Tetangga Si Hamdan

fajarsany

New member
Pagi ini hujan turun dengan deras. Suara petir terdengar saling bersahutan. Tak ada sinar mentari yang mencapai tanah, terhalang oleh awan-awan pucat.

Sekarang ini negara sedang dilanda krisis ekonomi yang cukup serius. Banyak rakyat yang menderita, tak terkecuali aku dan tetangga-tetanggaku. Pengangguran menyebar luas. Mereka yang memiliki lahan pertanian sebagai sumber makanan, mengalami paceklik akibat gagal panen yang disebabkan oleh cuaca buruk dan hama.

Hujan yang deras tersebut tidak berlangsung lama. Menjelang pukul 10, hujan berhenti, dan cahaya matahari mulai terlihat. Aku keluar untuk membersihkan selokan di halaman belakang yang tersumbat oleh sampah-sampah bawaan banjir. Pak Aydin tetanggaku, sama-sama membersihkan selokannya yang juga tersumbat.

Tak lama kemudian, Ibuku datang sambil membawa sebuah karung besar.

“Fiuh, Alhamdulillah dapat sekarung jagung segar dari Paman Deni.” Kata ibuku.

Paman Deni adalah adik Ibuku yang sekarang tinggal di luar pulau. Beliau memiliki kebun jagung yang cukup luas. Kondisi di sana lebih baik dibandingkan di sini. Lebih mendukung untuk bercocok tanam.

Ibu kemudian membagi jagung-jagung tersebut menjadi setengah; kemudian setengah itu dibagi lagi menjadi dua. Masing-masing untuk Pak Aydin dan tetanggaku yang lain, Pak Samitra.

Tapi Pak Samitra dan keluarganya sedang tidak ada dirumah.

“Pak Mitra sedang tidak ada dirumahnya Bu, kemarin beliau pergi bersama keluarganya. Beliau juga menitipkan rumahnya pada saya.” Kata Pak Aydin.

Selang beberapa menit kemudian, datang sebuah mobil minibus berwarna perak, itu adalah Pak Samitra.

“Pak Mitra, ini ada jagung buat keluarga. Barusan saya dapat kiriman dari adik. Maaf ya Pak hanya bisa ngasih segini.” Kata Ibuku sambil memberikan sekeresek jagung tadi.

“Ah tidak apa-apa Bu Karim, terimakasih banyak.” Balas Pak Samitra.

Pak Samitra dan istrinya masuk ke dalam rumah. Disusul anak laki-laki dan perempuannya berlari kecil sambil membawa beberapa keresek besar.

***​

Sekarang keadaan kami semakin buruk. Sejak seminggu yang lalu Paman Deni tidak bisa mengirimkan hasil panennya lagi. Katanya hama mulai merambat ke daerahnya; selain itu naiknya harga bahan bakar minyak yang melambung tinggi membuat banyak harga bahan makanan meroket; termasuk membuat biaya pengiriman antar pulau menjadi sangat mahal. Biaya sekolah ketiga anaknya juga ikut naik. Paman Deni sangat bergantung pada hasil taninya.

Televisi memberitakan tentang terbongkarnya satu kasus korupsi yang merugikan negara hingga ratusan miliar Rupiah.

“Mamah tidak pernah mengerti kenapa mereka sampai korupsi sekian besarnya. Padahal hidup mereka sudah lebih dari lebih.” Kata ibuku dengan nada tinggi.

“Mereka memang salah, tapi permasalahannya begitu rumit,” kata Ayahku sambil meminum kopinya, “ untuk mengetahui yang pastinya, kita harus tahu dulu kehidupan mereka seperti apa.”

“Ah tidak ada alasan apapun, itu hanya nafsu mereka saja. Sudah jelas itu salah, uang negara ya uang rakyat, memangnya itu uang dari mana? Tidak ada toleransi lagi,” jawab ibuku dengan wajahnya yang teramat kesal, “setiap kali diketemukan, mereka selalu banyak berakting supaya tidak dinyatakan bersalah. Bukan hanya satu-dua orang, tapi setiap mereka yang diketemukan korupsi selalu seperti itu, apa itu tidak aneh Pah?”

“Yap, wajah mereka juga ngeyel dan pura-pura tidak merasa bersalah, mungkin mereka belum merasakan yang namanya ditonjok, hehehe...” jawab ayahku sambil bercanda, “lagipula, mereka kan lebih jago aktingnya daripada para aktor dan aktris.”

Aku mendengar suara mobil dari halaman belakang. Ternyata Pak Samitra. Mereka membawa beberapa keresek dan karung yang terisi penuh. Tidak tahu pasti apa isinya itu, tapi sepertinya bahan-bahan makanan.

“Tok-tok-tok!” terdengar suara ketukan dari pintu belakang. Ibu menyuruhku membukanya.

“Assalamu'alaikum dek Hamdan, ini ada oleh-oleh buat sekeluarga. Maaf jika saya memberikannya sedikit.” Kata Pak Lutfi sambil memberikan sekeresek ubi manis. Pak Lutfi adalah tetanggaku yang berposisi disebelah kiri rumah Pak Samitra. Membuatnya agak jauh dariku dan Pak Aydin.

Aku langsung menyimpan sekeresek ubi tersebut di dapur.

“Alhamdulillah Yaa Allah kami dikasih tetangga yang baik-baik,” kata Ibuku, “jadi malu, padahal Pak Lutfi rumahnya agak jauh, tapi dia suka ngasih ke kita, eh kita malah seringnya ngasih ke Pak Aydin sama Pak Samitra.”

“Yah gak apa-apa Bu, ini rezeki. Kita kasih dulu ke yang paling dekat, ntar kalau masih ada, kita kasih ke yang berikutnya. Bertahap lah, nanti kalau acak, kesannya kan jelek Mah.” Kata Ayahku.

“Iya deh Pah.” Jawab Ibuku.

***​

Esok malam, aku mencium bau masakan dari luar. Aku mencoba menebak-nebak arahnya dari mana. Ternyata dari rumah Pak Samitra. Baunya sangat tajam. Pasti masakannya juga lezat. Perutku menjadi keroncongan. Sejujurnya aku merasa sangat lapar. Hari ini aku hanya makan sepiring nasi dengan telur dadar.

Terdengar bebunyian dari alat-alat makan. Sepertinya mereka sekeluarga sedang makan bersama, tapi kali ini terdengar lebih ramai. Suara air yang dituangkan ke dalam gelas. Oh, air liurku menjadi keluar membasahi mulutku.

Hati kecilku berharap mereka mau membagikan sebagian makanannya padaku. Tapi ya sudahlah tak apa. Mungkin mereka mengira kami sudah tidur.

***​

“Braaak!”

Suatu hari, suara yang keras membangunkanku dari tidur siang yang nyenyak. Kuperiksa seisi rumah, tidak ada yang aneh. Ayah, Ibu, dan adik perempuanku sedang tidak berada dirumah.

Melihat ke halaman depan tidak terjadi apa-apa; tapi ketika melihat ke halaman belakang, baru kutahu suara tadi berasal dari sana.

Menara tangki air milik Pak Samitra rubuh dan menimpa genting rumahnya. Tangkinya tembus hingga masuk kedalam rumahnya. Tidak ada tanda-tanda kalau Pak Samitra dan keluarganya sedang berada di rumah.

Terlihat Pak Aydin sedang menyapu halaman rumahnya.

“Pak, itu menara tangki air Pak Samitra rubuh, apa bapak tidak melihatnya, kita beritahu Pak Samitra, atau bagaimana?” Tanyaku pada Pak Aydin.

“Iya saya tahu,” jawab Pak Aydin sambil tersenyum, “tapi saya ada kesibukan.” Kemudian beliau masuk ke dalam rumahnya.

Begitu pula Pak Lutfi yang sedang mengelap mobil baknya. Beliau mengetahuinya, tapi langsung berangkat dengan mobilnya, katanya di pasar ada barang yang harus segera diantar.

Aku melihat tetangga yang lain. Pikirku, mereka pasti mendengar suara tadi. Tapi mereka tampak dingin-dingin saja. Mau memberitahu Pak Samitra, tapi aku tidak tahu nomor teleponnya.

Ah ya sudahlah,tunggu saja hingga Pak Samitra tahu. Banyak saksi mata, tinggal dijelaskan saja kepada beliau bagaimana kejadiannya.

Hingga pukul 17.30-an, kuperhatikan tidak ada seorangpun yang mendekati rumah Pak Samitra.

Ketika Pak Samitra tiba pukul 18.00-an, dia terkejut melihat kondisi rumahnya sekarang. Mulutnya melongo dengan kedua tangannya yang memegang kepala. Mata istrinya pun terbuka lebar sambil menutup mulutnya yang sama-sama melongo dengan kedua tangannya. Begitupun kedua anaknya tampak terkejut.
 
Back
Top