nurcahyo
New member
Sekali Lagi Tentang Globalisasi
?May all the nations soon throw down the barriers which separate them?. Demikian Frederic Bastiat, ekonom Perancis, menulis di salah satu koran di tahun 1846. Ide yang sama tentang globalisasi -- dunia tanpa batas -- didengungkan kembali oleh John Lennon lebih dari satu abad kemudian lewat lirik ?imagine there?s no countries? dalam lagu berjudul ?Imagine?.
Globalisasi, teori perdagangan internasional dan keuntungan bagi pelakunya sudah jamak kita dengar. Meningkatnya standar hidup penduduk dunia dan ratusan juta orang yang keluar dari garis kemiskinan sebagai hasil dari bergabungnya mereka ke perekonomian global adalah bukti nyata. World Bank menunjuk Cina, India, Vietnam dan Bangladesh sebagai contoh ?new globalizers? yang mampu mengentas tak kurang 120 juta penduduknya dari garis kemiskinan selama periode 1990-an.
Sungguhpun demikian, gerakan anti globalisasi tetap ada dimana ? mana. Negara berkembang, termasuk Indonesia, memilih untuk tidak membuka pintu perdagangan terlalu lebar, memproteksi diri, dengan argumen melindungi industri dalam negeri yang terancam gulung tikar karena guyuran produk asing yang jauh lebih murah. Di lain pihak, negara maju mengkhawatirkan keputusan perusahaan ? perusahaan besar untuk berinvestasi di luar negeri akan berdampak pada berkurangnya penanaman modal domestik mereka. Untuk itu semua dan alasan ? alasan lainnya, globalisasi harus dihentikan. Begitukah seharusnya?
Salah Kaprah Tentang Globalisasi
Ekonom sering tidak sepakat untuk banyak hal. Namun untuk globalisasi, hampir semua ekonom menyambut globalisasi dengan positif. Tulisan pemenang nobel, Paul Samuelson, yang kerap diposisikan sebagai pendukung anti globalisasi sesungguhnya sama sekali tidak menentang konsepsi keunggulan komparatif David Ricardo, bahwa dua negara akan mendapatkan kesejahteraan yang lebih tinggi jika masing ? masing berdagang produk dimana mereka paling efisen dalam berproduksi. Salah kaprah yang sama terjadi dalam menyikapi buku pemenang nobel lain, Joseph Stiglitz. Dalam ?Globalization and Its Discontent?, Stiglitz mengkritik peran lembaga global, terutama IMF, yang terlalu menyamakan resep pemulihan ekonomi ke tiap negara tertimpa krisis tanpa mempertimbangkan faktor keunikan domestik negara tersebut. Stiglitz dan Samuelson tidak menolak perdagangan bebas. Mereka yang kontra globalisasi melupakan satu hal: kedua ekonom tersebut bersuara lantang menentang proteksi.
Salah kaprah juga muncul ketika kebijakan proteksi terhadap perdagangan internasional dilakukan atas nama hal ? hal yang tidak relevan. Kaum kontra globalisasi menyebut perdagangan internasional mengeksploitasi anak ? anak dibawah umur untuk bekerja dengan upah murah. Ketika Amerika dengan alasan child labour memberikan sanksi perdagangan terhadap Bangladesh di medio 1990-an, banyak pabrik harus gulung tikar. Anak ? anak yang kehilangan pekerjaan bertebaran di jalan, bekerja lebih tak manusiawi lagi, dan sebagian dari mereka harus terdampar di kompleks pelacuran. Pesannya jelas: pertama, negara maju dapat mengatasi masalah child labour dengan, misalnya, pembangunan sekolah dan panti asuhan. Kedua, menutup jalur perdagangan internasional adalah sia ? sia dan berakibat fatal.
Globalisasi dan Indonesia
Proteksi kerap muncul dengan dalih infant industry. Diyakini bahwa industri yang diproteksi hanya butuh waktu untuk tumbuh besar dan mampu bersaing dengan industri sejenis di pasar global. Tentu ini bukan argumen yang salah. Namun memukulratakan dalih ini ke semua industri yang kalah bersaing lagi ? lagi adalah salah kaprah. Pabrik yang gulung tikar mungkin menyebabkan pengangguran baru. Proteksi yang salah sebaliknya malah menjerembabkan negara lebih dalam untuk beberapa alasan. Pertama, konsumen dirugikan karena mempunyai lebih sedikit pilihan barang untuk dikonsumsi. Kedua, konsumen harus membayar lebih mahal untuk jenis barang yang sama. Ketiga, dan yang terpenting, kita kehilangan kesempatan mengaplikasikan keunikan skill bangsa kita untuk berproduksi di tempat yang paling efisien. Kita terlena oleh iklim non kompetitif yang membuat kita tidak paham karena apa kita menjadi kalah bersaing. Benarkah karena pungutan liar dan korupsi? Benarkah karena produktifitas buruh kita yang rendah? Bagaimana kondisi infrastruktur industri kita? Sudahkah pemerintah punya kebijakan yang kondusif untuk mendukung sektor industri? Sudahkah perbankan sebagai lembaga intermediasi berfungsi dengan baik? Proteksi yang salah membuat penyelesaian masalah ? masalah tersebut harus tertunda lagi karena kita tidak punya insentif untuk berbenah, terhalang untuk berkompetisi, dan akhirnya makin erat terjerat krisis. Alih ? alih memperbaiki diri, kita berteriak menyalahkan globalisasi.
Selanjutnya harus disadari bahwa mencebur ke globalisasi dan membiarkan pasar bebas menentukan nasib kita adalah kekeliruan. Pasar tidak selalu tampil dengan kesempurnaan. Kegagalan pasar haruslah diimbangi dengan keberadaan institusi pemerintah yang kuat. Turun lima tingkat dalam Global Competitiveness Report 2004-2005, yang sering dirujuk investor asing dalam menanamkan modal, adalah salah satu sinyal bahwa masih banyak PR yang belum dikerjakan oleh pemerintah.
Akhirnya, globalisasi menyajikan peluang dan ancaman secara bersamaan. Ketika berpartisipasi dalam globalisasi dan bangkit dari krisis bisa saling mengisi, yang diperlukan kemudian adalah kecerdikan dalam merealisasikan peluang serta bersiap terhadap ancaman yang datang. Mengutip John Lennon lagi: ?You may say I?m a dreamer, but I?m not the only one?. Sulit pastinya, tapi jelas bukan mustahil.
?May all the nations soon throw down the barriers which separate them?. Demikian Frederic Bastiat, ekonom Perancis, menulis di salah satu koran di tahun 1846. Ide yang sama tentang globalisasi -- dunia tanpa batas -- didengungkan kembali oleh John Lennon lebih dari satu abad kemudian lewat lirik ?imagine there?s no countries? dalam lagu berjudul ?Imagine?.
Globalisasi, teori perdagangan internasional dan keuntungan bagi pelakunya sudah jamak kita dengar. Meningkatnya standar hidup penduduk dunia dan ratusan juta orang yang keluar dari garis kemiskinan sebagai hasil dari bergabungnya mereka ke perekonomian global adalah bukti nyata. World Bank menunjuk Cina, India, Vietnam dan Bangladesh sebagai contoh ?new globalizers? yang mampu mengentas tak kurang 120 juta penduduknya dari garis kemiskinan selama periode 1990-an.
Sungguhpun demikian, gerakan anti globalisasi tetap ada dimana ? mana. Negara berkembang, termasuk Indonesia, memilih untuk tidak membuka pintu perdagangan terlalu lebar, memproteksi diri, dengan argumen melindungi industri dalam negeri yang terancam gulung tikar karena guyuran produk asing yang jauh lebih murah. Di lain pihak, negara maju mengkhawatirkan keputusan perusahaan ? perusahaan besar untuk berinvestasi di luar negeri akan berdampak pada berkurangnya penanaman modal domestik mereka. Untuk itu semua dan alasan ? alasan lainnya, globalisasi harus dihentikan. Begitukah seharusnya?
Salah Kaprah Tentang Globalisasi
Ekonom sering tidak sepakat untuk banyak hal. Namun untuk globalisasi, hampir semua ekonom menyambut globalisasi dengan positif. Tulisan pemenang nobel, Paul Samuelson, yang kerap diposisikan sebagai pendukung anti globalisasi sesungguhnya sama sekali tidak menentang konsepsi keunggulan komparatif David Ricardo, bahwa dua negara akan mendapatkan kesejahteraan yang lebih tinggi jika masing ? masing berdagang produk dimana mereka paling efisen dalam berproduksi. Salah kaprah yang sama terjadi dalam menyikapi buku pemenang nobel lain, Joseph Stiglitz. Dalam ?Globalization and Its Discontent?, Stiglitz mengkritik peran lembaga global, terutama IMF, yang terlalu menyamakan resep pemulihan ekonomi ke tiap negara tertimpa krisis tanpa mempertimbangkan faktor keunikan domestik negara tersebut. Stiglitz dan Samuelson tidak menolak perdagangan bebas. Mereka yang kontra globalisasi melupakan satu hal: kedua ekonom tersebut bersuara lantang menentang proteksi.
Salah kaprah juga muncul ketika kebijakan proteksi terhadap perdagangan internasional dilakukan atas nama hal ? hal yang tidak relevan. Kaum kontra globalisasi menyebut perdagangan internasional mengeksploitasi anak ? anak dibawah umur untuk bekerja dengan upah murah. Ketika Amerika dengan alasan child labour memberikan sanksi perdagangan terhadap Bangladesh di medio 1990-an, banyak pabrik harus gulung tikar. Anak ? anak yang kehilangan pekerjaan bertebaran di jalan, bekerja lebih tak manusiawi lagi, dan sebagian dari mereka harus terdampar di kompleks pelacuran. Pesannya jelas: pertama, negara maju dapat mengatasi masalah child labour dengan, misalnya, pembangunan sekolah dan panti asuhan. Kedua, menutup jalur perdagangan internasional adalah sia ? sia dan berakibat fatal.
Globalisasi dan Indonesia
Proteksi kerap muncul dengan dalih infant industry. Diyakini bahwa industri yang diproteksi hanya butuh waktu untuk tumbuh besar dan mampu bersaing dengan industri sejenis di pasar global. Tentu ini bukan argumen yang salah. Namun memukulratakan dalih ini ke semua industri yang kalah bersaing lagi ? lagi adalah salah kaprah. Pabrik yang gulung tikar mungkin menyebabkan pengangguran baru. Proteksi yang salah sebaliknya malah menjerembabkan negara lebih dalam untuk beberapa alasan. Pertama, konsumen dirugikan karena mempunyai lebih sedikit pilihan barang untuk dikonsumsi. Kedua, konsumen harus membayar lebih mahal untuk jenis barang yang sama. Ketiga, dan yang terpenting, kita kehilangan kesempatan mengaplikasikan keunikan skill bangsa kita untuk berproduksi di tempat yang paling efisien. Kita terlena oleh iklim non kompetitif yang membuat kita tidak paham karena apa kita menjadi kalah bersaing. Benarkah karena pungutan liar dan korupsi? Benarkah karena produktifitas buruh kita yang rendah? Bagaimana kondisi infrastruktur industri kita? Sudahkah pemerintah punya kebijakan yang kondusif untuk mendukung sektor industri? Sudahkah perbankan sebagai lembaga intermediasi berfungsi dengan baik? Proteksi yang salah membuat penyelesaian masalah ? masalah tersebut harus tertunda lagi karena kita tidak punya insentif untuk berbenah, terhalang untuk berkompetisi, dan akhirnya makin erat terjerat krisis. Alih ? alih memperbaiki diri, kita berteriak menyalahkan globalisasi.
Selanjutnya harus disadari bahwa mencebur ke globalisasi dan membiarkan pasar bebas menentukan nasib kita adalah kekeliruan. Pasar tidak selalu tampil dengan kesempurnaan. Kegagalan pasar haruslah diimbangi dengan keberadaan institusi pemerintah yang kuat. Turun lima tingkat dalam Global Competitiveness Report 2004-2005, yang sering dirujuk investor asing dalam menanamkan modal, adalah salah satu sinyal bahwa masih banyak PR yang belum dikerjakan oleh pemerintah.
Akhirnya, globalisasi menyajikan peluang dan ancaman secara bersamaan. Ketika berpartisipasi dalam globalisasi dan bangkit dari krisis bisa saling mengisi, yang diperlukan kemudian adalah kecerdikan dalam merealisasikan peluang serta bersiap terhadap ancaman yang datang. Mengutip John Lennon lagi: ?You may say I?m a dreamer, but I?m not the only one?. Sulit pastinya, tapi jelas bukan mustahil.