nizhami
New member
"Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan 'Allah.." al-An'am : 116
Rata2, ketika seorang Muslim (dg huruf kapital, artinya pemeluk Islam. Tanpa huruf kapital, Islam tradisional menganggap semua di alam semesta adalah 'muslim') bila ingin bekerja sama dg dunia modern (sebuah kultur budaya yg dominan skarang ini) maka ia seperti berdiri di luar rumah dan mengintai apa yg terjadi di dalam rumah (Islam tradisional).
Dan 'kebanyakan orang' sudah tidak peduli dengan apa yg terjadi di dalam rumah. Sibuk diluar rumah, 'mengikuti kebanyakan orang', pdahal (kata Qur'an) 'mereka akan menyesatkanmu'. Siapakah 'mereka' ini?
Mereka adalah syaithan, setan. Sayangnya, dg seiring majunya akal, semakin banyak Muslim yang justru tidak lagi percaya dg setan. Jika setan bukan dlm bentuk yang terpersonalisasikan, setidak2nya setan adalah sebuah pengaruh ataupun kecenderungan, inilah tipu daya, kesesatan.
Untuk memahami kejahatan modern sangatlah rumit, begitu banyak 'cabang' dan 'akar' lembut yang kita tidak menyadarinya. Tidaklah mengherankan bila ada kelompok2 Muslim yang sadar akan akibat korosif modern westernisasi thd dunia (tradisional) mereka, mereka memandang proses modernitas ini sebagai proses satanik.
Manusia modern akan berusaha berpikir normal atau setidaknya ingin dianggap normal. Sebuah evolusi standarisasi yg berkembang pesat. Padahal, 'normal', dulunya berasal dari kata Norm, aturan agama, sebuah cita2 yang agung. Dan sekarang, sesuatu yang normal adalah bila sama dengan orang lain.
Jika mayoritas manusia berada dlm kesesatan, maka tersesat akan menjadi sesuatu yang normal. Suara mayoritas adalah benar, inilah pondasi demokrasi modern dewasa ini. Masalahnya adalah bahwa mayoritas manusia modern slalu mengubah pola pikirnya dari generasi ke generasi selanjutnya. Perlahan tapi pasti, kuantitas telah mengalahkan kualitas dan keragaman telah menaklukkan keesaan.
Seorang filsuf Katholik, Gustave Thibon, mengibaratkan peradaban modern sbg kereta yg melaju kencang ke arah jurang atau dinding tebal. Setiap mil yg ditempuhnya, penyejuk udara selalu diperbarui dan kursi2 menjadi semakin empuk. Kereta tersebut senantiasa menawarkan kenyamanan, kecuali satu hal, tanda bel bahaya! Bahkan kalaupun ada, siapa yg membunyikannya? Adakah juga masinis? Hanya hawa nafsu-lah yg membuat kereta tersebut melaju semakin cepat.
Dalam masyarakat modern perkotaan, tingkat korosif modernitas akan jauh lebih mengenaskan. Pikiran akan tersita habis untuk teori2 konklusif kebahagiaan, ilmu psikologi berkembang pesat. Persepsi atau pandangan 'kebanyakan orang' menjadi sangat penting, mereka merasa hidup akan menyedihkan bila belum mencapai ini itu seperti 'kebanyakan orang'.
Sbagai manusia yg lahir di jaman serba modern, kita tdak mungkin meninggalkan modernitas krn bagaimanapun juga Islam adalah agama yang dinamis, agama yg mengikuti perkembangan jaman. Namun, tidak selayaknya juga kita mengabaikan sisi tradisional, yang Qur'an selalu menyuruh untuk belajar dari 'orang-orang terdahulu'.
Mengambil istilah dari Thibon, bisakah kaum Muslim atau pemeluk agama lain untuk bersama2 membunyikan bel tanda bahaya akan arus modernitas ini?
sumber :
- Charles Le Gai Eaton (Remembering God: Reflection on Islam)
- Hamka (Tafsir al-Azhar)
- Quraish Shihab (Agama dan Logika)
- Karen Armstrong (Islam, Short History)
- nizhami
Rata2, ketika seorang Muslim (dg huruf kapital, artinya pemeluk Islam. Tanpa huruf kapital, Islam tradisional menganggap semua di alam semesta adalah 'muslim') bila ingin bekerja sama dg dunia modern (sebuah kultur budaya yg dominan skarang ini) maka ia seperti berdiri di luar rumah dan mengintai apa yg terjadi di dalam rumah (Islam tradisional).
Dan 'kebanyakan orang' sudah tidak peduli dengan apa yg terjadi di dalam rumah. Sibuk diluar rumah, 'mengikuti kebanyakan orang', pdahal (kata Qur'an) 'mereka akan menyesatkanmu'. Siapakah 'mereka' ini?
Mereka adalah syaithan, setan. Sayangnya, dg seiring majunya akal, semakin banyak Muslim yang justru tidak lagi percaya dg setan. Jika setan bukan dlm bentuk yang terpersonalisasikan, setidak2nya setan adalah sebuah pengaruh ataupun kecenderungan, inilah tipu daya, kesesatan.
Untuk memahami kejahatan modern sangatlah rumit, begitu banyak 'cabang' dan 'akar' lembut yang kita tidak menyadarinya. Tidaklah mengherankan bila ada kelompok2 Muslim yang sadar akan akibat korosif modern westernisasi thd dunia (tradisional) mereka, mereka memandang proses modernitas ini sebagai proses satanik.
Manusia modern akan berusaha berpikir normal atau setidaknya ingin dianggap normal. Sebuah evolusi standarisasi yg berkembang pesat. Padahal, 'normal', dulunya berasal dari kata Norm, aturan agama, sebuah cita2 yang agung. Dan sekarang, sesuatu yang normal adalah bila sama dengan orang lain.
Jika mayoritas manusia berada dlm kesesatan, maka tersesat akan menjadi sesuatu yang normal. Suara mayoritas adalah benar, inilah pondasi demokrasi modern dewasa ini. Masalahnya adalah bahwa mayoritas manusia modern slalu mengubah pola pikirnya dari generasi ke generasi selanjutnya. Perlahan tapi pasti, kuantitas telah mengalahkan kualitas dan keragaman telah menaklukkan keesaan.
Seorang filsuf Katholik, Gustave Thibon, mengibaratkan peradaban modern sbg kereta yg melaju kencang ke arah jurang atau dinding tebal. Setiap mil yg ditempuhnya, penyejuk udara selalu diperbarui dan kursi2 menjadi semakin empuk. Kereta tersebut senantiasa menawarkan kenyamanan, kecuali satu hal, tanda bel bahaya! Bahkan kalaupun ada, siapa yg membunyikannya? Adakah juga masinis? Hanya hawa nafsu-lah yg membuat kereta tersebut melaju semakin cepat.
Dalam masyarakat modern perkotaan, tingkat korosif modernitas akan jauh lebih mengenaskan. Pikiran akan tersita habis untuk teori2 konklusif kebahagiaan, ilmu psikologi berkembang pesat. Persepsi atau pandangan 'kebanyakan orang' menjadi sangat penting, mereka merasa hidup akan menyedihkan bila belum mencapai ini itu seperti 'kebanyakan orang'.
Sbagai manusia yg lahir di jaman serba modern, kita tdak mungkin meninggalkan modernitas krn bagaimanapun juga Islam adalah agama yang dinamis, agama yg mengikuti perkembangan jaman. Namun, tidak selayaknya juga kita mengabaikan sisi tradisional, yang Qur'an selalu menyuruh untuk belajar dari 'orang-orang terdahulu'.
Mengambil istilah dari Thibon, bisakah kaum Muslim atau pemeluk agama lain untuk bersama2 membunyikan bel tanda bahaya akan arus modernitas ini?
sumber :
- Charles Le Gai Eaton (Remembering God: Reflection on Islam)
- Hamka (Tafsir al-Azhar)
- Quraish Shihab (Agama dan Logika)
- Karen Armstrong (Islam, Short History)
- nizhami