Sokrates, Plato, Aristoteles. Kafirkah ?

madAs

New member
Mengikuti pendapat al Ghazali, ada 3 kekeliruan dalam keyakinan filosof yang menjatuhkan mereka pada jurang kekufuran; keabadian alam, pengingkaran pengetahuan parsial bagi Tuhan dan tidak mengakui kebangkitan jasad. Sementara itu yang tertulis dalam literatur disiplin ilmu tauhid ( Teologi ), pengkafiran ini dialamatkan secara umum kepada para filosof. Atau dengan kata lain , secara lahir objek yang mereka ( ulama ) kafirkan, mutlak seluruh filosof yang meyakini salah satu dari 3 pemikiran tersebut. Namun jika dikaji lebih mendalam, pemahaman /pemaknaan secara lahir ini dapat menimbulkan kerancuan dan kontradiksi dalam pendapat mereka sendiri. Sebab fakta bahwa sejarah filsafat sendiri telah dimulai sejak lama dan telah menjadi warisan peradaban bangsa Yunani, jauh sebelum risalah Muhammad s.a .w diturunkan. Dengan begitu kerancuan ini akan tampak ketika kemutlakkan pengkafirkan para filosof kita kaitkan dengan persoalan mengenai ahli fatroh ( masa kevakuman rasul atau tidak pernah menjumpai ajaran agama ).


Sekarang perlu kita ketahui sedikit mengenai perkembangan filsafat beserta pemikirannya, terutama yang berkenaan dengan prinsip akidah. Selain itu kita juga perlu mengetahui pendapat ulama tentang ahli fatroh.
Sejauh yang saya temukan, ada 3 pendapat dari kalangan ulama ahlus Sunnah mengenai nasib ahli fatroh. Berikut uraian singkatnya :
*) Pendapat pertama berasal dari ulama asya'iroh, pengikut imam Abu al Hasan al Asy'ari
Menurut mereka, semua ahli fatroh tidak akan disiksa di neraka, karena salah satu prinsip mereka menyebutkan 'tidak ada taklif sebelum ada risalah', baik akidah maupun furu'iyyah. Dalil mereka adalah Q.S al Isra : 15. Mereka juga menolak hadits ketika Rasulullah ditanyai mengenai nasib leluhur sahabat beliau, yang dijawab dengan " di neraka ". Alasannya, hadits tersebut merupakan hadits ahad, yang bersifat zhonniy, tidak bisa mengkhususkan pemahaman umum yang diperoleh dari dalil pasti ( qoth'i ).
*) Pendapat kedua dari pengikut imam Abu Manshur al Maturidi
Pendapat mereka menyebutkan, ahli fatroh masih diwajibkan untuk mengetahui dan meyakini eksisitensi Pencipta. Sebab akal memiliki potensi menjangkau pengetahuan tentang adanya Pencipta alam semesta. Namun khusus dalam hal ini saja, tidak lebih.
*) Pendapat ketiga diambil dari tafsir Munir Q.S. al Isra : 15 karangan imam Nawawi
Beliau menyebutkan, ahli fatroh bisa diklasifikasikan menjadi 13 golongan, dimana 6 diantaranya masuk surga, 4 di neraka dan sisanya berada dibawah kehendak Allah/tidak dapat dipastikan. Golongan yang pertama ( yang masuk surga ) secara garis besar adalah mereka yang mengesakan Allah, baik melalui intuisi, menelaah kitab - kitab nabi atau mengikuti ajaran kebenaran umat terdahulu. Golongan kedua, yang dihukumi kafir, adalah penganut atheisme ataupun politheisme dengan jalan taklid ( hanya mengikuti warisan leluhur tanpa didasari pengtahuan ) dan atheis yang sebelumnya sempat mengakui adanya Tuhan, namun pilihan mereka menjadi atheis dilakukan tanpa memaksimalkan potensi nalar atau bahkan menolak kebenaran yang sebenarnya telah diketahuinya. Dan golongan terakhir diisi oleh mereka yang tidak mengakui adanya Pencipta, yang disebabkan kemampuan penalaran mereka yang lemah. Juga kaum politheis, tetapi keyakinan mereka ini diperoleh melalui proses penalaran, hanya saja mereka melakukan kekeliruan pada proses ini.
Dari pemaparan yang disampaikan An Nawawi, ada satu benang merah yang bisa ditarik, yakni kewajiban nazhar ( memaksimalkan potensi nalar ). Dengan demikian pendapat ini sedikit mendekati aliran Maturidi.

Sekarang kita akan coba membahas sedikit tentang perkembangan filsafat beserta pemikiran - pemikirannya. Dalam buku "Filsafat Islam", disebutkan Filsafat Yunani dapat dibagi menjadi 2 periode; zaman Hellenis atau Yunani kuno ( abad VI SM - abad IV SM ) dan zaman Hellenistis-Romawi ( abad IV SM - abad VIII M ). Dan setelah abad VIII inilah lahir filsafat di dunia Islam, yang diantaranya diwakili al Kindi, ibnu Sina, al Farabi sampai masa ibnu Rusyd. Dan diikuti setelahnya oleh Suhrawardi, M. Iqbal sampai abad ke-13. Namun kali ini kita membatasi untuk hanya melihat pemikiran dunia filsafat periode awal. Pada periode awal, dunia filsafat Yunani diwarnai banyak aliran filsafat dengan karakterisitk perbedaan dasar pemikiran yang substansial. Ada filsafat alam dari Milte dengan corak materialistis, Leukippos dan Demokritos dengan atomismenya, kaum Elea ( metafisis ), Phytagoras ( mistis matematis ) juga ada kaum Sofis dan 3 filosof besar Sokrates, Plato dan Aristoteles. Dalam al Munqidz min al Dlolal, al Ghazali menyedarhanakan aliran - aliran ang ada menjadi 3 macam :
1) Materialis ( Dahriyyah )
Aliran ini berkeyakinan bahwa alam ini telah ada tanpa permulaan dan selalu demikian adanya, sehingga mereka tidak mengakui adanya Pencipta.
2) Naturalis ( Thobi'iyyah )
Aliran ini sedikit berbeda dari aliran sebelumnya, karena mereka terpesona dengan fenomena - fenomena yang terjadi pada alam dan berkesimpulan alam ini pasti ada yang menciptakan. Namun keterpesonaan mereka terhadap alam materi membuat mereka mengingkari segala hal yang bersifat non-materi seperti jiwa manusia yang hancur setelah jasad mereka mati, hari akhir dan sejenisnya.
3) Theis ( Ilahiyyah )
Termasuk dalam aliran ini, Sokrates, Plato dan Aristoteles yang menjadi guru bagi filosof dari dunia Islam seperti ibnu Sina dan al Farabi. Meskipun memiliki dasar pemikiran yang berbeda, namun semua yang ada dalam aliran ini tetap mengakui adanya Pencipta, jiwa manusia dan hari kebangkitan. Namun menurut al Ghazali, meski demikian dalam pemikiran mereka masih terdapat benih - benih kekufuran, yang membawa mereka dan para muridnya terpelest ke jurang kekufuran.
Dengan mempertimbangkan bahwa dasar akidah adalah mengakui adanya Pencipta dan kehidupan setelah kematian, maka aliran Materialis dan Naturalis disebut al Ghazali sebagai Zindiq. Sementara untuk aliran terakhir, meskipun mengakui 2 prinsip akidah tersebut, namun karena masih terdapat keyakinan - keyakinan yang berbenturan dengan akidah Islam, al Ghazali dengan tegas dan jelas menyatakan kafir bagi mereka beserta para filosof dari dunia Islam yang mengikuti pemikiran filsafat mereka.

Sekarang tinggal satu pertanyaan yang tersisa. Apakah filosof Yunani ini - yang hidup pada sekitar abad VI SM - IV SM - termasuk ahli fatroh atau tidak? Jika tidak, atas dasar apa kita berani memastikan mereka bukan ahli fatroh? Dan ketika tidak ada dalil pasti yang menunjukkan hal ini, maka terlalu lancang jika kita berani menkafirkan mereka ( bkan pemikiran mereka setelah dikondisikan dengan akidah kita ). Sebab dengan begitu berarti masih ada kemungkinan bahwa mereka termasuk ahli fatroh yang tentunya membuat permasalahnnya menjadi berbeda. Dan seandainya harus disepakati bahwa mereka ahli fatroh, maka menurut pendapat asy'ariyyah, secara mutlak mereka tidak bisa dikafirkan. Menurut pendapat Maturidi, hanya aliran materialis yang bisa dikafirkan, tidak dengan 2 aliran lainnya. Dan terakhir saat harus mengikuti pendapat an Nawawi, makanya sulit untuk mengkafirkan mereka, dengan alasan kebanyakan filosof selalu mendasari setiap keyakinan mereka melalui prose penalaran yang radikal. Paling jauh kita hanya bisa memasukkannya pada golongan ketiga, menyerahkannya di bawah kehendak Allah.

Akhirnya mengikuti pendapat asy'ariyyah, sebagai pendapat yang banyak diikuti, yang menyatakan akal tidak mampu secara independen, menjangkau pengetahuan tentang eksistensi Pencipta - apalagi hukum syariat lain - sebagaimana juga pengakuan al Ghazali sendiri, maka mau tidak mau pernyataan ulama yang mengkafirkan filsafat harus kita arahkan khusus pada filosof dari dunia Islam yang mengikuti pemikiran filosof Yunani, bukan kepada filosof Yunani itu sendiri. Mungkin pemutlakan ulama dimaksudkan agar kita tidak terjebak untuk mengikuti pemikiran mereka. Sebab bukankah terlalu 'bodoh' jika kita sampai mengikuti pemikiran mereka yang dibangun atas metode pencarian kebenaran dengan hanya 'dipersenjatai' indra, akal dan intuisi yang tidak selalu benar ( jika kita mau mengakui mereka juga menerima intuisi ). Sementara kita memiliki semua itu, ditambah wahyu yang pasti benar. Terakhir untuk pertanyaan yang menjadi tulisan ini, ada jawaban yang paling aman, " WALLAHU A'LAM BIS SHOWAB ".

sumber
 
jadi filsafat islam itu bolehkah dipelajari? (seperti matakuliah di IAIN/UIN)
adakah hubungannya kesesatan JIL dengan belajar filsafat?

kalo ttg filsafat, aku memang bener2 gak tahu :) mohon penjelasannya
 
jadi filsafat islam itu bolehkah dipelajari? (seperti matakuliah di IAIN/UIN)
adakah hubungannya kesesatan JIL dengan belajar filsafat?

kalo ttg filsafat, aku memang bener2 gak tahu :) mohon penjelasannya

Untuk pertanyaan pertama, jika pengen aman sesuai saran al Ghazali ada 3 syarat yang harus dipenuhi jika mau belajar Kalam, yang berinduk pada filsafat:
1) Fokus dalam melakukan studi. Tidak punya kesibukan lain.
2) Memiliki kemampuan nalar yang memadai. Buat yang di bawah rata2, mending mundur aja.
3) Memiliki watak dan keimanan yang baik

Untuk pertanyaan kedua. Bisa jadi. Tapi mungkin bukan menjadi sebab utama.
Soalnya setau saya JIL itu terlalu berkiblat pada Barat. Jadi ada sedikit kaitan, tapi tidak mutlak.
 
Filsafat itu dapat dipahami lewat dua mata (1) filsafat sebagai istilah dari sebuah konsep institusional, dan (2) filsafat sebagai sebuah proses yang dialami oleh manusia, yakni berfikir. Berulangkali Allah menerangkan bahwa apa yang terjadi dalam alam semesta, adalah ayat-ayatNya bagi orang yang berfikir. Kalau pertanyaan mengenai Sokrates, Plato, dan Aristoteles apakah mereka kafir, saya khawatir kita mengkafirkan orang lain. Namun perbedaan aqidah mungkin bisa menjadi alasan. Sesuai dengan agama kita (Islam) bagi yang tidak mengucapkan Dua Kalimah Syahadat ya berarti kafir (unbeliever). Jadi bukan filsafatnya, tetapi aqidahnya. Toh filsafat itu tidak lebih dari sekedar seni befikir. Filsafat dan filosof tidak berbahaya, selama belum sampai pada kebuntuan yang merangsang diri untuk mengatakan Tuhan itu Tidak Ada (naudzu billah)
 
Back
Top