Sektor Riil Perlu “Obat” Jangka Pendek, Hindari Terjadi PHK

adidananto

New member
jakarta-siang-hari-ini2-700x357.jpg


Seperti diketahui, awal bulan ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan staff nya telah menggelontorkan paket kebijakan ekonomi September 1 dalam rangka menopang arus perlambatan ekonomi Nasional. Berdasarkan hasil paparan terlihat bahwa instrumen utamanya adalah deregulasi kebijakan dengan fokus pada industri dan perdagangan. Sifatnya jangka menengah dan panjang.

Harus dipahami bahwa sektor riil dalam negeri saat ini lebih membutuhkan kebijakan pemerintah yang sejatinya dapat memberikan dampak segera. Di tengah pelambatan pertumbuhan ekonomi serta ketidakpastian yang memberikan tekanan luar biasa, kebijakan jangka pendek dibutuhkan untuk menyelamatkan sektor riil. Tahun 2015 ini memang menjadi tahun yang cukup berat bagi perekonomian dunia dan Indonesia. Ketidakpastian yang dipicu rencana kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) dan devaluasi yuan Tiongkok telah menambah tekanan ekonomi, terutama di sektor riil.

Di tengah tekanan ekonomi yang berat, sektor riil juga membutuhkan kebijakan jangka pendek yang dampaknya bisa segera dirasakan. Kebijakan jangka pendek tersebut mendesak diperlukan demi menyelamatkan industri sekaligus menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK). Meski demikian sampai kini, AMKRI belum memiliki data detail tentang pekerja yang di-PHK. Sebaliknya, industri mebel dan kerajinan yang berorientasi ekspor menuai tambahan keuntungan berkat menguatnya dollar AS. Nilainya sekitar 40 persen dari omzet normal.

Saat ini, struktur industri di sektor mebel dan kerajinan dalam negeri sangatlah tidak efisien dikarenakan buruknya infrastruktur, tingginya bunga kredit bank, ketidakpastian upah buruh, serta regulasi yang tidak memihak kepada industri mebel dan kerajinan. Perlu dipahami bahwa industri mebel dan kerajinan adalah salah satu potensi ekspor Indonesia karena sekitar 80 persen bahan bakunya dari dalam negeri. Karakternya pun padat karya sehingga menjawab kebutuhan lapangan kerja di Indonesia. Sekarang, industri ini menyerap sekitar 2,1 juta tenaga kerja.

Semetara, pasar mebel dan kerajinan dunia mencapai 140 miliar dollar AS. Pasar terbesar adalah AS dan Eropa. Tiongkok adalah eksportir terbesar dengan nilai ekspor mencapai 50 miliar dollar AS pada 2014. Ekspor Vietnam mencapai 7 miliar dollar AS, sementara Indonesia baru sekitar 2,8 miliar dollar AS. Indonesia dengan segala potensinya, sebetulnya mampu untuk mengekspor lebih banyak. Namun, karena daya saing Indonesia lebih rendah, maka Vietnam yang lebih unggul. Bahkan, karena faktor daya saing tersebut, 10-15 perusahaan di Indonesia akan memindahkan investasinya ke Vietnam pada 2016 mendatang dalam bentuk penanaman modal asing.

Beberapa ekonom memandang, tugas utama pemerintah saat ini adalah menghapuskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Industri padat karya adalah ruang yang tepat untuk mewujudkannya. Sayangnya, pemerintah belum bisa mengatasi salah satu persoalan utama di sektor padat karya, yakni ketidakpastian hukum, terutama menyangkut mekanisme penetapan upah minimum pekerja.

Dari perspektif ekonomi makro, situasi global saat ini jelas sangat tidak bersahabat. Siapa pun presiden dan menterinya tentu akan menghadapi situasi yang sulit. Ketidakpastian global sebagai faktor eksternal telah menjadi penyebab dominan tekanan ekonomi domestik sampai dengan akhir tahun dan lagi-lagi, akibat daya saing yang lemah, Indonesia termasuk negara yang mengalami tekanan berat.


 
Back
Top