Teknologi Bionik

Dipi76

New member
Sumber: National Geographic, edisi Januari 2010
Oleh Josh Fischman
Foto oleh Mark Thiessen

127.jpg



Etimologi: dari bio (dari “biologi”) + nik (dari “elektronik”); ilmu yang mempelajari sistem mekanik yang berfungsi seperti makhluk hidup atau organ tubuh makhluk hidup.


Amanda Kitts dikerumuni anak-anak umur empat dan lima tahun saat masuk ruang kelas. "Halo anak-anakku sekalian, bagaimana kabar kalian hari ini?" ujarnya sambil menepuk pundak dan mengacak-acak rambut mereka. Wanita ramping dan energetik itu sudah hampir 20 tahun menjalankan tempat penitipan anak. Dia berjongkok untuk berbicara dengan seorang gadis kecil, sambil meletakkan tangannya di lutut. "Tangan robot!" jerit beberapa anak.

“Ingat saya bisa bersalaman?” tanya Kitts, sambil mengulurkan tangan dan memutar pergelangan. Seorang anak laki-laki menyambut dengan ragu untuk menyentuh jemari Kitts. Yang disentuhnya adalah jari plastik-warna-daging yang agak tertekuk ke dalam. Di dalamnya ada tiga motor, rangka logam, serta jaringan elektronik canggih. Pangkal tangan palsu itu berupa mangkok plastik putih di pertengahan biseps Kitts, membungkus potongan lengan; nyaris hanya itu yang tersisa dari lengannya yang hilang akibat kecelakaan mobil pada 2006.

Nyaris, tetapi masih ada sisa yang lain. Di dalam otak Kitts, di luar tingkat kesadarannya, masih ada gambaran tangan yang utuh, “tangan hantunya”. Apabila Kitts berpikir tentang menekuk sikunya, hantu itu bergerak. Impuls yang mengalir dari otaknya ditangkap oleh sensor elektrode di mangkuk putih dan diubah menjadi sinyal yang menggerakkan motor, lalu siku buatan itu pun menekuk.

“Aku tidak benar-benar memikirkannya. Tinggal digerakkan saja,” ujar wanita 40 tahun yang menggunakan lengan model standar itu maupun yang lebih eksperimental dengan kontrol yang lebih baik. “Setelah kecelakaan, saya merasa merana dan tidak mengerti mengapa Tuhan menimpakan hal seperti ini. Sekarang saya selalu senang karena mereka terus memperbaiki lengan ini. Suatu hari nanti tangan saya akan dapat merasa lagi dan dapat bertepuk tangan seirama dengan lagu yang dinyanyikan anak-anak asuhan saya.”

Kitts merupakan saksi hidup bahwa, walaupun daging dan tulang rusak atau hilang, saraf dan bagian otak yang dulu mengendalikannya masih terus hidup. Dengan elektrode mikroskopis dan keajaiban pembedahan, dokter telah mulai menghubungkan bagian ini di pasien lain ke perangkat seperti kamera, mikrofon, dan motor. Hasilnya, yang buta dapat melihat, yang tuli dapat mendengar, dan Amanda Kitts dapat melipat baju.

Mesin yang mereka gunakan disebut prostesis neural atau—dengan makin nyamannya para ilmuwan dengan istilah yang dipopulerkan penulis fiksi ilmiah—bionik. Eric Schremp yang lumpuh tangan dan kakinya sejak patah leher saat terjun di kolam renang pada 1992 kini memiliki perangkat elektronik di bawah kulit yang membantunya menggerakkan jari untuk memegang garpu. Jo Ann Lewis, seorang wanita buta, dapat melihat bentuk pohon berkat bantuan kamera kecil yang berkomunikasi dengan saraf optiknya. Dan Tammy Kenny dapat berbicara kepada putranya yang berusia 18-bulan Aiden dan dia dapat menjawab karena anak yang lahir tuli itu memiliki 22 elektrode di dalam telinganya yang mengubah suara yang diterima mikrofon menjadi sinyal yang dapat dipahami saraf pendengarannya.

Saat mengetahui bahwa mesin dapat di-hubungkan dengan otak, para ilmuwan juga menemukan betapa sulitnya mempertahankan hubungan tersebut. Jika mangkuk di lengan atas Kitts bergeser sedikit saja, misalnya, dia tidak dapat mengepal. Namun, tetap saja bionik mewakili sebuah lompatan jauh ke depan yang memungkinkan peneliti mengembalikan lebih banyak anggota tubuh yang hilang daripada yang mungkin sebelumnya.

“Itulah inti pekerjaan ini: restorasi,” ujar Joseph Pancrazio, direktur program rekayasa saraf di National Institute of Neurological Disorders and Stroke. “Apabila orang dengan cedera sumsum tulang belakang dapat duduk di restoran, makan sendiri, dan tak menarik perhatian orang lain, itu artinya aku berhasil.”

Sejarah upaya pemulihan anggota tubuh, dalam bentuk tangan dan kaki buatan, berjejer di rak di kantor Robert Lipschutz di Rehabilitation Institute of Chicago (RIC). “Teknologi dasar lengan buatan tidak banyak berubah selama seratus tahun terakhir,” jelasnya. “Materialnya berbeda, kini kami menggunakan plastik dan bukan kulit lagi, tetapi gagasan dasarnya masih sama: kait dan engsel yang digerakkan kabel atau motor, dikendalikan dengan tuas.” Lipschutz menarik wadah plastik dari salah satu raknya.Ternyata benda itu bahu dan lengan kiri. Bahu itu seperti sebuah baju besi, diikatkan menyilang di dada dengan abah-abah (harness). Ujung lengan yang bersendi di bahu dan siku itu berupa penjepit logam. Untuk meluruskan lengan, kita menggerakkan kepala ke kiri dan menekan tuas dengan dagu, dan menggunakan sedikit gerakan untuk menjulurkan lengan itu. Melakukan hal itu sama repotnya dengan mendengarkan caranya bekerja. Juga berat. Setelah 20 menit, leher mulai pegal akibat posisi tubuh yang tidak biasa dan usaha menekan tuas. Banyak korban amputasi yang akhirnya berhenti menggunakan lengan seperti itu.

“Terkadang sulit bagiku memberi orang alat ini,” ujar Lipschutz, “karena kami tak yakin dapat bermanfaat.” Yang dapat lebih membantu, menurutnya dan orang lain di RIC, adalah jenis prostesis yang diuji Amanda Kitts secara sukarela—jenis yang dikendalikan otak, bukan bagian tubuh lain yang biasanya tak berkaitan dengan gerakan tangan. Teknik yang disebut re-inervasi otot bertarget ini menggunakan sisa saraf pascaamputasi un-tuk mengendalikan tungkai buatan. Teknik ini pertama kali dicoba pada pasien pada 2002. Empat tahun kemudian Tommy Kitts, suami Amanda, membaca tentang hal tersebut di internet saat istrinya terkapar di rumah sakit setelah kecelakaan.

“Sepertinya itu pilihan terbaik yang ada, jauh lebih baik daripada motor dan sakelar,” ujar Tommy. “Amanda jadi bersemangat.” Tak lama kemudian, mereka terbang ke Illinois.

Todd Kuiken, dokter sekaligus insinyur biomedis di RIC, merupakan orang yang bertanggung jawab atas produk yang mulai disebut “lengan bionik” oleh lembaga itu. Dia tahu bahwa saraf di lengan amputasi masih dapat membawa sinyal dari otak. Dia juga tahu bahwa komputer di prostesis dapat memerintahkan motor menggerakkan tungkai. Masalahnya adalah bagaimana membuat hubungan tersebut. Saraf mengalirkan listrik, tetapi tidak bisa disambung dengan kabel komputer (serat saraf dan kabel logam tidak bisa berhubungan dengan baik. Dan luka terbuka tempat kabel masuk ke tubuh dapat mengakibatkan infeksi).

Kuiken perlu media untuk memperkuat sinyal saraf, sehingga tidak perlu sambungan langsung. Dia menemukannya di otot. Saat berkontraksi, otot mengeluarkan sinyal listrik yang kuat sehingga dapat dideteksi oleh elektrode yang dipasang di kulit. Dia mengembangkan teknik untuk mengalihkan saraf yang terpotong dari tempat lamanya yang rusak ke otot lain yang dapat memperkuat sinyal saraf.

bersambung


-dipi-
 
Last edited:
Bls: Kisah Manusia Bionik

Pada Oktober 2006, Kuiken mulai merangkai ulang saraf Amanda Kitts. Langkah pertama adalah menyelamatkan saraf utama yang dulu memanjang hingga ke ujung lengan Kitts. Saraf itu berawal di otak Kitts (dalam korteks motor) yang menyimpan peta kasar tubuh, tetapi berakhir di ujung yang buntung. Melalui operasi rumit, ahli bedah mengalihkan saraf itu ke beberapa wilayah di otot pangkal lengan Kitts. Selama berbulan-bulan saraf ini tumbuh, milimeter demi milimeter, semakin dalam di tempat barunya.

“Pada bulan ketiga saya mulai merasa gelenyar dan kedutan,” ujar Kitts. “Pada bulan keempat saya benar-benar dapat merasakan berbagai bagian tangan saat menyentuh pangkal lengan. Saya dapat menyentuh beberapa tempat dan merasakan jari yang berbeda.” Yang dirasakannya adalah bagian “tangan hantu” yang terpetakan di otaknya kini tersambung lagi dengan daging. Ketika Kitts ingin menggerakkan jari hantunya, otot pangkal lengannya berkontraksi.

Sebulan kemudian dia dipasangi lengan bioniknya yang pertama, dengan elektrode dalam mangkuk yang membungkus lengan buntungnya untuk mengambil sinyal dari otot. Kini tantangannya adalah mengubah sinyal tersebut menjadi perintah yang menggerakkan siku dan tangan. Derau listrik yang kuat muncul dari area kecil di lengan Kitts. Di dalamnya ada berbagai sinyal. Mikroprosesor yang terpasang di prostesis harus diprogram untuk memilih sinyal yang benar dan mengirimkannya ke motor yang tepat.

Penemuan sinyal ini dimungkinkan oleh adanya lengan hantu Kitts. Di lab di RIC, Blair Lock, seorang insinyur peneliti, menyetel pemerogramannya. Dia meminta Kitts melepaskan lengan buatan itu agar dia dapat membungkus lengan buntung itu dengan elektrode. Kitts berdiri di depan layar datar TV besar yang menampilkan lengan-warna-daging lepas mengambang di ruang biru—visualisasi lengan hantunya. Elektrode Lock menerima perintah dari otak Kitts yang mengalir ke lengan buntungnya, dan lengan virtual itu bergerak.

Dengan suara rendah, agar tidak mengganggu konsentrasi Kitts, Lock meminta Kitts memutar tangannya, telapak tangan ke dalam. Di layar, tangannya berputar, telapak ke dalam. “Kini luruskan pergelangan, telapak ke atas,” ujarnya. Tangan di layar bergerak. “Lebih baik daripada sebelumnya?” tanya Kitts. “Tentu saja. Sinyalnya kuat.” Kitts tertawa. Kini Lock memintanya meluruskan jempolnya searah jari lainnya. Tangan di layar menurut. Mata Kitts terbelalak. “Wah. Saya malah tidak tahu bisa melakukan hal itu!” Begitu sinyal otot yang terkait dengan gerakan tertentu diketahui, komputer yang ada di lengan diprogram untuk mencarinya dan merespons dengan menggerakkan motor yang tepat. Kitts berlatih menggunakan lengannya satu lantai di bawah kantor Kuiken, di apartemen yang oleh terapis okupasi dilengkapi dengan berbagai benda yang biasa digunakan orang yang baru diamputasi. Di sana ada dapur dengan kompor, peralatan makan dalam laci, tempat tidur, lemari pakaian lengkap dengan gantungan baju, kamar mandi, tangga—hal-hal yang kita gunakan sehari-hari tetapi sangat menyulitkan orang yang kehilangan tungkainya. Mengamati Kitts membuat roti lapis selai kacang di dapur menjadi pengalaman yang mengejutkan. Dengan lengan baju digulung untuk menunjukkan mangkuk plastik, gerakannya lancar. Tangan aslinya memegang seiris roti, jari buatannya meng-genggam pisau, siku tertekuk, dan dia mengoleskan selai kacang maju-mundur.

“Awalnya tidak mudah. Aku mencoba menggerakkannya, dan tidak selalu mengarah ke tempat yang dituju.” Namun, Kitts terus berlatih, dan semakin sering dia menggunakan lengan itu, gerakannya semakin terasa seperti aslinya. Yang paling diinginkan Kitts sekarang adalah indra perasa. Itu akan sangat menolong dalam banyak gerakan, termasuk salah satu favoritnya—minum kopi.

“Masalahnya dengan cangkir kopi plastik adalah tanganku mengepal terlalu kencang. Cangkir plastik tak bisa dipegang dengan kencang,” ujarnya. “Pernah terjadi di Starbucks. Terus menjepit sampai cangkirnya pecah.”

Peluang Kitts untuk mendapatkan indra perasa cukup baik. Bermitra dengan Johns Hopkins University Applied Physics Laboratory, RIC telah mengembangkan prototipe baru untuk Kitts dan pasien lain yang tidak hanya lebih lentur, tetapi juga memiliki bantalan sensor tekanan di ujung jarinya. Bantalan itu terhubung ke batang kecil seperti piston yang menekan lengan buntung Kitts. Semakin kuat tekanan, semakin kuat sensasi di jari hantunya. “Saya dapat merasakan seberapa kuat pegangan saya,” ujar Kitts. Dia juga dapat mem-bedakan antara meraba benda yang kasar seperti ampelas atau yang halus seperti gelas berdasarkan kecepatan vibrasi batang-batang itu. “Aku ingin segera membawa alat ini pulang.”

Berbeda dengan Kitts, Eric Schremp tidak perlu tangan buatan. Dia cuma perlu tangan aslinya berfungsi. Tangan itu tak bisa berfungsi tanpa bantuan sejak lehernya patah pada 1992, membuat keempat tungkainya lumpuh. Namun, kini pria berusia 40-tahun itu dapat memegang pisau atau sendok.

Dia dapat melakukan hal ini berkat alat implan yang dikembangkan Hunter Peckham, seorang insinyur biomedis. “Tujuan kami ada-lah memulihkan genggaman tangan,” ujar Peckham. “Tangan penting untuk kemandirian.”

Otot jari Schremp serta saraf yang me--ngendalikannya masih ada, tetapi sinyal dari otaknya terputus di leher. Tim Peckham pun me--rentangkan delapan elektrode mikroskopis dari dada Schremp ke bawah kulit lengan ka-nannya, hingga otot jari. Gerakan otot di dada memicu sinyal yang dikirimkan melalui pemancar radio ke komputer kecil yang tergantung di kursi roda Schremp. Komputer menafsirkan sinyal itu dan memancarkannya kembali ke penerima yang tertanam di dadanya, di sana sinyal ini lalu dikirim melalui kabel di lengan Schremp ke tangan, kemudian sinyal memerintahkan jarinya menggenggam semuanya terjadi dalam hitungan mikrodetik.

“Saya dapat memegang garpu dan makan sendiri,” ujar Schremp. “Itu besar artinya.”

Ada sekitar 250 orang yang telah dirawat dengan teknik ini, yang masih dalam tahap percobaan. Tetapi, sebuah perangkat bionik lainnya memperlihatkan bahwa perpaduan otak dan mesin dapat sangat bermanfaat dan tahan lama karena telah dipasang pada hampir 200.000 orang di seluruh dunia selama 30 tahun terakhir. Perangkat itu adalah implan rumah siput dan Aiden Kenny merupakan salah satu penerima terakhirnya. Tammy Kenny, sang ibu, ingat, setahun lalu dia mengetahui bayinya tak dapat ditolong dengan alat bantu dengar.

“Aku hanya bisa menggendongnya dan menangis,” ujar Tammy, “karena tahu bahwa dia tak dapat mendengarku. Bagaimana cara dia nanti mengenalku? Suatu kali, suamiku membenturkan panci, berharap ada respons.” Aiden tak pernah mendengar bunyi itu.

Kini Aiden dapat mendengar panci ber-dentang. Pada Februari 2009, ahli bedah di Johns Hopkins Hospital me-masang kabel tipis dengan 22 elektrode di setiap rumah siput Aiden, bagian telinga dalam yang biasanya mendeteksi getaran suara. Mikrofon juga dipasang untuk menerima suara dan mengirimkan sinyal ke elektrode yang langsung mengantarkannya ke saraf.

“Pada hari mereka menghidupkan implan itu sebulan setelah pembedahan, kami lihat dia merespons suara,” ujar Tammy. “Dia berpaling saat mendengar suaraku. Mengagumkan.” Kini, berkat terapi intensif, Aiden belajar bahasa dan dengan cepat mengejar ketinggalan dari teman-teman seusianya.


Bersambung


-dipi-
 
Bls: Kisah Manusia Bionik

Mata bionik mungkin juga segera menyusul. Jo Ann Lewis kehilangan penglihatannya be-berapa tahun lalu akibat retinitis pigmentosa (RP), penyakit degeneratif yang menghancurkan sel pendeteksi cahaya di mata yang disebut sel batang dan sel kerucut. Namun, kemudian dia mendapat kembali sebagian penglihatannya berkat hasil penelitian Mark Humayun, pakar oftalmologi di perusahaan Second Sight.

Pada penyakit ini biasanya sebagian lapisan dalam retina selamat. Lapisan yang berisi sel bipolar dan ganglion ini biasanya mengambil sinyal dari sel batang dan kerucut di bagian luar dan mengirimkannya ke serat yang ber-gabung menjadi saraf optik. Tidak ada yang mengetahui sinyal yang dikirimkan retina atau cara mengirimkan citra yang dapat diprosesnya dengan benar. Namun pada 1992, Humayun mulai menempatkan, hanya sebentar, susunan elektrode kecil di retina pasien RP yang menjalani operasi karena sebab lain.

“Kami meminta mereka untuk mengikuti titik yang bergerak dan mereka dapat me-lakukannya,” ujarnya. “Mereka dapat me-lihat baris dan kolom.” Setelah satu dasa-war-sa pengujian, Humayun dan rekannya mengembangkan sistem yang dinamai Argus (raksasa dengan ratusan mata dalam mitologi Yunani). Pasien mendapat kacamata hitam yang dipasangi kamera video kecil, lengkap dengan pemancar radio. Sinyal video dipancarkan ke komputer yang terpasang di sabuk, diterjemahkan menjadi pola impuls listrik yang dimengerti sel ganglion, lalu dipancarkan ke penerima yang terletak di belakang telinga. Dari sini ada kabel yang membawa impuls ke dalam mata, ke susunan bujur sangkar 16 elektrode yang terpasang lembut ke permukaan retina. Impuls ini memicu elektrode. Elektrode memicu sel. Kemudian otak mengerjakan sisanya, sehingga para pasien awal ini dapat melihat bayangan dan beberapa bentuk kasar.

Pada musim gugur 2006 Humayun, Second Sight, dan tim internasional menambah jumlah elektrode dalam susunan itu menjadi 60. Seperti kamera dengan piksel yang lebih banyak, susunan baru ini menghasilkan gambar yang lebih tajam. Lewis, salah satu yang pertama mendapatkannya. “Kini saya dapat melihat siluet pohon lagi,” ujarnya. “Seingat saya, itu salah satu hal terakhir yang dapat saya lihat secara alami. Kini saya dapat melihat cabang pohon mencuat ke berbagai arah.”

Dengan mempercanggih konsep prostesis saraf, para peneliti mulai menggunakannya langsung pada otak. Para ilmuwan di proyek BrainGate mencoba menghubungkan korteks motor pasien yang tak dapat bergerak total secara langsung ke komputer sehingga pa-sien dapat menggerakkan benda dari jarak jauh dengan pikirannya. Sejauh ini, subjek peng-ujian dapat menggerakkan kursor di layar kom-puter. Para peneliti bahkan berencana mengembangkan hipokampus buatan, bagian otak yang menyimpan memori, dengan tujuan menanamkannya pada orang yang menderita hilang ingatan.

Namun, tidak semuanya berjalan sempurna. Satu dari empat pasien awal BrainGate memutuskan untuk mencabut sambungan itu karena me-mengaruhi kerja perangkat medis lain. Dan Jo Ann Lewis mengatakan penglihatannya tidak cukup untuk menyeberang jalan dengan aman. Namun, sekarang Kitts memiliki mangkuk yang lebih elastis di pangkal lengannya, yang membuat elektrode berada lebih pas di saraf pengendali tangan.

Kuiken mengatakan, “Kami memberi alat kepada orang. Alat ini lebih baik daripada yang sebelumnya. Namun masih kasar, seperti palu, dibandingkan kerumitan tubuh manusia. Alat ini kalah jauh dengan yang alami.” Namun, setidaknya orang yang menggunakan alat itu masih dapat menarik manfaat. Bahkan beberapa dapat memberi harapan.


-dipi-
 
Terobosan Tekhnologi Bionik, Tangan Palsu Digerakkan Otak

Terobosan Tekhnologi Bionik, Tangan Palsu Digerakkan Otak

bionik-001.jpg


Sejumlah kabel terhubung dari lengan bionik ke urat-otot dada. (New Scientist)


Sebagian besar anggota badan palsu modern dianggap bertekhnologi tinggi.

Namun Jesse Sullivan telah memiliki lengan palsu sangat pintar, yang tidak bekerja dengan menggunakan motor, akan tetapi dikendalikan oleh pikirannya.

Para ilmuwan telah menemukan sebuah cara untuk membuat anggota badan yang dikendalikan oleh pikiran dengan menghubungkan saraf tunggul Sullivan ke dalam urat-otot di dadanya.

Hal ini memberikan jangkauan gerakan yang lebih luas dari sebelumnya.

Ketika ia berpikir memindahkan urat-otot dadanya, sinyal dijemput oleh saraf yang sebelumnya telah terhubung ke lengan dan diinterpretasikan oleh komputer yang me-relay informasi ke alat anggota tubuh.

Sullivan adalah orang pertama yang menjalani operasi delapan tahun lalu dan terus diuji coba untuk penelitian.

Anggotan tubuh baru ini telah berdasarkan pada riset yang mengikuti potongan saraf anggota badan pasca amputasi, benar-benar sehat.

Para ilmuwan di Northwestern University, AS, kini sedang mencari-cari pola-pola berbeda dari aktivitas otak yang dapat digunakan untuk mengendalikan anggota tubuh palsu.

Nate Bunderson yang mempresentasikan penelitian ini untuk konferensi Society of Neuroscience di San Diego, November lalu mengatakan, “Jika anda mentransfer saraf (dari potongan anggota badan) ke urat yang sehat, maka anda dapat memperkuat sinyal otak untuk digunakan mengendalikan lengan tersebut.”

“Kita dapat menggunakan sejumlah sinyal untuk mengendalikan perangkat tersebut.”

Tim ini telah menyempurnakan sistem yang menginterpretasikan sinyal otak, dan memberikan kendali pasien untuk melakukan gerakan yang lebih luas.

Sedangkan kebanyakan anggota badan yang diamputasi kehilangan kendali saraf dari waktu ke waktu, karena mereka tidak lagi digunakan untuk mengendalikan otot. Namun sinyal-sinyal Mr. Sullivan nampaknya menjadi lebih kuat.

Bunderson mengatakan efek ini dapat terjadi karena otak mulai terbiasa dengan alur-ulang pada kabel.

“Bahkan otot dapat menginterpretasikan perintah saraf. Kami kini memiliki komputer yang berupaya menginterpretasikan perintah saraf dan otak untuk menyesuaikan diri.”

Seperti dilaporkan Daily Mail, tekhnologi perintis ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para pasien.

Sumber : Erabaru/DM/sua
 
Back
Top