singthung
New member
Seks dan Buddha Dhamma
Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo
Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo
A. Pendahuluan
Fenomena alam semesta dalam filsafat Tao dipandang dari dua prinsip yang saling berlawanan namun saling melengkapi, yaitu Yang dan Yin; sebuah prinsip kehidupan alam semesta yang tidak dipandang sebagai oposisi binner (dualisme) yang merupakan dasar untuk memahami fenomena semesta alam holistis dan dialektis. Yang mewakili fenomena seperti unsur kelakian, dinamika, langit, matahari, terang, dan sebagainya; sedangkan Yin mewakili fenomena seperti unsur perempuan, pasifitas, bumi, rembulan, gelap, dan sebagainya. Kedua unsur tersebut berupaya untuk saling melengkapi satu satu sama lain dalam rangka mewujudkan kesatuan yang sempurna.
Kehidupan manusia dalam upaya penyatuan tersebut tampak dalam aktivitas cinta antara lelaki dan perempuan. Cinta sebagai energi spiritual yang tidak terlepas dari energi seks yang bersifat badaniah. Cinta memang sukar dilepaskan dari seksualitas, meskipun bisa dibedakan. Di Yunani Purba dikenal kata Eros dan Apphrodite, yang berarti cinta seksual dan aktivitas yang mengacu kepada dewi asmara, sesungguhnya berarti perangsangan birahi. Di Romawi Kuno, terdapat kata Cupidu dan Venus; yang berarti Cipidu adalah dambaan, antusiasme, birahi, dan buah zakar, sedangkan Venus dapat ditarik kata venereal disease yang berarti penyakit kotor. Eros-Aphrodite maupun Cupidu-Venus mencerminkan unsur kelelakian, Yang atau maskulin; sedangkan unsur perempuan, Yin atau feminin merupakan dewa-dewi cinta yang tidak terlepaskan dari aroma seks, seksualitas dalam perkembangan peradaban kehidupan manusia.
Di tengah peradaban kehidupan masyarakat yang semakin terbuka dan permisif dalam seksualitas kejiwaan, manusia dilengkapi dengan indria-indrianya dan memiliki keinginan (tanha) kuat dalam dirinya, sehingga tetap mengalami kesulitan untuk tidak sama sekali bersentuhan dengan obyek-obyek yang dapat membangkitkan sensasisensasi seksualitas. Kehidupan masyarakat dan kebudayaan sosial religius sekarang ini telah terkepung oleh segala ilusi seksualitas dan kemilaunya segala wujud keduniawian. Oleh karena itu, menghindari seks maupun tidak menghindarinya juga bukanlah sesuatu yang mudah sebab sebagai ukurannya adalah kepuasan dan kebahagiaan sejati atau titik tujuannya adalah nirwana. Terlebih lagi tidak adanya beragam jenis sensasi seks yang bersumber dari tanha itupun senantiasa terjadi.
Seksualitas itu melekat pada kehidupan manusia, baik pada para pertapa maupun bukan pertapa. Namun, mengingat cita-cita hidupnya dan cara hidupnya yang suci, hubungan seks tidak dilakukan oleh para pertapa, namun mereka yang bukan petapa dapat melakukan hubungan seks dalam kehidupan perumah tangga dengan berpedoman pada sila ketiga dari Pancasila Buddhis.
Unsur seks (bhava-rupa) tampaknya menempati sesuatu yang cukup mendasar dalam rupa manusia, yang terdiri dari unsur betina (itthi-bhva) dan jenis kelamin jantan(purisa-bhava). Seks ini juga mengandung energi yang memancarkan kekuatan energi dan menggerakkan prilaku manusia (Francis Story dalam Dimensions of Buddhist Thought,1982). Energi atau kekuatan yang mampu menggerakkan prilaku manusia itu adalah sensual craving (kama-tanha) atau nafsu inderawi, keinginan untuk perwujudan (bhavatanha) atau eros, dan keinginan untuk pemusnahan (vibhava-tanha) atau thanatos.
B. Pengertian Seksualitas
Lahirnya sang bayi yang selalu dinantikan oleh kedua orang tua, pasangan suami-istri yang telah hadir di tengah-tengah kehidupan merupakan wujud kebahagiaan setiap insan manusia dalam perumah tangga.
Di dalam Mahatanhasankaya Sutta diungkapkan bahwa proses terjadinya embrio disebabkan tiga faktor penggabungan, yaitu: (1) adanya persetubuhan atau pertemuan sel sperma ayah dan sel telur ibu yang subur (matapitaro ca sannipatita), (2) kondisi ibu dalam masa subur (mata ca utuni hoti), (3) adanya makhluk yang siap lahir (gandhabbo ca paccupatthito hoti) (M. I, 259). Kemudian bentuk pertanyaan pertama bagi kedua orang tua yang muncul adalah “Laki-laki atau Perempuan?” Yang menjadi tanda bahwa ia laki-laki atau perempuan adalah alat kelamin, atau yang disebut seks. Tetapi seks atau alat kelamin sangat erat hubungannya dengan seksualitas, yaitu kejiwaan, sifat-sifat, cara berpikir, dan lainnya dari seorang laki-laki atau perempuan, dan yang menunjukkan keseluruhan ciri dari kepriaan dan kewanitaan.
Manusia adalah makhluk yang berkelamin, artinya bisa berkelamin perempuan (itthi lingga) atau laki-laki (purisa lingga). Jika manusia merupakan suatu kesatuan dari badan dan jiwa (rupa dan nama), maka seks sebagai alat kelamin dan seksualitas sebagai ciri dari kepriaan dan kewanitaannya yang tidak bisa terpisahkan. Seks sebagai alat kelamin hanya sebagian dan tidak lengkap, maka dengan pemahaman tersebut disertai dengan seksualitas agar bentuk penilaiannya tidak menimbulkan pandangan salah, saru atau porno.
Pria dan wanita memiliki karakteristik yang berbeda, baik fisik maupun psikis. Fisik pria dengan ciri berotot kuat, kekar melambangkan keperkasaan, kekuatan, kekerasan maupun kejantanan. Sedangkan fisik wanita yang tampak seperti garis-garis melingkar melambangkan cinta dan kelembutan, kasih sayang, dan perasaan aman. Secara psikologis, pria pada umumnya dipandang luas dan keluar dalam pola pikirnya, gemar menjelajah, penyelidik alam sekitar. Sedangkan wanita berpandangan terarah ke dalam, gemar tinggal di rumah, suka menghias diri, mengatur tata tertib rumah, dan sebagainya. Letak perbedaan tersebut janganlah dianggap mutlak. Meskipun terdapat perbedaan secara biologis yang sangat menentukan, namun bukan berarti perbedaan psikologis itu harus dianggap sebagai kodratnya, karena perbedaan tersebut relatif, yang bisa dipertukar satu lain sehingga tidak terjatuh dalam stereotype dan bias jender.
Wanita bukanlah mahluk yang secara kodrati lemah, namun sebaliknya setara dengan pria. Dalam Buddha Dhamma, dikatakan bahwa makhluk berseks wanita juga pria sama-sama memiliki kesempatan dan kemampuan religius untuk mencapai kesucian yang tertinggi. Bila manusia merupakan perpaduan unsur jasmani dan batin (nama dan rupa), dan seks tidak bisa dipisahkan dari seksualitas, maka kecenderungannya lelaki dan perempuan untuk tidak bersatu pun sulit dihindari. Terjadinya hubungan seksual dalam hubungan individu manusia berlainan jenis hendaknya dipandang sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar (manusia yang normal dalam kehidupan berumah tangga).
Laki-laki dan perempuan bersatu, hidup bersama mengarungi samudra dalam mahligai tali perkawinan yang saling mencintai dan mengasihi, serta saling bertanggung jawab pada anak. Dalam konteks itulah terjadinya kontak hubungan seksual lelaki dan perempuan. Namun, Buddha mengajarkan agar perumahtangga menjalankan Pancasila Buddhis yang salah satunya adalah tidak melakukan hubungan seksual yang salah (sila ketiga,Kamesumicchara). Hubungan seksual yang salah adalah melakukan hubungan seksual kepada orang yang bukan pasangan yang sah, orang yang masih berada di bawah asuhan maupun tanggung jawab orang lain maupun lembaga tertentu dan melakukan hubungan seksual dengan orang yang masih dalam perlindungan para pelaksana Dharma. Bentuk hubungan seksual yang salah akan menghancurkan harkat dan martabat manusia itu sendiri, sehingga terjerat dengan kuat pada beban penderitaan yang tiada ahkir.
Bentuk hubungan seks yang salah (kamesumiccahara) bisa dikatakan telah terjadi bila terdapat empat faktor, yaitu
(1) orang yang tidak patut disetubuhi (agamantvatthu),
(2) mempunyai niat untuk menyetubuhi orang tersebut (tasmisevacittam),
(3) melakukan usaha untuk menyetubuhinya (sevanappayogo),
(4)telah berhasil menyetubuhinya (maggena maggapatipatti addhivasenam).
Yang dimaksudkan dengan yang berhasil menyetubuhinya adalah berhasil memasukkan alat kelamin ke dalam salah satu lubang—vagina, dubur, dan mulut, walaupun sedalam biji wijen.
Namun bagi para pertapa seperti anagarika-anagarini, samanera-samaneri,bhikkhu-bhikkhuni, tentu saja tidak diperbolehkan mengadakan kontak hubungan seks. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena hubungan seks dapat membawa akibat-akibat yang mengganggu ketenangan batin, menimbulkan kegelisahan, merintangi seseorang untuk mencapai Nibbana untuk mereka, para samana atau pejalan yang menempuh jalan Dharma atau jalan kesucian tersebut. Dalam Buddha Dharma, hubungan seks hanya dapat diperkenankan bagi mereka yang bukan pejalan kesucian, yakni bagi mereka yang membentuk kehidupan perumah tangga.
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa seks merupakan sebagai alat kelamin yang dimiliki oleh pria atau wanita dan seksualitas merupakan keseluruhan ciri kejiwaan manusia yang menunjukkan kepriaan dan kewanitaan seperti yang tercermin dalam bentuk tubuh, suara, gaya, sifat, perasaan, cara berpikir, bakat, dan sebagainya. Seksual dalam berhubungan seks merupakan sesuatu yang alamiah, hal yang wajar, normal terjadi pada kehidupan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Hubungan seks merupakan cerminan dari kerinduan dan kebersatuan dalam persetubuhan manusia antara lelaki dan perempuan bersama pasangan hidupnya yang sah. Bentuk persetubuhan tersebut sebagai ungkapan dari cinta kasih (dalam wujud hasil nyata sang buah hati atau anak), bukan semata-mata melampiaskan nafsu birahi belaka.
C. Nilai dan Karakteristik Seksualitas
Dorongan seks adalah kekuatan yang paling dinamik dalam kehidupan manusia. Begitu kuatnya, sehingga aturan pengendalian diri diperlukan, bahkan dalam kehidupan umat biasa. Dalam hal perkembangan spiritual, siapa pun yang diinginkan membawa pikirannya ke dalam pengendalian yang penuh. Diperlukan aturan disiplin diri yang lebih besar sebagai sumber kekuatan. Kekuatan demikian besar dalam sifat manusia dapat diatasi jika seseorang mampu mengendalikan pikirannya dan mempraktekan konsentrasi—penatalaksanaan dari dorongan seksual yang membantu mengembangkan kekuatan diri. Jika seseorang mengendalikan dorongan seksual, ia akan mendapatkan pengendalian lebih besar terhadap seluruh struktur, mengatasi emosi yang lebih dasar. “Kendali” berarti kita secara suka rela melatih penahanan dengan memahami perlunya berbuat demikian. Hal ini sangat berbeda dari “penekanan” yang berarti hanya mencoba berpura-pura bahwa hasrat itu tidak ada. Penekanan dapat menimbulkan akibat yang berbahaya.
Hasrat terhadap nafsu seksual memiliki kekuatan yang luar biasa; lelaki maupun perempuan digoda dan ditimbulkan (sex arousal) melalui suara, sentuhan, maupun gambar tubuh dari perempuan atau laki-laki. Untuk menghadapi godaan tersebut patutlah dilakukan perenungan terhadap jasmani tentang sifat-sifat ketidakkekalan(anicca) atau kekosongan tubuh, tubuh yang sunya sebagaimana dianjurkan Buddha.
Bukankah dalam tubuh itu sendirilah terletak penderitaan dan pembebasan? “Tubuh yang panjangnya sedepa ini, dengan kesadaran dan persepsinya, aku nyatakan adanya penderitaan, asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan untuk melenyapkan penderitaan” (A.IV.5:45). Rattahapala, seorang murid Buddha yang tergoda wanita cantik melukiskan wanita penggoda itu antara lain; “Lihatlah tubuh itu Khayali, membalut seperangkat rangka, penuh luka, berpenyakitan, dan menuntut banyak pikiran. Lihatlah wujud Khayali, walaupun dalam pakaian gemerlap dengan cincin dan berhias tulang belulang bersarungkan kulit, kuku yang diwarnai cat, wajah yang dipoles bedak, cukup memperdaya si dungu, namun tidak bagi pencari kekekalan....” (M.82). Dilihat dari sudut yang berbeda, kemolekan tubuh ini adalah tidak murni, punya sembilan lubang,seperti sebuah bejana yang bau busuk dan sulit diisi; dan dari sudut pandang yang lain, sebuah selubung kulit yang dihiasi” (Nagarjuna dalam Suhrlekha). “Para siswa Buddha yang telah bangun dengan baik dan selalu sadar; sepanjang siang dan malam, mereka selalu merenungkan sifat-sifat badan jasmani dengan penuh kesadaran” (Dhp.299).
Kehidupan selibat dianjurkan bagi mereka yang ingin menyempurnakan perkembangan spiritualnya sebagai bentuk religius. Namun, setiap dan semua orang tidak wajib untuk menjalankan kehidupan selibat dalam mempraktikan Buddhisme. Nasehat Buddha adalah bahwa dengan menjalankan kehidupan selibat lebih cocok bagi orang yang ingin mengembangkan pencapaian spiritualnya. Bagi umat Buddha awam atau umat perumahtangga, aturannya adalah untuk menjauhkan diri dari penyimpangan seksual, untuk menghindari terjadinya perselingkuhan. Hal ini berarti perumahtangga boleh terlibat hubungan seks tetapi harus menghindari hubungan seks yang salah. Keterlibatan dalam tindakan kehidupan seksual yang sah berada dalam tindakan yang tidak ada rasa bersalah dan tidak ada rasa eksploitas pihak lain maupun kekecewaan.
Dengan demikian, pergaulan seksual hanya baik dalam hubungan suami-istri. Pergaulan seksual atau persetubuhan suami-istri bukanlah semata-mata hanya pelampiasan nafsu belaka, namun juga sebagai ungkapan dari cinta kasih. Dalam kehidupan perkawinan, hubungan seksual hendaknya mencerminkan kesetiaan, melindungi kebahagiaan dan keutuhan yang dapat mendorong untuk mendewasakan diri satu sama lain, serta mendekatkan diri kepada kematangan dan kebijaksanaan. Itulah sebabnya Buddha tidak melarang hidup dalam perkawinan. Bahkan hidup dalam perkawinan bukanlah berarti menutup sama sekali pintu kesempurnaan, kebijaksanaan, dan kesucian. Sebagaimana Dharma itu diselami dalam berbagai pintunya, demikian juga kebijaksanaan itu bisa dimasuki dari segala cara, asal mau terbuka terhadap pemahaman Dharma; termasuk dalam persoalan seks, seksualitas, dan pergaulan seksual dalam kehidupan perkawinan.
Bagaimanapun, ada perlunya bagi umat Buddha awam untuk melatih suatu tingkat pengendalian terhadap dorongan seksual. Hasrat seksual manusia harus dikendalikan sebagaimana mestinya. Kalau tidak, manusia akan bertingkah lebih buruk daripada hewan ketika ia sedang dimabuk oleh hawa nafsu maupun nafsu birahinya. Pertimbangkanlah tingkah laku seksual yang salah seperti seekor hewan yang lebih rendah. Yang mana sebenarnya sering lebih rendah—hewan atau manusia? Yang mana bertindak wajar dan lumrah dalam prilaku seksual? Dan yang mana yang secara berlebihan bertindak tidak wajar dan tidak lumrah? Sering hewan merupakan mahluk yang lebih tinggi dari manusia yang memiliki kecakapan mental yang jika digunakan dengan benar dapat membuatnya menjadi tuan atas hasrat seksnya, yang telah menggunakan kekuatan mentalnya dengan cara yang tercela sehingga membuat dirinya budak hasrat tersebut. Jadi orang dapat, pada waktu tertentu dianggap lebih rendah daripada hewan bagi yang tidak mengarahkan nafsunya dengan baik.
Para leluhur selalu berusaha untuk mengurangi hasrat seksual yang berlebihan. Mereka tahu bahwa dorongan seks sudah cukup kuat tanpa diberi dorongan ekstra lain. Tetapi saat ini malah menambahnya dengan ribuan bentuk dorongan yang menimbulkan perkembangan seksual, seperti; dunia periklanan yang tak senonoh, perhatian dan pameran tubuh lelaki maupun perempuan secara vulgar; dan terlebih lagi telah dipersenjatai dengan kuat akan dorongan seksual ke dalam doktrin bahwa menahan diri terhadap seks adalah berbahaya dan bahkan dapat menyebabkan kelainan mental.
Manusia adalah satu-satunya hewan yang tidak memiliki periode seks inaktif alamiah yang tubuhnya dapat memulihkan kebugarannya. Sayangnya, eksploitasi komersial sifat erotik ini telah menyebabkan manusia modern dihujani stimulus seksual yang terus menerus dari tiap sisi. Banyak penyakit jiwa dari kehidupan saat ini yang dapat diusut dari keadaan yang tidak seimbang. Pria dalam masyarakat modern diharapkan melakukan monogami, tetapi wanita dieksploitasi dengan berbagai cara untuk menambah daya tarik diri, tidak hanya untuk suaminya, tetapi untuk membangkitkan gairah setiap pria yang dilarang oleh masyarakat untuk memilikinya.
Seks harus ditempatkan secara wajar dalam kehidupan manusia normal, seks tidak boleh ditekan secara tidak sehat atau dibesar-besarkan secara tidak lumrah dan seks harus selalu terkendalikan oleh tekad. Hal ini dapat dilakukan jika seks diperlakukan dengan bijaksana dan ditempatkan secara layak. Tidak seperti yang diajarkan selama ini, seks tidak boleh dianggap sebagai bahan yang terpenting untuk kebahagian kehidupan pernikahan seseorang. Mereka yang selalu melekat dapat menjadi budak seks yang akhirnya akan menghancurkan cinta dan pertimbangan manusiawi dalam pernikahan seseorang. Seperti dalam segala hal, seseorang harus sabar dan rasional dalam kebutuhan seksualnya dengan mempertimbangkan perasaan intim, watak pasangannya maupun kebutuhan bersama secara wajar dan terarah.
Pernikahan adalah sebagai bentuk ikatan persekutuan hidup yang dimasuki oleh seorang pria dan wanita. Kesabaran, toleransi, dan pengertian adalah tiga kualitas prinsip yang harus dikembangkan dan dipupuk oleh kedua pasangan tersebut. Sementara cinta harus menjadi simpul tali yang mengikat kedua pasangan, keperluan materi untuk mempertahankan rumah tangga yang bahagia harus ada untuk dibagi bersama dan mengembangkan bersama. Syarat persekutuan yang baik dalam pernikahan harus berupa “milik kita dan bukan milikmu atau milikku”. Pasangan yang baik harus “membuka hati” mereka satu sama lain dan menghindari untuk memiliki “rahasia”. Merahasiakan pada diri sendiri dapat membawa kecurigaan dan curiga adalah unsur yang dapat menghancurkan cinta dalam suatu persekutuan. Kecurigaan akan menghasilkan kecemburuan, dan kecemburuan menciptakan kemarahan, kemarahan menimbulkan kebencian, kebencian berubah menjadi permusuhan, dan permusuhan dapat menyebabkan penderitaan tak terkatakan, termasuk pertumpahan darah, retaknya keharmonisan keluarga, bunuh diri, dan terjadinya pembunuhan. Oleh karena itu, manusia akan memiliki karakteristik yang rendah; “Bagaikan terendah dari diri ini adalah masih seperti binatang”. Maka, arahkanlah dengan baik nafsu seks agar tidak terjerat dengan kuat dalam jurang penderitaan.