gupy15
Mod
Tanah Pintar Berkat Si Bakteri
Oleh Indira Permanasari
Wednesday, 05 March 2008
Sulit dipercaya bongkahan keras tanah tersebut ternyata berasal dari butiran pasir yang biasanya merupakan kumpulan butiran kecil. Rasanya semakin sulit untuk percaya setelah mendengar keterangan, bongkahan batu tersebut merupakan hasil ?main sulap? para bakteri!
Makhluk super kecil, bakteri, belakangan menjadi primadona bagi para peneliti di Delft University of Technology (TUD), Belanda. Penggunaan bakteri seakan tanpa batas.
Sejumlah penelitian di universitas tersebut, mulai dari departemen teknik sipil hingga geologi, mencari pemanfaatan sebesar-besarnya dari makhluk super mini tersebut melalui berbagai penelitian mereka.
Salah satunya adalah penelitian oleh lembaga GeoDelft di TUD yang mengembangkan penelitian biogrout guna menguatkan struktur tanah. Penelitian itu dikembangkan sejak tahun 2005 hingga sekarang.
Peneliti dari TUD Environmental Biotechnology, Leon van Paassen, yang aktif meneliti penggunaan bakteri untuk mengubah sifat tanah tersebut, mempresentasikan penelitiannya terkait biogrout saat Workshop Biotechnolgy for Sustainability bagi jurnalis, awal tahun ini di Delft.
Selama ini, tanah yang rapuh (weak soil) menjadi sebuah tantangan tersendiri karena sering merusak infrastruktur, menyebabkan erosi, melipatgandakan kerusakan akibat gempa bumi, abrasi di pantai, dan tanah longsor. Padahal, lebih dari separuh warga dunia berdiam di kawasan bertanah rapuh, seperti di daerah delta, pesisir, atau pinggiran sungai.
Selama ini, guna mengatasi permasalahan tersebut dilakukan grout injections atau memasukkan materi tertentu ke dalam tanah. Teknik itu masih memiliki sejumlah kekurangan seperti jarak antarinjeksi yang hanya sekitar satu meter, perlu tekanan yang sangat tinggi, dan biayanya relatif mahal yakni 400 euro per meter kubik tanah. Ada pula yang menggantikan tanah dengan materi lain sesuai sifat yang diinginkan. Pilihan lainnya, desain dan konstruksi bangunan beradaptasi dengan kondisi tanah dengan berbagai risikonya.
Diambil alih bakteri
Sesungguhnya, secara natural, lapisan tanah mengalami pengerasan antara lain dengan proses diagenesis, yakni transformasi secara alami dari pasir ke batu pasir (sandstone/calcarenite). Proses alami secara kimiawi dan biologis itu memakan waktu hingga jutaan tahun.
Bakteri ternyata dapat mempercepat proses jutaan tahun tersebut. Bakteri yang hidup di tanah, seperti bakteri sulfur ungu, mempercepat pembentukan lapisan calcium carbonate atau gamping (CaCO3). Prosesnya, bakteri memproduksi enzim urease yang mengkatalisis urea menjadi karbonat (carbonate) dan ammonium. Dengan keberadaan kalsium, karbonat menjadi lapisan endapan dan membentuk kristal di permukaan pasir. Kristal-kristal baru tersebut mengubah sifat mikro dan juga makro tanah.
Lapisan endapan terbentuk oleh proses mikrobial di dalam tanah. Rangkaian reaksi itu ditentukan oleh kemampuan bertumbuh bakteri yang ditentukan oleh jumlah, tipe, fase pertumbuhan bakteri, serta nutrisi.
Leon mengungkapkan, bakteri yang hendak digunakan dapat ditumbuhkan di dalam laboratorium atau di dalam tanah. Setelah itu, nutrisi, bakteri, dan reagent diinjeksikan dalam tanah atau pasir.
?Untuk skala besar, adukan bakteri tersebut disalurkan dengan pipa ke dalam tanah. ?Radius? injeksi bakteri itu tentu telah diperhitungkan seberapa jauh agar dapat dikontrol. Jika tidak, luasan tanah atau pasir akan mengeras semua,? ujarnya.
Jika penelitian tersebut berhasil diterapkan secara nyata, diharapkan lahir metode penguatan tanah atau soil improvement method (SIM) yang murah dan terkontrol. Penelitian itu pernah diuji melalui proyek pilot dalam skala kecil yakni satu meter kubik, dan hasilnya memuaskan.
Penggunaan metode tersebut tentu saja mengubah kondisi alami lingkungan. Dapat dibayangkan jika kawasan pasir kemudian diubah menjadi daerah batuan. Oleh karena itu, menurut Leon, efek terhadap lingkungan masih terus dikaji.
?Pertanyaan yang sering muncul, misalnya, dapatkah tanaman tetap bertumbuh di tanah yang menggunakan teknologi ini,? katanya.
Penggunaan metode tersebut harus melihat kondisi alam, dan pengerasan tidak harus dilakukan secara keseluruhan, termasuk terhadap kelangsungan makhluk hidup di dalam dan permukaan tanah.
Untuk daerah pantai yang indah, misalnya, pengerasan cukup di bagian dalam, tak perlu sampai permukaan. Dengan demikian, pengubahan bentuk itu tidak merusak karakter permukaan pantai tetapi bisa mengu- rangi risiko abrasi dan kerusakan.
Rencananya akan diadakan riset lanjutan dengan skala eksperimen dengan volume 100 meter kubik dan penerapan teknologi itu di kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Tengah diteliti pula penggunaan limbah cair industri sebagai substrat.
Bukan mustahil suatu saat nanti dapat diciptakan daratan baru secara instan dengan teknologi ini. Wah! (Harian Kompas)
http://www.duniaguru.com/index.php?option=com_content&task=view&id=982&Itemid=27
Oleh Indira Permanasari
Wednesday, 05 March 2008
Sulit dipercaya bongkahan keras tanah tersebut ternyata berasal dari butiran pasir yang biasanya merupakan kumpulan butiran kecil. Rasanya semakin sulit untuk percaya setelah mendengar keterangan, bongkahan batu tersebut merupakan hasil ?main sulap? para bakteri!
Makhluk super kecil, bakteri, belakangan menjadi primadona bagi para peneliti di Delft University of Technology (TUD), Belanda. Penggunaan bakteri seakan tanpa batas.
Sejumlah penelitian di universitas tersebut, mulai dari departemen teknik sipil hingga geologi, mencari pemanfaatan sebesar-besarnya dari makhluk super mini tersebut melalui berbagai penelitian mereka.
Salah satunya adalah penelitian oleh lembaga GeoDelft di TUD yang mengembangkan penelitian biogrout guna menguatkan struktur tanah. Penelitian itu dikembangkan sejak tahun 2005 hingga sekarang.
Peneliti dari TUD Environmental Biotechnology, Leon van Paassen, yang aktif meneliti penggunaan bakteri untuk mengubah sifat tanah tersebut, mempresentasikan penelitiannya terkait biogrout saat Workshop Biotechnolgy for Sustainability bagi jurnalis, awal tahun ini di Delft.
Selama ini, tanah yang rapuh (weak soil) menjadi sebuah tantangan tersendiri karena sering merusak infrastruktur, menyebabkan erosi, melipatgandakan kerusakan akibat gempa bumi, abrasi di pantai, dan tanah longsor. Padahal, lebih dari separuh warga dunia berdiam di kawasan bertanah rapuh, seperti di daerah delta, pesisir, atau pinggiran sungai.
Selama ini, guna mengatasi permasalahan tersebut dilakukan grout injections atau memasukkan materi tertentu ke dalam tanah. Teknik itu masih memiliki sejumlah kekurangan seperti jarak antarinjeksi yang hanya sekitar satu meter, perlu tekanan yang sangat tinggi, dan biayanya relatif mahal yakni 400 euro per meter kubik tanah. Ada pula yang menggantikan tanah dengan materi lain sesuai sifat yang diinginkan. Pilihan lainnya, desain dan konstruksi bangunan beradaptasi dengan kondisi tanah dengan berbagai risikonya.
Diambil alih bakteri
Sesungguhnya, secara natural, lapisan tanah mengalami pengerasan antara lain dengan proses diagenesis, yakni transformasi secara alami dari pasir ke batu pasir (sandstone/calcarenite). Proses alami secara kimiawi dan biologis itu memakan waktu hingga jutaan tahun.
Bakteri ternyata dapat mempercepat proses jutaan tahun tersebut. Bakteri yang hidup di tanah, seperti bakteri sulfur ungu, mempercepat pembentukan lapisan calcium carbonate atau gamping (CaCO3). Prosesnya, bakteri memproduksi enzim urease yang mengkatalisis urea menjadi karbonat (carbonate) dan ammonium. Dengan keberadaan kalsium, karbonat menjadi lapisan endapan dan membentuk kristal di permukaan pasir. Kristal-kristal baru tersebut mengubah sifat mikro dan juga makro tanah.
Lapisan endapan terbentuk oleh proses mikrobial di dalam tanah. Rangkaian reaksi itu ditentukan oleh kemampuan bertumbuh bakteri yang ditentukan oleh jumlah, tipe, fase pertumbuhan bakteri, serta nutrisi.
Leon mengungkapkan, bakteri yang hendak digunakan dapat ditumbuhkan di dalam laboratorium atau di dalam tanah. Setelah itu, nutrisi, bakteri, dan reagent diinjeksikan dalam tanah atau pasir.
?Untuk skala besar, adukan bakteri tersebut disalurkan dengan pipa ke dalam tanah. ?Radius? injeksi bakteri itu tentu telah diperhitungkan seberapa jauh agar dapat dikontrol. Jika tidak, luasan tanah atau pasir akan mengeras semua,? ujarnya.
Jika penelitian tersebut berhasil diterapkan secara nyata, diharapkan lahir metode penguatan tanah atau soil improvement method (SIM) yang murah dan terkontrol. Penelitian itu pernah diuji melalui proyek pilot dalam skala kecil yakni satu meter kubik, dan hasilnya memuaskan.
Penggunaan metode tersebut tentu saja mengubah kondisi alami lingkungan. Dapat dibayangkan jika kawasan pasir kemudian diubah menjadi daerah batuan. Oleh karena itu, menurut Leon, efek terhadap lingkungan masih terus dikaji.
?Pertanyaan yang sering muncul, misalnya, dapatkah tanaman tetap bertumbuh di tanah yang menggunakan teknologi ini,? katanya.
Penggunaan metode tersebut harus melihat kondisi alam, dan pengerasan tidak harus dilakukan secara keseluruhan, termasuk terhadap kelangsungan makhluk hidup di dalam dan permukaan tanah.
Untuk daerah pantai yang indah, misalnya, pengerasan cukup di bagian dalam, tak perlu sampai permukaan. Dengan demikian, pengubahan bentuk itu tidak merusak karakter permukaan pantai tetapi bisa mengu- rangi risiko abrasi dan kerusakan.
Rencananya akan diadakan riset lanjutan dengan skala eksperimen dengan volume 100 meter kubik dan penerapan teknologi itu di kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Tengah diteliti pula penggunaan limbah cair industri sebagai substrat.
Bukan mustahil suatu saat nanti dapat diciptakan daratan baru secara instan dengan teknologi ini. Wah! (Harian Kompas)
http://www.duniaguru.com/index.php?option=com_content&task=view&id=982&Itemid=27