[Sejarah] Puputan di Bali.

Dipi76

New member
Saya beberapa waktu lalu baru saja menyelesaikan membaca sebuah buku mengenai puputan, baik itu puputan Klungkung/Buleleng, Puputan Badung ataupu puputan Margarana. Hal itu cukup membuat saya bergidik dan merinding saat membacanya ketika mengetahui bagaimana kejadian sesungguhnya saat Puputan itu terjadi.

Itu cukup membuat saya tertarik mencari referensi lebih lanjut, dengan sumber yang berasal dari kita sendiri. Dan ternyata susah sekali saya dapatkan. Buku yang saya baca itupun bukan berasal dari sumber dalam negeri, tapi justru terbitan dan berbahasa Belanda. Sungguh sangat disayangkan memang. Sebuah peristiwa yang begitu heroik ternyata hanya sedikit mendapatkan perhatian di dalam negeri dan orang luarlah yang begitu detail membuat penulisan dalam bentuk buku mengenai peristiwa ini.

Dari cari kesana kemari, akhirnya saya dapatkan dari sumber yang lumayan kredibel, yaitu tulisan dari Arya Tangkas Kori Agung, soal puputan Klungkung.

Sebenernya selama ini yang sering salah kita tangkap adalah arti dari perang puputan itu sendiri. Karena sebenernya Perang habis2an ini bukan bertujuan untuk menang, karena tujuannya adalah untuk menyambut kematian dihadapan musuh, sampai habis tak bersisa. Perang ini biasanya diikuti oleh semua rakyat kerajaan tanpa terkecuali. Kecil besar, bayi dewasa, dan semua kasta ikut serta.

Bagi masyarakat Bali, puputan dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:
- Nyawa seorang ksatri berada diujung senjata kematian di medan pertempuran merupakan kehormatan.
- Dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan negara maupun keluarga tidak dikenal istilah menyerah kepada musuh.
- Menurut ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk surga.

Di bawah nanti akan kita bahas satu persatu dari masing-masing puputan yang pernah terjadi di Bali secara lebih detail.

Sumber saya dapatkan dari tulisan Arya Tangkas Kori Agung, Buku Puputan Karangan D Creese, tulisan peneliti sejarah Bali University of Queensland Australia Helen Creese, dan Jurnal dari guru besar Sejarah Asia Erasmus University Rotterdam Belanda Henk Schulte Nordholt.


-dipi-
 
Last edited:
Bls: [Sejarah] Puputan di Bali.

Sejarah Puputan Klungkung

Puputan adalah istilah rakyat Bali untuk perang habis-habisan demi mempertahankan kehormatan. Semangatnya, lebih baik mati di medan tempur dari pada hidup dengan harga diri terinjak-injak. Dalam sejarah penaklukan Bali oleh Belanda, puputan Klungkung adalah babak akhir dari perlawanan rakyat Bali. Menurut catatan I Made Sujaya, memerhati sejarah Klungkung, pada babak-babak sebelumnya, perlawanan rakyat Bali dilakukan dengan beberapa pilihan langkah. Ada yang memilih jalan kompromi dan bekerja sama, ada yang memilih jalan mengangkat senjata, ada juga yang memadukan keduanya. Klungkung menggunakan berbagai pilihan jalan itu saat berhadapan dengan kolonialisme Belanda. Diawali dengan jalan kerja sama, lalu mengangkat senjata (Perang Kusamba), disusul kompromi dan diplomasi (jalinan kontrak politik dengan Belanda) serta diakhiri dengan jalan mengangkat senjata yang berujung pada puputan.

KUSAMBA, sebuah desa yang relatif besar di timur Smarapura hingga abad ke-18 lebih dikenal sebagai sebuah pelabuhan penting Kerajaan Klungkung. Desa yang penuh ilalang (kusa = ilalang) itu baru tampil ke panggung sejarah perpolitikan Bali manakala Raja I Dewa Agung Putra membangun sebuah istana di desa yang terletak di pesisir pantai itu. Bahkan, I Dewa Agung Putra menjalankan pemerintahan dari istana yang kemudian diberi nama Kusanegara itu. Sampai di situ, praktis Kusamba menjadi pusat pemerintahan kedua Kerajaan Klungkung. Pemindahan pusat pemerintahan ini tak pelak turut mendorong kemajuan Kusamba sebagai pelabuhan yang kala itu setara dengan pelabuhan kerajaan lainnya di Bali seperti Kuta.

Nama Kusamba makin melambung manakala ketegangan politik makin menghebat antara I Dewa Agung Istri Kanya selaku penguasa Klungkung dengan Belanda di pertengahan abad ke-19. Sampai akhirnya pecah peristiwa perang penting dalam sejarah heroisme Bali, Perang Kusamba yang menuai kemenangan telak dengan berhasil membunuh jenderal Belanda sarat prestasi, Jenderal AV Michiels.

Drama heroik itu bermula dari terdamparnya dua skoner (perahu) milik G.P. King, seorang agen Belanda yang berkedudukan di Ampenan, Lombok di pelabuhan Batulahak, di sekitar daerah Pesinggahan. Kapal ini kemudian dirampas oleh penduduk Pesinggahan dan Dawan. Raja Klungkung sendiri menganggap kehadiran kapal yang awaknya sebagian besar orang-orang Sasak itu sebagai pengacau sehingga langsung memrintahkan untuk membunuhnya.

Oleh Mads Lange, seorang pengusaha asal Denmark yang tinggal di Kuta yang juga menjadi agen Belanda dilaporkan kepada wakil Belanda di Besuki. Residen Belanda di Besuki memprotes keras tindakan Klungkung dan menganggapnya sebagai pelanggaran atas perjanjian 24 Mei 1843 tentang penghapusan hukum Tawan Karang. Kegeraman Belanda bertambah dengan sikap Klungkung membantu Buleleng dalam Perang Jagaraga, April 1849. Karenanya, timbullah keinginan Belanda untuk menyerang Klungkung.

Ekspedisi Belanda yang baru saja usai menghadapi Buleleng dalam Perang Jagaraga, langsung dikerahkan ke Padang Cove (sekarang Padang Bai) untuk menyerang Klungkung. Diputuskan, 24 Mei 1849 sebagai hari penyerangan.

Klungkung sendiri sudah mengetahui akan adanya serangan dari Belanda itu. Karenanya, pertahanan di Pura Goa Lawah diperkuat. Dipimpin Ida I Dewa Agung Istri Kanya, Anak Agung Ketut Agung dan Anak Agung Made Sangging, Klungkung memutuskan mempertahankan Klungkung di Goa Lawah dan Puri Kusanegara di Kusamba.

Perang menegangkan pun pecah di Pura Goa Lawah. Namun, karena jumlah pasukan dan persenjatan yang tidak berimbang, laskar Klungkung pun bisa dipukul mundur ke Kusamba. Di desa pelabuhan ini pun, laskar Klungkung tak berkutik. Sore hari itu juga, Kusamba jatuh ke tangan Belanda. Laskar Klungkung mundur ke arah barat dengan membakar desa-desa yang berbatasan dengan Kusamba untuk mencegah serbuan tentara Belanda ke Puri Klungkung.

Jatuhnya Kusamba membuat geram Dewa Agung Istri Kanya. Malam itu juga disusun strategi untuk merebut kembali Kusamba yang melahirkan keputusan untuk menyerang Kusamba 25 Mei 1849 dini hari. Kebetulan, malam itu, tentara Belanda membangun perkemahan di Puri Kusamba karena merasa kelelahan.

Hal ini dimanfaatkan betul oleh Dewa Agung Istri Kanya. Beberapa jam berikutnya sekitar pukul 03.00, dipimpin Anak Agung Ketut Agung, sikep dan pemating Klungkung menyergap tentara Belanda di Kusamba. Kontan saja tentara Belanda yang sedang beristirahat itu kalang kabut. Dalam situasi yang gelap dan ketidakpahaman terhadap keadaan di Puri Kusamba, mereka pun kelabakan.

Dalam keadaaan kacau balau itu, Jenderal Michels berdiri di depan puri. Untuk mengetahui keadaan tentara Belanda menembakkan peluru cahaya ke udara. Keadaan pun menjadi terang benderang. Justru keadaan ini dimanfaatkan laskar pemating Klungkung mendekati Jenderal Michels. Saat itulah, sebuah meriam Canon ''yang dalam mitos Klungkung dianggap sebagai senjata pusaka dengan nama I Selisik, konon bisa mencari sasarannya sendiri'' ditembakkan dan langsung mengenai kaki kanan Michels. Sang jenderal pun terjungkal.

Kondisi ini memaksa tentara Belanda mundur ke Padang Bai. Jenderal Michels sendiri yang sempat hendak diamputasi kakinya akhirnya meninggal sekitar pukul 23.00. Dua hari berikutnya, jasadnya dikirim ke Batavia. Selain Michels, Kapten H Everste dan tujuh orang tentara Belanda juga dilaporkan tewas termasuk 28 orang luka-luka.

Klungkung sendiri kehilangan sekitar 800 laskar Klungkung termasuk 1000 orang luka-luka. Namun, Perang Kusamba tak pelak menjadi kemenangan gemilang karena berhasil membunuh seorang jenderal Belanda. Sangat jarang terjadi Belanda kehilangan panglima perangnya apalagi Michels tercatat sudah memenangkan perang di tujuh daerah.

Meski akhirnya pada 10 Juni 1849, Kusamba jatuh kembali ke tangan Belanda dalam serangan kedua yang dipimpin Lektol Van Swieten, Perang Kusamba merupakan prestasi yang tak layak diabaikan. Tak hanya kematian Jenderal Michels, Perang Kusamba juga menunjukkan kematangan strategi serta sikap hidup yang jelas pejuang Klungkung. Di Kusamba, pekik perjuangan dan tumpahan darah itu tidak menjadi sia-sia. Belanda sendiri mengakui keunggulan Klungkung ini.

Namun, kemenangan cemerlang di Kusamba 158 tahun silam itu kini tidaklah menjelma sebagai momentum peringatan yang dikenang generasi sekarang. Secara resmi Klungkung memilih peristiwa perang penghabisan di Puri Smarapura yang dikenal dengan Puputan Klungkung, 28 April 1908 sebagai tonggak peringatan perjuangan daerah menentang kolonialisme Belanda.

Memang, Puputan Klungkung yang diakhiri dengan gugurnya Raja Klungkung, Ida I Dewa Agung Jambe bersama para kerabat, keluarga serta pengiring menunjukkan bagaimana semangat perjuangan rakyat Klungkung yang menempatkan kehormatan dan harga diri di atas segalanya. Ketika kata-kata tak lagi bertenaga dan pihak yang diajak bicara tak lagi punya matahati, jalan perang merupakan pilihan paling terhormat. Bukan kemenangan fisik yang dicari, tapi kemenangan kehormatan, harga diri dan spirit. Sampai di sana, kematian menjadi jalan kehidupan (mati tan tumut pejah).

Namun, Perang Kusamba yang mengukuhkan kemenangan secara fisik serta menunjukkan kecerdasan, kecemerlangan, kecerdikan pun kematangan menyusun strategi putra-putri terbaik Klungkung juga suatu hal yang layak untuk dikenang. Pada peristiwa itulah Klungkung dan Bali secara umum dipandang sebagai lawan yang tangguh oleh Belanda. Pada peristiwa itu pula, secara diam-diam, harga diri orang Bali dikukuhkan setelah dua tahun sebelumnya juga tergurat dalam peristiwa Perang Jagaraga di bawah pimpinan Patih I Gusti Ketut Jelantik.

Jika selama ini Klungkung dan juga daerah-daerah lain di Bali terbiasa mengenang kekalahan, tidak salah kini memulai juga untuk mengenang kemenangan. Kita perlu berbangga pada prestasi gemilang pendahulu kita. Ketika kita bisa mengenang kekalahan, kenapa tidak punya keberanian untuk juga memperingati kemenangan. Dengan begitu, kebanggaan sebagai bangsa di kalangan generasi penerus bisa ditumbuhkan.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Puputan di Bali.

Perang Jagaraga

Petinggi-petinggi Bali di birokrasi pemerintahan salah mencitrakan diri dengan meriuhkan kekalahan, malah abai memaknai kemenangan. Tak banyak yang ingat, menyadari, sesungguhnyalah Bali punya catatan prestasi menekuk Belanda, mengalahkan si penjajah. Bali pernah menang melawan Belanda: di Jagaraga, Buleleng, 9 Juni 1848, dan di Kusamba, Klungkung, 25 Mei 1849. Bali bukanlah hanya kekalahan demi kekalahan lewat puputan. Bali juga punya kemenangan yang patut dipancangkan ke sanubari generasi baru Bali agar tidak berjiwa kerdil, menjadi pecundang dengan hanya mendengar kata puputan.

Pelajaran kemenangan itu dipancangkan 9 Juni 1848. Dalam peristiwa hampir 20 windu itu, Belanda yang bersenjata tempur otomatis dan lengkap keok oleh laskar persekutuan segitiga Buleleng-Karangasem-Klungkung di bawah panglima perang Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik.

Itulah momentum kemenangan laskar bertombak Bali yang tak hanya memberangkan Gubernur Jenderal J.J. Rochusen di Batavia tapi juga mengguncangkan parlemen di Negeri Belanda. Peristiwa kemenangan Jagaraga itu dimulai setelah Belanda gagal memaksa Raja Buleleng I Gusti Made Karangasem dengan Patih Agungnya, I Gusti Ketut Jelantik, untuk sukarela menyerahkan kedaulatan wilayah Kerajaan Buleleng di bawah kekuasaan Belanda. Paksaan itu ditekankan Belanda lewat Komisaris Pemerintah JPT Mayor dengan menunjukkan selembar kertas yang berisi perjanjian pengakuan raja-raja di Bali kepada pemerintah kolonial Belanda, tahun 1841-43.

Patih Jelantik terang saja murka dipaksa-paksa begitu. Sembari memukul dadanya sendiri dengan kepalan tangan, putra I Gusti Nyoman Jelantik Boja yang sudah lama menetap di Sangket, Buleleng, itu berseru keras, “Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas, tetapi harus diselesaikan di atas ujung keris. Selama aku, Patih Agung Jelantik, masih hidup, kerajaan ini tidak akan pernah mengakui kedaulatan Belanda!” Surat perjanjian itu lalu dirobeknya dengan ujung keris.

Diberi tempo waktu 3 x 24 jam buat memenuhi tuntutan Belanda, Jelantik tetap kukuh, bergeming. Dalam perundingan ulang yang dijembatani Raja Klungkung, 12 Mei 1845, di Puri Klungkung, pun Jelantik tetap menepis permintaan Belanda. “Hai, kau, si mata putih yang biadab!” balas Patih Jelantik dengan kata dan raut muka mengejek ke arah utusan Belanda, “Sampaikan pesanku kepada pemimpinmu di Betawi agar segera menyerang Den Bukit!”

Belanda memulai ekspedisi militer pertama ke Bali, 27 Juni 1846. Dari sini Belanda menguasai Buleleng setelah melewati pertempuran sengit hingga 29 Juni 1846. Raja Buleleng dan Patih Jelantik mundur ke Jagaraga. Di sinilah Jelantik mulai membangun benteng-benteng pertahanan dalam bentang alam yang strategis dengan gelar “Supit Urang”. Alam Jagaraga memang tandus, namun topografinya sebagai pegunungan terjal dengan dua sungai pengapit di kiri-kanan yang menghubungkan ke tepian pantai dijadikan basis pertahanan.

Benteng “Supit Urang” tulah menjadikan Belanda dalam ekspedisi militer kedua di bawah Panglima Perang Mayor Jenderal van der Wijck keok. Dalam pertempuran sengit di Jagaraga, 9 Juni 1848 itu, van der Wijck tak ada pilihan kecuali memerintahkan pasukannya yang sudah kehabisan mesiu mundur ke Sangsit, lalu ngacir lagi ke Jawa, esoknya. Sayangnya, Patih Jelantik tak memerintahkan laskarnya terus mengepung pasukan Belanda yang sudah jerih itu.

Kekalahan Belanda itu menggemparkan Batavia, seluruh Hindia, hingga ke parlemen Belanda. Pihak Belanda mengagumi dan mengakui kedahsyatan strategi perang Patih Jelantik. Mereka menduga-duga Jelantik telah mendapat pengarahan dari ahli militer Eropa. Terang saja itu cuma tafsiran bohong sebab Jelantik justru menyerap ilmu perang dari hamparan subur susastra-agama yang bertebaran di Bali.
Strategi unggul-ulung Jelantik itu merenggut korban di pihak Belanda, berupa: tewas 5 perwira, 94 bintara dan prajurit; luka-luka 7 perwira, 98 bintara dan prajurit. Masih ada pula 32 bintara tak bisa diandalkan akibat kelelahan dan luka ringan, serta 24 prajurit lain mesti dirawat di rumah sakit darurat akibat pertempuran dua hari menghadapi pasukan Jagaraga. Sedangkan dalam laporannya kepada Raja Klungkung, Patih Jelantik mencatat di pihak Jagaraga jatuh korban: tewas 3 pedanda, 35 kaum brahmana, 163 bangsawan dan pembekel, serta 2.000 prajurit.

Kedahsyatan semangat tempur laskar Patih Jelantik dicatat dalam kesaksian orang Belanda yang menulis di Surat Kabar Negara Belanda (De Nederlandsche Staatcourant) dengan kode K, sebagaimana dikutip Ide Anak Agung Gde Agung dalam Bali pada Abad XIX (1989). Di sana K menulis, “Bukan karena kubu-kubu pertahanan yang kuat menghalangi pasukan kita (baca: Belanda) untuk menguasai Jagaraga, akan tetapi karena perlawanan yang berani, galak, dan penuh semangat juang musuh yang tak kunjung padam, yang sepuluh kali jumlahnya dibandingkan kekuatan kita, dan berhasil memukul mundur pasukan kita tiga kali dari kubu pertahanan yang berhasil diduduki oleh batalyon ketiga dan sesudah itu mengadakan serangan balasan terhadap kedudukan kita, akan tetapi berhasil ditahan dengan tembakan meriam. … Siasat itu tidak berhasil karena Adipati Agung Gusti Ketut Jelantik berada di tempat dan memimpin pasukannya dengan memberi semangat juang kepada pasukan Bali, sehingga mereka memberi perlawanan hebat dengan gaya tempur yang belum pernah kita alami dan tidak ada bandingannya dalam medan perang lain dalam sejarah panjang angkatan darat kita di Hindia.”

Lewat ekspedisi militer ketiga ke Buleleng di bawah Panglima Perang Jenderal A.V. Michiels, Jagaraga memang bisa direbut Belanda, 16 April 1849. Saat itu, Belanda mengerahkan militer besar-besaran dengan kekuatan: 4.737 orang pasukan angkatan darat, 2.000 tenaga buruh dari Madura, dan 1.000 tenaga cadangan dari Jawa Timur. Ini ditambah 4.000 pasukan bantuan Raja Seleparang, Lombok. Ditambah pula dengan 29 kapal perang yang membawa 286 meriam, 301 marinir, 2.012 perwira dan awak kapal berbangsa Eropa, serta 701 pelaut dan kelasi Bumiputera.

Patih Jelantik sejak awal sudah memperhitungkan Belanda akan datang lagi dengan kekuatan militer berlipat-lipat. Karena itu, dia berstrategi membangun benteng pertahanan lapis kedua di daerah Batur yang lebih sulit dijangkau Belanda. Sayangnya, Raja Bangli saat itu malah main mata pada Belanda dengan memberikan dukungan senjata. Imbalan yang diberikan Belanda: Raja Bangli bisa merebut Batur yang dikuasai Buleleng saat Buleleng bertempur di Jagaraga dengan Belanda.

Maka, ketika Jelantik dan Raja Buleleng menyingkir ke Batur setelah Jagaraga dikuasai Belanda, Raja Bangli melarang. Jelantik dan Rajanya lantas menyingkir ke Karangasem. Karangasem kelak digempur Belanda dengan bantuan pasukan Raja Selaparang, Lombok, yang dendam pada Karangasem. Dalam penyelamatan diri ke Bale Punduk bersama Raja Buleleng, Jelantik tewas direbut laskar Lombok.

Panglima Perang Mayjen A.V. Michiles memang sudah membalaskan kekalahan Belanda atas Jelantik lewat Jagaraga. Namun, toh akhirnya Michiels pun membayar amat mahal keperwiraan Jelantik. Michiles yang berbintang tujuh itu akhirnya menemui ajalnya di tangan laskar pamating Klungkung lewat perang Kusamba, 25 Mei 1849. Kemenangannya di Jagaraga akhirnya dibayar amat mahal pula, dengan nyawanya, di ujung timur Klungkung.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Puputan di Bali.

Puputan Badung

Di badung sendiri latar belakang terjadinya adalah masalah "Tawan Karang" yang selalu menjadi pangkal terjadinya perselisihan antara raja-raja di Bali dengan pihak Belanda yang sering terjadi di perairan pulau Bali sampai permulaan abad ke-20. Peristiwa meletusnya perlawanan rakyat Badung menentang kolonial Belanda berawal dari terdamparnya sebuah perahu Tionghoa dari Banjarmasin di pantai Sanur pada bulan Mei 1904. Semua isi perahu itu dirampas oleh penduduk pantai Sanur. Kejadian ini menimbulkan kemarahan pihak pemerintah Belanda serta menuntut kerugian kepada raja Badung yang menolak dengan keras permintaan kerugian itu, sehingga pemerintah Belanda menyerahkan segala urusannya kepada residen Bali dan Lombok F. A Liefrinck pada tahun 1905.

Belanda pada akhirnya memberikan ultimatum pada kerajaan Badung, pada 13 September 1906. Tetapi ultimatum Belanda pada tanggal 13 September 1906 ditolak dan pecahlah perang. Perang Puputan Badung tidak mungkin akan terjadi tanpa persetujuan keputusan bersama dan tanpa tekad dari ketiga Raja yaitu Raja Pemecutan, Raja Denpasar, Raja Kesiman.

Diceritakan perang Puputan Badung 20 September 1906, sejak fajar pagi menyingsing di kaki langit Pantai Sanur, desa-desa Kesiman, Denpasar, Pemecutan sudah dihujani peluru-peluru meriam Belanda, yang menghancurkan dan membakar semua yang dikenai. Desa-desa, Puri-puri membara dan menyala-nyala, kabut asap memenuhi udara, suara meriam meggelegar, bumi sepertinya mau kiamat.

Penyerangan Belanda sudah dimulai dengan menyerang Puri Kesiman pada tanggal 19 September 1906. Perlawanan rakyat Badung di Kesiman menunjukkan keberanian luar biasa dan Pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari prajurit-prajurit Bali hanya senjata keris dan tombak.

Puri Kesiman dapat diduduki dalam keadaan kosong karena Raja I Gusti Ngurah Gede Kesiman sudah meninggal tanggal 18 September 1906 karena terbunuh oleh seorang penghianat, yang tidak setuju dengan kebijaksanaan beliau berperang melawan Belanda.

Setelah mendengar Puri Kesiman telah diduduki, maka Raja Denpasar I Gusti Ngrah Made Agung bersabda kepada semua kerabat yang berkumpul, bahwa besok tanggal 20 September 1906 akan berperang habis-habisan melawan Belanda, dan beliau tidak memaksa kepada semua kerabat dan rakyat untuk turut serta. Akan tetapi semua yang mendengar dengan serentak menyatakan akan turut serta membela Raja dan mempertahankan kedaulatan kerajaan Badung.

Pada tanggal 20 September 1906, dari Kesiman Belanda mulai menyerang Puri Denpasar dari arah utara. Pasukan Badung langsung dibawah Pimpinan Raja Denpasar I Gusti Ngurah Made Agung, beserta pesemeton, tokoh-tokoh semua Puri-puri di Denpasar, Puri Belaluan, Puri Dangin, Puri Jero Kuta, Puri Anyar, Puri Jambe, Puri Oka, dan lain-lain, para pendeta dan rakyat, semua kerabat puri lainnya. Para Wanita dan anak-anak yang digendong, dengan bersenjata keris dan tombak mereka menyongsong musuh di daerah Taensiat.

Pertempuran sengit dan korban berjatuhan di kedua belah pihak. Raja terus-menerus memberi komando dan membakar semangat pasukannya, mengamuk bagai singa kelaparan, namun akhirnya beliaupun tidak dapat menghindar dan wafat setelah terkena tembakan berkali-kali. Rakyat dan kerabat puri lainnya terus mengadakan perlawanan.

Belanda melakukan penembakan dengan membabi buta ke arah pasukan Badung, para wanita dan anak-anak yang hanya bersenjata keris dan tombak, menimbulkan korban yang sangat memilukan dan menyedihkan. Karena persenjataan yang tidak seimbang amat banyak yang gugur sebagai pahlawan perang.

Denpasar diduduki oleh Belanda pada pukul 11.30. Dengan wafatnya I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar, belum berarti bahwa negara Badung sudah jatuh dan kalah menjadi kekuasaan Belanda.

Pertempuran yang sebenarnya barulah dimulai, dan perlawanan yang terjadi baru merupakan awal dari perang Puputan Badung. Kerajaan Badung masih tetap merdeka dan berdaulat di bawah kekuasaan Raja Pemecutan I Gusti Ngurah Agung Pemecutan.

Pasukan Belanda pun menyadari dan mengakui keadaan ini, sehingga berpendapat bahwa untuk menguasai Kerajaan Badung mereka harus melanjutkan pertempuran menyerang Raja dan menduduki Puri Pemecutan.

Siang hari pada hari itu juga, penyerbuan tentara Belanda dilanjutkan ke Pemecutan. Setibanya di desa Suci ( 500 m dari Puri ), mereka bersiap- siap dan mulai menembakkan meriam dan bedil dengan suara yang menggetarkan, dengan harapan, supaya pejuang-pejuang Pemecutan mau menyerah.

Namun sebaliknyan mereka makin timbul keberanian, bagaikan lembu keratin menyerbu dan menyerang pasukan Belanda. Dengan sorak dan jeritan histeris, bagaikan laron yang merubung api lampu, mereka gugur satu persatu sebagai pahlawan perang.

Setelah Raja Pemecutan mendengar bahwa Kesiman dan Denpasar kalah diduduki, serta pasukan Belanda sudah dekat di sebelah timur Puri, maka dia pun menyerukan untuk melakukan puputan.

Semua yang mendengar seruan itu bangkit serentak, dengan kemauan sendiri, hendak ikut ngiring ( turut serta ) berdasarkan kesucian hati, berpuputan bersama.

Seluruh keluarga Puri keluar ke medan pertempuran, termasuk para wanita dan anak-anak, serta bayi-bayi juga digendong oleh para ibu, pengasuhnya, sedangkan Raja yang sudah tua dan sakit-sakitan, ditandu saat memimpin peperangan.

Seluruhan Laskar Pemecutan dipimpin oleh empat putra perkasa dari puri kanginan Pemecutan bersama Raja I Gusti Ngurah Made dan I Gusti Ngurah Putu berjuang bagaikan sedang mabuk, menyerang ke sana kemari, menantang musuh, menyeberangi kali Badung, menuju daerah Suci sebelah timur Pemecutan. Beliau juga sempat memerintahkan I Meruh Dari Desa Campuan Peguyangan dan I Pateh dari Banjar Busungyeh, untuk membakar ( bumi hangus ) Puri, apabila beliau-beliau Raja sudah meninggal, sehingga tidak dapat diduduki dan ditempati oleh serdadu Belanda.

Diperintahkan juga kepada rakyatnya yang lain, agar membunuh ( ngeludin ) mereka yang mengerang kesakitan, jika terkena peluru Belanda, agar dia dapat meninggal dengan tenang.

Demikianlah Ngurah Made dengan membabi buta, menyerang pasukan Belanda, hanya dengan sebilah keris, dengan keberanian luar biasa dan akhirnya gugur oleh berondongan senjata api musuh.

Diceritakan pula Ngurah Made yang bagaikan singa kelaparan, berlari dan menerkam serta menghujamkan keris ke dada musuh, bergulat dan di keroyok serta ditembaki oleh tentara Belanda. Tak terhitung rakyat yang telah gugur, demikian pula di pihak Belanda.

I Gusti Ngurah Ketut Bima, menghadang dan menyongsong musuh, dengan menyisir tembok rumah-rumah penduduk, di sebelah utara jalan, ke arah timur, menyeberangi sungai Badung dan kemudian siap di atas tembok rumah I Gambang ( di sebelah utara Pura Suci ), menanti pasukan berkuda dari perwira-perwira Belanda yang melintas.

Begitu mendekat, dengan sigap Ngurah Bima meloncati tembok, melompati kuda, sambil langsung mencekik dan menikam musuh di atas kuda, namun beliau tertembak oleh pasukan musuh yang lain, sehingga gugur bersama Letnan Pieters yang dibunuhnya. Beberapa perwira Belanda juga sempat di bunuh pada waktu itu.

Sementara itu, Raja Badung I Gusti Ngurah Agung Pemecutan, meskipun sudah tua dan sakit, dengan semangat penuh memberi komanda kepada rakyat pengiringnya. Dengan sorak sorai, jeritan histeris, mereka maju tak gentar, menantang musuh dengan hanya bersenjata keris dan tombak, dengan semangat dan keberanian luar biasa.

Kaum wanita, tua dan muda, dewasa maupun anak-anak serta bayi-bayipun turut digendong oleh para ibu, ataupun pengasuhnya, turut ke medan peperangan mengikuti Raja berpuputan. Seluruh kerabat Puri, para istri-istri Raja anak-anak maupun bayi dibawa serta.

Demikian mereka berduyun-duyun sambil bersorak menyongsong musuh, bagaikan lebah merubung nyala lampu, kemudian terbakar satu-persatu.

Demikianlah mereka gugur berserakan ditembus peluru Belanda. Rajapun tidak dapat menghindar, tertembak jatuh, setelah pengusung tandunya meninggal terkena peluru.

Raja dengan tenaga yang tersisa, sambil tertatih-tatih masih sempat mengadakan perlawanan dan akhirnya terjatuh dan wafat.

Setelah wafatnya Raja, para pengiringnya semakin berani menantang musuh, agar dibunuh oleh Belanda, atau mereka saling menikam diri sendiri, atau orang-orang di dekatnya, sanak saudara, anak-anak atau istri, agar tidak ada seorangpun yang tertinggal dijadikan tahanan budak Belanda, mereka semuanya ikut 'ngiring' (ikut) berpuputan.

Jeritan mereka yang kesakitan kena peluru, minta tolong supaya dibunuh, sangat memilukan hati Anak Agung Ayu Oka juga turut serta ke medan pertempuran, mengikuti ayahanda, dan seluruhnya keluarga Puri beserta kekasihnya I Gusti Nguah Ketut Bima yang memimpin Laskar Pemecutan.

Demikian sengit dan hebatnya pertempuran di daerah Suci dan Pemecutan, suara meriam tiada hentinya. Puri terbakar peluru, dengan api yang berkobar-kobar dan asap memenuhi angkasa. Suara kentongan “ Kerik Tingkih “(kentongan puri masih ada di jalan Thamrin Denpasar ) bulus bertalu-talu,tiada henti-hentinya disertai suara dan gonggongan anjing yang meraung-raung sepanjang hari, benar-benar sangat mengerikan.

Dalam kondisi seperti ini, Anak Angung Ayu Oka menyadari, bahwa Ayahandanya telah gugur, kekasih beliau Raja Denpasar sudah pulang mendahului, kini Ngurah Bima pun sebagai Pahlawan perang. Semua kerabat puri sudah meninggal, tidak adalagi yang ditunggu, kemudian dengan perasaan pilu dan sedih, menagis, pasrah lascarya, menyusul beliau-beliau itu dengan 'mesatnya' bunuh diri dengan sebilah keris, sebagai bakti kepada ayahanda,hormat kepada Raja, setia kepada kedua kekasih yang dicinta, setia kepada Negara dan rakyat, pantang menyerah kepada Belanda.

Putri Puri pemecutan gugur di atas tumpukan jenazah ayahanda dan rakyat lainya.


-dipi-
 
Bls: [Sejarah] Puputan di Bali.

Perang Puputan Margarana

Perang Puputan Margarana di Bali diawali dari keinginan Belanda mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT).

Letkol I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen Nusa Tenggara, berusaha menggagalkan pembentukan NIT dengan mengadakan serangan ke tangsi NICA di Tabanan tanggal 18 Desember 1946.

Konsolidasi dan pemusatan pasukan Ngurah Rai (yang dikenal dengan nama pasukan Ciung Wanara) ditempatkan di Desa Adeng Kecamatan Marga. Belanda menjadi gempar dan berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung Wanara. Pada tanggal 20 November 1946 dengan kekuatan besar Belanda melancarkan serangan dari udara terhadap kedudukan Ngurah Rai di desa Marga.

Dalam keadaan kritis, Letkol I Gusti Ngurah Rai mengeluarkan perintah “Puputan” .
Letkol I Gusti Ngurah Rai gugur beserta seluruh anggota pasukan dalam pertempuran tersebut. Jenazahnya dimakamkan di desa Marga. Pertempuran tersebut terkenal dengan nama Puputan Margarana. Gugurnya Letkol I Gusti Ngurah Rai telah melicinkan jalan bagi usaha Belanda untuk membentuk Negara Indonesia Timur.


-dipi-
 
Back
Top