Panik Diblokir Indonesia, Pencipta Telegram Akui Salah
Sikap tegas pemerintah Indonesia yang berani memblokir Telegram ternyata membuahkan hasil. Pavel Durov, sang pendiri layanan messaging itu pun dibuat kelabakan dan pada akhirnya mengakui kesalahan.
Durov sendiri baru saja mengeluarkan pernyataan yang isinya untuk mengklarifikasi, bahwa telah terjadi miskomunikasi selama ini. Dia pun mengakui bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika memang telah menghubungi mereka, namun lambat direspons oleh tim Telegram.
Pria asal Rusia itu pun menyesalkan, permintaan dari pemerintah Indonesia untuk menutup channel terorisme yang ada di Telegram tak cepat-cepat diproses. Ia juga mengklaim tak langsung mendapatkan laporan dari timnya begitu ada permintaan dari Kominfo.
"Sayangnya, saya tidak sadar akan permintaan itu, yang menyebabkan miskomunikasi dengan kementerian," ujarnya lewat channel resmi Durov di Telegram, seperti dikutip detikINET, Minggu (16/7/2017).
Dengan demikian, akhirnya terungkap siapa yang benar dan siapa yang salah dalam kasus ini. Memang benar seperti yang diungkapkan Menkominfo Rudiantara sebelumnya, bahwa mereka telah coba menghubungi Telegram berkali-kali. Namun karena tak kunjung mendapatkan respons, diblokirlah Telegram demi alasan keamanan negara.
Untuk mengeksekusi pemblokiran ini, Rudiantara mengaku telah berkoordinasi dengan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Kapolri Tito Karnavian, dan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki. Kominfo juga telah berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Kalau Google ada kantor perwakilan di Singapura, Twitter ada di Indonesia. Sementara kalau Telegram ini komunikasinya harus lewat web service mereka. Mereka protes kok kita tidak diajak bicara tahu-tahu diblokir. Padahal, Kominfo sudah hubungi Telegram berkali-kali," sesal menteri yang akrab disapa Chief RA ini.
Permintaan dari pemerintah Indonesia jelas sangat beralasan. Pasalnya, di dalam Telegram, menurut menteri, ditemukan ada 17 ribu halaman yang terkait terorisme dan aksi radikalisme lainnya.
"Ada ajakan membuat bom, bergabung dengan organisasi teroris," kata Rudiantara seraya menyebut bahwa yang ditutup oleh pemerintah Indonesia barulah layanan Telegram yang ada di website saja, belum sampai ke aplikasinya.
Telegram Akui Banyak Teroris
Sementara dari pernyataan Durov, diakui memang ada banyak sekali saluran terkait terorisme di channel Telegram. Namun setiap bulan, Durov mengklaim telah memblokir ribuan saluran publik ISIS dan mempublikasikan daftarnya di @isiswatch.
"Kami terus berusaha untuk lebih efisien dalam mencegah propaganda teroris, dan selalu terbuka terhadap gagasan tentang bagaimana menjadi lebih baik dalam hal ini," kata pria berusia 32 tahun itu.
Untuk memperbaiki masalah ini, khususnya agar Telegram tidak terus diblokir, Durov pun menawarkan tiga solusi kepada pemerintah Indonesia. Pertama, memblokir semua saluran publik terkait teroris yang sebelumnya telah dilaporkan oleh Kominfo.
Kedua, mengirim email ke Kominfo untuk membentuk saluran komunikasi langsung, yang memungkinkan Telegram bekerja lebih efisien dalam mengidentifikasi dan menghalangi propaganda teroris di masa depan.
Ketiga, membentuk tim moderator yang berdedikasi dengan pengetahuan bahasa dan budaya Indonesia untuk dapat memproses laporan konten yang berhubungan dengan teroris lebih cepat dan akurat.
"Saya mengirim email ke Kementerian Kominfo tiga solusi itu untuk mendengar tanggapan dari mereka. Saya yakin kita dapat secara efisien membasmi propaganda teroris tanpa mengganggu jutaan pengguna Telegram di Indonesia," kata Durov.
"Saya akan terus memperbarui saluran ini tentang bagaimana Telegram akan berkembang di Indonesia dan secara global," ujarnya di akhir pernyataan tertulisnya itu.
sumber