Stigma

fardepre

New member
STIGMA



Laki-Laki dan Sepak Bola

Mungkin sejak saat kita masih kecil dahulu (pada masa anak-anak) hingga saat dimana rambut mulai ditumbuhi banyak uban, tidak sedikit dari bentuk stigma-stigma yang telah kita dengar (biasanya dari mulut ke mulut) dan pula berkembang luas dalam kehidupan sosial masyarakat. Stigma-stigma yang ?berusaha? untuk diwariskan/ditularkan dari generasi ke generasi. Hingga pada akhirnya tidak sedikit pula di antara kita yang kemudian mempercayainya bulat-bulat, atau bahkan beramai-ramai menjadikannya semacam azas kepatutan atau pun ?kebenaran? yang seharusnya berlaku secara menyeluruh. Disadari atau pun tidak.

Misalnya saja stigma yang kurang-lebih berbunyi demikian, ?Anak laki-laki harus suka sepak bola??, ?Anak laki-laki yang tidak suka sepak bola itu berarti dia banci!!??, ?Yang tidak suka sepak bola, berarti tidak suka olah raga?? (seakan-akan hanya sepak bola itulah satu-satunya jenis olahraga yang ada dan resmi di muka Bumi ini), ?Heran? kamu ini laki-laki, tapi kok kamu nggak suka nonton bola????, ?Semua orang seharusnya suka sepak bola??, dan begitu seterusnya.

Dari bentuk stigma-stigma ?sepak bola? semacam inilah, akhirnya menghasilkan banyak laki-laki yang gemar bermain sepak bola, laki-laki yang tergila-gila menonton sepak bola, atau pun tidak sedikit pula laki-laki yang berpura-pura menyukai sepak bola (mungkin agar tidak disebut banci). Dan sungguh malang nasibnya bagi laki-laki yang tidak suka sepak bola dan tidak bisa berpura-pura untuk menyukainya. But anyway, time will healing them, maybe.

Seharusnya, secara logika sederhana, barang siapa yang rajin belajar maka dia akan menjadi pintar, barang siapa yang rajin berlatih maka dia akan semakin mahir, dan barang siapa yang menyukai sepak bola maka (seharusnya) dia ?jago? bermain bola. Namun kenyataannya, konteks ?suka atau tidak suka? sepertinya tidak ada hubungan relasi yang kuat dengan konteks ?mahir atau tidak mahir?, begitu pula sebaliknya. Bahkan mungkin saja terdapat cukup banyak orang yang tergila-gila menonton sepak bola, tetapi sangat jarang bermain sepak bola (apalagi disebut mahir). Namun setidak-tidaknya, dengan hadirnya komentator-komentator sepak bola yang begitu piawai dan berwibawa, acara-acara pertandingan sepak bola tersebut menjadi terasa begitu menarik untuk ditonton (namun ini sepertinya tidak berlaku bagi laki-laki yang tidak suka sepak bola dan tidak bisa berpura-pura menyukainya, walaupun hanya sekedar untuk menonton acara tayangannya).


Pria : Gairah Seks dan Awet Muda

Selain dari bentuk stigma ?sepak bola? di atas, masih banyak pula stigma-stigma lain yang berhubungan dengan laki-laki, terutama pada kalangan laki-laki yang sudah mengalami ?mimpi basah?. Sejak saat ?basah? itulah, mereka mulai dinobatkan sebagai laki-laki yang sudah akil-baligh, dan entah kenapa, mereka pun mulai suka ?melirik-lirik? pada bagian organ-organ tertentu yang dimiliki oleh lawan jenisnya (ini tidak berlaku bagi mereka yang memiliki kecenderungan homoseksual). Dan entah kenapa pula, setelah mereka ?berhasil? melihat dengan jelas (atau samar-samar) apa yang mereka ?cari? dari hasil intip-mengintip itu, tiba-tiba muncul gejolak-gejolak aneh namun terasa ?menyenangkan?. Dan semenjak itu para lelaki akil-baligh ini pun mulai suka dengan yang ?basah-basah?.

Hasrat yang mulai timbul itu membuat sebagian besar dari mereka pun mulai mencari sensasi-sensasi untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Ada yang wujud pelampiasannya harus melalui bacaan buku-buku stensil (misalnya karangan Enny Arrow? jadul baget nggak sih??), majalah-majalah dan video porno, atau pun hanya dengan sedikit berimajinasi lalu kemudian ?ber-swalayan-ria?.

Bagi yang sifat ?kejantannya? lebih dominan, mereka tak sungkan-sungkan mulai mendekati lawan jenisnya, dan membuat semacam ikatan atau komitmen yang ?lebih serius?; cinta monyet yang serius? kira-kira demikianlah gambarannya. Beberapa dari mereka pun mulai coba-coba memberanikan diri untuk ?menembak? sang gadis. Dan biasanya para gadis lebih tertarik kepada cowok-cowok populer di sekolahnya, dan biasanya pula cowok-cowok populer itu jago dalam aktifitas olahraga-olahraga tertentu. Dan biasanya pula, cowok-cowok yang piawai dalam berolahraga, piawai pula dalam mendekati dan memikat hati para gadis.

Mungkin karena bentuk stigma ?Lelaki yang harus memulai terlebih dahulu??, maka terkesan pula bahwa para lelaki-lah yang lebih berhasrat dan agresif dibandingkan dengan pihak si cewek. Padahal baik dari kedua belah pihak, hasrat tersebut sama-sama muncul dan bergejolak, namun pihak si cewek biasanya lebih mahir untuk menyembunyikannya dengan cukup rapih dan elegan (walau tidak semuanya begitu). Kemudian para pejantan itu pun mulai beraksi untuk ?menembak? sang betinanya, dan biasanya si betina cukup menjawab ?Ya? atau ?Tidak?.

Dikarenakan pihak cowok yang biasanya memulai terlebih dahulu daripada si cewek, kondisi tersebut memiliki benefit tersendiri bagi tiap pelaku-pelakunya. Dari sisi si cowok, dia bisa memilih yang dia mau. Sedangkan dari sisi si cewek, dia tidak harus memulai terlebih dahulu (apalagi mengalami dampak pahit dari penolakan).

Bagi cowok-cowok mata keranjang atau playboy, dan pula mahir dalam urusan ?pendekatan? dengan cewek (dan tidak terlalu pusing dengan segala macam tetek-bengek penolakan), kondisi yang demikian itu justru merupakan semacam ?anugerah? bagi mereka. Karena banyak cewek yang menunggu untuk ?didekati?, namun hanya segelintir cowok yang berani ?mendekati?. Pangsa pasar yang luas sedang menanti-nanti mereka. Sehingga pada akhirnya, para cowok hidung belang itu pun mulai memiliki sejumlah pacar atau pun selingkuhan; baik itu di dalam satu sekolahan ataupun di sekolah-sekolah lainnya.

Sedangkan dari pihak cewek, biasanya mereka cukup setia dengan pasangannya; dan mungkin pula mereka akan merasa khawatir apabila mencoba-coba berselingkuh dan akhirnya pula ketahuan, yang mungkin pada akhirnya akan memicu terjadinya tawuran antar pelajar. Ketika si playboy itu ketahuan belangnya, si cewek biasanya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali marah dan paling-paling ?putus?. Dan si playboy itu tetap saja bisa dengan leluasa mencari-cari cewek pengganti lainnya. Karena akan selalu ada tempat bagi playboy-playboy itu di hati beberapa cewek.

Mungkin karena cowok-cowok hidung belang itu, munculah stigma ?Ah, cowok tuh dimana-mana sama saja? brengsek!!...?. Dan karena cewek-cewek biasanya setia dan kurang agresif jelalatan sana-sini, para cowok menganggap bahwa cewek-cewek itu tidak memiliki libido seperti yang mereka miliki. Dari kedua macam bentuk stigma tersebut, kemudian dapat disimpulkan bahwa pria adalah sejenis makhluk yang memiliki gairah seks yang besar, tidak seperti halnya para wanita. Apalagi ini kemudian dibuktikan dengan berbagai fakta yang menunjukkan bahwa setua apapun umur si pria, tidak mengurangi gairah seksnya terhadap wanita (dan cukup banyak kisah nyata tentang pria-pria yang sudah tua bangka yang masih saja doyan dengan wanita lain yang jauh lebih muda dari usia mereka).

Karena bentuk stigma ?pria lebih memiliki gairah seksual daripada wanita? semacam inilah, masyarakat banyak pun mulai mempercayainya dan melekatkan stigma tersebut ke dalam alam bawah sadar mereka masing-masing, serta menjadikannya sebagai semacam ?kebenaran? yang kodrati. Maka tak heran, banyak pria yang sudah berusia lanjut namun masih tampak segar bugar dan awet muda, masih doyan lirik-sana-lirik-sini. Sedangkan banyak wanita yang mulai tampak loyo dan tidak lagi memperhatikan bentuk postur tubuhnya, apalagi setelah mereka menikah dan melahirkan. Selain itu pula, lebih banyak tayangan yang menonjolkan wanita dengan pakaian minim, daripada pria yang memakai pakaian minim (mungkin akan terasa menggelikan dan susah untuk dibayangkan apabila itu benar-benar terjadi? pria-pria dengan bikini atau pun model g-string? hueeekkk? dunia macam apakah itu??).

Karena hasrat seksual yang tetap terjaga hingga di usia lanjut itu, dan pula kondisi ?senjata?-nya yang masih siap ?layak pakai? walaupun sudah banyak ?karat?-nya sekalipun, para pria itu pun tetap menjaga ?stamina?-nya agar masih tampak menarik untuk dilihat oleh lawan jenis; entah itu dengan cara body-building, menumpuk-numpuk harta (as the most effective bait), hingga kepada bentuk-bentuk perawatan kulit dan tubuh baik yang resmi maupun yang ?plus-plus? (apalagi ?perawat?-nya terdiri dari wanita-wanita muda yang cantik dan senantiasa tersenyum? berbeda dengan bini di rumah yang selalu cemberut saja).

Berbeda dengan pria-pria pejantan tersebut, para old-fashioned women biasanya hanya beraktifitas di dalam rumah saja, sesekali ke luar rumah untuk acara arisan atau ngerumpi dengan sesamanya. Lingkungan yang mereka jumpai biasanya hanya seputar kalangan ibu-ibu, urusan anak-anak, dan berbagi resep makanan. Lain dengan para suami mereka yang beraktifitas di kantor, yang di antaranya juga dijumpai pegawai-pegawai wanita kantoran yang masih fresh, rekan-rekan sesama pria yang gemar ?berpetualangan?, dan hal-hal yang ?menarik? lainnya. Maka tak heran pula, para pria tersebut cenderung lebih awet muda dibanding dengan wanitanya.

Namun apakah stigma-stigma yang menyatakan bahwa pria lebih cenderung awet muda dan tetap bergairah secara seksual dibandingkan wanita itu memang benar? Apakah wanita cenderung tampak loyo dan tidak bergairah seiring dengan bertambahnya umur, terutama setelah masa-masa menopause? Tidak sepenuhnya benar. Hal itu sangatlah tergantung dari sugesti pikiran mereka masing-masing. Jika hal yang demikian itu yang Anda yakini, maka itulah yang akan terjadi pada Anda. Apa yang Anda pikir, itulah Anda! Tidak sedikit pula fakta-fakta yang menunjukkan bahwa wanita pun sama bergairahnya dan tetap tampak awet muda, seperti halnya pria-pria itu. Contohnya Madonna, Demi Moore, Kylie Minoque, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. Faktanya, banyak wanita yang telah melewati usia separuh abad, namun mereka masih saja tampak segar bugar dan menarik (bahkan semakin menarik saja) dan masih doyan melirik ?berondong-berondong?.


Mengekor Trend

?Ah kamu masih saja suka pake warna silver? sekarang yang lagi nge-trend khan warna ijo??, ?Tas kamu kok kuno banget sih??... Pake tas ransel dong biar bisa lebih bergaya dan trendy??. ?Ih norak banget sih baju elo bolong-bolong gitu? sekarang yang lagi ?in? itu baju yang ditambel-tambel? tanya aja ama temen-temen gue yang baru pulang dari Paris? atau Milan? atau Mexico? pokoknya eropa gitu deh, yang letaknya deket ama India itu looh??, ?Itu hape model taon jebot kapan tuh??... Pake ini donk? teknologi terbaru? 2 s/d 2,5 Mbps? dan kita bisa kirim SMS jauh lebih cepat dari biasanya lho??, ?Mendingan kamu cepat-cepat jual deh berapa lot, sebelum nilainya jatuh? itu katanya pakar dari semua pakar ekonom di negeri sono, trend-nya sedang turun nih??, ?Arisan pake duit? so yesterday banget deh? sekarang khan lagi nge-trend jenis arisan pake minyak goreng import??, ?Potongan rambut kamu ketinggalan jaman banget? yang lagi nge-trend itu: sebelah kanan lurus, sebelah kiri keriting, dan di tengah-tengah botak ber-tattoo??, dan begitu seterusnya.

Hampir di setiap kalangan, baik itu yang poorly-educated maupun yang highly-educated, memiliki stigma trend-nya masing-masing. Ada yang berupa trend budaya, fashion, teknologi, pasar komoditas, dan lain sebagainya. Di satu sisi, trend tersebut ada baiknya dan dirasa ada pula manfaatnya. Namun di sisi lainnya justru sebaliknya, menjadi bagian dari victims yang hanya sekedar ikut-ikutan trend belaka.

Trend Budaya dan Fashion
Trend fashion senantiasa berubah-ubah di setiap musimnya; entah itu musim hujan, musim kemarau, atau pun musim duren. Tiap-tiap bangsa memiliki musim yang berbeda-beda, seharusnya juga memiliki trend fashion yang berbeda-beda pula. Apalagi jika bangsa tersebut memiliki sumber daya kesenian dan kebudayaan yang begitu beraneka-ragam dan bernilai tinggi. Jika hanya ikut-ikutan dan mengekor trend dari luar negri, sampai kapan budaya nasional ini dibudidayakan? Sampai kapan pun juga, para pengekor tidak akan lebih baik dari yang diekori. Akan lebih baik untuk mulai mendobrak semua stigma ?keren? dari para pengekor trend-trend tersebut, dan membuat trend-trend sendiri yang lebih orisinal. Fashion bukan hanya milik bangsa barat. Buktinya, Harajuku-Style versi Jepang pun merebak dan menjadi trend di beberapa bangsa di dunia. Atau pun bentuk kumis ala Saddam Husein. Mungkin suatu saat nanti akan muncul pula trend-trend baru yang sangat mendunia; misalnya pakaian betawi di musim hujan, gaun pengantin kombinasi batak-sunda, gaya rambut ala papua, dan lain sebagainya.

Trend Teknologi
Di sebagian negara, terutama di negara yang sudah maju dan kaya raya, teknologi berkembang cukup pesat. Teknologi-teknologi baru yang semakin canggih itu biasanya disesuaikan dengan desakan kebutuhan manusia modern yang semakin kompleks. Teknologi diciptakan untuk mempermudah manusia. Namun ada pula yang digunakan hanya sekedar untuk gaya-gayaan saja, selain harganya yang cukup mahal, penggunaan yang kurang optimal dan tidak sesuai dengan kebutuhan akan terasa sangatlah mubazir. Misalnya, buat apa memiliki ponsel dengan kecepatan transfer data yang tinggi, jika hanya digunakan untuk sekedar telepon-teleponan dan saling kirim-mengirim SMS belaka, atau pun paling banter mengirim file berukuran kecil. Percuma saja khan? Atau pun, buat apa membeli seperangkat komputer dengan spesifikasi yang paling canggih, jika hanya digunakan untuk mengetik-ngetik sekumpulan resep-resep makanan. Buang-buang duit khan? Atau pun, buat apa beli jam tangan yang sangat mahal, jika senantiasa datang telat? Nggak ada gunanya khan?

Trend Pasar Komoditas
Di dalam pasar komoditas (seperti index atau spot market, foreign exchange / FOREX, stock exchange, atau pun bursa komoditas lainnya), dikenal yang namanya Fundamental Analysis dan Technical Analysis. Fundamental Analysis pada umumnya didasarkan atas analisa-analisa yang diolah dari sumber informasi dan berita yang beredar di antara kalangan para pelaku ekonomi. Baik itu berupa trend ekonomi, trend inflasi atau deflasi, trend stabilitas atau destabilitas sebuah negara atau perusahaan, trend suhu politik, trend perang dan terorisme, trend teknologi, dan trend-trend lain yang terkait di dalamnya. Sedangkan Technical Analysis pada umumnya didasarkan atas analisa-analisa yang diolah dari sumber informasi yang tampak dari pola pergerakan grafik yang naik-turun. Apakah cenderung stabil ataukah fluktuatif? Jika fluktuatif, trend-nya menuju ke atas atau ke bawah? Apakah sudah menembus batas atas atau batas bawah dari pola trend grafik tersebut? Jika sudah menembus batas tersebut apakah akan membentuk pola trend pergerakan yang baru? Jika trend-nya berubah, maka perubahannya ke arah mana? Dan lain sebagainya. Kedua jenis analisa tersebut pun diperkuat dengan adanya semacam Management Risk dan berbagai menu-menu options yang ditawarkan, sehingga resiko kerugian dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan ?senjata-senjata pamungkas? itu, sepertinya semua analis keuangan akan mampu untuk memprediksikan laju dan arah pasar, dan orang-orang pun akan meraup keuntungan yang berlipat-lipat dan dalam waktu yang relatif cepat. Padahal dalam jenis pasar semacam ini, sudah pasti ada yang menjadi pemenang dan sudah pasti pula ada yang menjadi pecundang. Karena pihak yang menang, akan ?dibayar? oleh pihak yang kalah. Dan tidak semua orang akan jadi pemenang, seberapapun hebatnya mereka.


US Dollar dan Mata Uang Lainnya

Di dalam perdagangan FOREX (Foreign Exchange), dikenal sebuah istilah ?Hard Currencies?, yakni jenis-jenis mata uang yang umum ditransaksikan dalam pasar uang Internasional. Hard Currencies ini biasanya terdiri dari mata uang Euro (Eropa), Poundsterling (Inggris), Dollar Australia, Swiss Franc, dan Yen (Jepang). Dan kesemuanya dari jenis mata uang itu ditransaksikan terhadap bentuk mata uang USD (Dollar Amerika).

Begitu pula dengan perdagangan-perdagangan bilateral maupun multilateral, biasanya juga menggunakan mata uang USD sebagai acuannya. Sehingga USD pun akhirnya menjadi semacam stigma untuk menjadi standar acuan mata uang Dunia.

Begitu pun apabila kita singgah ke negara tertentu, maka mata uang yang paling dihargai di negara tersebut, selain mata uangnya sendiri, adalah mata uang USD. Memang di tiap-tiap money-changer atau bisnis Vallas sejenisnya, juga menyediakan mata uang tertentu dari segelintir negara lainnya, namun di setiap money-changer biasanya senantiasa menerima jual-beli mata uang USD. Sebagai contoh, misalkan Anda membawa mata uang selain USD ke negara tertentu, belum tentu mereka bersedia untuk menerimanya, apalagi membelinya dari Anda. Namun apabila Anda memiliki mata uang USD, maka akan lain pula jalan ceritanya.

Jika USD menjadi acuan mata uang Dunia, lalu apa masalahnya? Mungkin bagi kebanyakan orang, hal tersebut bukan masalah besar yang patut dipusingkan. Apalagi bagi bangsa Amerika itu sendiri, karena mereka sangatlah diuntungkan dari aspek ini. Untung yang bagaimana maksudnya? Tentu saja jelas menguntungkan bagi mereka. Mata uang mereka sangat dibutuhkan oleh masyarakat Dunia dan dijadikan patokan dalam bertransaksi antar negara. Bisa dibayangkan, berapa trilyun jumlah dari kertas-kertas USD tersebut menyebar ke seluruh Dunia? Bandingkan dengan kertas-kertas mata uang nasional yang relatif menyebar hanya di negara sendiri, yang mana apabila terlalu banyak ?diproduksi? justru malah akan bisa mengakibatkan dampak inflasi; nilai mata uang menurun dan harga-harga menjadi naik. Namun tidak begitu jikalau Amerika yang melakukannya, mengikuti pola supply and demand yang senantiasa tinggi terhadap mata uang mereka tersebut, seiring dengan jumlah item-item produksi yang ditransaksikan di seluruh dunia. Tak heran mereka memiliki semacam sumber dana yang tak terbatas; bukan dari Mbah Dajjal, bukan pula dari Jin Ifrit, atau pun berasal dari ?Dunia Lain?.

Bayangkan pula selembar uang kertas seratus dollar Amerika, berapa ongkos produksi tiap-tiap lembarnya? Apalagi diproduksi secara massal dengan biaya produksi yang ditekan jauh lebih murah? Walaupun nilai nominalnya sebesar seratus dollar Amerika, namun nilai riil dari tiap-tiap lembar kertas itu mungkin tak lebih dari satu dollar saja. Hanya dengan selembar uang kertas itu, mungkin Anda bisa membeli hingga ribuan liter minyak tanah, misalnya. Atau mengencani wanita di restoran-restoran mewah. Atau menginap beberapa hari di hotel-hotel (di bawah bintang lima) di kota Anda. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Dengan kata lain, Amerika dengan sangat leluasa mengekspor hasil ?kerajinan kertas?-nya itu, dengan harga yang jauh begitu tinggi, dan akan selalu terdapat banyak orang atau negara-negara yang bersedia berbondong-bondong untuk mengantri membelinya setiap hari. Ah, duit kita khan banyak juga yang dari kertas? jadi sama saja donk! Apa iya? Apa kita juga bisa leluasa mengekspor hasil ?kerajinan kertas? buatan dalam negeri kita dan bakal laku di pasaran Dunia? Siapa pula yang mau berbondong-bondong ?membelinya? kecuali orang-orang dari bangsa sendiri?

Tidak perlu berjualan produk-produk lainnya, Amerika akan tetap cukup kaya dengan hanya berjualan kertas-kertas itu. Entah kertas-kertas tersebut memang asli berasal dari hasil hutan-hutan mereka sendiri, atau pun membelinya dengan harga murah dari negara-negara lainnya dan kemudian ?di-stempel-kan? nilai nominal seratus dollar (atau nilai-nilai nominal yang lainnya). Dan mereka pun tidak perlu terlalu berambisi untuk menaikkan harga jual mata uangnya, jika itu akan menyebabkan merosotnya peminat mata uang mereka. Seperti halnya Jepang, yang kadangkala menurunkan nilai mata uangnya, agar produksi dalam negeri mereka tidak menjadi ?kemahalan? dan tetap akan laku (dan semakin laku) di beberapa pasaran Dunia seperti biasanya.

Buat apa nilai mata uang menjadi naik begitu drastis, jika itu akan menyebabkan banyak produk-produk yang tidak laku terjual. Jika produk-produk banyak yang tidak laku, sedangkan setiap hari mereka harus terus berproduksi, maka perusahaan pun akan mengalami kemacetan (produk yang tidak terjual semakin bertumpuk) dan bahkan hingga kerugian, yang pada akhirnya bisa menimbulkan pemecatan besar-besaran. Mungkin dengan pemecatan-pemecatan itu, perusahaan menjadi lebih terkendali, berimbang, dan lebih efisien; hingga nilai saham-sahamnya pun akan naik. Akan tetapi dengan pemecatan-pemecatan tersebut timbul sebuah masalah baru bagi negara, yakni pengangguran pun akan bertambah banyak. Pengangguran berarti menimbulkan potensi tingkat kriminal yang akan semakin besar. Sehingga Jepang pun lebih memilih menurunkan nilai mata uangnya itu demi kemashlahatan mereka bersama. Kira-kira demikianlah bentuk gambaran sederhananya.

Jadi salah satu kesimpulan yang didapat, untuk mengikis tingkat pengangguran yang semakin merebak, maka harus diciptakan bermacam-macam jenis produk-produk massal yang khas dan bernilai jual tinggi serta mungkin sangat diminati oleh bangsa-bangsa lain. Dengan asumsi, pangsa pasar regional sangatlah terbatas, dan pangsa pasar Dunia hampir tak berbatas. Produk-produk itu tidak harus berupa teknologi (apalagi jika teknologi kita ketinggalan jauh), dan tidak harus selalu berupa bahan-bahan mentah (yang biasanya bernilai jual rendah, dan keuntungan besar didapat dari hasil eksploitasi yang besar-besaran pula).

Jika kita seandainya hanya mampu menjual kue serabi ke sekitar seribu penduduk yang tersebar di negeri ini, mungkin di negara-negara lain terdapat potensi-potensi sebagai penggila fanatik kue serabi, dan kita pun bisa menjualnya bahkan hingga bermilyar-milyar kue serabi dan menjejalkannya ke mulut-mulut mereka yang kelaparan itu. Dan kalau perlu, apalagi jikalau mereka begitu kecanduan dengan kue-kue serabi, maka mereka harus membelinya dengan mata uang Rupiah. Dengan begitu mata uang Rupiah pun akan menjadi semakin laku di pasaran Dunia, dengan cara menjual kue-kue serabi itu.

Jika mata uang kita sudah begitu laku, bayangkan berapa banyak persediaan kertas-kertas kita? kita stempel aja tiap lembarnya satu juta rupiah, maka kita akan menjadi sangat kaya raya karena kertas-kertas itu. Dengan catatan, tak ada satupun negara lain yang akan mampu membuat kue serabi sebaik dan selezat bangsa kita. Sehingga negara lain pun hanya akan membeli kue serabi terbaik (dengan resep dan teknologi rahasianya) yang hanya dibuat khusus oleh negeri kita. Kira-kira seperti demikianlah ilustrasi bagaimana pengaruh dari hasil produk-produk khas regional yang laku di pasaran Dunia terhadap nilai mata uang dan nilai kekayaan sebuah negara. Jika Amerika unggul dengan hasil ?kerajinan kertas?-nya, dan Jepang unggul dengan boneka doraemon-nya, maka bangsa Indonesia pun akan unggul dengan kue serabi-nya; dan kita pun akan mampu mengatur mata uang kita sesuka hati kita, berkat kue-kue serabi itu. Inilah konsep dasar dari sistem kapitalisme, ?Good product means good capital, and good capital means good supremacy?. By the way, kue serabi itu aslinya dari negara mana yah?




?? They say ?Jump!?, and You say ?How High????
[Rage Against The Machines]




 
Back
Top