Dipi76
New member
Tjilik Riwut merupakan tokoh Dayak dari Kalimantan Tengah. Beliau telah mengabdikan hidup untuk mempersatukan keragaman dalam satu tempat bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum berkarir di bidang militer, Tjilik Riwut telah aktif mendukung pergerakan kebangsaan melalui tulisan di berbagai koran di Balikpapan. Ketika berkarir di bidang militer, Tjilik Riwut membuktikan kinerjanya dengan duduk sebagai Komandan Pasukan Terjun Payung Pertama Angkatan Udara Republik Indonesia pada tahun 1947. Selanjutnya antara tahun 1958-1959 ketika menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Swantara Tingkat I Kalimantan Tengah, Tjilik Riwut memimpin pembangunan Desa Pahundut menjadi Kota Palangkaraya sebagai Ibukota Kalimantan Tengah.
Riwayat Hidup
Tjilik Riwut adalah orang asli Kalimantan dari suku Dayak Ngaju. Beliau bangga disebut sebagai orang hutan. Semasa hidupnya, Tjilik Riwut telah 3 kali mengelilingi Pulau Kalimantan, baik dengan berjalan kaki maupun menggunakan sampan dan rakit. Sebagai gambaran, luas Pulau Kalimantan sekitar 5,5 kali luas Pulau Jawa (Tjilik Riwut, 2003:xvi).
Kebiasaan beliau untuk bertelanjang dada, bertelanjang kaki, dan hanya menggunakan celana panjang untuk kemudian masuk ke dalam hutan, menjadikan geraknya sulit untuk ditandingi oleh para pengawalnya selama menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Tengah. Tjilik Riwut adalah pribadi yang sederhana – kepribadian yang tetap dibawanya meskipun dalam kapasitasnya sebagai Perwira Tinggi Angkatan Udara Republik Indonesia dan Gubernur Kalimantan Tengah. Beliau juga tidak segan-segan untuk tetap turun langsung ke masyarakat, tidak segan untuk makan dengan alas daun pisang, dan duduk bersila di lanting (rakit dari bambu) yang basah (Riwut, 2003:xiii).
Tjilik Riwut adalah putra dari pasangan suami-istri Riwut Dahiang dan Piai Djelau (http://www.pelita.or.id/). Beliau lahir pada tanggal 2 Februari 1918 di Desa Kasongan, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah (http://id.wikipedia.org/). Tjilik Riwut kecil menghabiskan hari-harinya dengan bermain di sekitar hutan Kasongan sebagaimana layaknya anak Kalimantan pada umumnya.
Pendidikan formal Tjilik Riwut dimulai dengan masuk ke Sekolah Desa (Volkschool) di Kasongan. Setelah lulus pada tahun 1930, Tjilik Riwut dibawa oleh seorang pendeta dari Swiss bernama Pendeta Sehrel dari Kasongan ke Jawa untuk disekolahkan di Sekolah Perawat Perawat Taman Dewasa hingga lulus pada tahun 1933 (http://www.pelita.or.id/).
Setelah lulus dari Taman Dewasa, Tjilik Riwut disarankan oleh Pendeta Sehrel untuk kembali ke Kasongan dan menjadi perawat. Kebetulan di Kasongan saat itu telah berdiri dua rumah sakit yang merupakan peninggalan dari Zending (misionaris) dari Perancis. Tjilik Riwut tidak kembali ke Kasongan tetapi justru merantau ke Balikpapan.
Selama di Balikpapan, Tjilik Riwut mulai tertarik pada dunia tulis-menulis. Dimulai pada tahun 1936, Tjilik Riwut mengikuti kursus wartawan sampai lulus. Pada tahun 1940, Tjilik Riwut telah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Pakat Dayak yang bernama Suara Pakat. Dalam kurun yang sama (1940-1941), Tjilik Riwut juga bekerja sebagai koresponden Harian Pembangunan yang kala itu digawangi oleh Sanusi Pane dan Harian Pemandangan pimpinan M. Tabrani (http://yohanesss.multiply.com/).
Berawal dari minatnya di dunia jurnalisme, Tjilik Riwut secara langsung telah menyumbangkan tenaga, pikiran, dan kemampuannya untuk turut serta berjuang di dalam arus pergerakan nasional. Lewat koran yang dikelolanya, Tjilik Riwut turut menyebarkan berbagai berita seputar pergerakan nasional di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
Karya Tjilik Riwut di dunia pers tidak berlangsung lama karena pada tahun 1942 Jepang mendarat di Balikpapan. Jiwa kewartawanannya kini beralih dari koresponden menjadi intelijen militer Jepang (http://www.pelita.or.id/). Tjilik Riwut bekerja pada pihak Jepang dengan mengumpulkan data-data seputar keadaan di Kalimantan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Tjilik Riwut karena dengan jabatan yang diberikan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang, Tjilik Riwut mempunyai akses ke seluruh daerah di Kalimantan. Akses inilah yang digunakan oleh Tjilik Riwut untuk menjalin komunikasi dan koordinasi dengan berbagai suku di Kalimantan dengan tujuan untuk meyakinkan mereka agar tetap setia mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Setelah Indonesia Merdeka, pada tahun 1945, suami dari Clementine Suparti ini dipercaya sebagai Perwakilan Dewan Pimpinan Penyelenggaraan Ekspedisi ke Borneo di Yogyakarta. Satu tahun kemudian Tjilik Riwut dipercaya sebagai Pimpinan Rombongan II Utusan Pemerintah RI Yogyakarta ke Kalimantan (http://yohanesss.multiply.com/).
Pada penghujung tahun 1946, tepatnya pada tanggal 17 Desember 1946, Tjilik Riwut atas nama 185.000 rakyat Dayak di pedalaman Kalimantan (142 suku yang terdiri dari 145 kepala kampung, 12 kepala adat, 4 kepala suku, 3 panglima, 10 patih, 2 tumenggung, dan 2 kepala burung) menyatakan sumpah setia menurut adat leluhur Dayak asli kepada Pemerintah Republik Indonesia di hadapan P.J.M. Presiden Ir. Soekarno, P.J.M. Wakil Presiden drs. Mohammad Hatta, dan P.T. Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Gusti Muhammad Noor. Sumpah setia tersebut berupa kesanggupan dari para suku ini untuk mempertahankan daerahnya masing-masing yang kemudian disebut sebagai “garis daha” dari NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie). Sehingga, meskipun nantinya presiden dan wakil presiden kembali ke Batavia, secara de facto, pedalaman Kalimantan tetap menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumpah setia ini dilakukan di Istana Kepresidenan Gedung Agung, Yogyakarta (Riwut, 1947:7-9).
Ayah dari 5 orang anak, yaitu Emiliana Enon Heryani, A Ratna Hawun Meiarti, Theresia Nila Ambun Triwati (Nila Riwut), Kameluh Ida Lestari, dan Anakletus Tarung Tjandra Utama, ini kemudian melanjutkan karir di bidang kemiliteran. Antara tahun 1946-1954, Tjilik Riwut menjadi Komandan Pasukan MN 101 Mobiele Brigade MBT/TNI Kalimantan sampai pangkat Mayor.
Ketika bertugas sebagai Komandan Pasukan MN 1001 Mobiele Brigade, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 1947, Tjilik Riwut menorehkan prestasi yang membanggakan karena sukses bertindak sebagai komando Penerjun Payung Pertama Angkatan Udara Republik Indonesia. Misi dari operasi terjun payung ini adalah merebut dan mengembalikan Kalimantan ke pangkuan Republik Indonesia.
Era perjuangan fisik telah berakhir ketika Belanda menandatangani pengakuan kedaulatan Indonesia di Amsterdam pada tanggal 27 Desember 1949. Tjilik Riwut yang meniti karir di kemiliteran hingga mempunyai pangkat terakhir Marsekal Pertama Kehormatan TNI-AU mulai masuk ke ranah politik (http://www.indowebster.web.id/).
Dalam kurun waktu tahun 1950-1959, Tjilik Riwut mulai menjabat di beberapa jabatan strategis di pemerintah. Jabatan-jabatan tersebut antara lain menjadi Wedana di Sampit, Kalimantan Tengah (1950), Bupati Kotawaringin Timur (1950-1951), Bupati Kepala Daerah Swantara TK II Kotawaringin Timur (1951-1956), residen pada kantor persiapan/pembentukan daerah swantara TK 1 Kalimantan Tengah di Banjarmasin (1957), residen DPB pada pemerintahan Swantara TK I Kalimantan Tengah (1958), Penguasa/Pemangku Jabatan Gubernur Kepala Daerah Swantara Tingkat I Kalimantan Tengah (1958-1959), Anggota Dewan Nasional RI (1957-1959), dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Kalimantan Tengah pertama (1959-1967) (http://yohanesss.multiply.com/).
Berbagai jabatan strategis tersebut tetap dijalankan oleh Tjilik Riwut sebagai bagian dari darma bagi bangsa dan daerah asalnya. Salah satu langkah yang sampai sekarang masih dikenang oleh masyarakat di Kalimantan Tengah adalah kepemimpinan Tjilik Riwut dalam membuka hutan serta membangun daerah di sekitar Desa Pahandut menjadi Kota Palangkaraya, Ibukota Kalimantan Tengah (http://yohanesss.multiply.com/).
Selain berkiprah dengan mengampu berbagai jabatan di pemerintahan, sebagai wujud kepeduliannya terhadap bangsa dan daerah asalnya, Tjilik Riwut juga menulis tentang kebudayaan dan adat-istiadat suku Dayak. Beberapa di antaranya adalah Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952), Kalimantan Memanggil (1958), Maneser Panatau Tatu Hiang (1965, stensilan, dalam bahasa Dayak Ngaju), dan Kalimantan Membangun (1979 dan kemudian diterbitkan kembali pada tahun 1993).
Kiprah Bapa Enom, demikian sapaan akrabnya, akhirnya harus selesai ketika Tjilik Riwut meninggal di Rumah Sakit Suaka Insan, Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 17 Agustus 1987 pukul 05.00 WITA (http://www.kalteng.go.id/). Jenazahnya dimakamkan di makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangkaraya Kalimantan Tengah. Seorang pahlawan telah pergi tepat di Hari Proklamasi.
Pemikiran
"Nggati hewah umba dasi. Ilah buli amun dia tau mengubah utus tutang lewu" (Gantikan cawat dengan dasi. Jangan kembali jika tidak mampu mengubah nasib komunitas dan kampung halaman) (http://osdir.com/). Kalimat dalam budaya orang Dayak ini lazim dikatakan oleh orangtua kepada anaknya yang masih belia (kira-kira berusia 10 tahun) ketika si anak akan merantau keluar dari kampung, minimal untuk menempuh pendidikan.
Selarik kalimat itu melecut pula jiwa Tjilik Riwut untuk mengubah nasib komunitas dan kampung halaman. Guna merealisasikan usaha tersebut, Tjilik Riwut setidaknya melakukan tiga hal, yaitu menghimpun dukungan dari komunitas Dayak untuk menyatakan kesetiaan pada Republik Indonesia pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, mengenalkan kebudayaan suku Dayak melalui jalur tulis-menulis, dan pembangunan daerah di sekitar Desa Pahandut menjadi Kota Palangkaraya, Ibukota Kalimantan Tengah (http://yohanesss.multiply.com/).
Dukungan untuk Kemerdekaan Indonesia
Jiwa nasionalis Tjilik Riwut sebenarnya telah terbentuk sejak beliau terjun di dunia pers di Balikpapan. Diawali dengan keikutsertaannya dalam kursus kewartawanan pada tahun 1936, Tjilik Riwut kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Pakat Dayak yang bernama Suara Pakat pada tahun 1940. Dalam kurun yang sama (1940-1941), Tjilik Riwut juga bekerja sebagai koresponden Harian Pembangunan yang kala itu digawangi oleh Sanusi Pane dan Harian Pemandangan pimpinan M. Tabrani (http://yohanesss.multiply.com/).
Lewat dunia jurnalisme inilah Tjilik Riwut menjadi penyambung informasi tentang pergerakan nasional. Lewat koran yang dikelolanya, Tjilik Riwut turut menyebarkan berbagai berita seputar pergerakan nasional di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
Nasionalisme Tjilik Riwut kembali terlihat ketika Jepang datang ke Balikpapan pada tahun 1942. Tjilik Riwut yang kala itu memutuskan untuk bekerjasama dengan Jepang dan mendapat tugas sebagai intelijen militer Jepang, memanfaatkan jabatannya untuk bergerak masuk ke pedalaman. Jabatan yang disandangnya dimanfaatkan agar geraknya lebih leluasa di tengah berbagai kebijakan dari Pemerintah Pendudukan Jepang yang sangat ketat dan disiplin.
Tjilik Riwut berhasil mendirikan fondasi kesamaan visi-misi untuk tetap setia pada Republik Indonesia. Fondasi kebangsaan ini menunjukan hasil nyata ketika Indonesia telah merdeka dan Belanda, dengan bersulih muka sebagai NICA, datang kembali ke Indonesia dengan tujuan mempertahankan penjajahan di Indonesia. Berbekal kesamaan visi-misi di antara para penduduk Dayak di Kalimantan, pada tanggal 17 Desember 1946, Tjilik Riwut atas nama 185.000 rakyat Dayak di pedalaman Kalimantan memimpin sumpah setia untuk tetap menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di hadapan Presiden Soekarno (Riwut, 1947:7-9).
Selain upaya untuk menghimpun dukungan dari suku Dayak, di bidang kemiliteran, Tjilik Riwut melakukan sebuah terobosan yang kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Penerjunan Pasukan Payung Pertama Angkatan Udara Republik Indonesia.
Ketika bertugas sebagai Komandan Pasukan MN 1001 Mobiele Brigade inilah Tjilik Riwut menorehkan prestasi yang membanggakan karena sukses bertindak sebagai komando Penerjun Payung Pertama Angkatan Udara Republik Indonesia. Misi dari operasi terjun payung ini adalah merebut dan mengembalikan Kalimantan ke pangkuan Republik Indonesia.
Mayor Tjilik Riwut, Komandan Pasukan M.N. 1001 Mobiele Brigade yang bertindak selaku komando pasukan payung persiapan Kalimantan dan duduk dalam Staf Sekretaris bagian Siasat Perang pada Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia, menyusun siasat sekaligus menjadi otak operasi militer penerjunan pasukan terjun payung pertama Angkatan Udara Republik Indonesia (Nila Suseno, 2003:4). Operasi penerjunan ini digagas oleh Ir. Muhammad Noor, Gubernur pertama Kalimantan, dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU) Republik Indonesia, Suryadharma.
Pada tanggal 17 Oktober 1947, Pasukan Payung melakukan operasi militer terjun payung di Kampung Sambio, Kotawaringin, Kalimantan Tengah (Suseno, 2003:4). Tujuan digelarnya operasi terjun payung ini adalah membuka hubungan radio antara daerah dan pusat serta mengembangkan basis perlawanan menghadapi penjajah yang ingin berkuasa kembali di Kalimantan, mengusahakan dan menyempurnakan dropping zone untuk persiapan penerjunan selanjutnya, membantu perjuangan para pejuang di Kalimantan, dan membuka mata dunia bahwa Kalimantan adalah salah satu bagian dari Republik Indonesia (Suseno, 2003:9-10).
Peristiwa ini dikenal dengan nama Peristiwa Penerjunan Pasukan Payung Pertama Angkatan Udara Republik Indonesia. Untuk mengenang peristiwa heroik dan bersejarah tersebut, pada tahun 1978 didirikan sebuah monumen penerjun payung di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Nila Suseno, 2003:i).
Berawal dari peristiwa penerjunan tersebut, setiap tanggal 17 Oktober ditetapkan sebagai hari Kopasgat (Komando Pasukan Gerak Cepat). Kopasgat sekarang dikenal sebagai Paskhas (Pasukan Khas) TNI Angkatan Udara berdasarkan Keputusan Men/ Pangau No. 54 Tahun 1967 tanggal 12 Oktober 1967 (Suseno, 2003:10).
Bersambung...
-dipi-