Tesaurus, Membuat Bahasa Jadi Segar

Kalina

Moderator
Salah satu fungsi kamus pepatah untuk menyegarkan arah simpul gagasan tanpa membuang waktu. Pun dapat dipakai untuk membangkitkan kembali ingatan, mencari acuan perluasan bacaan, dan membantu mengurai kerumitan pikiran atau pandangan. Ambil contoh, misalnya, pepatah "bagai menghalau kambing ke air" yang mengandung arti memaksa seseorang melakukan suatu pekerjaan yang tidak disukainya. Atau pepatah "ular kobra biasanya tidak menggigit sekali" untuk menggambarkan betapa penderitaan itu biasanya datang secara beruntun. Misalnya, hujan deras yang mendatangkan banjir bandang, tanah longsor, eksodus pengungsian, dan lumpuhnya kegiatan ekonomi di Jabodetabek.

Lain lagi fungsi kamus sinonim (padanan kata) yang dikerjakan Eko Endarmoko dalam buku Tesaurus Bahasa Indonesia. Tesaurus menghindarkan sastrawan, penulis pidato, penulis teks iklan, wartawan, penyair, esais, prosais, kritikus, novelis, dan lain-lain profesi para perumpaka kata dan peracik bahasa dari pemakaian satu kata yang sama berulang kali dalam satu kalimat atau dalam satu paragraf. Karya tulis dan karangan yang bersungguh-sungguh setali tiga uang ukiran. Prosesnya menuntut kreativitas, ketekunan, inovasi tiada henti, dan kemauan menelisik pelbagai anasir untuk menyantuni kesegaran dan kebaruan. Tukang ngracik ukara dan ngrumpaka basa sekarang terbantu dengan dipublikasikannya kamus Tesaurus Bahasa Indonesia ini.

Kekayaan sinonim dalam kamus ini didata dengan rapi jali tertib dari seronok. Tesaurus membuat diksi bahasa dan langgam bertutur menjadi indah menari-nari. Perhatikanlah penggunaan lema (entri) luluh-lantak, pertikaian, dan boyak dalam paragraf pembuka yang memikat (eye catching) dari sebuah karangan berikut ini: "Serentak begitu percikan kekerasan menyala di sebuah republik, pamong praja pun jatuh dalam kebingungan, rakyat terjerumus dalam ketakutan, dan pemerintah boyak tanpa arah. Hukum tidak lagi dipatuhi, ekonomi mandek, ikatan keluarga luluh lantak, dan kehidupan mencari tempat dan atmosfernya di jalanan. Segala sesuatu kacau dan berantakan disapu malapetaka dahsyat. Masyarakat, terlempar ke dalam situasi moral muram, tidak lagi peduli derajat sosial dan kekayaan. Mereka yang menguburkan sesamanya kemarin adalah mereka yang dikuburkan hari ini. Anak-anak terpisah dari orang tua. Orang putus asa dan kehilangan keberanian. Mereka hanya menjumpai pertikaian dalam setiap langkahnya. Setiap tanda belas kasih jadi membahayakan."

Efektif dan berdaya gunanya tesaurus pula bisa dibuktikan dalam sebuah paragraf penutup tulisan yang mengandung gebukan dan tendangan (kick and punch) ?mengesankan pembaca? justru karena memainkan tesaurus mashyur, tenar, dan popularitas. "Novelis, introvert yang tidak suka tampil di depan publik kelahiran 1957, ini sudah lama merintis kehidupan sebagai pengarang. Sebelum menjadi mashyur ia telah menerbitkan La testa fra le nuvole (1989), Per voce sola (1991), dan cerita anak-anak Cuore di Ciccia (1992). Sesudah itu Susana Tamaro masih menulis lagi roman Anima Mundi (1997), Cara Mathilda (1997), Verso Casa (1999), Rispondimi (2001), Piu Fuoco, Piu Vento (2002), dan Fuori (2003). Kendati demikian semuanya tidak ketenaran yang dicapai novel Va? Dove Ti Porte Il Coure (Pergilah ke Mana Hati Membawamu) pada 1994. Novelis Italia ini bukan pengarang yang menyukai popularitas. Ketenaran, katanya, mengandung duri."

Buku tesaurus ini menyajikan sebanyak mungkin sinonim kata dan kelompok kata yang bisa memperkaya perbendaharan kata sekaligus membantu pemakainya mengekspresikan ungkapan dengan tepat. Kosa kata yang kebak luber kocak-kacik (kaya raya) memungkinkan pemakainya menghindarkan diri dari kalimat boyak (klise) lewat penciptaan diksi dan variasi kalimat.

"Reading and writing is basic tool in living of a good life (membaca dan menulis merupakan piranti dasar dari sebuah kehidupan yang bermutu)," kata Mortimer J. Alder.

Kamus tesaurus ini membantu kaum profesional yang bergulat di bidang literasi untuk meneroka kata dan makna dalam rangka menghasilkan bacaan interpretatif yang memperdalam visi dan meluaskan wawasan khalayak. Bukan bacaan ringan alias picisan kaum suka hibur yang suka berkenes-kenes di dunia pelarian "idiotainment".

Buku ini disusun Eko Endarmoko, redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam, sejak masih duduk di bangku kuliah di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Indonesia (UI) di pertengahan 1980-an. Sepanjang 1993-1997 embrio tasaurus ini makin dimatangkan saat penulisnya bergabung di Komunitas Utan Kayu Jakarta. Eko Endarmoko, salah satu kontributor rubrik Bahasa Indonesia Majalah TEMPO, sempat memperdalam rencana pembukuan kamusnya dengan melakukan penelitian di Universitas Leiden, Belanda, Mei hingga Agustus 2001.

Profesor Anton M. Moeliono, ahli linguistik UI, memujikan ketekunan, kerja keras, dan presisi untuk penulis kamus tesaurus ini dengan ungkapan demikian, "Bagi orang yang berhasrat membahasakan pikiran atau perasaannya dengan tepat, cermat, elok, dan santun, buku ini merupakan tambang emas kata yang sangat berfaedah. Avontur ini sangat berguna bagi kaum terpelajar guna memeragakan bahasa Indonesia yang ranum dan bernas.
 
Back
Top