fajarsany
New member
Suatu waktu, Hasta, seorang jenderal tertinggi Kerajaan Yutun ditugasi oleh raja mengunjungi Kekaisaran Adikara untuk belajar bagaimana Kekaisaran tersebut mengorganisir pasukannya. Hasta pun pergi dengan ditemani beberapa petinggi kerajaan.
Sesampainya di Kekaisaran Adikara, Hasta takjub terhadap kekaisaran tersebut yang mampu mengorganisir pasukannya yang berjumlah sangat banyak dengan begitu teratur. Belasan kali lebih banyak daripada negaranya. Pasukan yang ada tidak hanya berasal dari penduduk Kekaisaran Adikara saja, tapi juga dari berbagai negara yang menjadi jajahan atau sekutu kekaisaran; menjadikan pasukan Kekaisaran Adikara multi negara. Dalam pandangan Hasta, tidak mudah untuk mengatur pasukan yang heterogen.
Beberapa hari kemudian, tanpa diduga suatu kelompok pemberontak yang menginginkan pemerintahan diganti menjadi republik, menyerang kekaisaran. Serangan pemberontak tersebut kerapkali merepotkan karena dilakukan secara sporadis dan juga didukung persenjataan yang cukup banyak. Hasta berkesempatan untuk menyaksikan bagaimana pasukan Kekaisaran Adikara beraksi.
Namun Hasta merasa aneh karena semua pasukan yang maju bertempur adalah perempuan, entah itu komandan lapangan, pasukan infanteri, kru kendaraan lapis baja, operator artileri, personil medis, dan yang lainnya. Sedangkan pasukan laki-lakinya hanya menyaksikan saja jalannya pertempuran melalui televisi. Baru kali ini Hasta menyaksikan bagaimana perempuan diterjang badai peluru senapan mesin, dicabik-cabik granat atau roket, ditusuk bayonet, dan dihajar popor senapan. Pemandangan tersebut membuat Hasta pusing.
Hasta bertanya kepada salah satu Jenderal Kekaisaran Adikara, kenapa semua yang maju ke medan perang adalah perempuan. Jenderal lelaki tersebut menjawab, “Karena negara kami sudah menerapkan sistem kesetaraan gender, apakah negaramu belum menerapkan sistem ini jenderal?”
Hasta mengerutkan dahinya, kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang beruban.
Sesampainya di Kekaisaran Adikara, Hasta takjub terhadap kekaisaran tersebut yang mampu mengorganisir pasukannya yang berjumlah sangat banyak dengan begitu teratur. Belasan kali lebih banyak daripada negaranya. Pasukan yang ada tidak hanya berasal dari penduduk Kekaisaran Adikara saja, tapi juga dari berbagai negara yang menjadi jajahan atau sekutu kekaisaran; menjadikan pasukan Kekaisaran Adikara multi negara. Dalam pandangan Hasta, tidak mudah untuk mengatur pasukan yang heterogen.
Beberapa hari kemudian, tanpa diduga suatu kelompok pemberontak yang menginginkan pemerintahan diganti menjadi republik, menyerang kekaisaran. Serangan pemberontak tersebut kerapkali merepotkan karena dilakukan secara sporadis dan juga didukung persenjataan yang cukup banyak. Hasta berkesempatan untuk menyaksikan bagaimana pasukan Kekaisaran Adikara beraksi.
Namun Hasta merasa aneh karena semua pasukan yang maju bertempur adalah perempuan, entah itu komandan lapangan, pasukan infanteri, kru kendaraan lapis baja, operator artileri, personil medis, dan yang lainnya. Sedangkan pasukan laki-lakinya hanya menyaksikan saja jalannya pertempuran melalui televisi. Baru kali ini Hasta menyaksikan bagaimana perempuan diterjang badai peluru senapan mesin, dicabik-cabik granat atau roket, ditusuk bayonet, dan dihajar popor senapan. Pemandangan tersebut membuat Hasta pusing.
Hasta bertanya kepada salah satu Jenderal Kekaisaran Adikara, kenapa semua yang maju ke medan perang adalah perempuan. Jenderal lelaki tersebut menjawab, “Karena negara kami sudah menerapkan sistem kesetaraan gender, apakah negaramu belum menerapkan sistem ini jenderal?”
Hasta mengerutkan dahinya, kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang beruban.