Dua tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di bidang ekonomi dinilai tidak lebih baik dari performance yang ditunjukkan pemerintahan sebelumnya. Indikator keberhasilan yang diklaim pemerintahan dinilai menyesatkan dan semu, sehingga tidak bisa menjadi vitamin bagi perbaikan ekonomi.
"Prestasi di bursa tidak merepresentasikan prestasi ekonomi. Kenyataannya, justru itu paling dimanja SBY," ujar ekonom UI Faisal H. Basri dalam seminar Quo Vadis Indonesia: Political Economic Outlook di Surabaya tadi malam.
Dia juga mencontohkan cadangan devisa per November 2006 yang naik tajam menjadi USD 42 miliar. Tapi, pencapaian tersebut bukan dari keringat pemerintah, melainkan modal asing jangka pendek yang dibiarkan membanjir. "Secara total dari pembelian SUN, jual beli saham di bursa efek, dan SBI lebih USD 10 miliar," jelasnya.
Dia menambahkan kondisi tersebut bukan malah memberikan efek positif, karena sewaktu-waktu bisa keluar dan menjadi bumerang. Dari sisi investasi juga anjlok, apalagi jika tolok ukurnya pemerintahan Megawati yang sempat tumbuh 15,7 persen (kuartal kedua 2004). "Bagaimana bisa tumbuh jika sumber makanan paling bergizi bagi perekonomian malah melempem," tegasnya.
Dia menilai kualitas pertumbuhan ekonomi di era SBY cenderung memburuk. Pola pertumbuhan ditandai kesenjangan antara sektor barang (tradable) dan sektor jasa (non-tradable). "Parahnya, justru yang non-tradable maju sangat pesat. Padahal, hanya terpusat di kota besar dan sangat sedikit menyerap tenaga kerja," terangnya.
Sebaliknya, tradable (pertanian dan manufaktur) mengalami tekanan berat. Sektor telekomunikasi, transportasi, keuangan nonbank memang pesat, tapi sedikit sekali multiplier effect-nya bagi peningkatan ekonomi rakyat. "Bandingkan pada kuartal III 2006 sektor transportasi dan telekomunikasi tumbuh 12,8 persen, sementara manufaktur yang padat karya hanya 4,1 persen," keluhnya.
Akibat kualitas pertumbuhan yang tidak sehat itulah, dia menyebut angka kemiskinan makin meningkat. Angka pengangguran logikanya juga meningkat kecuali makin banyak angkatan kerja yang secara sukarela tak mencari pekerjaan.
Dia juga mengkritisi kondisi perbankan yang masih semu meski membaik. Dari data World Bank Juni 2006, interest margin bank-bank Indonesia 5,9 persen. Lebih tinggi dari Malaysia yang 3,3 persen, Filipina 4,1 persen, bahkan rata-rata negara Asia Timur 3,8 persen. Dari sisi CAR, Indonesia juga tertinggi yaitu 20,5 persen, Malaysia 13,2 persen, Filipina 16,7 persen, Thailand 13,5 persen, dan Asia Timur 15,6 persen. "Semakin sakit suatu negara, CAR banknya malah makin besar," herannya.
"Prestasi di bursa tidak merepresentasikan prestasi ekonomi. Kenyataannya, justru itu paling dimanja SBY," ujar ekonom UI Faisal H. Basri dalam seminar Quo Vadis Indonesia: Political Economic Outlook di Surabaya tadi malam.
Dia juga mencontohkan cadangan devisa per November 2006 yang naik tajam menjadi USD 42 miliar. Tapi, pencapaian tersebut bukan dari keringat pemerintah, melainkan modal asing jangka pendek yang dibiarkan membanjir. "Secara total dari pembelian SUN, jual beli saham di bursa efek, dan SBI lebih USD 10 miliar," jelasnya.
Dia menambahkan kondisi tersebut bukan malah memberikan efek positif, karena sewaktu-waktu bisa keluar dan menjadi bumerang. Dari sisi investasi juga anjlok, apalagi jika tolok ukurnya pemerintahan Megawati yang sempat tumbuh 15,7 persen (kuartal kedua 2004). "Bagaimana bisa tumbuh jika sumber makanan paling bergizi bagi perekonomian malah melempem," tegasnya.
Dia menilai kualitas pertumbuhan ekonomi di era SBY cenderung memburuk. Pola pertumbuhan ditandai kesenjangan antara sektor barang (tradable) dan sektor jasa (non-tradable). "Parahnya, justru yang non-tradable maju sangat pesat. Padahal, hanya terpusat di kota besar dan sangat sedikit menyerap tenaga kerja," terangnya.
Sebaliknya, tradable (pertanian dan manufaktur) mengalami tekanan berat. Sektor telekomunikasi, transportasi, keuangan nonbank memang pesat, tapi sedikit sekali multiplier effect-nya bagi peningkatan ekonomi rakyat. "Bandingkan pada kuartal III 2006 sektor transportasi dan telekomunikasi tumbuh 12,8 persen, sementara manufaktur yang padat karya hanya 4,1 persen," keluhnya.
Akibat kualitas pertumbuhan yang tidak sehat itulah, dia menyebut angka kemiskinan makin meningkat. Angka pengangguran logikanya juga meningkat kecuali makin banyak angkatan kerja yang secara sukarela tak mencari pekerjaan.
Dia juga mengkritisi kondisi perbankan yang masih semu meski membaik. Dari data World Bank Juni 2006, interest margin bank-bank Indonesia 5,9 persen. Lebih tinggi dari Malaysia yang 3,3 persen, Filipina 4,1 persen, bahkan rata-rata negara Asia Timur 3,8 persen. Dari sisi CAR, Indonesia juga tertinggi yaitu 20,5 persen, Malaysia 13,2 persen, Filipina 16,7 persen, Thailand 13,5 persen, dan Asia Timur 15,6 persen. "Semakin sakit suatu negara, CAR banknya malah makin besar," herannya.