Skandal Ujian Nasional

tribudhis

New member
Skandal Ujian Nasional

Ujian penting. Ujian nasional penting. Tetapi konsep berpikir bahwa hanya melalui ujian seseorang pantas dinyatakan ‘lulus atau tidak’ sudah sejak lama ditentang oleh banyak orang. Pada dasarnya jika sebuah proses pendidikan sudah berjalan secara ‘memadai’ maka tidak perlu diadakan ujian segala. Jika pun harus diadakan tidak perlu ‘heboh’ dalam artian ujian akhir inilah yang paling penting. Yang lain-lain tidak. Sampai-sampai hampir seluruh makam keramat dikunjungi, hampir semua pensil 2B diberi mantera dan tulisan dari kitab suci. Apa-apaan ini? Belum lagi aparat keamanan. Semuanya hendak dilibatkan lengkap dengan senjata serbunya. Naskah ujian diperlakukan hampir persis sama dengan teroris. Apa-apaan ini?

Konsep berpikir yang seperti ini jelas-jelas konsep berpikir yang sangat merendahkan martabat dan harga diri siswa, orang tua, guru, pemerintah, pokoknya hampir semua orang sedang direndahkan martabat dan harga dirinya. Apakah negara ini masih berada dalam tahapan yang ini? Tahapan di mana semua orang baik-baik dianggap ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’ dan lain sebagainya? Benar-benar sulit diterima akal sehat. Atau jangan-jangan memang benar demikian adanya? Karena pada dasarnya mereka yang sedang berkuasa dan memegang otoritas memang masuk kategori ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’ maka semua orang pun dianggap masuk ke kategori yang sama? Kami saja begitu apalagi ente? Apakah memang seperti itu konsepnya?

Ya Memang Beda

Berbicara tentang ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’ tentu saja ada di mana-mana. Pada semua negara, tidak perduli negara itu sudah amat maju atau masih amat terkebelakang, tipe orang yang mempunyai sifat ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’ tentu ada dan pasti ada. Tetapi yang tidak termasuk golongan ini tentu saja banyak, bahkan lebih banyak, bahkan sangat banyak. Nah, di NKRI walau kondisinya persis sama, tetapi yang terjadi benar-benar keterlaluan. Hampir setiap saat dan di setiap tempat semua orang dimasukkan ke dalam golongan ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’.

Coba bayangkan. Menjengkelkan tidak jika keadaannya seperti ini. Bagaimana bisa justru di negara sendiri perlakuan yang sangat merendahkan martabat dan harga diri ini diberlakukan, sementara di negeri orang justru sebaliknya? Ini contoh sederhananya.

Di Polandia setiap orang dengan bebas dapat masuk ke tempat perbelanjaan – segala macam tempat perbelanjaan – lengkap dengan jas dan tas. Mengapa? Karena semua orang percaya bahwa semua orang pasti beritikad baik. Pasti tidak akan mencuri. Pasti tidak akan memasukkan barang yang belum dibayar ke dalam tas yang dibawa. Apakah pernah ada yang mencuri di tempat perbelanjaan? Tentu saja ada. Apakah ada yang tertangkap? Tentu saja ada. Bahkan beberapa tahun yang lalu ada berita justru orang-orang terhormat dari NKRI yang tertangkap tangan ‘ngutil’ alias mencuri barang-barang kecil. Di Perancis kejadiannya, ini kalau tidak salah. Tetapi tetap saja di Eropa semua orang dianggap mempunyai martabat dan harga diri, artinya dipercaya tidak mempunyai sifat dan karakter ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’. Mereka bebas masuk ke tempat perbelanjaan dengan jaket, jas, topi dan tas. Bandingkan dengan Indonesia, umpamanya. Yah … karena semua orang dianggap mempunyai sifat dan karakter ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’, jadi janganlah bermimpi dapat masuk ke tempat perbelanjaan dengan jaket, jas, topi, apalagi tas.

Yang mengherankan mengapa mereka yang sedang berkuasa dan mempunyai otoritas tidak merasa tersinggung atas perlakuan seperti ini? Bukankah perlakuan semacam ini jelas-jelas perlakuan yang sangat merendahkan martabat dan harga diri bangsa? Bukankah mereka seharusnya berani mengeluarkan peraturan bahwa tidak boleh sebuah sarana perbelanjaan umum seperti supermarket umpamanya membuat peraturan yang melecehkan seperti ini? Pasar tradisional malah paham akan hal ini sehingga di pasar tradisional setiap orang tidak akan dianggap sebagai kumpulan orang yang mempunyai sifat ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’. Tetapi yang lebih tingkatannya dari pasar tradisional malah melakukan hal yang sebaliknya.

Begitu juga dengan Pendidikan

Dalam dunia pendidikan ternyata hal yang sama terjadi. Benar-benar mengherankan dan tidak masuk akal. Coba bayangkan. Dalam dunia pendidikan semua anak didik dianggap mempunyai karakter ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’. Karena mempunyai karakter seperti itu maka para pendidiknya pun selalu bersikap seperti itu. Artinya semua tindakan untuk mencegah mereka yang mempunyai sifat ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’ dilakukan – bahkan secara berlebihan - untuk memastikan mereka tidak melakukan hal itu.

Yang lebih mengherankan di negara dengan jutaan sarjana pendidikan, dengan ratusan ribu ilmuwan terdidik, dengan puluhan ribu doktor dan guru besar, praktek memalukan ini terus menerus diberlakukan bahkan semakin diperkuat eksistensinya. Apa-apaan ini? Bagaimana bisa praktek merendahkan seluruh anak didik dengan menganggap mereka semua sebagai ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’ terus menerus diberlakukan dengan sangat leluasa? Pasti ada yang salah dengan negara ini!

Di kelas bahasa Polandia sebagai bahasa asing saya satu-satunya staf pengajar universitas yang mengikuti kelas ini. Dosennya seorang doktor bahasa dan sastra Polandia. Teman-teman sekelas saya adalah mahasiswa yang memperoleh beasiswa Erasmus dari berbagai negara. Ada yang dari Turki, Irlandia, Amerika, Jepang, dan Venezuela. Dari Indonesia saya seorang. Dan apa yang terjadi ketika kami mengikuti ujian? Kami benar-benar diperlakukan sebagai manusia yang berakhlak baik, jujur, tidak curang. Dan perlakuan semacam ini mendapat respon balik yang luar biasa. Saya perhatikan tidak satu pun dari teman sekelas ini yang melirik atau pun bertanya pada teman yang duduk tepat di sebelahnya. Tidak satu pun. Dosen yang menjaga ujian juga tidak memperhatikan kami. Dia bahkan asyik membaca buku. Tidak ada yang berniat curang dan tidak ada yang melakukan kecurangan. Bahkan ketika dosen ini meninggalkan ruangan selama lima belas menit, keadaan hening dan tertib tidak berubah. Semua tekun mengerjakan ujian. Tidak ada yang menoleh, tidak ada yang bertanya. Saya tentu saja juga tidak. Memangnya saya ini ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’? Ha … ha … ha …

Nah, inilah yang terjadi jika para pendidik memberlakukan anak didiknya sebagai orang yang tidak berkarakter ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’. Para anak didik itu bukan maling, bukan pendusta, bukan orang yang suka berbuat curang, bukan orang yang tidak dapat dipercaya.’ Anak didik itu baik, jujur, tidak curang, dan dapat dipercaya. Di kelas, di luar kelas, di ruang ujian, dijaga atau tidak dijaga, mereka dapat dipastikan akan seperti ini. Ini di Polandia. Tetapi lihat apa yang terjadi dengan dunia pendidikan di Indonesia?

Seluruh siswa – baca sekali lagi: seluruh siswa – dan juga seluruh mahasiswa – baca sekali lagi: seluruh mahasiswa – dan juga seluruh peserta ujian apa saja – baca sekali lagi: seluruh peserta ujian apa saja - diperlakukan oleh mereka yang mempunyai otoritas dan kekuasaan sebagai kelompok yang bermental ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’. Buktinya? Lihat saja bagaimana ‘tindakan yang sangat berlebihan’ diberlakukan pada segala macam tahapan proses pendidikan termasuk Ujian Nasional.

Skandal Ujian Nasional kali ini – yang menunjukkan betapa tidak becusnya orang yang paling bertanggung jawab terhadap pelaksanaannya – semoga menjadi momentum untuk menyadari betapa banyak kesalahan mendasar telah dilakukan selama bertahun-tahun terhadap anak didik pada seluruh tataran.

Jangan perlakukan semua anak didik – dan juga semua orang – sebagai kelompok yang bermental ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’ kalau memang tidak menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang bermental ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’. Cukup ente-ente saja yang bermental ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’ dan jangan paksa para anak didik mengikuti itu semua. Caranya? Mulai sekarang juga ubah paradigma berpikirmu, wahai para pendidik, jangan perlakukan anak didik kalian sebagai ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’. Mereka tidak seperti itu.

Ujian nasional jika memang tetap dianggap penting, ya silahkan saja. Tetapi tidak usah melahirkan ‘heboh nasional’. Ujian nasional dari segi nilai filosofisnya tidak lebih tinggi dari ujian atau ulangan sehari-hari di kelas. Bahkan mungkin lebih rendah. Jika perlu delegasikan wewenang melaksanakan ujian nasional pada masing-masing sekolah dengan mengedepankan prinsip bahwa semua anak didik tidak mempunyai karakter ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’.

Jika ini dapat dilakukan sejak dini dan mulai dari sekarang, mungkin jumlah ‘maling beneran’ akan berkurang drastis karena sejak awal memang tidak ada lagi anak didik yang dianggap bermental ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’. Bagaimana para guru dan dosen, bisa bukan? Ayo jadikan skandal nasional UN ini sebagai titik balik pendidikan yang selama ini mungkin sangat salah arah dengan memperlakukan semua orang sebagai ‘maling, pendusta, curang, tidak dapat dipercaya’. Mereka tidak seperti itu.

Dr, Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – HP, 087853451949
Department of Modern Languages and Literature
University of Adam Mickiewicz - Poznan, Poland.
 
mengherankan kurikulum pendidikan yg diterapkan utk tahun ajaran 2013/2014. Mata Pelajaran KKPI [Komputer] di hilangkan namun tak memberi solusi bagi puluhan ribu guru KKPI yang ada mau dikemanain? bahkan saat wartawan nanya Menteri Muhamad Nuh dgn enteng menjawab: pindah aja mengajar mata pelajaran yg lain.
 
Back
Top