengurung jambunya dan dijaga semalam malaman. Ken Angrok tidur lagi diatas balai-balai sebelah selatan, dekat tempat daun ilalang kering, di tempat ini guru biasanya menganyam atap.
Menurut penglihatan, guru melihat kelelawar penuh sesak berbondong bondong, keluar dari ubun-ubun Ken Angrok, semuanya makan buah jambu guru, bingunglah hati guru itu, merasa tak berdaya mengusir kelelawar yang banyak dan memakan jambunya, marahlah guru itu, Ken Angrok diusir oleh guru, kira kira pada waktu tengah malam guru rnengusirnya.
Ken Angrok terperanjat, bangun terhuyung-huyung, lalu keluar, pergi tidur di tempat ilalang di luar. Ketika guru menengoknya keluar, ia melihat ada benda menyala di tengah ilalang, guru terperanjat mengira kebakaran, setelah diperiksa yang tampak menyala itu adalah Ken Angrok, ia disuruh bangun, dan pulang, diajak tidur di dalam rumah lagi, menurutlah Ken Angrok pergi tidur di ruang tengah lagi. Pagi-paginya ia disuruh mengambil buah jambu oleh guru, Ken Angrok senang, katanya: "Aku mengharap semoga aku menjadi orang, aku akan membalas budi kepada guru."
Lama kelamaan Ken Angrok telah menjadi dewasa, menggembala dengan Tuwan Tita, membuat pondok, bertempat di sebelah timur Sagenggeng, di ladang Sanja, dijadikan tempatnya untuk menghadang orang yang lalu lintas di jalan, dengan Tuwan Titalah temannya. Adalah seorang penyadap enau di hutan orang Kapundungan, memunyai seorang anak perempuan cantik, ikut serta pergi ke hutan, dipegang oleh Ken Angrok, ditemani didalam pertemuan di dalam hutan, hutan itu bernama Adiyuga. Makin lama makin berbuat rusuhlah Ken Angrok, kemudian ia memperkosa orang yang melalui jalan, hal ini diberitakan sampai di negara Daha, bahwasanya Ken Angrok berbuat rusuh itu, maka ia ditindak untuk dilenyapkan oleh penguasa daerah yang berpangkat akuwu, bernama Tunggul Ametung.
Pergilah Ken Angrok dari Sagenggêng, mengungsi ke tempat keramat, Rabut Gorontol. "Semoga tergenang di dalam air, orang yang akan melenyapkan saya," kutuk Ken Angrok, "semoga keluar air dan tidak ada, sehingga terdjadilah tahun tak ada kesukaran di Jawa." Ia pergi dari Rabut Gorontol, mengungsi ke Wayang, ladang di Sukamanggala.
Ada seorang pemikat burung pitpit, ia memerkosa orang yang sedang rnemanggil-manggil burung itu, lalu menuju ke tempat keramat Rabut Katu. Ia heran, melihat tumbuh tumbuhan katu sebesar beringin, dari situ lari mengungsi ke Jun Watu, daerah orang sempurna, mengungsi ke Lulumbang, bertempat tinggal pada penduduk desa, keturunan golongan tentara, bernama Gagak Uget. Lamalah ia bertempat tinggal di situ, memerkosa orang yang sedang rnelalui jalan.
Ia lalu pergi ke Kapundungan, mencuri di Pamalantenan, ketahuanlah ia, dikejar dikepung, tak tahu ke mana ia akan mengungsi, ia memanjat pohon tal, di tepi sungai. Setelah siang, diketahui, bahwasanya ia memanjat pohon tal itu, ditunggu orang Kepundungan di bawah, sambil dipukulkan canang, pohon tal itu ditebang oleh orang-orang yang mengejarnya.
Sekarang ia menangis, menyebut-nyebut Sang Pentjipta Kebaikan atas dirinya, akhirnya ia mendengar sabda dari angkasa, ia disuruh memotong daun tal, untuk dijadikan sayapnya kiri-kanan, supaya dapat melayang ke seberang timur, mustahil ia akan mati. Lalu ia memotong daun tal mendapat dua helai, dijadikan sayapnya kiri-kanan, ia melayang ke seberang timur, dan mengungsi ke Nagamasa, diikuti dikejar, mengungsilah ia kedaerah Oran masih juga dikejar diburu, lari mengungsi ke daerah Kapundungan, yang dipertuan di daerah Kapundungan didapatinya sedang bertanam, Ken Angrok ditutupi dengan cara diaku anak oleh yang dipertuan itu. Anak yang dipertuan di daerah itu sedang bertanam, banyaknya enam orang, kebetulan yang seoarang sedang pergi mengeringkan empangan, tinggal lima orang; yang sedang pergi itu diganti menanam oleh ken Angrok, datanglah yang mengejarnya, seraya berkata kepada penguasa daerah: "Wahai, tuan kepala daerah, ada seorang perusuh yang kami kejar, tadi mengungsi ke mari." Menjawablah penguasa daerah itu: "Tuan-tuan, kami tidak sungguh bohong, ia tidak di sini; anak kami enam orang, yang sedang bertanam ini genap enam orang, hitunglah sendiri saja, jika lebih dari enam orang tentu ada orang lain di sini." Kata orang-orang yang mengejar: "Memang sungguh, anak penguasa daerah enam orang, betul juga yang bertanam itu ada enam orang." Segera pergilah yang mengejar. Kata penguasa daerah kepada ken Angrok: "Pergilah kamu, Buyung, jangan kembali yang mengejar kamu, kalau kalau ada yang membicarakan kata-kataku tadi, akan sia sia kamu berlindung kepadaku, pergilah mengungsi ke hutan." Maka kata Ken Angrok: "Semoga berhenti lagilah yang mengejar." Itulah sebabnya maka Ken Angrok bersembunyi di dalam hutan, Patangtangan nama hutan itu.
Selanjutnya ia mengungsi ke Ano, pergi ke hutan Terwag, ia semakin merusuh. Adalah seorang kepala lingkungan daerah Luki akan melakukan pekerjaan membajak tanah, berangkatlah ia membajak ladang, mempesiapkan tanahnya untuk ditanami kacang, membawa nasi untuk anak yang menggembalakan lembu kepala lingkungan itu, dimasukkan ke dalam tabung bambu, diletakkan di atas onggokan; sangat asyiklah kepala lingkungan itu, selalu membajak ladang kacang saja, maka dirunduk diambil dan dicari nasinya oleh Ken Angrok, tiap hari terjadi demikian itu. Kepala lingkungan bingunglah, karena tiap-tiap hari kehilangan nasi untuk anak gembalanya, kata kepala lingkungan: "Apakah sebabnya maka nasi itu hilang?"
Sekarang nasi anak gembala kepala lingkungan di tempat membajak itu diintai, dengan bersembunyi, anak gembalanya disuruh membajak, tak lama kemudian Ken Angrok datang dari dalam hutan, maksud Ken Angrok akan mengambil nasi, ditegor oleh kepala lingkungan: "Terangnya, kamulah, Buyung, yang nengambil nasi anak gembalaku tiap-tiap hari itu."
Ken Angrok menjawab: "Betullah, Tuan kepala lingkungan, saya inilah yang mengambil nasi anak gembala Tuan tiap-tiap hari, karena saya lapar, tak ada yang kumakan."
Kata kepala lingkungan: "Nah, Buyung. datanglah ke asramaku, kalau kamu lapar, mintalah nasi tiap-tiap hari, memang saya tiap-tiap hari mengharap ada tamu datang".
Lalu Ken Angrok diajak pergi ke rumah tempat tinggal kepala lingkungan itu, dijamu dengan nasi dan lauk-pauk. Kata kepala lingkungan kepada istrinya: "Nini Bhatari, saya berpesan kepadamu, kalau Ken Angrok datang ke mari, meski saya tak ada di rumah juga, lekas-lekas terima sebagai keluarga, kasihanilah ia." Diceriterakan, Ken Angrok tiap-tiap hari datang, seperginya dari situ menuju ke Lulumbang, ke banjar Kocapet. Ada seorang kepala lingkungan daerah Turyantapada, ia pulang dari Kebalon, bernama Mpu Palot, ia adalah tukang emas, berguru kepada kepala desa tertua di Kebalon yang seakan akan sudah berbadankan kepandaian membuat barang-barang emas dengan sesempurna-sesempurnanya. Sungguh ia telah sempurna tak bercacad, Mpu Palot pulang dari Kebalon, membawa beban seberat lima tahil, berhenti di Lulumbang, Mpu Palot itu takut akan pulang sendirian ke Turyantapada, karena ada orang dikabarkan melakukan perkosaan di jalan, bernama Ken Angrok. Mpu Palot tidak melihat orang lain, ia berjumpa dengan Ken Angrok di tempat beristirahat. Kata Ken Angrok kepada Mpu Palot: "Wahai, akan pergi ke manakah tuanku ini?" Kata Mpu, menjawabnya: "Saya sedang bepergian dari Kebalon, Buyung, akan pulang ke Turyantapada, saya takut di jalan, memikir-mikir ada orang yang melakukan perkosaan di jalan, bernama Ken Angrok."
Tersenyumlah Ken Angrok: "Nah, Tuan, anaknda ini akan menghantarkan pulang Tuan, anaknda nanti yang akan melawan kalau sampai terdjadi berjumpa dengan orang yang bernama ken Angrok itu, laju sajalah Tuan pulang ke Turyantapada, jangan khawatir."
Mpu di Tuyantapada itu merasa berhutang budi mendengar kesanggupan Ken Angrok. Setelah datang di Turyantapada, Ken Angrok diajar ilmu kepandaian membuat barang-barang emas, lekas pandai, tak kalah kalau kesaktiannya dibandingkan dengan Mpu Palot, selanjutnya Ken Angrok diaku anak oleh Mpu Palot, itulah sebabnya asrama Turyantapada dinamakan daerah Bapa.
Demikianlah Ken Angrok mengakui Mpu Palot sebagai ayah. Karena masih ada kekurangan Mpu Palot itu, maka Ken Angrok disuruhi pergi ke Kebalon oleh Mpu Palot, disuruh menyempurnakan kepandaiaan membuat barang-barang emas pada orang tertua di Kebalon, agar dapat menyelesaikan bahan yang ditinggalkan oleh bapak kepala lingkungan. Ken Angrok berangkat menuju ke Kebalon, tidak dipercaya Ken Angrok itu oleh penduduk di Kebalon.
Ken Angrok lalu marah : "Semoga ada lobang di tempat orang yang hidup menepi ini." Ken Angrok menikam, orang lari mengungsi kepada kepala desa tertua di Kebalon, dipanggil berkumpul petapa petapa yang berada di Kebalon semua, para guru Hyang, sampai pada para punta, semuanya keluar, membawa pukul perunggu, bersama sama mengejar dan memukul Ken Angrok dengan pukulan perunggu itu. Maksud para petapa itu akan memperlihatkan kehendaknya untuk membunuh Ken Angrok.
Segera mendengar suara dari angkasa: "Jangan kamu bunuh orang itu, wahai para petapa, anak itu adalah anakku, masih jauh tugasnya di alam tengah ini." Demikanlah suara dari angkasa, terdengar oleh para petapa. Maka ditolong Ken Angrok, bangun seperti sedia kala.
Ken Angrok lalu mengenakan kutuk: "Semoga tak ada petapa di sebelah timur Kawi yang tidak sempurna kepandaianya membuat benda-benda emas." Ken Angrok pergi dari Kebalon, mengungsi ke Turyantapada, ke daerah lingkungan Bapa; sempurnalah kepandaiannya tentang emas.
Ken Angrok pergi dari lingkungan Bapa menuju ke daerah desa Tugaran. Kepala tertua di Tugaran tidak menaruh belas digangguilah orang Tugaran oleh Ken Angrok, arca penjaga pintu gerbangnya didukung diletakkan di daerah lingkungan Bapa, kemudian dijumpai anak perempuan kepala tertua di Tugaran itu, sedang menanam kacang di sawah kering.
Gadis ini lalu ditemani didalam pertemuan oleh Ken Angrok, lama-kelamaan tanaman kacang menghasilkan berkampit-kampit; inilah sebabnya pula maka kacang Tugaran benihnya mengkilat besar dan gurih. Ia pergi dari Tugaran pulang ke daerah Bapa lagi. Kata Ken Angrok: "Kalau saja kelak menjadi orang, saya akan memberi perak kepada yang dipertuan di daerah Bapa ini." Di kota Daha dikabarkan tentang Ken Angrok, bahwa ia merusuh dan bersembunyi di Turyantapada, dan Daha. Diadakan tindakan untuk melenyapkannya, ia dicari oleh orang orang Daha, pergilah dari daerah Bapa menuju ke Gunung Pustaka. Ia pergi dari situ, mengungsi ke Limbehan, kepala tertua di Limbehan menaruh belas kasihanlah dimintai perlindungan oleh Ken Angrok itu, akhirnya Ken Angrok berziarah ke tempat keramat Rabut Gunung Panitikan.
Kepadanya turun petunjuk dewa, disuruh pergi ke Rabut Gunung Lejar pada hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama, para dewa bermusyawarah berapat. Demikian ini kata seorang nenek kebayan di Panitikan: "Saya akan membantu menyembunyikan kamu, Buyung, agar supaya tak ada yang akan tahu, saya akan menyapu di Gunung Lejar pada waktu semua dewa-dewa bermusyawarah." Demikian kata nenek kebayan di Panitikan itu. Ken Angrok lari menuju ke Gunung Lejar, hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama tiba, ia pergi ke tempat musyawarah.
Ia bersembunyi di tempat sampah ditimbuni dengan semak belukar oleh nenek kebayan Panitikan. Lalu berbunyilah suara tujuh nada, guntur, petir, gempa guruh, kilat, topan, angin ribut, hujan bukan masanya, tak ada selatnya sinar dan cahaya, maka demikian itu ia mendengar suara tak ada hentinya, berdengung-dengung bergemuruh. Ada pun inti musyawarah para dewa: "Yang rnemperkokoh Nusa Jawa, daerah manalah mestinya." Demikianlah kata para dewa, saling mengemukakan pembicaraan: "Siapakah yang pantas menjadi raja di Pulau Jawa?" demikian pertanyaan para dewa semua. Menjawablah Dewa Guru: "Ketahuilah, dewa-dewa semua, adalah anakku, seorang manusia yang lahir dari orang Pangkur, itulah yang memperkokoh Tanah Jawa."
Kini keluarlah Ken Angrok dari tempat sampah, dilihat oleh para dewa; semua dewa menjetujui, ia direstui bernama nobatan Batara Guru, demikian itu pujian dari dewa-dewa, yang bersorak-sorai riuh-rendah. Diberi petunjuklah Ken Angrok agar mengaku ayah kepada seorang brahmana yang bernama Sang Hyang Lohgawe. Dia ini baru saja dari Jambudipa, disuruh menemuinya di Taloka. Itulah asal mulanya ada brahmana di sebelah timur Kawi. Pada waktu ia menuju ke Jawa, tidak berperahu. hanya menginjak rumput kekatang tiga potong, setelah mendarat dari air, lalu menuju ke daerah Taloka, dang Hyang Lohgawe berkeliling mencari Ken Angrok.
Kata Dang Hyang Lohgawe: "Ada seorang anak, panjang tangannya melampaui lutut, tulis tangan kanannya cakra dan yang kiri sangka, bernama Ken Angrok. Ia tampak pada waktu aku memuja, ia adalah penjelmaan Dewa Wisnu, pemberitahuannya dahulu di Jambudwipa, demikian. "Wahai Dang Hyang Lohgawe, hentikan kamu memuja arca Wisnu, aku telah tak ada di sini, aku telah menjelma pada orang di Jawa, hendaknya kamu mengikuti aku di tempat perjudian."
Tak lama kemudian Ken Angrok didapati di tempat perjudian, diamat-amati dengan baik baik, betul ia adalah orang yang tampak pada Dang Hyang Lohgawe sewaktu ia memuja. Maka ia ditanyai. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Tentu buyunglah yang bernama Ken Angrok, adapun sebabnya aku tahu kepadamu, karena kamu tampak padaku pada waktu aku memuja."
Menjawablah Ken Angrok: "Betul, Tuan, anaknda bernama Ken Angrok." Dipeluklah ia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Kamu saya aku anak, Buyung, kutemani pada waktu kesusahan dan kuasuh ke mana saja kamu pergi." Ken Angrok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel, ikut pula brahmana itu. Setelah ia datang di Tumapel, tibalah saat yang sangat tepat, ia sangat ingin menghamba pada akuwu kepala daerah di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung.
Dijumpainya dia itu, sedang dihadap oleh hamba hambanya, Kata Tunggul Ametung: "Selamatlah tuanku brahmana, di mana tempat asal Tuan? Saya baru kali ini melihat Tuan."
Menjawablah Dang Hyang Lohgawe: Tuan Sang Akuwu, saya baru saja datang dari seberang, saja ini sangat ingin menghamba kepada sang akuwu." Menjawablah Tunggul Ametung: "Nah, senanglah saya, kalau Tuan Dang Hyang dapat bertempat tinggal dengan tenteram pada anaknda ini." Demikianlah kata Tunggul Ametung. Lamalah Ken Angrok menghamba kepada Tunggul Ametung yang berpangkat akuwu di Tumapel itu. Kemudian adalah seorang pujangga, pemeluk agama Buddha, menganut aliran Mahayana, bertapa di ladang orang Panawijen, bernama Mpu Purwa. Ia memunyai seorang anak perempuan tunggal, pada waktu ia belum menjadi pendeta Mahayana.
Anak perempuan itu luar biasa cantik moleknya, bernama Ken Dedes. Dikabarkan, bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, termasyur di sebelah timur Kawi sampai Tumapel. Tunggul Ametung mendengar itu, lalu datang di Panawijen, langsung menuju ke desa Mpu Purwa, bertemu dengan Ken Dedes; Tunggul Ametung sangat senang melihat gadis cantik itu. Kebetulan Mpu Purwa tak ada di pertapaannya, sekarang Ken Dedes sekonyong konyong dilarikan oleh Tunggul Ametung. Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak rnenjumpai anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; ia tidak tahu soal yang sebenarnya, maka Mpu Purwa menjatuhkan serapah yang tidak baik: "Nah, semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk keris dan diambil istrinya. Demikian juga orang orang di Panawidjen ini, semoga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak keluar air kolamnya ini, dosanya: mereka tak mau memberitahu, bahwa anakku dilarikan orang dengan paksaan."
Demikian kata Mpu Purwa: "Ada pun anakku yang menyebabkan gairat dan bercahaya terang, kutukku kepadanya, hanya: semoga ia mendapat keselamatan dan kebahagiaan besar."
Demikian kutuk pendeta Mahayana di Panawidjen. Setelah datang di Tumapel, Ken Dedes ditemani seperaduan oleh Tunggul Ametung, Tunggul Ametung tak terhingga cinta kasihnya. Baru saja Ken Dedes menampakkan gejala-gejala mengandung, Tunggul Ametung pergi bersenang senang, bercengkerama beserta istrinya ke Taman Boboji; Ken Dedes turun dari kereta kebetulan disebabkan karena nasib, tersingkap betisnya, terbuka sampai rahasianya, lalu kelihatan bernyala oleh Ken Angrok, terpesona ia melihat, tambahan pula kecantikannya memang sempurna, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, jatuh cintalah Ken Angrok, tak tahu apa yang akan diperbuat. Setelah Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama itu, Ken Angrok memberitahu kepada Dang Hyang Lohgawe, berkata: "Bapa Dang Hyang, ada seorang perempuan bernyala rahasianya, tanda perempuan yang bagaimanakah demikian itu, tanda buruk atau tanda baikkah itu?" Dang Hyang menjawab: "Siapa itu, Buyung?" Kata Ken Angrok: "Bapa, memang ada seorang perempuan, yang kelihatan rahasianya oleh hamba." Kata Dang Hyang: "Jika ada perempuan yang demikian, Buyung, perempuan itu namanya: Nawiswari, ia adalah perempuan yang paling utama, Buyung, jika memperistri perempuan itu, akan menjadi maharaja."
Ke Angrok diam, akhirnya berkata: "Bapa Dang Hyang, perempuan yang bernyala rahasianya itu ialah istri sang akuwu di Tumapel, jika demikian akuwu akan saya bunuh dan saya ambil istrinya, tentu ia akan mati, itu kalau Tuan mengizinkan." Jawab Dang Hyang: " Ya, tentu matilah, Buyung, Tunggul Ametung olehmu, hanya saya tidak pantas memberi izin itu kepadamu, itu bukan tindakan seorang pendeta, batasnya adalah kehendakmu sendiri."
Kata Ken Angrok: "Jika demikian, Bapa, hamba memohon diri kepada Tuan." Sang Brahmana menjawab: "Akan ke mana kamu, Buyung?" Ken Angrok menjawab: "Hamba pergi ke Karuman, ada seorang penjudi yang mengaku anak kepada hamba bernama Bango Samparan, ia cinta kepada hamba, dialah yang akan hamba mintai pertimbangan, mungkin ia akan menyetujuinya."
Kata Dang Hyang: "Baiklah kalau demikian, kamu jangan tinggal terlalu lama di Karuman, Buyung." Kata Ken Angrok: "Apakah perlunya hamba lama di sana?" Ken Angrok pergi dari Tumapel, sedatangnya Karuman, bertemu dengan Bango Samparan. "Kamu ini keluar dari mana, lama tidak datang kepadaku, seperti di dalam impian saja bertemu dengan kamu ini, lama betul kamu pergi."
Ken Angrok menjawab: "Hamba berada di Tumapel, Bapa, menghamba pada sang akuwu. Ada pun sebabnya hamba datang kepada Tuan. Adalah seorang istri akuwu, turun dari kereta, tersingkap rahasianya, kelihatan bernyala oleh hamba. Ada seorang brahmana yang baru saja datang di Jawa, bernama Dang Hyang Lohgawe, ia mengaku anak kepada hamba, hamba bertanya kepadanya: 'Apakah nama seorang perempuan yang menyala rahasianya itu?' Kata Sang Brahmana: 'Itu yang disebut seorang perempuan ardanareswari, sungguh baik tanda itu, karena siapa saja yang memperistrinya, akan dapat menjadi maharaja.' Bapa Bango, hamba ingin menjadi raja, Tunggul Ametung akan hamba bunuh, istrinya akan hamba ambil, supaya anaknda menjadi raja, hamba minta persetujuan Bapa Dang Hyang. Kata Dang Hyang: 'Buyung Angrok, tidak dapat seorang brahmana memberi persetujuan kepada orang yang mengambil istri orang lain, ada pun batasnya kehendakmu sendiri.' Itulah sebabnya hamba pergi ke Bapa Bango, untuk meminta izin kepada Bapa, sang akuwu akan hamba bunuh dengan rahasia, tentu akuwu mati oleh hamba."
Bersambung
-dipi-