Kalina
Moderator
Senang Bisa Bikin Penderita Tersenyum
Rudy Prins dan T.H. Max Koesbagyo tahu benar beratnya penderitaan pasien kanker. Karena itu, mereka tergerak menjadi relawan bagi pasien kanker yang sedang menjalani terapi paliatif. Berbagai keluh kesah penderita dia dengarkan dengan sabar. Inilah pengalaman mereka selama mendampingi penderita penyakit berbahaya tersebut.
NUR AINI ROOSILAWATI
Pada peringatan ulang tahun ke-15 Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU dr Soetomo-FK Unair, 17 Februari lalu, dr Urip Murtedjo SpB KL selaku ketua paliatif memberikan pin khusus kepada sembilan relawan yang sudah lima tahun setia mendampingi pasien kanker dalam menjalani terapi. Di antara sembilan orang tersebut, ada nama Rudy Prins dan T.H. Max Koesbagyo.
Di kalangan pasien kanker yang menjalani terapi paliatif, nama kedua relawan tersebut sudah tidak asing. Sebab, mereka telah berkiprah secara tulus mendampingi puluhan pasien kanker dengan beragam keluh kesah. Keikhlasan mereka selama mendampingi membuat pasien kanker sangat berterima kasih kepada relawan-relawan tersebut.
"Dokter kan menyembuhkan luka fisik. Relawan adalah yang membantu menumbuhkan semangat hidup kami, sehingga tegar menghadapi cobaan hidup. Mereka adalah penyembuh luka psikis," kata Lilik Endah, salah seorang pasien kanker.
Tak berlebihan bila Lilik berpendapat demikian. Kerja relawan hampir seperti dokter yang stand-by 24 jam. Sewaktu-waktu, mereka siap ditelepon bila ada pasien yang ingin curhat. Bahkan, relawan menjembatani dokter dengan pasien. Karena itu, handphone Rudy tak pernah off. "Bila sewaktu-waktu pasien butuh didampingi, mereka bisa menelepon kepada saya atau relawan lain. Dengan senang hati kami akan membantu sekuat kemampuan," kata Rudy.
Dia terjun menjadi relawan sejak lima tahun lalu. Keinginan tersebut membuncah tatkala sang istri, Ismuwardhanie, meninggal akibat kanker payudara yang telah menyebar hingga tulang dan paru-parunya. Padahal, segala pengobatan telah dilakukan, meski Rudy tahu hal tersebut membuat istrinya tersiksa. "Bayangkan, istri saya harus dikemo (kemoterapi, Red) 18 kali dan radioterapi 53 kali. Tapi, masih kalah ganas dari kankernya," jelasnya.
Melihat penyebaran sel kanker yang sampai ke tulang dan paru, dokter langsung angkat tangan. Istri Rudy disarankan mengikuti terapi paliatif. Dua belas hari setelah menjalani terapi paliatif, ibu dua anak itu meninggal. "Saya tidak menyesal istri meninggal. Tapi, mengapa hanya 12 hari dia mengecap terapi paliatif," ujarnya.
Padahal, kata dia, setelah menjalani pengobatan paliatif, Ismuwardhanie sempat mengaku lebih nyaman dan nyeri tubuhnya sedikit berkurang. Kondisi tubuhnya pun jauh lebih baik. "Seharusnya sejak dulu ketika dokter mengetahui sel kanker telah menyebar disarankan ikut paliatif. Dengan begitu, istri saya tidak lama tersiksa menahan sakit luar biasa ketika sel kanker yang telah menyebar ke tulang," ungkap pria 56 tahun tersebut.
Hasil positif dari pengobatan paliatif membuat wiraswastawan di bidang makanan tersebut tertarik menjadi relawan. Dia melihat banyak pasien yang menderita karena tubuhnya telah digerogoti kanker. Belum lagi, kenyataan bahwa pasien kanker banyak berasal dari kalangan tidak mampu. Padahal, pengobatan kanker butuh dana yang tidak sedikit. "Paliatif ini merupakan pengobatan yang realistis dan manusiawi. Meski tidak bisa mematikan kankernya, tapi kualitas hidup pasien jadi lebih baik," jelas Rudy.
Cerita senada diungkapkan T.H. Max Koesbagyo. Anak bungsunya, Koes Wulandari, meninggal enam tahun lalu karena kanker payudara. Waktu itu, usia sang anak baru 32 tahun. Pria 73 tahun tersebut sangat tahu perjuangan dan penderitaan anaknya agar sembuh. Malangnya, Koes -panggilan akrab Max Koesbagyo- tidak tahu bila ada perawatan paliatif untuk pasien kanker. "Saya baru tahu beberapa bulan setelah anak saya meninggal. Waktu itu, ada pertemuan yang diadakan bagian paliatif untuk tawaran menjadi relawan. Tahu manfaat dan pentingnya relawan bagi pasian kanker, saya langsung mendaftar," katanya.
Sama halnya dengan Rudy, Koes telah mendampingi puluhan pasien kanker. Beragam cerita dan keluh kesah pasien kanker, semua ditampung Koes. Menurut dia, indahnya menjadi relawan bila melihat pasien pendampingan bisa tersenyum dan tertawa lebar. "Hati ini langsung plong ketika pasien bisa tersenyum setelah mengalami shock berat akibat menjalani pengobatan fisik. Rasanya, kerja saya sebagai relawan itu bisa bermanfaat buat orang lain," ungkap bapak tujuh anak ini.
Rudy juga merasakan hal yang sama. Selama ini, kepada pasien kanker, dia menggunakan pendekatan biopsikososiospiritual (biologi, psikologi, sosial, dan spiritual). Karena itu, dia tidak segan meminta pasien untuk banyak zikir. Pendekatan spiritual tersebut membantu proses tawakal kepada Allah agar bisa menghadapi cobaan dengan ikhlas. "Menerima kenyataan dan tawakal merupakan hal tersulit yang dilakukan pasien kanker," ujarnya.
Bapak dua anak tersebut menceritakan, dirinya pernah mendampingi pasien kanker payudara berusia sekitar 30 tahun. Pasien itu semula percaya adanya Tuhan. Tapi, karena penyakitnya tak kunjung sembuh, kepercayaan tersebut luntur. Bahkan, dia juga melarang orang tuanya berdoa untuk meminta kesembuhan. "Sedikit demi sedikit, saya berusaha mengubah pandangannya. Meski agak susah, usaha saya membuahkan hasil. Rasa bahagianya tak terkira," tegas Rudy.
Seorang pasien yang selalu dikenang Rudy adalah penderita kanker leher rahim. Penyakit tersebut membuat hubungan rumah tangganya tidak harmonis. Rudy menemui pasien tersebut di ruang haemodialisa (cuci darah) sendirian, sementara suaminya sibuk mengirimkan pesan singkat. "Begitu saya datang, pasien itu langsung bilang agar saya jangan pergi. Dia bilang juga bahwa semangatnya hidup tumbuh bila saya dampingi," jelasnya.
Ucapan pasien wanita tersebut membuat Rudy terharu. Pasien itu pun langsung menangis. Lalu, dia meminta agar Rudy mengusap air matanya. Awalnya, Rudy ragu karena dia istri orang. Tapi, melihat kondisinya, dia jadi tidak tega.
Perlahan, Rudy mengusap air mata pasien wanita tersebut. Ternyata, keesokannya, pasien itu meninggal. "Saya bersyukur sempat menghapus air matanya dan menguatkan hidupnya hingga ajal menjemput," katanya.
Pengalaman-pengalaman tersebut membuat Koes dan Rudy sadar bahwa dibutuhkan banyak relawan untuk mendampingi pasien kanker. Apalagi, jumlah penderita kanker cenderung terus meningkat. "Kami kesulitan bila posisi pasien jauh dari jangkauan. Kami tidak bisa memantau setiap saat. Jika banyak yang menjadi relawan, tugas kami akan lebih ringan," kata Koes.
Tak hanya untuk pasien kanker, relawan dibutuhkan untuk penderita penyakit kronis lainnya. Bahkan, ODHA (orang dengan HIV/AIDS) sekalipun. Hal tersebut penting mengingat jumlah penderita di Indonesia terus meningkat. Sementara, pasien membutuhkan dukungan mental dan spiritual agar bisa survive. "Saya harap banyak warga yang mau menjadi relawan," tegasnya.
Rudy beranggapan senada. Karena itu, dia sengaja membuat Yayasan Kasih Ismuwardhanie. Yayasan tersebut bergerak dalam bidang pendampingan pasien kanker. "Yayasan itu didirikan pada November 2003. Saya sengaja memberi nama sesuai nama istri karena yayasan itu untuk menghormati dia," jelasnya.
Beragam hal dilakukan yayasan tersebut. Di antaranya, sosialisasi mengenai pengobatan paliatif ke kelompok-kelompok masyarakat terkecil. Misalnya, di pengajian atau pertemuan di gereja. "Kami juga mengadakan program peminjaman alat bantu bagi pasien kanker," ujar Rudy.
Alat bantu tersebut, antara lain, kursi roda dan toilet khusus penderita kanker yang kondisinya sudah tak berdaya. "Mimpi saya yang belum terwujud adalah membuat hospice, ruang rawat inap bagi pasien kanker. Mimpi itu pernah saya utarakan kepada Wali Kota Bambang D.H. selaku pelindung yayasan. Meski mendukung, belum ada realisasinya," katanya.
Rudy Prins dan T.H. Max Koesbagyo tahu benar beratnya penderitaan pasien kanker. Karena itu, mereka tergerak menjadi relawan bagi pasien kanker yang sedang menjalani terapi paliatif. Berbagai keluh kesah penderita dia dengarkan dengan sabar. Inilah pengalaman mereka selama mendampingi penderita penyakit berbahaya tersebut.
NUR AINI ROOSILAWATI
Pada peringatan ulang tahun ke-15 Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU dr Soetomo-FK Unair, 17 Februari lalu, dr Urip Murtedjo SpB KL selaku ketua paliatif memberikan pin khusus kepada sembilan relawan yang sudah lima tahun setia mendampingi pasien kanker dalam menjalani terapi. Di antara sembilan orang tersebut, ada nama Rudy Prins dan T.H. Max Koesbagyo.
Di kalangan pasien kanker yang menjalani terapi paliatif, nama kedua relawan tersebut sudah tidak asing. Sebab, mereka telah berkiprah secara tulus mendampingi puluhan pasien kanker dengan beragam keluh kesah. Keikhlasan mereka selama mendampingi membuat pasien kanker sangat berterima kasih kepada relawan-relawan tersebut.
"Dokter kan menyembuhkan luka fisik. Relawan adalah yang membantu menumbuhkan semangat hidup kami, sehingga tegar menghadapi cobaan hidup. Mereka adalah penyembuh luka psikis," kata Lilik Endah, salah seorang pasien kanker.
Tak berlebihan bila Lilik berpendapat demikian. Kerja relawan hampir seperti dokter yang stand-by 24 jam. Sewaktu-waktu, mereka siap ditelepon bila ada pasien yang ingin curhat. Bahkan, relawan menjembatani dokter dengan pasien. Karena itu, handphone Rudy tak pernah off. "Bila sewaktu-waktu pasien butuh didampingi, mereka bisa menelepon kepada saya atau relawan lain. Dengan senang hati kami akan membantu sekuat kemampuan," kata Rudy.
Dia terjun menjadi relawan sejak lima tahun lalu. Keinginan tersebut membuncah tatkala sang istri, Ismuwardhanie, meninggal akibat kanker payudara yang telah menyebar hingga tulang dan paru-parunya. Padahal, segala pengobatan telah dilakukan, meski Rudy tahu hal tersebut membuat istrinya tersiksa. "Bayangkan, istri saya harus dikemo (kemoterapi, Red) 18 kali dan radioterapi 53 kali. Tapi, masih kalah ganas dari kankernya," jelasnya.
Melihat penyebaran sel kanker yang sampai ke tulang dan paru, dokter langsung angkat tangan. Istri Rudy disarankan mengikuti terapi paliatif. Dua belas hari setelah menjalani terapi paliatif, ibu dua anak itu meninggal. "Saya tidak menyesal istri meninggal. Tapi, mengapa hanya 12 hari dia mengecap terapi paliatif," ujarnya.
Padahal, kata dia, setelah menjalani pengobatan paliatif, Ismuwardhanie sempat mengaku lebih nyaman dan nyeri tubuhnya sedikit berkurang. Kondisi tubuhnya pun jauh lebih baik. "Seharusnya sejak dulu ketika dokter mengetahui sel kanker telah menyebar disarankan ikut paliatif. Dengan begitu, istri saya tidak lama tersiksa menahan sakit luar biasa ketika sel kanker yang telah menyebar ke tulang," ungkap pria 56 tahun tersebut.
Hasil positif dari pengobatan paliatif membuat wiraswastawan di bidang makanan tersebut tertarik menjadi relawan. Dia melihat banyak pasien yang menderita karena tubuhnya telah digerogoti kanker. Belum lagi, kenyataan bahwa pasien kanker banyak berasal dari kalangan tidak mampu. Padahal, pengobatan kanker butuh dana yang tidak sedikit. "Paliatif ini merupakan pengobatan yang realistis dan manusiawi. Meski tidak bisa mematikan kankernya, tapi kualitas hidup pasien jadi lebih baik," jelas Rudy.
Cerita senada diungkapkan T.H. Max Koesbagyo. Anak bungsunya, Koes Wulandari, meninggal enam tahun lalu karena kanker payudara. Waktu itu, usia sang anak baru 32 tahun. Pria 73 tahun tersebut sangat tahu perjuangan dan penderitaan anaknya agar sembuh. Malangnya, Koes -panggilan akrab Max Koesbagyo- tidak tahu bila ada perawatan paliatif untuk pasien kanker. "Saya baru tahu beberapa bulan setelah anak saya meninggal. Waktu itu, ada pertemuan yang diadakan bagian paliatif untuk tawaran menjadi relawan. Tahu manfaat dan pentingnya relawan bagi pasian kanker, saya langsung mendaftar," katanya.
Sama halnya dengan Rudy, Koes telah mendampingi puluhan pasien kanker. Beragam cerita dan keluh kesah pasien kanker, semua ditampung Koes. Menurut dia, indahnya menjadi relawan bila melihat pasien pendampingan bisa tersenyum dan tertawa lebar. "Hati ini langsung plong ketika pasien bisa tersenyum setelah mengalami shock berat akibat menjalani pengobatan fisik. Rasanya, kerja saya sebagai relawan itu bisa bermanfaat buat orang lain," ungkap bapak tujuh anak ini.
Rudy juga merasakan hal yang sama. Selama ini, kepada pasien kanker, dia menggunakan pendekatan biopsikososiospiritual (biologi, psikologi, sosial, dan spiritual). Karena itu, dia tidak segan meminta pasien untuk banyak zikir. Pendekatan spiritual tersebut membantu proses tawakal kepada Allah agar bisa menghadapi cobaan dengan ikhlas. "Menerima kenyataan dan tawakal merupakan hal tersulit yang dilakukan pasien kanker," ujarnya.
Bapak dua anak tersebut menceritakan, dirinya pernah mendampingi pasien kanker payudara berusia sekitar 30 tahun. Pasien itu semula percaya adanya Tuhan. Tapi, karena penyakitnya tak kunjung sembuh, kepercayaan tersebut luntur. Bahkan, dia juga melarang orang tuanya berdoa untuk meminta kesembuhan. "Sedikit demi sedikit, saya berusaha mengubah pandangannya. Meski agak susah, usaha saya membuahkan hasil. Rasa bahagianya tak terkira," tegas Rudy.
Seorang pasien yang selalu dikenang Rudy adalah penderita kanker leher rahim. Penyakit tersebut membuat hubungan rumah tangganya tidak harmonis. Rudy menemui pasien tersebut di ruang haemodialisa (cuci darah) sendirian, sementara suaminya sibuk mengirimkan pesan singkat. "Begitu saya datang, pasien itu langsung bilang agar saya jangan pergi. Dia bilang juga bahwa semangatnya hidup tumbuh bila saya dampingi," jelasnya.
Ucapan pasien wanita tersebut membuat Rudy terharu. Pasien itu pun langsung menangis. Lalu, dia meminta agar Rudy mengusap air matanya. Awalnya, Rudy ragu karena dia istri orang. Tapi, melihat kondisinya, dia jadi tidak tega.
Perlahan, Rudy mengusap air mata pasien wanita tersebut. Ternyata, keesokannya, pasien itu meninggal. "Saya bersyukur sempat menghapus air matanya dan menguatkan hidupnya hingga ajal menjemput," katanya.
Pengalaman-pengalaman tersebut membuat Koes dan Rudy sadar bahwa dibutuhkan banyak relawan untuk mendampingi pasien kanker. Apalagi, jumlah penderita kanker cenderung terus meningkat. "Kami kesulitan bila posisi pasien jauh dari jangkauan. Kami tidak bisa memantau setiap saat. Jika banyak yang menjadi relawan, tugas kami akan lebih ringan," kata Koes.
Tak hanya untuk pasien kanker, relawan dibutuhkan untuk penderita penyakit kronis lainnya. Bahkan, ODHA (orang dengan HIV/AIDS) sekalipun. Hal tersebut penting mengingat jumlah penderita di Indonesia terus meningkat. Sementara, pasien membutuhkan dukungan mental dan spiritual agar bisa survive. "Saya harap banyak warga yang mau menjadi relawan," tegasnya.
Rudy beranggapan senada. Karena itu, dia sengaja membuat Yayasan Kasih Ismuwardhanie. Yayasan tersebut bergerak dalam bidang pendampingan pasien kanker. "Yayasan itu didirikan pada November 2003. Saya sengaja memberi nama sesuai nama istri karena yayasan itu untuk menghormati dia," jelasnya.
Beragam hal dilakukan yayasan tersebut. Di antaranya, sosialisasi mengenai pengobatan paliatif ke kelompok-kelompok masyarakat terkecil. Misalnya, di pengajian atau pertemuan di gereja. "Kami juga mengadakan program peminjaman alat bantu bagi pasien kanker," ujar Rudy.
Alat bantu tersebut, antara lain, kursi roda dan toilet khusus penderita kanker yang kondisinya sudah tak berdaya. "Mimpi saya yang belum terwujud adalah membuat hospice, ruang rawat inap bagi pasien kanker. Mimpi itu pernah saya utarakan kepada Wali Kota Bambang D.H. selaku pelindung yayasan. Meski mendukung, belum ada realisasinya," katanya.