momentum
New member
Kepercayaan kepada Allah seharusnya nampak dalam keteguhan seseorang untuk selalu berpegang atau memegang janjiNya. Bahkan ketika kita tidak lagi menjumpai alasan (logis) untuk tetap berpegang pada janjiNya, kita harus tetap teguh berpegang pada janjiNya (Roma 4:18). Itulah hakikat dari kata ‘percaya’ yaitu: ‘bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat’! (Ibrani 11:1).
Namun pada kenyataannya, ‘tetap teguh pada janji Allah’ tidaklah semudah kita mengucapkannya atau menteorikannya. Mengapa demikian? Karena:
1. Janji Allah itu kadang tidak spesifik, sehingga dapat diartikan bermacam-macam. Pada waktu Allah memanggil Abram (Abraham) keluar dari rumah bapanya, Allah hanya mengatakan ‘pergilah ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu’ (Kejadian 12:1). Negeri mana? Tidak tahu, pokoknya pergi saja, nanti akan tahu. Begitu juga janji penyertaan Tuhan pada yang sakit, kadang dapat diartikan ‘sembuh’ atau ‘tetap sakit tapi mendapat kekuatan untuk menghadapi penyakit itu’. Lalu yang mana? Tidak tahu! Ya itulah bagian dari pergumulan iman untuk tetap percaya. Manusia harus mencarinya.
2. Manusia diciptakan sebagai mahluk yang berpikir. Karena itu, manusia punya kecenderungan untuk mencari alasan (logis) sebagai dasar untuk bisa memercayai segala sesuatu. Tak terkecuali janji Allah. Nah, ketika manusia tidak lagi menjumpai alasan (logis) yang menjadi dasar percayanya, dia bisa tetap percaya, tetapi mengartikan percayanya itu dalam bentuk yang berbeda. Atau, dia menjadi tidak percaya!
3. Manusia mempunyai kecenderungan untuk fokus pada masalah yang tengah dihadapinya. Ini adalah bagian dari mekanisme pertahanan dirinya (defense mechanism). Tetapi akibatnya, kadang ia tidak lagi mampu fokus kepada Allah dan janjiNya.
Mari kita melihat ketiga hal ini dalam pergumulan iman Abraham, khususnya ketika ia mendapat janji Allah, bahwa ia akan mempunyai keturunan. Ternyata janji Allah kepada Abraham hanyalah akan mendapat keturunan (Kejadian 15:3-6). Baru pada masa kemudian, Allah mengulangi janjiNya, bahwa Abraham akan mendapat keturunan melalui Sara istrinya (Kejadian 18:10). Di antara fatsal 15 dan 18, terdapatlah kisah Abraham menghampiri Hagar, hamba Sara (Kejadian 16:2) dan lahirlah Ismael.
Ternyata Abraham yang mengikuti pemikiran Sara, salah! Janji Tuhan tentang keturunan Abraham itu adalah melalui Sara istrinya, bukan melalui Hagar. Salahkah Sara (dan Abraham) yang memikirkan alternatif penggenapan janji Tuhan melalui Hagar? Tidak juga. Kejadian 16:1 dimulai dengan satu pernyataan: ‘Sarai (Sara) tidak mempunyai anak’! Jadi secara logis memang tidak ada alasan untuk bisa memercayai janji Tuhan itu melalui Sarai. Maka dicari alternatif melalui Hagar. Dan cara semacam itu memang dimungkinkan (secara kultural, pada waktu itu). Abraham dan Sarai tetap percaya pada janji Tuhan, tetapi mereka mengartikan janji itu berbeda dari yang Tuhan maksudkan!
Dalam kasus yang lain, kita juga melihat kegagalan Abraham untuk terus berpegang pada janji Allah. Baru saja Allah berjanji untuk menyertai dan memberkati Abraham (Kejadian 12:3). Tetapi ketika Abraham sampai ke Mesir dan menghadapi ancaman dari Firaun, ia berbohong bahwa Sarai adiknya, bukan istrinya (Kejadian 12:18-19). Rupanya Abram (Abraham) tidak mampu lagi fokus pada Allah ketika menghadapi bahaya di Mesir. Ia hanya fokus pada masalah dan bersiasat untuk mengatasi masalah tanpa melibatkan Allah (Kejadian 12:11-13).
Pengalaman Abraham ini merupakan gambaran dari pengalaman manusiawi kita. Tidak selamanya mudah untuk bisa terus berpegang teguh pada janji Allah. Ada banyak faktor-faktor manusiawi yang membuat manusia kadang bisa melupakan atau meragukan janji Tuhan. Tentu ini bukan alasan untuk kita memaafkan diri sendiri manakala kita gagal berpegang teguh pada janji Allah. Kesalahan adalah kesalahan yang harus kita sesali dan perbaiki! Namun jangan juga terlalu menghukum diri sendiri yang malahan membuat kita tidak mampu bangkit kembali.
Yang menarik adalah, mengapa dari satu kegagalan kepada yang lain, Allah tetap menyertai dan memberkati Abraham? Bahkan dalam Roma 4:19-22, Abraham digambarkan begitu sempurna imannya, seolah ia tidak pernah gagal! Di sinilah kita boleh belajar tentang kasih dan anugrah Allah. Ternyata ‘tetap teguh pada janji Allah’ itu adalah sebuah proses, yang melewati kegagalan dan keberhasilan. Yang ideal tentu ketika proses ini dilewati hanya dengan keberhasilan terus menerus tanpa pernah gagal! Namun ketika kita gagal, kita juga tidak perlu berkecil hati. Tuhan selalu memberi kesempatan buat Abraham (dan juga kita) untuk memperbaiki diri.
Dalam rangka memperbaiki diri itulah, kita mengevaluasi kegagalan kita, menyesalinya dan bangkit kembali untuk berpegang teguh pada janjiNya. Abraham akhirnya berhasil. Imannya sungguh luar biasa. Di masa kemudian (Kejadian 22), ia lulus ujian iman. Ia rela mempersembahkan Ishak, putra perjanjian Allah itu, karena ia percaya bahwa Allah tetap akan menggenapi janjiNya melalui Ishak. Kalaupun Ishak mati, maka Allah akan membangkitkan Ishak kembali (Ibrani 11:17-19). Sebuah proses bagi Allah bukanlah apakah seseorang itu gagal atau berhasil menjalaninya, tetapi apakah seseorang itu mampu bangkit kembali, ketika gagal dan akhirnya berhasil menjalani proses itu dengan baik.
Ketika seseorang mampu bangkit dan kembali berpegang teguh pada janjiNya, maka Allah memperhitungkan itu sebagai sebuah kebenaran (Roma 4:22). Dan ini tidak hanya berlaku buat Abraham, tetapi buat kita semua (Roma 4:23-24). Inilah yang dimaksud dengan ‘dibenarkan karena iman’. Allah memberi kesempatan buat kita untuk bangkit dari dosa masa lalu dan memulai hidup baru bersamaNya.
Kita patut bersyukur mempunyai Allah yang penuh dengan kasih karunia. Allah yang selalu memberi kesempatan kedua! Tentu ruang yang diberikan Allah ini bukanlah ruang untuk kita boleh terus berbuat dosa kembali. Ruang ini adalah ruang pertobatan dan memperbaiki diri. Setiap orang beriman dan gereja harus selalu menyediakan ruang ini buat para pendosa. Dengan demikian kita lalu boleh menjadi saluran anugerahNya.
Nah, selamat berproses untuk tetap teguh pada janji Allah! Tuhan memberkati.
Namun pada kenyataannya, ‘tetap teguh pada janji Allah’ tidaklah semudah kita mengucapkannya atau menteorikannya. Mengapa demikian? Karena:
1. Janji Allah itu kadang tidak spesifik, sehingga dapat diartikan bermacam-macam. Pada waktu Allah memanggil Abram (Abraham) keluar dari rumah bapanya, Allah hanya mengatakan ‘pergilah ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu’ (Kejadian 12:1). Negeri mana? Tidak tahu, pokoknya pergi saja, nanti akan tahu. Begitu juga janji penyertaan Tuhan pada yang sakit, kadang dapat diartikan ‘sembuh’ atau ‘tetap sakit tapi mendapat kekuatan untuk menghadapi penyakit itu’. Lalu yang mana? Tidak tahu! Ya itulah bagian dari pergumulan iman untuk tetap percaya. Manusia harus mencarinya.
2. Manusia diciptakan sebagai mahluk yang berpikir. Karena itu, manusia punya kecenderungan untuk mencari alasan (logis) sebagai dasar untuk bisa memercayai segala sesuatu. Tak terkecuali janji Allah. Nah, ketika manusia tidak lagi menjumpai alasan (logis) yang menjadi dasar percayanya, dia bisa tetap percaya, tetapi mengartikan percayanya itu dalam bentuk yang berbeda. Atau, dia menjadi tidak percaya!
3. Manusia mempunyai kecenderungan untuk fokus pada masalah yang tengah dihadapinya. Ini adalah bagian dari mekanisme pertahanan dirinya (defense mechanism). Tetapi akibatnya, kadang ia tidak lagi mampu fokus kepada Allah dan janjiNya.
Mari kita melihat ketiga hal ini dalam pergumulan iman Abraham, khususnya ketika ia mendapat janji Allah, bahwa ia akan mempunyai keturunan. Ternyata janji Allah kepada Abraham hanyalah akan mendapat keturunan (Kejadian 15:3-6). Baru pada masa kemudian, Allah mengulangi janjiNya, bahwa Abraham akan mendapat keturunan melalui Sara istrinya (Kejadian 18:10). Di antara fatsal 15 dan 18, terdapatlah kisah Abraham menghampiri Hagar, hamba Sara (Kejadian 16:2) dan lahirlah Ismael.
Ternyata Abraham yang mengikuti pemikiran Sara, salah! Janji Tuhan tentang keturunan Abraham itu adalah melalui Sara istrinya, bukan melalui Hagar. Salahkah Sara (dan Abraham) yang memikirkan alternatif penggenapan janji Tuhan melalui Hagar? Tidak juga. Kejadian 16:1 dimulai dengan satu pernyataan: ‘Sarai (Sara) tidak mempunyai anak’! Jadi secara logis memang tidak ada alasan untuk bisa memercayai janji Tuhan itu melalui Sarai. Maka dicari alternatif melalui Hagar. Dan cara semacam itu memang dimungkinkan (secara kultural, pada waktu itu). Abraham dan Sarai tetap percaya pada janji Tuhan, tetapi mereka mengartikan janji itu berbeda dari yang Tuhan maksudkan!
Dalam kasus yang lain, kita juga melihat kegagalan Abraham untuk terus berpegang pada janji Allah. Baru saja Allah berjanji untuk menyertai dan memberkati Abraham (Kejadian 12:3). Tetapi ketika Abraham sampai ke Mesir dan menghadapi ancaman dari Firaun, ia berbohong bahwa Sarai adiknya, bukan istrinya (Kejadian 12:18-19). Rupanya Abram (Abraham) tidak mampu lagi fokus pada Allah ketika menghadapi bahaya di Mesir. Ia hanya fokus pada masalah dan bersiasat untuk mengatasi masalah tanpa melibatkan Allah (Kejadian 12:11-13).
Pengalaman Abraham ini merupakan gambaran dari pengalaman manusiawi kita. Tidak selamanya mudah untuk bisa terus berpegang teguh pada janji Allah. Ada banyak faktor-faktor manusiawi yang membuat manusia kadang bisa melupakan atau meragukan janji Tuhan. Tentu ini bukan alasan untuk kita memaafkan diri sendiri manakala kita gagal berpegang teguh pada janji Allah. Kesalahan adalah kesalahan yang harus kita sesali dan perbaiki! Namun jangan juga terlalu menghukum diri sendiri yang malahan membuat kita tidak mampu bangkit kembali.
Yang menarik adalah, mengapa dari satu kegagalan kepada yang lain, Allah tetap menyertai dan memberkati Abraham? Bahkan dalam Roma 4:19-22, Abraham digambarkan begitu sempurna imannya, seolah ia tidak pernah gagal! Di sinilah kita boleh belajar tentang kasih dan anugrah Allah. Ternyata ‘tetap teguh pada janji Allah’ itu adalah sebuah proses, yang melewati kegagalan dan keberhasilan. Yang ideal tentu ketika proses ini dilewati hanya dengan keberhasilan terus menerus tanpa pernah gagal! Namun ketika kita gagal, kita juga tidak perlu berkecil hati. Tuhan selalu memberi kesempatan buat Abraham (dan juga kita) untuk memperbaiki diri.
Dalam rangka memperbaiki diri itulah, kita mengevaluasi kegagalan kita, menyesalinya dan bangkit kembali untuk berpegang teguh pada janjiNya. Abraham akhirnya berhasil. Imannya sungguh luar biasa. Di masa kemudian (Kejadian 22), ia lulus ujian iman. Ia rela mempersembahkan Ishak, putra perjanjian Allah itu, karena ia percaya bahwa Allah tetap akan menggenapi janjiNya melalui Ishak. Kalaupun Ishak mati, maka Allah akan membangkitkan Ishak kembali (Ibrani 11:17-19). Sebuah proses bagi Allah bukanlah apakah seseorang itu gagal atau berhasil menjalaninya, tetapi apakah seseorang itu mampu bangkit kembali, ketika gagal dan akhirnya berhasil menjalani proses itu dengan baik.
Ketika seseorang mampu bangkit dan kembali berpegang teguh pada janjiNya, maka Allah memperhitungkan itu sebagai sebuah kebenaran (Roma 4:22). Dan ini tidak hanya berlaku buat Abraham, tetapi buat kita semua (Roma 4:23-24). Inilah yang dimaksud dengan ‘dibenarkan karena iman’. Allah memberi kesempatan buat kita untuk bangkit dari dosa masa lalu dan memulai hidup baru bersamaNya.
Kita patut bersyukur mempunyai Allah yang penuh dengan kasih karunia. Allah yang selalu memberi kesempatan kedua! Tentu ruang yang diberikan Allah ini bukanlah ruang untuk kita boleh terus berbuat dosa kembali. Ruang ini adalah ruang pertobatan dan memperbaiki diri. Setiap orang beriman dan gereja harus selalu menyediakan ruang ini buat para pendosa. Dengan demikian kita lalu boleh menjadi saluran anugerahNya.
Nah, selamat berproses untuk tetap teguh pada janji Allah! Tuhan memberkati.