spirit
Mod
Di tengah suhu dingin membekukan di Chicago, Amerika Serikat (AS), otoritas setempat membakar rel-rel kereta. Langkah tidak biasa ini dilakukan demi menjaga rel tetap hangat dan agar tidak membeku karena berbahaya bagi operasional kereta.
Seperti dilansir CNN, Kamis (31/1/2019), situasi semakin mengkhawatirkan dengan suhu udara minus 50 derajat Fahrenheit atau setara minus 46 derajat Celsius menyelimuti Chicago, khususnya Windy City. Situasi serupa juga menyelimuti beberapa negara bagian AS khususnya di bagian tengah.
Penyebabnya adalah hembusan udara Arktik yang melepaskan diri dari polar vortex yang biasanya mengelilingi Kutub Utara. Polar vortex merupakan sebutan untuk sebuah area besar yang terdiri atas udara dingin dan bertekanan rendah yang mengelilingi kedua kutub Bumi. Polar vortex melemah saat musim panas dan menguat saat musim dingin.
Dampak dari suhu membekukan yang ekstrem di Chicago membuat operator kereta menghentikan operasional, namun tidak demikian dengan operator sistem kereta komuter Metra. Pihak Metra memutar otak untuk menjaga layanan kereta api tetap berjalan, solusinya adalah membakar rel kereta di tengah timbunan salju tebal.
Dituturkan juru bicara Metra, Michael Gillis, kepada CNN, pihaknya tidak melakukan pembakaran secara harfiah dengan bahan bakar. Gillis menyebut kobaran api di rel kereta sebenarnya berasal dari mesin pemanas bertenaga gas yang memang terpasang di sepanjang rel untuk menjaga rel tetap hangat. Metra juga menggunakan sistem pemanas tubular (berbentuk pipa) dan hot air blower untuk menghangatkan rel kereta yang membeku.
"Setiap kali suhu udara di bawah nol derajat kami menggunakan ini," tutur Gillis, yang menyebut operator kereta di Amerika Utara lainnya juga memakai sistem serupa.
Mengapa metode semacam ini perlu dilakukan? Karena rel kereta bisa terdampak parah oleh suhu dingin yang ekstrem dalam dua situasi membahayakan.
Situasi pertama, terjadi kasus yang disebut 'pull-apart' yakni saat celah di antara dua sambungan rel membesar. Situasi ini terjadi karena suhu dingin ekstrem membuat logam pada rel kereta mengalami penyusutan dan saling menarik diri satu sama lain. Memanaskan rel kereta dengan api bisa mencegah penyusutan itu dan celah antar sambungan rel bisa dipersempit kembali.
Situasi kedua, terjadi kemampetan atau malfungsi pada bagian switch rel kereta, yang biasanya dipakai untuk menggeser kereta ke jalur rel berbeda. Keberadaan es dan salju di tengah suhu dingin membekukan berpotensi memicu kemampetan pada bagian switch tersebut. Praktik memanaskan rel kereta membantu mengatasi situasi tersebut.
Pihak Metra mengatakan, para awak pemeliharaan terus menyalakan api dengan tangan mereka sendiri di sepanjang rel dan mengatur besar-kecilnya api dengan mengendalikan aliran gas ke sistem pemanas yang terpasang di sepanjang rel tersebut. Tim pemeliharaan yang bekerja selama 12 jam secara bergantian, terus memantau di lokasi agar kobaran api bisa terkendali.
Metode ini dianggap lebih aman dengan metode lain yang pernah dipakai untuk menghangatkan rel yang membeku. Diketahui bahwa sebelumnya mereka memakai semacam kaleng kecil yang diisi minyak tanah dan dibakar, kemudian meletakkannya di antar sambungan rel. Namun metode lama itu terkadang berdampak merusak sambungan rel kereta.
Dengan metode terbaru yang melibatkan sistem pemanas bertenaga gas ini, kereta api bisa tetap melintas dengan aman di tengah kobaran api yang menyelimuti rel. Metra menyebutkan, bahan bakar diesel yang dipakai kereta api hanya bereaksi langsung pada tekanan dan panas, bukan kobaran api di area terbuka.
sumber