spirit
Mod
Mi instan merek Supermi, Indomie, dan Sarimi. (Fernando Randy/Historia).
Setelah kalah perang, Jepang kekurangan pangan. Penduduk mengantri di tempat-tempat pembagian makanan. Salah satunya di belakang Stasiun Kereta Osaka. Seorang pengusaha, Momofuku Ando (1911-2007), melihat banyak orang mengantri mi soba di sana.
Ando pun berpikir bagaimana caranya mengatasi kekurangan pangan? Betapa praktisnya bila ada makanan yang mengenyangkan dan dapat disimpan lama. Sehingga, rakyat Jepang yang sedang kelaparan dapat memperoleh pangan secara mudah dan cepat. Jenis makanan tersebut juga mudah dibawa dan didistribusikan ke daerah yang memerlukan sebagai bantuan pangan darurat.
“Pilihan jatuh pada mi. Ide tersebut tidak disangka kelak akan melahirkan industri raksasa yang dikenal dengan nama Nissin,” tulis F.G. Winarno dalam Mi Instan: Mitos, Fakta, dan Potensi.
Setelah melalui percobaan selama beberapa bulan, akhirnya Ando memasarkan mi instan pertamanya pada 25 Agustus 1958.
Jepang mengekspor mi instan termasuk ke Indonesia. Baru pada 1969, perusahaan mi instan pertama didirikan di Indonesia. “Pabrik super mie Indonesia yang pertama diresmikan di Cijantung. Seperti apa yang kita kenal, super mie dari Jepang itulah yang akan dihasilkan oleh pabrik yang pendiriannya merupakan usaha joint venture dengan Jepang,” demikian laporan Kompas, 17 Juli 1969.
Perusahaan itu, PT Lima Satu Sankyo Industri Pangan merupakan kerja sama perusahaan Jepang, Sankyo Shokuhin Kabushiki Kaisha dengan PT Lima Satu milik Sjarif Adil Sagala dan Eka Widjaja Moeis. Perusahaan Jepang tersebut mendapat izin dari pemerintahnya untuk menanamkan modal di Indonesia pada 28 Desember 1968. Join venture ini bagian dari proyek Penanaman Modal Asing setelah dibukanya keran investasi asing dengan UU No. 1 tahun 1967.
Modal investasinya sebesar $401.274 dolar AS dengan perbandingan modal: 90 persen (Jepang) dan 10 persen (Indonesia). Modal Indonesia akan ditingkatkan setiap tahun. Data terakhir menunjukkan perbandingan modalnya: Sjarif Adil Sagala (65 persen), Eka Widjaja Moeis (25 persen), dan Sankyo Shokuhin Kabushiki Kaisha (15 persen).
Biasanya, mereka yang bisa bekerja sama dengan perusahaan Jepang, memiliki masa lalu yang berhubungan dengan Negeri Sakura itu. Eka Widjaja Moeis (bukan Eka Tjipta Widjaja, pendiri grup Sinar Mas) belum diketahui. Sedangkan Sjarif Adil Sagala kemungkinan mantan mahasiswa yang pernah belajar di Jepang. Dia salah seorang korban selamat dari bom atom yang menghancurkan Hiroshima.
Pembangunan pabrik kurang lebih satu tahun. Mesin dan bahan-bahan lainnya diimpor dari Jepang. Pekerjanya 70 orang Indonesia dan tiga ahli dari Jepang. Kapasitas produksinya 50 ribu bungkus per hari. Di Jepang sendiri pabriknya menghasilkan 6 juta bungkus per hari.
Irjen Departemen Perindustrian Brigjen TNI Barkah Tirtadijaya meresmikan pabrik itu pada Rabu pagi, 16 Juli 1969 di Ciracas, Cijantung, Jakarta Timur. Dalam sambutannya mewakili Menteri Perindustrian, Barkah mengatakan “akhir-akhir ini kita sudah mengenal super mie yang diimpor dari Jepang. Dengan didirikannya pabrik super mie ini di Indonesia, maka kita dapat menghemat devisa. Di samping itu, kita membuka lapangan kerja baru dan sekaligus mendidik tenaga ahli dalam bidang bersangkutan.”
Dengan demikian, PT Lima Satu Sankyo Industri Pangan resmi memproduksi mi instan pertama di Indonesia dengan merek Supermi.
Di samping untuk diedarkan ke seluruh Indonesia, Supermi juga diekspor. Majalah Ekspres, 21 Desember 1970, menyebut harga per bungkus Supermi dari pabrik Rp22,50 dan di pasaran Rp25. Daerah pasaran terkuat di Jawa Barat dan Sumatera Selatan.
Tak lama kemudian, pada 1970, Supermi mendapatkan pesaing: Indomie. Indomie diproduksi oleh PT Sanmaru Food Manufacturing dari Grup Jangkar Jati milik Djajadi Djaja dan kawan-kawannya. Indomie didistribusikan oleh PT Wicaksana Overseas Import, milik Djajadi Djaja.
Supermie dan Indomie bersaing di pasaran sampai datang merek baru: Sarimi. Salim Group mendirikan PT Sarimi Asli Jaya yang mulai memproduksi Sarimi pada awal 1980-an.
Liem Sioe Liong (tengah), pendiri Salim Group, bersama Sudwikatmono (kiri) dan Presiden Soeharto yang meresmikan pabrik Bogasari tahun 1971. (Repro Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto).
Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto, kisah bagaimana Salim Group menjadi raksasa mi instan mencerminkan kekuatan kelompok ini, bukan kepeloporannya. Langkah Salim Group memasuki industri mi didorong oleh kelangkaan beras pada akhir tahun 1970-an. Pada 1978, pemerintah menghabiskan 600 juta dolar AS untuk mengimpor beras. Pada saat yang sama, pegawai negeri dan tentara digaji sebagian dengan jatah beras.
“Salim Group memasuki bisnis mi dengan maksud memasok mi bagi prajurit dan pegawai negeri sehingga akan ada lebih banyak beras bagi masyarakat,” tulis Richard dan Nancy.
Pemerintah bahkan meminta Bogasari, pabrik penggilingan gandum milik Salim Group, untuk mengkampanyekan terigu sebagai pengganti beras. Iklan tentang kelebihan mi dan roti ditayangkan di televisi dan bioskop.
Salim Group pun memasuki bisnis mi dengan ambisius: memesan 20 lini produksi dari Jepang, setiap lini bisa memproduksi 100 juta bungkus mi instan per tahun. Ternyata, mereka salah perhitungan karena produksi beras membaik. Bahkan, Indonesia swasembada beras sehingga Presiden Soeharto mendapat penghargaan dari FAO.
Dihadapkan pada kapasitas produksi yang berlebih, Salim Group mendekati Indomie yang membeli tepung dari Bogasari. “Namun, Djajadi tidak menginginkan lini itu, yang berbeda operasi dengan lini Indomie miliknya, jadilah Sarimi bertarung dengan Indomie,” tulis Richard dan Nancy.
Salim Group menyediakan 10 juta dolar AS untuk memasarkan Sarimi dan memasang harga di bawah Indomie dan Supermi. Hasilnya, dalam setahun Sarimi menguasai 40 persen pasar. Djajadi merasakan keperkasaan Salim Group.
Salim Group pun kembali mendekati Djadjadi. “Selama Orde Baru, para saingan bisnis kadang-kadang berkesimpulan bahwa tidak ada gunanya menolak tawaran Salim,” tulis Richard dan Nancy.
Djajadi menyerah. Jika tidak bergabung, perang akan panjang. Pada 1984, mereka membentuk perusahaan patungan: PT Indofood Interna. Pembagian sahamnya: Djajadi (57,5 persen) dan Salim Group (42,5 persen).
“Dalam dua tahun perkawinan antara Indomie dan Sarimi,” tulis Richard dan Nancy, “usaha patungan itu sudah cukup kuat untuk mengakuisi merek terkenal lain, Supermi.”
Pada 1986, Supermi diambil alih setelah perusahaannya kisruh dan produksinya menurun. Pabriknya di Cijantung dijadikan pabrik Sarimi. Sedangkan pabrik di Tangerang dijadikan tempat memproduksi Indomie.
Mantan pemilik Supermi, Sjarif Adil Sagala dan Eka Widjaja Moeis, kembali ke bisnis mi dengan mendirikan PT Asia Inti Selera. Mereknya Mikita, Hahamie, dan andalannya mi telor merek Ayam 2 Telor. Namun, perusahaan itu kemudian diakuisi oleh PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk.
Dalam perjalanannya, menurut Richard dan Nancy, kontrol perusahaan PT Indofood Interna bergeser dari Djajadi ke Salim Group. Bahkan, Salim Group berhasil menguasai seluruh perusahaan itu. Setelah rezim Soeharto jatuh, pada Desember 1998 Djajadi menggugat Indofood. Dia mengaku dipaksa keluar dari usaha patungan dan menjual sebelas merek dagang, termasuk Indomie dan Chiki, di bawah tekanan dengan harga tidak masuk akal. Dia menuntut ganti rugi sebesar Rp620 miliar. Gugatannya gagal hingga upaya hukum terakhir di Mahkamah Agung.
Salim Group pun mendominasi pasar mi instan dengan tiga merek, terutama Indomie yang paling dikenal masyarakat. Mi instan menjadi mesin uang. Pada 1994, tahun Indofood tercatat di lantai bursa, Salim Group menguasai hampir 80 persen pasar mi di Indonesia: Indomie (60,3 persen), Supermi (7,8 persen), Sarimi (6,7 persen), dan merek-merek lain (4 persen). Pada tahun itu juga, Indofood menjadi produsen mi instan terbesar di dunia, mengalahkan Nissin Food Products yang pendirinya Momofuku Ando menemukan mi instan pada 1958.