spirit
Mod
Ketika kita membahas masalah perkembangan sastra Indonesia, bayangan kita seringkali tertuju pada angkatan-angkatan sastra Indonesia, seperti angkatan 1920-an atau disebut juga angkatan Balai Pustaka; angkatan 1933, yang disebut juga angkatan Pujangga Baru; angkatan 1945 yang disebut angkatan Pendobrak, dan angakatn 1966 atau disebut juga angkatan Orde Lama.
Angkatan 1920-an identik dengan novel Marah Rusli berjudul Siti Nurbaya; angkatan 1933 dengan tokoh sastrawannya Sutan Takdir Alisahbana (dalam bidang prosa) dan Amir Hamzah (bidang puisi). Angjatan 1945 dengan tokoh sentralnya, Chairil Anwar dengan puisi-puisinya yang sangat monumental berjudul Aku. Angkatan 1966 dengan tokoh centralnya Dr. Taufik Ismail dengan kumpulan puisinya berjudul Tirani dan Benteng.
Pembagian angkatan seperti itu dikemukakan oleh Hans Bague Jassin (H.B. Jassin), seorang ahli sastra Indonesia yang sering disebut-sebut sebagai Paus Sastra Indonesia. Tentu boleh-boleh saja kita setuju dengan pembagian seperti itu, apalagi memang kepakaran H.B. Jassin dalam mengapresiasi sastra Indonesia cukup mumpuni. Tetapi yang lebih penting kita ketahui adalah bahwa sastra Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan.
Menarik untuk diperhatikan bahwa perkembangan sastra Indonesia berbanding lurus dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan formal, dimulai tahun 1900-an, yaitu ketika penjajah Belanda membolehkan bangsa boemi poetra (sebutan untuk orang Indonesia oleh Belanda) memasuki pendidikan formal. Tentu saja pendidikan formal saat itu adalah milik penjajah Belanda.
Karena genre sastra terdiri dari tiga bentuk (yaitu puisi, prosa, dan drama), maka ada baiknya kita menganalisis perkembangan genre sastra ini dari tiga bentuk itu. Dengan demikian, dalam pembelajaran ini Anda akan menganalisis perkembangan puisi, prosa, dan drama dalam lingkup sastra Indonesia.
Seiring dengan perkembangan puisi, prosa Indonesia pun berkembang pula. Seperti puisi, prosa pun mengenal prosa lama dan prosa baru atau prosa modern. Prosa lama bersifat anonim; dengan penjenisannya meliputi dongeng, hikayat, fabel, sage. Sedangkan prosa baru, dengan diukur dari panjang pendeknya, meliputi cerpen, novelet, dan novel/roman.
Prosa Indonesia baru pun mulai muncul tahun 1920-an, dengan ditandai munculnya novel monumental berjudul Siti Nurbaya, buah karya Marah Rusli. Lalu zaman Pujangga Baru muncul pula Sutan Takdir Alisjahbana dengan roman berjdul Layar Terkembang. Lalu, menjelang kemerdekaan muncul Armiyn Pane yang menulis novel Belenggu yang dianggap novel modern pada zamannya.
Tahun 1945 perlu dicatat nama Idrus sebagai prosaic cerpen. Buku kumpulan cerpennya Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma menjadi buku yang cukup terkenal. Selain itu juga novel singkat yang digarap dengan nada humor berjudul Aki.
Tahun 1949 muncul novel karya Achdiat Karta Miharja berjudul Atheis. Atheis termasuk novel yang cukup berhasil karena hamir semua unsurnya menonjol dan menarik unuk dibaca. Dengan mengambil latar Pasundan berhasil mengangkat sebuah tema terkikisnya sebuah kepercayaan keagamaan. Hasan, tokoh utama dalam novel ini, adalah orang yang 180 derajat berbalik dari taat beragama tiba-tiba menjadi seorang yang atheis karena pengaruh pergaulannya dengan Rusli dan Anwar yang memang berpaham komunis.
Tahun 1955 muncul cerpen yang sangat terkenal, berjudul Robohnya Surau Kami, buah karya Ali Akbar Navis (lebih dikenal dengan A.A. Navis). Cerpen ini sarat dengan kritik sosial menyangkut kesalahan orang dalam menganut agama. Navis nambapknya ingin mendobrak paham keagamaan masyarakat Indonesia yang mengira beribadah hanyalah sekedar melaksanakan shalat, puasa, atau mengaji Quran; sedangkan kegiatan lain di luar ibdah formal, sepertimencari nafkah, peduli pada sesama dan alam dibaikan. Lewat tokoh Haji Shaleh yang tiba-tiba masuk neraka karena ulahnya di dunia yang mengabaikan kepentingan keluarga.
Tahun 1968 muncul novel berjudul Merahnya Merah, garapan Iwan Simatupang, sebuah novel yang cukup absurd, terutama dalam hal gaya bercerita. Namun demikian, novel ini banyak memperoleh pujian dan sorotan para kritikus sastra, baik dalam maupun luar negeri.
Tahun 1975 nuncul novel Harimau! Harimau!, buah karya Mochtar Lubis, menceritakan tentang tujuh orang pencari damar yang berada di tengah sutan selama seminggu. Mereka adalah Pak Haji, Wak Katok, Sutan, Talib, Buyung, Sanip dan Pak Balam. Di tengah hutan itu mereka berhadapan dengan seekor harimau yang tengah mencari mangsa. Empat orang di antara tujuh orang itu (Pak Balam, Sutan, Talib, dan Pak Haji). Kecuali Pak Haji yang meinggal karena tertembak senapan Wak Katok, tiga yang lalinnya meninggal karena diterkam Harimau.
Haimau! Harimau! Sarat dengan pesan moral, yaitu bahwa setiap manusia harus mengakui dosanya agar terbebas dari bayang-bayang ketakutan. Pak Balam, orang yang pertama terluka karena diterkam harimau, mengakkui dosa-dosanya di masa muda, dan menyuruh para pendamar yang lain juga mengakui dosa-dosanya. Semua memang mengakui, hanya Wak Katok yang enggan mengakuinya.
Tahun 1982, muncul novel Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari, sebuah novel yang berhasil mendeskripsikan adat orang Jawa, khususnya Cilacap.
Tahun 1990, Ramadhan K.H. menulis novel berjudul Ladang Perminus, sebuah novel yang mengisahkan tentang korupsi di tubuh Perusahaan Minyak Nusantara (Perminus). Novel ini seolah-olah menelanjangi tindakan korupsi di tubuh Pertamina, sebagai perusahaan pertambanyak minyak nasional.
Dan novel paling mutakhir adalah Saman, 1998, karya Ayu Utami. Ayu Utami termasuk novelis yang membawa pembaharuan dalam perkembangan novel Indonesia. Dalam Saman, Ayu Utami tidak sungkan-sungkan membahas masalah seks, sesuatu yang di Indonesia dianggap kurang sopan untuk diungkap. Tapi mungkin zamannya sudah berubah, kini masalah sesks sudah bukan merupakan hal yang tabu untuk diungkapkan. Ironis, bahwa yang mengungkap secara detail dan sedikit jorok dalam nobvel ini adalah justru seorang wanita, Ayu Utami.
Dan untuk tahun 2000-an ini, tepatnya tahun 2003 yang baru silam, telah terbit novel termuda, dari penulis termuda pula yang menulis novel berjudul Area X, sebuah novel futurisktik tentang Indonesia tahun 2048, mengenai deribonucleic acid dan makhlluk ruang angkasa. Novel ini ditulis oleh Eliza Vitri Handayani, seorang siswi kelas 2 SMA Nusantara Magelang, sebuah SMA favorit di Indonesia.
Begitulah perkembangan genre sastra prosa di Indonesia.
Novel merupakan salah satu karya sastra yang tidak asing lagi bagi kita. Sejarahnya, novel hadir sebagai alat untuk merepresentatifkan kehidupan manusia yang tertuang dalam karya fiksi. Lalu yang jadi pertanyaan adalah bagaimana perkembangan novel dari masa ke masa, terutama novel Indonesia.
Ketika kita membahas masalah perkembangan sastra Indonesia, bayangan kita seringkali tertuju pada angkatan-angkatan sastra Indonesia, seperti angkatan 1920-an atau disebut juga angkatan Balai Pustaka; angkatan 1933, yang disebut juga angkatan Pujangga Baru; angkatan 1945 yang disebut angkatan Pendobrak, dan angakatn 1966 atau disebut juga angkatan Orde Lama.
Angkatan 1920-an identik dengan novel Marah Rusli berjudul Siti Nurbaya; angkatan 1933 dengan tokoh sastrawannya Sutan Takdir Alisahbana (dalam bidang prosa) dan Amir Hamzah (bidang puisi). Angjatan 1945 dengan tokoh sentralnya, Chairil Anwar dengan puisi-puisinya yang sangat monumental berjudul Aku. Angkatan 1966 dengan tokoh centralnya Dr. Taufik Ismail dengan kumpulan puisinya berjudul Tirani dan Benteng.
Pembagian angkatan seperti itu dikemukakan oleh Hans Bague Jassin (H.B. Jassin), seorang ahli sastra Indonesia yang sering disebut-sebut sebagai Paus Sastra Indonesia. Tentu boleh-boleh saja kita setuju dengan pembagian seperti itu, apalagi memang kepakaran H.B. Jassin dalam mengapresiasi sastra Indonesia cukup mumpuni. Tetapi yang lebih penting kita ketahui adalah bahwa sastra Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan.
Menarik untuk diperhatikan bahwa perkembangan sastra Indonesia berbanding lurus dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan formal, dimulai tahun 1900-an, yaitu ketika penjajah Belanda membolehkan bangsa boemi poetra (sebutan untuk orang Indonesia oleh Belanda) memasuki pendidikan formal. Tentu saja pendidikan formal saat itu adalah milik penjajah Belanda.
Karena genre sastra terdiri dari tiga bentuk (yaitu puisi, prosa, dan drama), maka ada baiknya kita menganalisis perkembangan genre sastra ini dari tiga bentuk itu. Dengan demikian, dalam pembelajaran ini Anda akan menganalisis perkembangan puisi, prosa, dan drama dalam lingkup sastra Indonesia.
Dari masa ke masa
Pada pertengahan abad ke-19, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi telah meletakkan dasar-dasar penulisan prosa dengan teknik bercerita yang disandarkan pada pengumpulan data historis yang bertumpu pada lawatan-lawatan biografls. Akan tetapi, karya prosa yang diakui menjadi karya pertama yang memenuhi unsur-unusr struktur sebuah novel modern baru benar-benar muncul di awal abad ke-20. Novel yang dimaksud adalah novel karya Mas Marco Kartodikromo dan Merari Siregar. Sementara itu, tahun 1920 dianggap sebagai tahun lahirnya kesusastraan Nasional dengan ditandai lahirnya novel Azab dan Sengsara. Pada masa awal abad ke-20, begitu banyak novel yang memiliki unsur wama lokal. Novel-novel tersebut, antara lain Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, Kalau Tak Untung, Harimau! Harimau!, Pergolakan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sementara itu, novel Belenggu karya Armjn Pane, hingga saat ini lazim dikatakan sebagai tonggak munculnya novel modern di Indonesia.
Dari waktu ke waktu, novel terus mengalami perkembangan. Masing-masing novel tersebut mewakili semangat dari setiap zaman di mana novel itu muncul. Di awal tahun 2000 muncul jenis novel yang dikatakan sebagai chicklit, teenlit,dan metropop. Ketiga jenis tersebut sempat dianggap sebagai karya yang tidak layak disejajarkan dengan karya sastra pendahulu mereka oleh kelompok-kelompok tertentu. Di antara karya-karya tersebut yang tergolong ke dalam jajaran best seller, antara lain Cintapuccino karya Icha Rahmanti, Eiffel I’m In Love karya Rahma Arunita, Jomblo karya Aditya Mulya, dan lain sebagainya. Akan tetapi, walau bagaimana pun juga, seperti yang telah dikemukakan di awal, setiap karya sastra mewakili zaman tertentu. Begitu juga dengan karya-karya tersebut yang kini berdampingan kemunculannya bersama Supernova karya Dee, Dadaisme karya Dewi Sartika, Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, 5 cm karya Donny Dhirgantoro, dan novel-novel terbaru lainnya yang memiliki kekuatan serta pembaca sasaran masing-masing.
Sebelum Balai Pustaka
Lalu, bagaimana perkembangan novel Indonesia Sebelum Balai Pustaka? sebelum berdirinya Balai Pustaka, tahun 1917. Sejauh kepustakaan yang dapat dirunut, terbukti belum pernah ada ahli atau -pengamat kesusastraan Indonesia yang berusaha mengungkap khazanah kesusastraan sebelum Balai Pustaka tersebut, secara menyeluruh dan khusus. Seandainya pun pernah ada yang melakukan, rata-rata terbatas pada topik-topik yang sangat spesifik. Dalam hubungan ini pantas disebut, misalnya, penelitian yang lebih dari memadai yang pernah dilakukan oleh Claudine Salmon, berjudul Literature in Malay bz the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography (1981), atau yang dilakukan oleh no Joe Lan dengan bukunya Sastera
Indonesia-Tionghoa, atau seperti juga yang dilakukan oleh John B. Kwee dengan disertasinya berjudul Chinese Maley Literature of the Peranakan Chinese in Indonesia 1880-1942 (1977). Ketiga peneliti tersebut jelas sekali hanya mengkhususkan pembicaraannya pada khazanah kesusastrann yang ditulis oleh pengarang Peranakan Cina.
Peneliti lain yang pernah mencoba menunjukkan khazanah kesusastraan Indonesia dari sisi yang lain hampir-hampir belum pernah ada, dan masih sangat sedikit, Dari yang sedikit ini, tampak hanya Pramoedya Ananta Toer yang cukup mempunyai perhatian, khususnya dalam mengungkap khazanah novel sebelum Balai Pustaka yang ditulis oleh pribumi atau peranakan Eropa. Dua buah buku Pramoedya yang masing-masing berjudul Tempo Doeloe (19E2) dan Sang Pemu1a (19P5), menunjukkan perhatiannya itu.
Dalam hubungan ini perlu di jelaskan sedikit bahwa sebenarnya ada beberapa ahli yang mempunyai cukup perhatian mengenai khazanah kesusastraan Indonesia sebelum Balai Pustaka yang melihat tidak hanya sesisi saja. Hanya sayang sekali, para ahli tersebut agaknya belum melakukan penelitian yang mendalam, sehingga mereka pada umumnya hanya dapat menuliskannya dalam bentuk artikel kecil di sebuah majalah. Di antara para ahli yang sedemikian itu, dapat disebutkan disini misalnya C.W. Watson dalam “Some Preliminary
Remarks on the Antecedents of Modern Indonesian Literature” (dalam Bra, 1971), W.Q. Sykorsky dalam “Some Additional Remarks on the Antecedents of Modern Indonesian literature” 1980), dan beberapa tulisan Jakob Sumardjo yang tersebar di berbagai penerbitan.
Penelitian ini setidaknya ingin melengkapi atau ingin mengungkap khazanah kesusastraan Indonesia sebelum Balai Pustaka itu, secara menyeluruh dan 1engkap, yang tentu saja bertolak dari data-data yang berhasil diperoleh dan di temukan selama dilangsungkannya penelitian yang enam bulan ini.
Novel Modern
Ada perkembangan menarik dalam penulisan novel di negeri ini. Bukan saja masalah berapa ratus judul per bulan jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lampau, melainkan juga apa yang novel-novel tersebut kisahkan. Ada berbagai tema mulai perempuan, seks, sains, sejarah, agama, spiritual, sosial, etnis, hingga politik. Perkembangan pilihan tema itu tentu tidak lepas dari hal-hal di luar masalah penulisan novel itu sendiri. Perkembangan itu tak lain dari risiko perkembangan pemikiran manusia saat ini yang semakin hari semakin spesifik.
Keinginan untuk memasukkan berbagai hal dalam novel ini dengan melihat perkembangan masalah dalam masyarakat mulai menarik perhatian dan penting untuk diperhatikan. Kecenderungan kontemporer ini antara lain direspons dalam novel d.I.a., Cinta dan Presiden karya Noorca M Massardi. Seorang budayawan, penulis, dan jurnalis kawakan.
sumber: achyar89 wordpress
Angkatan 1920-an identik dengan novel Marah Rusli berjudul Siti Nurbaya; angkatan 1933 dengan tokoh sastrawannya Sutan Takdir Alisahbana (dalam bidang prosa) dan Amir Hamzah (bidang puisi). Angjatan 1945 dengan tokoh sentralnya, Chairil Anwar dengan puisi-puisinya yang sangat monumental berjudul Aku. Angkatan 1966 dengan tokoh centralnya Dr. Taufik Ismail dengan kumpulan puisinya berjudul Tirani dan Benteng.
Pembagian angkatan seperti itu dikemukakan oleh Hans Bague Jassin (H.B. Jassin), seorang ahli sastra Indonesia yang sering disebut-sebut sebagai Paus Sastra Indonesia. Tentu boleh-boleh saja kita setuju dengan pembagian seperti itu, apalagi memang kepakaran H.B. Jassin dalam mengapresiasi sastra Indonesia cukup mumpuni. Tetapi yang lebih penting kita ketahui adalah bahwa sastra Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan.
Menarik untuk diperhatikan bahwa perkembangan sastra Indonesia berbanding lurus dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan formal, dimulai tahun 1900-an, yaitu ketika penjajah Belanda membolehkan bangsa boemi poetra (sebutan untuk orang Indonesia oleh Belanda) memasuki pendidikan formal. Tentu saja pendidikan formal saat itu adalah milik penjajah Belanda.
Karena genre sastra terdiri dari tiga bentuk (yaitu puisi, prosa, dan drama), maka ada baiknya kita menganalisis perkembangan genre sastra ini dari tiga bentuk itu. Dengan demikian, dalam pembelajaran ini Anda akan menganalisis perkembangan puisi, prosa, dan drama dalam lingkup sastra Indonesia.
Seiring dengan perkembangan puisi, prosa Indonesia pun berkembang pula. Seperti puisi, prosa pun mengenal prosa lama dan prosa baru atau prosa modern. Prosa lama bersifat anonim; dengan penjenisannya meliputi dongeng, hikayat, fabel, sage. Sedangkan prosa baru, dengan diukur dari panjang pendeknya, meliputi cerpen, novelet, dan novel/roman.
Prosa Indonesia baru pun mulai muncul tahun 1920-an, dengan ditandai munculnya novel monumental berjudul Siti Nurbaya, buah karya Marah Rusli. Lalu zaman Pujangga Baru muncul pula Sutan Takdir Alisjahbana dengan roman berjdul Layar Terkembang. Lalu, menjelang kemerdekaan muncul Armiyn Pane yang menulis novel Belenggu yang dianggap novel modern pada zamannya.
Tahun 1945 perlu dicatat nama Idrus sebagai prosaic cerpen. Buku kumpulan cerpennya Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma menjadi buku yang cukup terkenal. Selain itu juga novel singkat yang digarap dengan nada humor berjudul Aki.
Tahun 1949 muncul novel karya Achdiat Karta Miharja berjudul Atheis. Atheis termasuk novel yang cukup berhasil karena hamir semua unsurnya menonjol dan menarik unuk dibaca. Dengan mengambil latar Pasundan berhasil mengangkat sebuah tema terkikisnya sebuah kepercayaan keagamaan. Hasan, tokoh utama dalam novel ini, adalah orang yang 180 derajat berbalik dari taat beragama tiba-tiba menjadi seorang yang atheis karena pengaruh pergaulannya dengan Rusli dan Anwar yang memang berpaham komunis.
Tahun 1955 muncul cerpen yang sangat terkenal, berjudul Robohnya Surau Kami, buah karya Ali Akbar Navis (lebih dikenal dengan A.A. Navis). Cerpen ini sarat dengan kritik sosial menyangkut kesalahan orang dalam menganut agama. Navis nambapknya ingin mendobrak paham keagamaan masyarakat Indonesia yang mengira beribadah hanyalah sekedar melaksanakan shalat, puasa, atau mengaji Quran; sedangkan kegiatan lain di luar ibdah formal, sepertimencari nafkah, peduli pada sesama dan alam dibaikan. Lewat tokoh Haji Shaleh yang tiba-tiba masuk neraka karena ulahnya di dunia yang mengabaikan kepentingan keluarga.
Tahun 1968 muncul novel berjudul Merahnya Merah, garapan Iwan Simatupang, sebuah novel yang cukup absurd, terutama dalam hal gaya bercerita. Namun demikian, novel ini banyak memperoleh pujian dan sorotan para kritikus sastra, baik dalam maupun luar negeri.
Tahun 1975 nuncul novel Harimau! Harimau!, buah karya Mochtar Lubis, menceritakan tentang tujuh orang pencari damar yang berada di tengah sutan selama seminggu. Mereka adalah Pak Haji, Wak Katok, Sutan, Talib, Buyung, Sanip dan Pak Balam. Di tengah hutan itu mereka berhadapan dengan seekor harimau yang tengah mencari mangsa. Empat orang di antara tujuh orang itu (Pak Balam, Sutan, Talib, dan Pak Haji). Kecuali Pak Haji yang meinggal karena tertembak senapan Wak Katok, tiga yang lalinnya meninggal karena diterkam Harimau.
Haimau! Harimau! Sarat dengan pesan moral, yaitu bahwa setiap manusia harus mengakui dosanya agar terbebas dari bayang-bayang ketakutan. Pak Balam, orang yang pertama terluka karena diterkam harimau, mengakkui dosa-dosanya di masa muda, dan menyuruh para pendamar yang lain juga mengakui dosa-dosanya. Semua memang mengakui, hanya Wak Katok yang enggan mengakuinya.
Tahun 1982, muncul novel Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari, sebuah novel yang berhasil mendeskripsikan adat orang Jawa, khususnya Cilacap.
Tahun 1990, Ramadhan K.H. menulis novel berjudul Ladang Perminus, sebuah novel yang mengisahkan tentang korupsi di tubuh Perusahaan Minyak Nusantara (Perminus). Novel ini seolah-olah menelanjangi tindakan korupsi di tubuh Pertamina, sebagai perusahaan pertambanyak minyak nasional.
Dan novel paling mutakhir adalah Saman, 1998, karya Ayu Utami. Ayu Utami termasuk novelis yang membawa pembaharuan dalam perkembangan novel Indonesia. Dalam Saman, Ayu Utami tidak sungkan-sungkan membahas masalah seks, sesuatu yang di Indonesia dianggap kurang sopan untuk diungkap. Tapi mungkin zamannya sudah berubah, kini masalah sesks sudah bukan merupakan hal yang tabu untuk diungkapkan. Ironis, bahwa yang mengungkap secara detail dan sedikit jorok dalam nobvel ini adalah justru seorang wanita, Ayu Utami.
Dan untuk tahun 2000-an ini, tepatnya tahun 2003 yang baru silam, telah terbit novel termuda, dari penulis termuda pula yang menulis novel berjudul Area X, sebuah novel futurisktik tentang Indonesia tahun 2048, mengenai deribonucleic acid dan makhlluk ruang angkasa. Novel ini ditulis oleh Eliza Vitri Handayani, seorang siswi kelas 2 SMA Nusantara Magelang, sebuah SMA favorit di Indonesia.
Begitulah perkembangan genre sastra prosa di Indonesia.
Novel merupakan salah satu karya sastra yang tidak asing lagi bagi kita. Sejarahnya, novel hadir sebagai alat untuk merepresentatifkan kehidupan manusia yang tertuang dalam karya fiksi. Lalu yang jadi pertanyaan adalah bagaimana perkembangan novel dari masa ke masa, terutama novel Indonesia.
Ketika kita membahas masalah perkembangan sastra Indonesia, bayangan kita seringkali tertuju pada angkatan-angkatan sastra Indonesia, seperti angkatan 1920-an atau disebut juga angkatan Balai Pustaka; angkatan 1933, yang disebut juga angkatan Pujangga Baru; angkatan 1945 yang disebut angkatan Pendobrak, dan angakatn 1966 atau disebut juga angkatan Orde Lama.
Angkatan 1920-an identik dengan novel Marah Rusli berjudul Siti Nurbaya; angkatan 1933 dengan tokoh sastrawannya Sutan Takdir Alisahbana (dalam bidang prosa) dan Amir Hamzah (bidang puisi). Angjatan 1945 dengan tokoh sentralnya, Chairil Anwar dengan puisi-puisinya yang sangat monumental berjudul Aku. Angkatan 1966 dengan tokoh centralnya Dr. Taufik Ismail dengan kumpulan puisinya berjudul Tirani dan Benteng.
Pembagian angkatan seperti itu dikemukakan oleh Hans Bague Jassin (H.B. Jassin), seorang ahli sastra Indonesia yang sering disebut-sebut sebagai Paus Sastra Indonesia. Tentu boleh-boleh saja kita setuju dengan pembagian seperti itu, apalagi memang kepakaran H.B. Jassin dalam mengapresiasi sastra Indonesia cukup mumpuni. Tetapi yang lebih penting kita ketahui adalah bahwa sastra Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan.
Menarik untuk diperhatikan bahwa perkembangan sastra Indonesia berbanding lurus dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan formal, dimulai tahun 1900-an, yaitu ketika penjajah Belanda membolehkan bangsa boemi poetra (sebutan untuk orang Indonesia oleh Belanda) memasuki pendidikan formal. Tentu saja pendidikan formal saat itu adalah milik penjajah Belanda.
Karena genre sastra terdiri dari tiga bentuk (yaitu puisi, prosa, dan drama), maka ada baiknya kita menganalisis perkembangan genre sastra ini dari tiga bentuk itu. Dengan demikian, dalam pembelajaran ini Anda akan menganalisis perkembangan puisi, prosa, dan drama dalam lingkup sastra Indonesia.
Dari masa ke masa
Pada pertengahan abad ke-19, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi telah meletakkan dasar-dasar penulisan prosa dengan teknik bercerita yang disandarkan pada pengumpulan data historis yang bertumpu pada lawatan-lawatan biografls. Akan tetapi, karya prosa yang diakui menjadi karya pertama yang memenuhi unsur-unusr struktur sebuah novel modern baru benar-benar muncul di awal abad ke-20. Novel yang dimaksud adalah novel karya Mas Marco Kartodikromo dan Merari Siregar. Sementara itu, tahun 1920 dianggap sebagai tahun lahirnya kesusastraan Nasional dengan ditandai lahirnya novel Azab dan Sengsara. Pada masa awal abad ke-20, begitu banyak novel yang memiliki unsur wama lokal. Novel-novel tersebut, antara lain Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, Kalau Tak Untung, Harimau! Harimau!, Pergolakan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sementara itu, novel Belenggu karya Armjn Pane, hingga saat ini lazim dikatakan sebagai tonggak munculnya novel modern di Indonesia.
Dari waktu ke waktu, novel terus mengalami perkembangan. Masing-masing novel tersebut mewakili semangat dari setiap zaman di mana novel itu muncul. Di awal tahun 2000 muncul jenis novel yang dikatakan sebagai chicklit, teenlit,dan metropop. Ketiga jenis tersebut sempat dianggap sebagai karya yang tidak layak disejajarkan dengan karya sastra pendahulu mereka oleh kelompok-kelompok tertentu. Di antara karya-karya tersebut yang tergolong ke dalam jajaran best seller, antara lain Cintapuccino karya Icha Rahmanti, Eiffel I’m In Love karya Rahma Arunita, Jomblo karya Aditya Mulya, dan lain sebagainya. Akan tetapi, walau bagaimana pun juga, seperti yang telah dikemukakan di awal, setiap karya sastra mewakili zaman tertentu. Begitu juga dengan karya-karya tersebut yang kini berdampingan kemunculannya bersama Supernova karya Dee, Dadaisme karya Dewi Sartika, Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, 5 cm karya Donny Dhirgantoro, dan novel-novel terbaru lainnya yang memiliki kekuatan serta pembaca sasaran masing-masing.
Sebelum Balai Pustaka
Lalu, bagaimana perkembangan novel Indonesia Sebelum Balai Pustaka? sebelum berdirinya Balai Pustaka, tahun 1917. Sejauh kepustakaan yang dapat dirunut, terbukti belum pernah ada ahli atau -pengamat kesusastraan Indonesia yang berusaha mengungkap khazanah kesusastraan sebelum Balai Pustaka tersebut, secara menyeluruh dan khusus. Seandainya pun pernah ada yang melakukan, rata-rata terbatas pada topik-topik yang sangat spesifik. Dalam hubungan ini pantas disebut, misalnya, penelitian yang lebih dari memadai yang pernah dilakukan oleh Claudine Salmon, berjudul Literature in Malay bz the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography (1981), atau yang dilakukan oleh no Joe Lan dengan bukunya Sastera
Indonesia-Tionghoa, atau seperti juga yang dilakukan oleh John B. Kwee dengan disertasinya berjudul Chinese Maley Literature of the Peranakan Chinese in Indonesia 1880-1942 (1977). Ketiga peneliti tersebut jelas sekali hanya mengkhususkan pembicaraannya pada khazanah kesusastrann yang ditulis oleh pengarang Peranakan Cina.
Peneliti lain yang pernah mencoba menunjukkan khazanah kesusastraan Indonesia dari sisi yang lain hampir-hampir belum pernah ada, dan masih sangat sedikit, Dari yang sedikit ini, tampak hanya Pramoedya Ananta Toer yang cukup mempunyai perhatian, khususnya dalam mengungkap khazanah novel sebelum Balai Pustaka yang ditulis oleh pribumi atau peranakan Eropa. Dua buah buku Pramoedya yang masing-masing berjudul Tempo Doeloe (19E2) dan Sang Pemu1a (19P5), menunjukkan perhatiannya itu.
Dalam hubungan ini perlu di jelaskan sedikit bahwa sebenarnya ada beberapa ahli yang mempunyai cukup perhatian mengenai khazanah kesusastraan Indonesia sebelum Balai Pustaka yang melihat tidak hanya sesisi saja. Hanya sayang sekali, para ahli tersebut agaknya belum melakukan penelitian yang mendalam, sehingga mereka pada umumnya hanya dapat menuliskannya dalam bentuk artikel kecil di sebuah majalah. Di antara para ahli yang sedemikian itu, dapat disebutkan disini misalnya C.W. Watson dalam “Some Preliminary
Remarks on the Antecedents of Modern Indonesian Literature” (dalam Bra, 1971), W.Q. Sykorsky dalam “Some Additional Remarks on the Antecedents of Modern Indonesian literature” 1980), dan beberapa tulisan Jakob Sumardjo yang tersebar di berbagai penerbitan.
Penelitian ini setidaknya ingin melengkapi atau ingin mengungkap khazanah kesusastraan Indonesia sebelum Balai Pustaka itu, secara menyeluruh dan 1engkap, yang tentu saja bertolak dari data-data yang berhasil diperoleh dan di temukan selama dilangsungkannya penelitian yang enam bulan ini.
Novel Modern
Ada perkembangan menarik dalam penulisan novel di negeri ini. Bukan saja masalah berapa ratus judul per bulan jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lampau, melainkan juga apa yang novel-novel tersebut kisahkan. Ada berbagai tema mulai perempuan, seks, sains, sejarah, agama, spiritual, sosial, etnis, hingga politik. Perkembangan pilihan tema itu tentu tidak lepas dari hal-hal di luar masalah penulisan novel itu sendiri. Perkembangan itu tak lain dari risiko perkembangan pemikiran manusia saat ini yang semakin hari semakin spesifik.
Keinginan untuk memasukkan berbagai hal dalam novel ini dengan melihat perkembangan masalah dalam masyarakat mulai menarik perhatian dan penting untuk diperhatikan. Kecenderungan kontemporer ini antara lain direspons dalam novel d.I.a., Cinta dan Presiden karya Noorca M Massardi. Seorang budayawan, penulis, dan jurnalis kawakan.
sumber: achyar89 wordpress