mozilla_solo1
New member
Sikap Seorang Muslim di Hadapan As-Sunnah
Penulis: Buletin Dakwah As-Sunnah, Surabaya.
As-Sunnah menurut bahasa memiliki arti “Jalan yang di tempuh”. Sedangkan secara syari’at, As-Sunnah adalah jalan petunjuk yang di tempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam perkara aqidah, ibadah, muamalah maupun tingkah laku sehari-hari, baik yang hukumnya wajib maupun mustahab (sunnah).
Lalu bagaimana sikap seorang muslim di hadapan As-Sunnah itu? Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan di dalam Al-Qur’an di surat Al-Hasyr ayat 7 yang artinya sebagai berikut:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa saja yang di bawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kalian, maka ambillah (laksanakanlah). Dan apa saja yang dilarangnya, maka hentikanlah (tinggalkanlah).”
Di dalam ayat yang mulia ini, secara jelas di tegaskan bahwa sikap seorang muslim di hadapan As-Sunnah adalah “Mengimani seluruh ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa di pilih-pilih, walaupun tidak sesuai dengan keinginan atau kemauan hawa nafsunya, atau mungkin belum bisa diterima akalnya.”
Seorang muslim harus yakin, bahwa semua ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dibimbing oleh wahyu yang mutlak kebenarannya, dan tidak bisa ditentang oleh pendapat siapapun.
Ambillah contoh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya di Kitab Ath-Thib Nomor 5782. Dari Abu Hurairah radhiyallahu, Rasulullah ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمَسْهُ كُلَّهُ، ثُمَّ لَيَطْرَحْهُ، فَإِنَّ فِي أَحَدِ جِنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي اْلآخَرِ دَاءً
“Apabila ada lalat jatuh ke dalam sebuah bejana (untuk minuman) salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah seluruh (tubuh) lalat itu ke dalamnya kemudian buanglah lalat itu (lalu minumlah air yang ada dalam bejana itu, ed). Karena sesungguhnya di dalam salah satu sayap lalat itu terdapat obat penawarnya dan di sayap lainnya ada penyakit.”
Setelah mendengar dan membaca hadits ini, seorang muslim sejati harus mempercayainya dan meyakini kebenarannya, haram baginya menantang dan melecehkan hadits tersebut, walaupun menurut kedangkalan akalnya hadits ini terkesan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan teori kesehatan.
Namun yang perlu diingat, sebelum meyakini dan mengamalkan As-Sunnah (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), seorang muslim sejati harus melakukan dua tahapan ilmu sebagai berikut:
Pertama: Harus meneliti shahih atau tidaknya hadits yang dinisbahkan (disandarkan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila shahih maka wajib diterima, dan ternyata tidak shahih maka harus ditolak. Dan untuk mengetahui ilmu seperti ini (tentang shahih atau tidaknya sebuah hadits) harus dengan bimbingan ulama’ ahli hadits, atau melihat penilaian mereka di dalam kitab-kitab hadits yang telah diteliti mereka.
Kedua: Bila ternyata hadits tersebut shahih, maka kita juga harus melihat penjelasan dari para ulama’ ahli hadits yang terpercaya agamanya, tentang makna-makna, faedah-faedah dan hukum-hukum yang bisa dipahami dari hadits yang shahih tersebut.
Contohnya adalah Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan kitab Fathul Bari-nya setebal 14 jilid, yang merupakan Kitab Syarh (penjelasan dan uraian) dari Kitab Shahih Al-Bukhari. Atau Imam An-Nawawi dengan kitab Syarh Shahih Muslimnya, dan juga para ulama yang lainnya.
Nah setelah melalui dua tahapan tersebut di atas, baru kita yakini dan kita amalkan As-Sunnah tersebut. Hal ini kita lakukan untuk menghindari penipuan yang dilakukan oleh para penjahat agama yang biasa berhujjah (berdalil) dengan hadits-hadits dha'if (lemah) bahkan maudhu’ (palsu), atau mereka yang menolak hadits-hadits shahih hanya kerena tidak sesuai dengan maksud sebenarnya.
Orang-orang semacam ini, perlu diingatkan dengan ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan dalam sabda beliau:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فًلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.” (HR. Imam Muslim dalam Shahihnya, No.3 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Demikianlah penjelasan ringkas tentang keharusan sikap seorang muslim sejati dihadapan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk mengetahui lebih jelas tentang masalah ini, silahkan
Anda meruju’ kepada kitab-kitab para ulama sebagai berikut:
1. Syarh Shahih Muslim
2. Ta’dhimus Sunnah.
3. Dharuratul Ihtiman bis Sunan An-Nabawiyyah
4. At-Tamassuk bis Sunnah fil Aqa'id wal Ahkam
5. Tahqiq Ma’na As-Sunnah
6. Munaqasyah Hadi’ah, dll.
Wallahu a’lamu bish shawwab!
sumber : almanhaj.or.id - Berjalan Di Atas Manhaj As-Salaf Ash-Shalih
Penulis: Buletin Dakwah As-Sunnah, Surabaya.
As-Sunnah menurut bahasa memiliki arti “Jalan yang di tempuh”. Sedangkan secara syari’at, As-Sunnah adalah jalan petunjuk yang di tempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam perkara aqidah, ibadah, muamalah maupun tingkah laku sehari-hari, baik yang hukumnya wajib maupun mustahab (sunnah).
Lalu bagaimana sikap seorang muslim di hadapan As-Sunnah itu? Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan di dalam Al-Qur’an di surat Al-Hasyr ayat 7 yang artinya sebagai berikut:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa saja yang di bawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kalian, maka ambillah (laksanakanlah). Dan apa saja yang dilarangnya, maka hentikanlah (tinggalkanlah).”
Di dalam ayat yang mulia ini, secara jelas di tegaskan bahwa sikap seorang muslim di hadapan As-Sunnah adalah “Mengimani seluruh ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa di pilih-pilih, walaupun tidak sesuai dengan keinginan atau kemauan hawa nafsunya, atau mungkin belum bisa diterima akalnya.”
Seorang muslim harus yakin, bahwa semua ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dibimbing oleh wahyu yang mutlak kebenarannya, dan tidak bisa ditentang oleh pendapat siapapun.
Ambillah contoh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya di Kitab Ath-Thib Nomor 5782. Dari Abu Hurairah radhiyallahu, Rasulullah ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمَسْهُ كُلَّهُ، ثُمَّ لَيَطْرَحْهُ، فَإِنَّ فِي أَحَدِ جِنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي اْلآخَرِ دَاءً
“Apabila ada lalat jatuh ke dalam sebuah bejana (untuk minuman) salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah seluruh (tubuh) lalat itu ke dalamnya kemudian buanglah lalat itu (lalu minumlah air yang ada dalam bejana itu, ed). Karena sesungguhnya di dalam salah satu sayap lalat itu terdapat obat penawarnya dan di sayap lainnya ada penyakit.”
Setelah mendengar dan membaca hadits ini, seorang muslim sejati harus mempercayainya dan meyakini kebenarannya, haram baginya menantang dan melecehkan hadits tersebut, walaupun menurut kedangkalan akalnya hadits ini terkesan tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan teori kesehatan.
Namun yang perlu diingat, sebelum meyakini dan mengamalkan As-Sunnah (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), seorang muslim sejati harus melakukan dua tahapan ilmu sebagai berikut:
Pertama: Harus meneliti shahih atau tidaknya hadits yang dinisbahkan (disandarkan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila shahih maka wajib diterima, dan ternyata tidak shahih maka harus ditolak. Dan untuk mengetahui ilmu seperti ini (tentang shahih atau tidaknya sebuah hadits) harus dengan bimbingan ulama’ ahli hadits, atau melihat penilaian mereka di dalam kitab-kitab hadits yang telah diteliti mereka.
Kedua: Bila ternyata hadits tersebut shahih, maka kita juga harus melihat penjelasan dari para ulama’ ahli hadits yang terpercaya agamanya, tentang makna-makna, faedah-faedah dan hukum-hukum yang bisa dipahami dari hadits yang shahih tersebut.
Contohnya adalah Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan kitab Fathul Bari-nya setebal 14 jilid, yang merupakan Kitab Syarh (penjelasan dan uraian) dari Kitab Shahih Al-Bukhari. Atau Imam An-Nawawi dengan kitab Syarh Shahih Muslimnya, dan juga para ulama yang lainnya.
Nah setelah melalui dua tahapan tersebut di atas, baru kita yakini dan kita amalkan As-Sunnah tersebut. Hal ini kita lakukan untuk menghindari penipuan yang dilakukan oleh para penjahat agama yang biasa berhujjah (berdalil) dengan hadits-hadits dha'if (lemah) bahkan maudhu’ (palsu), atau mereka yang menolak hadits-hadits shahih hanya kerena tidak sesuai dengan maksud sebenarnya.
Orang-orang semacam ini, perlu diingatkan dengan ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan dalam sabda beliau:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فًلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.” (HR. Imam Muslim dalam Shahihnya, No.3 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Demikianlah penjelasan ringkas tentang keharusan sikap seorang muslim sejati dihadapan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk mengetahui lebih jelas tentang masalah ini, silahkan
Anda meruju’ kepada kitab-kitab para ulama sebagai berikut:
1. Syarh Shahih Muslim
2. Ta’dhimus Sunnah.
3. Dharuratul Ihtiman bis Sunan An-Nabawiyyah
4. At-Tamassuk bis Sunnah fil Aqa'id wal Ahkam
5. Tahqiq Ma’na As-Sunnah
6. Munaqasyah Hadi’ah, dll.
Wallahu a’lamu bish shawwab!
sumber : almanhaj.or.id - Berjalan Di Atas Manhaj As-Salaf Ash-Shalih
Last edited: