nurcahyo
New member
Tauhid Uluhiyah, Inti Ajaran Para Rasul
[FONT=arial, helvetica, sans-serif]Makna Tauhid[/FONT]
[FONT=arial, helvetica, sans-serif] [/FONT]
[FONT=arial, helvetica, sans-serif] Tauhid merupakan bentuk masdhar (gerund) dari ?Wahhada Yuwahhidu Tauhiidan? yang artinya ?mengesakan? atau ?menunggalkan?, dan secara lengkap bermakna mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya, dan meyakini bahwa Dia sendiri lah yang menciptakan, mengatur serta menguasai alam semesta dan seisinya (Rubbubiyah-Nya), Ikhlas beribadah kepada-Nya (Uluhiyah-Nya) serta menetapkan baginya nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, tauhid ada tiga macam pembagiannya; tauhid rubbubiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma? wa sifat. Dan seperti yang sudah masyur diketahui bahwa pembagian ini sudah disepakati oleh jumhur ulama dengan dalil-dalil yang shahih dan qoth?i. Kewajiban kita adalah meyakini dan mengimaninya.[/FONT]
[FONT=arial, helvetica, sans-serif] [/FONT]
Tauhid Uluhiyah
Dari ketiga macam tauhid diatas, tauhid uluhiyah merupakan inti dakwah para rasul. Tauhid ini lah yang merupakan agama para rasul yang karenanya mereka diutus kepada segenap hamba-Nya untuk menegakkan kalimat ?Laa Ilaaha Illallaah? di muka bumi ini.
?Laa Ilaaha Illallaah? yang artinya ?Laa ma?buda bi haqqi ilaallah?, (tiada Tuhan/sesembahan yang haq untuk disembah kecuali Allah), dengan penekanan pada lafadz ?bihaqqi? yang bermaksud menafi?kan sesembahan-sesembahan lain dalam ajaran monoloyalitas ini. Karena seperti kita ketahui Al-Qor?an juga mengakui adanya banyak Tuhan yang disembah di dunia ini. Tapi hanya satu yang haq untuk disembah, yaitu Allah Subhanallahu wa ta?alaa, Hal ini bisa diruju? kembali dalam firman Allah Subhanallahu wa ta?alaa, yang artinya:
?Dan sesunggguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu?. (An-Nahl:36)
Dan juga dalam firman-Nya, yang artinya:
?Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya, Bahwasannya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.? (Al-Anbiya?:25).
Kaidah bahasa dan ayat-ayat diatas juga menepis pemahaman batil yang menyatakan bahwa makna kalimat tauhid ?Laa Ilaaha Illallaah? adalah ?Tiada tuhan selain Allah? seperti yang tersebar di masyarakat muslim selama ini. Karena dalam kalimat ini tidak ada unsur pemisah antara sesembahan yang haq dan sesembahan yang batil. Sementara kita ketahui bahwasannya kaum majusi menyembah ?Tuhan apinya?, kaum nasrani menyembah nabi yang diklaim anak Tuhannya, kaum Nuh menyembah patung Wadd, Suwa?, Ya?uq, Yaghuts dan Nasr, serta adanya ajaran animisme dinamisme yang bersumber pada ajaran ardhi yang banyak dianut di beberapa kelompok masyarakat di dunia ini. Dan Alloh dalam firman-firman-Nya menekankan sesembahan selain ditujukan kepada-Nya adalah sesembahan bathil.
Tauhid uluhiyah disebut juga tauhid ibadah, yaitu ?Ifrodzulillahi ta?alaa fil ?ibadah, mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah, itulah inti ajaran islam yang dibawa oleh semua rasul-rasul Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam:
?Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada Illah (sesembahan) yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.? (HR. Bukhari wa Muslim)
Penyimpangan-Penyimpangan Tauhid dan Bantahan Terhadapnya
Penyimpangan dari ajaran tauhid yang benar adalah kehancuran dan kesesatan. Karena dengan memahami kebenaran tauhid merupakan motivator bagi amal yang bermanfaat. Amal yang dengannya kita memohon ampunan serta kemurahan Allah atas surga dan kenikmatan di akherat yang merupakan muara akhir kehidupan manusia. Sebagaiman firman Allah dalam Qur?an surat Az-Zumar, ayat 65, yang artinya:
?Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.?
Adapun sebab-sebab penyimpangan dari ajaran tauhid yang benar, dan sering terjadi di masyarakat jahiliyah bahkan berulang sampai zaman sekarang, adalah sbb:
a. Kebodohan terhadap aqidah shahihah, karena tidak mau atau enggan mempelajarinya. Dan hal ini sangat rawan pada era globalisasi ini, dimana sistem pendidikan sekuler yang mulai merambah negeri-negeri muslim di dunia. Akibatnya banyak generasi penerus islam yang semau gue atau berislam karena faktor ?keturunan?. Yang haq pun bisa terlihat bathil dan yang bathil pun bisa menjadi haq, karena keminiman ilmu sehingga rapuh pada serangan subhat-subhat pemikiran yang menyerang kemurnian aqidah. Padahal para ulama pun meyakini bahwa penyakit ?subhat? ini jauh lebih susah diidentifikasikan daripada penyakit ?maksiyat? (Cit. Tazkiyatun Nufus). Islam pun semakin kelihatan abu-abu daripada ketegasan manhaj putih atau hitam sekaliyan. Sebagaimana Umar Radhiyallahu Anhu berkata:
?Sesungguhnya ikatan simpul islam akan pudar satu demi satu, manakala di dalam islam terdapat orang yang tumbuh tanpa mengenal kejahiliyahan.?
b. Ta?ashub (fanatik) kepada sesuatu yang diwariskan oleh nenek moyang tanpa dilandasi ilmu yang shahih. Serta mencampakkan apa yang menyalahinya sekalipun telah ditegakkan hujjah atasnya. Sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa ta?alaa, yang artinya:
?Dan apabila dikatakan kepada mereka, ?Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab,? (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.?(Apakah mereka akan mengikuti juga), walau pun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk.?(Al-Baqarah:170)
Fenomena seperti ini tidak hanya kita temui di kalangan kaum jahiliyah saja, tapi juga sering kita temui di kalangan muslim ?keturunan?, dimana ketika mereka ternyata telah melakukan suatu amalan yang sesungguhnya itu dikategorikan bid?ah (sesuatu yang diada-adakan/baru dalam ajaran agama), dan telah ditegakkan hujjah atasnya oleh orang-orang yang berilmu, maka mereka menolaknya dengan alasan nenek moyangnya atau gurunya telah mengajari seperti itu dan mereka juga berilmu (dalam pandangan mereka).
c. Taqlid buta, dengan mengambil pendapat manusia dalam hal tauhid (aqidah) tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki sampai seberapa jauh kebenarannya. Padahal Allah memberi akal pada manusia untuk berpikir skeptis dan kristis. Adapun kaidah ulama yang membolehkan taqlidnya orang awam kepada ulama yang diyakini kebenaran ilmunya, itu hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat khilafiyah (ada perbedaan pendapat dalam penetapan hukumnya), hal ini pun karena keterbatasan ilmunya dalam memahami khilafiyah tersebut dalam rangka mencari penyelamatan diri (cit. Talbish Iblis, Ibnul Jauzy). Sedangkan tauhid (aqidah) adalah bersifat tauqifiyah (sudah ditetapkan oleh Allah tentangnya tanpa memberi ruang perdebatan didalamnya). Sehingga kita diwajibkan mempelajarinya dan berilmu atasnya adalah wajib.
d. Ghuluw (berlebihan), dalam mencintai para wali dan orang shalih, sehingga mengangkat mereka pada derajat diatas semestinya, meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan kemanfaatan maupun kemudharatan, yang sesungguhnya itu semua adalah haq Allah semata.
Juga menjadikan para wali tersebut sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah, bahkan sampai pada tingkat penyembahan pada para wali tersebut dan bukan pada Allah Subhanallahu wa ta?alaa. Hal ini dapat kita lihat pada contoh masyarakat jahiliyah yang meyembah patung orang-orang shalih dikalangan mereka atau nenek moyangnya. Dan ketika ditegakkan hujjah atas mereka, mereka pun menjawab:
?Mengapa ia menjadikan Tuhan-Tuhan itu Tuhan yang satu saja? sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang mengherankan.? (Shad: 5).
Mereka pun berdalih dengan perkataan:
??..Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.? (Az-Zumar:3)
Dalam masyarakat sekarang dapat kita lihat juga, bagaimana sebagian kaum muslim di dunia ini masih rajin mendatangi kuburan-kuburan para wali (atau orang yang dianggap wali oleh mereka) untuk berdoa, ber-istighatsah, ber-taqarrub padanya. Dan anehnya, ketika didatangkan kepada mereka orang yang menyeru kepada mereka bahwa perbuatan itu salah, maka akan berulang kejadian zaman jahiliyah diatas, alasan-alasan yang serupa pun keluar dari mulut mereka. Naudzubillahi mindzaliik tsumma naudzu billah. Kita berlindung dari subhat-subhat yang dilancarkan oleh syaithan dari golongan jin, manusia atau pun yang berasal dari keburukan kita pribadi.
e. Ghaflah (lalai) terhadap perenungan ajaran-ajaran Allah yang bersifat kauniyah maupun qauliyah (Al-Qor?an), sehingga bisa menjerumuskan kaum muslimin pada pendewaan akal dan materi. Sebagai contoh begitu terbuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga menafi?kan peran Allah didalamnya dan memuja akal serta usaha manusia atas keberhasilan-keberhasilan tersebut. Kelalaian akan menipis sedikit demi sedikit iman di dada orang-orang mukmin, dan menghapus sama sekali iman di dada orang-orang yang cenderung pada subhat dan kemaksiyatan. Sebagaimana perkataan ulama, bahwa iman itu ibarat sebuah pakaian, bisa dilepas dan bisa dipasang, maka kalau tidak dipelihara secara rutin bisa terlepas sama sekali dari badan dan jiwa kita (Cit. Talbish Iblish, Ibnul Jauzy).
Adapun cara menaggulangi penyimpangan-penyimpangan diatas, adalah:
a. Kembali kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ?alaihi wa sallam dalam pengambilan aqidah shahihah, inti ajaran tauhid yang lurus dan bersih dari noda-noda kesyirikan serta subhat. Sebagaimana para salafush shalih mengambil aqidah mereka dari keduanya, karena Rasulullah pun bersabda bahwa tidak akan baik umat ini (islam) kecuali kembali kepada umat pendahulunya (kaum salaf). Dan harus ada porsi yang seimbang antara kitabullah dan sunnah. Hal ini sangat ditekankan, karena mengingat banyaknya penyimpangan aqidah akhir-akhir ini yang disebabkan muslim yang hanya mempelajari alqor?an tanpa mengambil penjelasannya dalam sunnah. Padahal kebutuhan Al-qor?an terhadap sunnah itu lebih besar daripada sunnah terhadap Al-Qor?an dalam penjelasan syariat (Cit. Syarhus-sunnah, Imam Barbahari). Juga dengan mengkaji aqidah golongan sesat dan mengenal subhat-subhat mereka untuk kita bantah dan kita waspadai, sebagaimana kisah shahabat Hudzaifah bin Yaman, dimana ketika para shahabat lain sibuk menanyakan kepada Rasul tentang kebaikan, beliau justru menanyakan masalah kejahatan/keburukan.
b. Memberi pengajaran pada aqidah yang shahih pada seluruh jenjang pendidikan, khususnya pendidikan informal (keluarga). Sebagaiman Rasulullah telah memulai dakwahnya dengan dakwah penegakan tauhid sebelum dahwah-dakwah yang lain (Cit. Kitabut-Tauhid, Syaikh Tamimi).
c. Menetapkan kitab-kitab salaf yang bersih sebagai bahan menuntut ilmu, karena sesungguhnya kepada sebagian mereka lah Alqor?an itu hadir, kepada mereka lah Rasulullah memperdengarkan sabda-sabdanya, dan mereka lah yang diklaim generasi terbaik oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.
d. Menyebarkan para ahlul ilmi yang bisa menyampaikan aqidah yang shahih, serta memberantas segala bentuk kemusryikan dan subhat yang mengkeruhkan kemurnian tauhid. Disamping itu, sudah menjadi beban bagi setiap muslim untuk mendakwahkan ilmu-ilmu dien yang sudah diketahuinya dengan hujjah dan niat yang ikhlas. Wallahu ta?alaa a?lam bi shawwab.
Semoga kita digolongkan pada umat yang lurus, sejalan dengan jalan Rasulullah dan para shahabatnya yang mulia, serta orang-orang shalih sampai akhir zaman. Amin.
________________________________________________________
Maroji?:
Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan; Kasyfusy Syubuhaat, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab; Talbish Iblish, Ibnul Jauzy, Kitabut-Tauhid, Syaikh Tamimi
[FONT=arial, helvetica, sans-serif]
?Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qor?an) dengan membawa (kebenaran). Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya?. (Az-Zumar:2)[/FONT]
[FONT=arial, helvetica, sans-serif] [/FONT]?Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qor?an) dengan membawa (kebenaran). Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya?. (Az-Zumar:2)[/FONT]
[FONT=arial, helvetica, sans-serif]Makna Tauhid[/FONT]
[FONT=arial, helvetica, sans-serif] [/FONT]
[FONT=arial, helvetica, sans-serif] Tauhid merupakan bentuk masdhar (gerund) dari ?Wahhada Yuwahhidu Tauhiidan? yang artinya ?mengesakan? atau ?menunggalkan?, dan secara lengkap bermakna mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya, dan meyakini bahwa Dia sendiri lah yang menciptakan, mengatur serta menguasai alam semesta dan seisinya (Rubbubiyah-Nya), Ikhlas beribadah kepada-Nya (Uluhiyah-Nya) serta menetapkan baginya nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, tauhid ada tiga macam pembagiannya; tauhid rubbubiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma? wa sifat. Dan seperti yang sudah masyur diketahui bahwa pembagian ini sudah disepakati oleh jumhur ulama dengan dalil-dalil yang shahih dan qoth?i. Kewajiban kita adalah meyakini dan mengimaninya.[/FONT]
[FONT=arial, helvetica, sans-serif] [/FONT]
Tauhid Uluhiyah
Dari ketiga macam tauhid diatas, tauhid uluhiyah merupakan inti dakwah para rasul. Tauhid ini lah yang merupakan agama para rasul yang karenanya mereka diutus kepada segenap hamba-Nya untuk menegakkan kalimat ?Laa Ilaaha Illallaah? di muka bumi ini.
?Laa Ilaaha Illallaah? yang artinya ?Laa ma?buda bi haqqi ilaallah?, (tiada Tuhan/sesembahan yang haq untuk disembah kecuali Allah), dengan penekanan pada lafadz ?bihaqqi? yang bermaksud menafi?kan sesembahan-sesembahan lain dalam ajaran monoloyalitas ini. Karena seperti kita ketahui Al-Qor?an juga mengakui adanya banyak Tuhan yang disembah di dunia ini. Tapi hanya satu yang haq untuk disembah, yaitu Allah Subhanallahu wa ta?alaa, Hal ini bisa diruju? kembali dalam firman Allah Subhanallahu wa ta?alaa, yang artinya:
?Dan sesunggguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu?. (An-Nahl:36)
Dan juga dalam firman-Nya, yang artinya:
?Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya, Bahwasannya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.? (Al-Anbiya?:25).
Kaidah bahasa dan ayat-ayat diatas juga menepis pemahaman batil yang menyatakan bahwa makna kalimat tauhid ?Laa Ilaaha Illallaah? adalah ?Tiada tuhan selain Allah? seperti yang tersebar di masyarakat muslim selama ini. Karena dalam kalimat ini tidak ada unsur pemisah antara sesembahan yang haq dan sesembahan yang batil. Sementara kita ketahui bahwasannya kaum majusi menyembah ?Tuhan apinya?, kaum nasrani menyembah nabi yang diklaim anak Tuhannya, kaum Nuh menyembah patung Wadd, Suwa?, Ya?uq, Yaghuts dan Nasr, serta adanya ajaran animisme dinamisme yang bersumber pada ajaran ardhi yang banyak dianut di beberapa kelompok masyarakat di dunia ini. Dan Alloh dalam firman-firman-Nya menekankan sesembahan selain ditujukan kepada-Nya adalah sesembahan bathil.
Tauhid uluhiyah disebut juga tauhid ibadah, yaitu ?Ifrodzulillahi ta?alaa fil ?ibadah, mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah, itulah inti ajaran islam yang dibawa oleh semua rasul-rasul Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ?alaihi wa sallam:
?Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada Illah (sesembahan) yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.? (HR. Bukhari wa Muslim)
Penyimpangan-Penyimpangan Tauhid dan Bantahan Terhadapnya
Penyimpangan dari ajaran tauhid yang benar adalah kehancuran dan kesesatan. Karena dengan memahami kebenaran tauhid merupakan motivator bagi amal yang bermanfaat. Amal yang dengannya kita memohon ampunan serta kemurahan Allah atas surga dan kenikmatan di akherat yang merupakan muara akhir kehidupan manusia. Sebagaiman firman Allah dalam Qur?an surat Az-Zumar, ayat 65, yang artinya:
?Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.?
Adapun sebab-sebab penyimpangan dari ajaran tauhid yang benar, dan sering terjadi di masyarakat jahiliyah bahkan berulang sampai zaman sekarang, adalah sbb:
a. Kebodohan terhadap aqidah shahihah, karena tidak mau atau enggan mempelajarinya. Dan hal ini sangat rawan pada era globalisasi ini, dimana sistem pendidikan sekuler yang mulai merambah negeri-negeri muslim di dunia. Akibatnya banyak generasi penerus islam yang semau gue atau berislam karena faktor ?keturunan?. Yang haq pun bisa terlihat bathil dan yang bathil pun bisa menjadi haq, karena keminiman ilmu sehingga rapuh pada serangan subhat-subhat pemikiran yang menyerang kemurnian aqidah. Padahal para ulama pun meyakini bahwa penyakit ?subhat? ini jauh lebih susah diidentifikasikan daripada penyakit ?maksiyat? (Cit. Tazkiyatun Nufus). Islam pun semakin kelihatan abu-abu daripada ketegasan manhaj putih atau hitam sekaliyan. Sebagaimana Umar Radhiyallahu Anhu berkata:
?Sesungguhnya ikatan simpul islam akan pudar satu demi satu, manakala di dalam islam terdapat orang yang tumbuh tanpa mengenal kejahiliyahan.?
b. Ta?ashub (fanatik) kepada sesuatu yang diwariskan oleh nenek moyang tanpa dilandasi ilmu yang shahih. Serta mencampakkan apa yang menyalahinya sekalipun telah ditegakkan hujjah atasnya. Sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa ta?alaa, yang artinya:
?Dan apabila dikatakan kepada mereka, ?Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab,? (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.?(Apakah mereka akan mengikuti juga), walau pun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk.?(Al-Baqarah:170)
Fenomena seperti ini tidak hanya kita temui di kalangan kaum jahiliyah saja, tapi juga sering kita temui di kalangan muslim ?keturunan?, dimana ketika mereka ternyata telah melakukan suatu amalan yang sesungguhnya itu dikategorikan bid?ah (sesuatu yang diada-adakan/baru dalam ajaran agama), dan telah ditegakkan hujjah atasnya oleh orang-orang yang berilmu, maka mereka menolaknya dengan alasan nenek moyangnya atau gurunya telah mengajari seperti itu dan mereka juga berilmu (dalam pandangan mereka).
c. Taqlid buta, dengan mengambil pendapat manusia dalam hal tauhid (aqidah) tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki sampai seberapa jauh kebenarannya. Padahal Allah memberi akal pada manusia untuk berpikir skeptis dan kristis. Adapun kaidah ulama yang membolehkan taqlidnya orang awam kepada ulama yang diyakini kebenaran ilmunya, itu hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat khilafiyah (ada perbedaan pendapat dalam penetapan hukumnya), hal ini pun karena keterbatasan ilmunya dalam memahami khilafiyah tersebut dalam rangka mencari penyelamatan diri (cit. Talbish Iblis, Ibnul Jauzy). Sedangkan tauhid (aqidah) adalah bersifat tauqifiyah (sudah ditetapkan oleh Allah tentangnya tanpa memberi ruang perdebatan didalamnya). Sehingga kita diwajibkan mempelajarinya dan berilmu atasnya adalah wajib.
d. Ghuluw (berlebihan), dalam mencintai para wali dan orang shalih, sehingga mengangkat mereka pada derajat diatas semestinya, meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan kemanfaatan maupun kemudharatan, yang sesungguhnya itu semua adalah haq Allah semata.
Juga menjadikan para wali tersebut sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah, bahkan sampai pada tingkat penyembahan pada para wali tersebut dan bukan pada Allah Subhanallahu wa ta?alaa. Hal ini dapat kita lihat pada contoh masyarakat jahiliyah yang meyembah patung orang-orang shalih dikalangan mereka atau nenek moyangnya. Dan ketika ditegakkan hujjah atas mereka, mereka pun menjawab:
?Mengapa ia menjadikan Tuhan-Tuhan itu Tuhan yang satu saja? sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang mengherankan.? (Shad: 5).
Mereka pun berdalih dengan perkataan:
??..Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.? (Az-Zumar:3)
Dalam masyarakat sekarang dapat kita lihat juga, bagaimana sebagian kaum muslim di dunia ini masih rajin mendatangi kuburan-kuburan para wali (atau orang yang dianggap wali oleh mereka) untuk berdoa, ber-istighatsah, ber-taqarrub padanya. Dan anehnya, ketika didatangkan kepada mereka orang yang menyeru kepada mereka bahwa perbuatan itu salah, maka akan berulang kejadian zaman jahiliyah diatas, alasan-alasan yang serupa pun keluar dari mulut mereka. Naudzubillahi mindzaliik tsumma naudzu billah. Kita berlindung dari subhat-subhat yang dilancarkan oleh syaithan dari golongan jin, manusia atau pun yang berasal dari keburukan kita pribadi.
e. Ghaflah (lalai) terhadap perenungan ajaran-ajaran Allah yang bersifat kauniyah maupun qauliyah (Al-Qor?an), sehingga bisa menjerumuskan kaum muslimin pada pendewaan akal dan materi. Sebagai contoh begitu terbuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga menafi?kan peran Allah didalamnya dan memuja akal serta usaha manusia atas keberhasilan-keberhasilan tersebut. Kelalaian akan menipis sedikit demi sedikit iman di dada orang-orang mukmin, dan menghapus sama sekali iman di dada orang-orang yang cenderung pada subhat dan kemaksiyatan. Sebagaimana perkataan ulama, bahwa iman itu ibarat sebuah pakaian, bisa dilepas dan bisa dipasang, maka kalau tidak dipelihara secara rutin bisa terlepas sama sekali dari badan dan jiwa kita (Cit. Talbish Iblish, Ibnul Jauzy).
Adapun cara menaggulangi penyimpangan-penyimpangan diatas, adalah:
a. Kembali kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ?alaihi wa sallam dalam pengambilan aqidah shahihah, inti ajaran tauhid yang lurus dan bersih dari noda-noda kesyirikan serta subhat. Sebagaimana para salafush shalih mengambil aqidah mereka dari keduanya, karena Rasulullah pun bersabda bahwa tidak akan baik umat ini (islam) kecuali kembali kepada umat pendahulunya (kaum salaf). Dan harus ada porsi yang seimbang antara kitabullah dan sunnah. Hal ini sangat ditekankan, karena mengingat banyaknya penyimpangan aqidah akhir-akhir ini yang disebabkan muslim yang hanya mempelajari alqor?an tanpa mengambil penjelasannya dalam sunnah. Padahal kebutuhan Al-qor?an terhadap sunnah itu lebih besar daripada sunnah terhadap Al-Qor?an dalam penjelasan syariat (Cit. Syarhus-sunnah, Imam Barbahari). Juga dengan mengkaji aqidah golongan sesat dan mengenal subhat-subhat mereka untuk kita bantah dan kita waspadai, sebagaimana kisah shahabat Hudzaifah bin Yaman, dimana ketika para shahabat lain sibuk menanyakan kepada Rasul tentang kebaikan, beliau justru menanyakan masalah kejahatan/keburukan.
b. Memberi pengajaran pada aqidah yang shahih pada seluruh jenjang pendidikan, khususnya pendidikan informal (keluarga). Sebagaiman Rasulullah telah memulai dakwahnya dengan dakwah penegakan tauhid sebelum dahwah-dakwah yang lain (Cit. Kitabut-Tauhid, Syaikh Tamimi).
c. Menetapkan kitab-kitab salaf yang bersih sebagai bahan menuntut ilmu, karena sesungguhnya kepada sebagian mereka lah Alqor?an itu hadir, kepada mereka lah Rasulullah memperdengarkan sabda-sabdanya, dan mereka lah yang diklaim generasi terbaik oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.
d. Menyebarkan para ahlul ilmi yang bisa menyampaikan aqidah yang shahih, serta memberantas segala bentuk kemusryikan dan subhat yang mengkeruhkan kemurnian tauhid. Disamping itu, sudah menjadi beban bagi setiap muslim untuk mendakwahkan ilmu-ilmu dien yang sudah diketahuinya dengan hujjah dan niat yang ikhlas. Wallahu ta?alaa a?lam bi shawwab.
Semoga kita digolongkan pada umat yang lurus, sejalan dengan jalan Rasulullah dan para shahabatnya yang mulia, serta orang-orang shalih sampai akhir zaman. Amin.
________________________________________________________
Maroji?:
Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan; Kasyfusy Syubuhaat, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab; Talbish Iblish, Ibnul Jauzy, Kitabut-Tauhid, Syaikh Tamimi