The Ironism (Part 1-Introduction)

Randy_Muxnahtis

New member
Note: Cerita ini 100000% fiksi........





"Ting, sebentar lagi kan udah mau tahun baru imlek, daripada kamu bengong di rumah, mendingan kamu pergi ke mall buat cari-cari baju baru," kata mamiku sambil masuk ke kamar. Aku yang saat itu sedang tidur-tiduran di ranjang sambil mendengarkan lagu di HP, menggerutu, "ah, mami bawel! Suka-suka aku dong kapan mau pergi beli baju baru! Lagian, imlek masih sekitar 2 minggu lagi, santai sedikit kenapa?!" masih tetap asyik mendengarkan lagu. Mami hanya menghela napas, "iya sih, tapi ini kan mumpung kamu lagi liburan, senggang gitu. Besok kalau udah mulai sekolah, les, ini-itu, takutnya malah ga sempat cari baju," katanya masih sabar. "Bodo ah! Pake baju dari bekas taon lalu juga ga apa-apa. Toh, ga ada yang bakal komentar soal baju kan? Asal aku ga telanjang juga ga masalah!" kataku seenaknya. Mami hanya menggeleng sedih dan meninggalkanku. Namaku Stefani. Aku adalah warga keturunan. Sebagai warga keturunan, aku memiliki nama mandarin. Aku tidak akan menjelaskan detil soal nama mandarinku itu, namun cukup disebut nama "Ting-Ting". Aku melihat jam dinding di kamarku, hampir jam 2 siang. Sekitar setengah jam kemudian, akhirnya aku pergi ke sebuah mall. Yah, jujur saja, aku juga pergi ke mall ini dengan ogah-ogahan. Aku pergi ke mall ini pada akhirnya bukan karena hendak mencari baju baru, seperti yang dianjurkan mami, tapi hanya sekadar jalan-jalan biasa untuk menghilangkan rasa jenuh di rumah dan untuk menghindari bawelan mami. Tapi yasudah, karena aku sudah di mall, sekalian saja aku mencari-cari baju baru untuk tahun baru imlek nanti. Itu pun juga aku melakukanya dengan ogah-ogahan. Sekitar jam 8 malam, aku tiba di rumah. Mami langsung bisa melihat aku pulang dengan tangan kosong, "udah cari baju, tapi ga ada yang aku suka," kataku sambil lalu. Sebetulnya aku ini bukan tipe anak remaja yang suka bertengkar dengan orang tua. Tapi tabiatku memang keras kepala, cenderung egois, dan jarang sekali memperhatikan pendapat orang lain. Kalau dilukiskan, peluangku untuk berbaik hati kepada orang lain hanya 2 dari 10. 8 sisanya untuk diriku. Kejadian hari ini contohnya. Saran mami tidak aku indahkan. Pernah di lain kesempatan, waktu liburan natal-tahun baru, aku ngotot ingin pergi berlibur ke puncak, padahal dari berita di tv dan radio, dikatakan bahwa kawasan puncak itu macet parah. Dan begitulah, kalau orang lain mungkin berpikir akan pergi ke tempat lain yang tidak begitu macet, tapi hal itu tidak berlaku bagiku. Kalau kau kebetulan mengetahui situasi itu, mungkin kau akan menyarankan aku untuk mencari alternatif lain liburan. Tapi, usahamu itu hanya masuk skala 2 dari 10.

Beberapa hari kemudian, akhirnya aku dan mami pergi ke mall lain untuk membeli baju baru untuk tahun baru imlek nanti. Kesempatan ini muncul karena mami juga ingin cuci mata dan membeli baju baru untuknya juga. Singkat ceita, kami mampir di sebuah toko baju. Setelah melihat-lihat, aku akhirnya memilih satu baju yang aku suka. Kuambil baju itu untuk kuperlihatkan kepada mami. Mami agak melongo ketika melihat baju pilihanku, "apa kamu ga salah?" Mami menyindir. Yah, tak heran mami tidak senang dengan baju pilihanku. Dari segi model, bajunya sebetulnya bagus, hanya saja, bagian terusan bawah, itu sangat pendek dan seksi, jadi (maaf), kalau aku memakai baju itu dan kemudian duduk dalam posisi yang salah, maka (maaf) celana dalamku akan telihat jelas. Tapi, namaku bukan Stefani kalau aku tidak ngotot. Setelah berdebat sebentar namun agak panas dengan mami soal baju itu, singkat cerita, aku membayar baju itu di kasir. Mami terus mencari baju untuknya sambil menghela napas dan menggeleng.

Sekitar 1 minggu sebelum hari raya tahun baru imlek, aku mendapat undangan pesta ulang tahun "sweet seventeenth" dari teman sekolahku yang bernama Irene. Rencanaya Irene akan mengadakan pesta ulang tahunya di sebuah hotel berbintang lima. Tentu saja, aku tidak memakai baju model seksi itu ke pestanya, tapi tetap saja, ada aja masalah yang muncul. Dan, aku tidak menduga bahwa pesta ulang tahun "sweet seventeenth" Irene ini akn terjadi peristiwa yang akan mengubah hidupku.... selamanya.....

The Ironism- Part 2

Hari ulang tahun "sweet seventeenth" Irene tiba. Sekitar 2 jam sebelum pesta mulai, aku bersiap-siap di rumah. Mandi, make-up, dan hal hal seperti demikian. Tapi aku bukan tipe orang yang suka make-up berlebihan dan atau menghabiskan waktu lama untuk make-up. Aku cenderung ber-make-up simple. Dan satu jam berikutnya aku sudah meninggalkan rumah menuju hotel tempat pesta. Sebetulnya aku tidak mau berangkat ke pesta lebih awal, tapi karena lokasi pesta jauh dari rumahku dan jalanan yang sering macet, terpaksa aku pergi lebih awal. Aku berpakaian secara umum, seperti orang lain yang akan pergi ke pesta. Tambah lagi, aku pergi ke hotel tersebut naik taxi seorang diri <karena temanku="" yang="" lain="" tempat="" tinggalnya="" berjauhan="">, aku tidak sedemikian bodoh, memakai pakaian yang mengundang orang untuk berbuat yang tidak-tidak. Sewajarnya saja. Perjalanan menuju hotel menghabiskan waktu sekitar 45 menit. Dan akhirnya aku tiba di hotel tempat pesta ulang tahun diadakan. Kulihat jam tangan yang kupakai, masih sekitar 10 menit sebelum pesta mulai. Ruangan pesta sudah agak ramai, tapi Irene belum ada di ruangan itu karena masih "di belakang panggung". Aku mengedarkan pandangan, mencari teman-teman karibku. Ah, tampak Melissa sedang chatting di blackberry-nya. Aku masih mengedarkan pandangan, mencoba mencari temanku yang lain, tapi sepertinya teman satu "geng"-ku yang baru datang hanya Melissa. Jadi kuhampiri Melissa dan kutepuk pelan bahunya dari belakang, "hoi," aku menyapa. Dia mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang mengganggu kesayikanya chatting, tapi tanganya tetap sibuk mengetik keypad blackberry-nya. "Yo," dia balas menyapa, dan kembali asyik dengan blackberry-nya. "Elu cuma sendiri?" tanyanya masih sambil mengetik. Aku hanya mengangguk dan memperhatikan dia chatting. "Gue lagi chatting sama Vanessa. Dia bilang kayaknya dia ga ke sini soalnya "bo-nyok"-nya juga lagi ada undangan pernikahan di tempat lain, dan dia ikut "bo-nyok"-nya ke pesta pernikahan itu," dia menjelaskan sambil menyimpan blackberry-nya di kantong celananya. Aku hanya mengangguk. </karena>

Ketika aku sedang ngobrol dengan Melissa, Nadia, salah seorang teman satu "geng"-ku datang menghampiri kami. Dia datang bersama Jason, pacarnya. Meskipun Jason dan Nadia pacaran, aku berteman cukup dekat dengan Jason, bukan karena adanya hubungan "cinta segitiga" atau hal-hal semacam demikian, tapi karena Jason cocok bergaul denganku. Dan kami saling menghargai bahwa Jason sekarang milik Nadia. Jadi, kalau kau berpikir tentang hubungan asmara antara aku, Jason, dan Nadia, maka sebaiknya kau membuang jauh-jauh pikiran itu. Nadia melambaikan tangan padaku, sedang Jason hanya mengangguk dan tersenyum. Tak berapa lama, pesta ulang tahun dimulai.

Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang pesta tersebut. Maksudku, apa yang kau harapkan dalam pesta seperti demikian? Keributan kecil-kecilan? Pertunjukan sirkus atau akrobatik untuk menghibur penonton? Jadi, pesta tersebut berjalan secara normal, seperti pesta pada umumnya. Yah, ada "sedikit kejadian" di pesta itu yang melibatkan aku, Melissa, Nadia dan Jason.

The Ironism - Part 3

Kejadian dimulai dari Jason. (Dari sini, sudut pandang cerita akan berubah menjadi sudut pandang Jason). Aku Jason. Saat ini aku sedang menemani pacarku, Nadia, pergi menghadiri pesta ulang tahun "sweet seventeenth" salah seorang teman sekolahnya yang bernama Irene. Yah, aku berasal dari sekolah yang berbeda dengan mereka. Itu berarti aku cukup mengenal teman dekat Nadia, seperti Ting-Ting, Vanessa (yang tidak datang ke pesta saat ini), Melissa, dan teman-teman yang lain. Tapi, tak kupingkiri bahwa dalam pesta ini, aku menjadi "outsider". Meskipun aku cukup mengenal teman-teman Nadia, tapi tetap saja, "dunia" aku dan mereka berbeda. Mereka perempuan, sedangkan aku pria. Menyadari situasi itu, aku berbisik ke Nadia ketika perhatian yang lain sedang tertuju kepada Irene. "Nad, gue mau jalan-jalan ke luar sebentar. Gue ga berapa betah di sini, soalnya gue cuma satu-satunya orang asing di sini, sisanya temen-temen sekolah elu semua. Gue ga enak." Nadia hanya mengangguk tanpa melepaskan perhatianya kepada Irene. "Ok, ntar kalau gue udah mau pulang, gue hubungin elu aja," balasnya. Aku mengangguk singkat dan kemudian berjalan keluar dari ruangan pesta.

Di lobby, aku diam sebentar, berpikir, enaknya aku ngapain. Aku termasuk cowok yang "lumayan bandel". Kadang-kadang, aku suka pergi ke bar, clubbing, dan sedikit merokok, meskipun aku melakukanya dalam batas tertentu dan frekuensi yang jarang. Nadia mengetahui hal ini, dan kami sepakat, asal selama aku bisa membawa diri, dia fine-fine saja. Jadi, karena aku iseng, aku memutuskan untuk menghilangkan rasa jenuhku dengan pergi ke bar hotel tersebut. Kebetulan, perutku agak lapar, jadi kupikir sekalian aku akan makan sesuatu untuk mengganjal perut di bar sana sambil minum "sedikit" bir, atau brandy, atau whiskey, atau wine dan menikmati hiburan di bar. Mungkin aku juga akan menghabiskan sedikit uangku untuk bermain "mesin ****". Yah, maklum, aku iseng karena tidak ada teman, jadi aku mencari sedikit kesenangan sendiri. dan sampailah aku di bar. Kulihat jam tanganku. Hampir jam 8 malam. Suasana bar masih cenderung sepi. Ada beberapa orang yang sedang bermain billiard. Beberapa yang lain sedang duduk-duduk sambil merokok. Ada juga yang sedang makan. Kucari tempat duduk yang kosong lalu memesan makanan. Aku memesan nasi goreng seafood dan segelas ice lemon tea. Tak berapa lama, pesananku siap dan aku makan. Selesai makan, aku menuju bar counter. Karena saat itu aku sedang senggang, aku menjadi agak lepas kendali dan terus minum hingga akhirnya aku mabuk. Tetapi mabuk-ku itu tidak begitu parah. Kesadaranku masih ada sekitar 60%. Ketika aku sedang asyik-asyik minum, HP-ku berbunyi. "Halo," jawabku dengan setengah sadar. "Halo, Jas, elu di mana? Gue udah mau pulang," terdengar jawaban Nadia dari sebelah sana. "Iya, iya. Sekitar 5 menit lagi gue ke sana. Tunggu sebentar," jawabku sambil menutup HP. Aku membayar pesananku dan pergi meninggalkan bar. Jalanku sempoyongan, tapi aku harus mempertahankan kesadaranku. Paling tidak, hingga aku bertemu Nadia. Aku menyadari situasiku, dan akan berbahaya jika aku menyetir mobil dalam keadaan seperti ini. Rencanaku, aku akan menemui Nadia dan menjelaskan situasinya bahwa tidak mungkin pulang dalam keadaanku mabuk seperti ini. Paling tidak, aku harus menginap dulu di hotel ini barang semalam, dan besok, setelah hilang rasa mabuk-ku, baru aku pulang. Yah, Nadia terpaksa pulang dengan temanya yang lain. Perlu usaha keras, dengan keadaanku yang setengah sadar dan jalanku yang sempoyongan, akhirnya aku sampai di ruangan pesta.

(Dari sini, sudut pandang akan kembali ke Ting-Ting). Aku merasa agak bosan dengan suasana pesta dan memutuskan untuk pulang. Tanpa sengaja, aku mendengar Nadia menelepon Jason yang memberitahukan bahwa dia juga ingin pulang. "Hm, kebetulan," pikirku. Aku akan menumpang mobil mereka. Yah, memang tempat tinggal kami berjauhan, tetapi paling tidak, sekitar seperempat perjalanan dari hotel menuju rumah kami searah. Jadi, lumayan, aku menghemat seperempat jarak perjalanan. Sedangkan sisanya nanti aku akan naik taxi. Aku mendekati Nadia setelah dia menutup teleponya dan menjelaskan keinginanku untuk menumpang mobil Jason hingga seperempat perjalanan nanti. Nadia tidak keberatan dengan permintaanku. "Yaudah, elu gabung aja sama gue dan Jason. Gak apa-apa kok. Malah, kalau elu mau dianterin sampe rumah juga ga masalah," Nadia menanggapi permintaanku sambil tersenyum senang. Jujur, aku tergiur dengan tawaran Nadia yang hendak mengantarku sampai ke rumah. Tapi aku menahan diri. Aku tidak mau membuat Nadia dan Jason repot. "Ga usahlah. Nanti kasihan Jasonya, pulangnya harus memutar jauh," kataku. Maka aku dan Nadia pergi ke depan ruang pesta, menunggu Jason kembali.

Bukan main terkejutnya aku dan Nadia ketika kami melihat kondisi Jason. "Sorry, Nad, gue kebablasan," kata Jason mabuk sambil melambaikan tangan asal-asalan kepada kami yang sedang menunggunya. Jalanya sempoyongan. Tapi bahkan aku, yang memiliki watak keras kepala, bisa merasakan perasaan menyesal yang tulus dari Jason karena sudah bertindak seperti demikian. "Gue tadi BT, jadi ga sengaja gue minum sampe kebablasan," kata Jason lagi. Nadia sulit untuk marah. Dia bisa memahami alasan pacarnya itu. Dia hanya mengangguk singkat. "Ga apa-apa. Gue ngerti elu senggang. Jadi elu mencari kesenangan sendiri di bar sana. Cuma next time elu tau diri dikit. Sekarang gue mau pulang. Ting-Ting juga mau numpang. Tapi karena gue liat situasi elu kayak gini, bahaya kalau elu nyetir mobil. Udah, mendingan elu ke lobby hotel sana, ke bagian receptionist. Elu check-in. Nginep di sini barang semalem. Besok, kalau mabuk elu udah pulih, baru elu pulang. Untuk sekarang ini, gue pulang dulu sama Ting-Ting, sendiri, naek taxi," kata Nadia.

"EH! Ga bisa begitu dong!" Aku protes. "Itu salah Jason sendiri, yang bikin dirinya sampe mabuk gitu! Gue ga mau tau! Pokoknya harus sesuai rencana dan keinginan gue, bahwa elu berdua harus mengantar gue sampe seperempat jalan! Gue ga perduli meskipun Jason lagi dalam kondisi mabuk!" Aku menyerocos protes. Nadia dan Jason bengong dengan reaksiku seperti itu. Bahkan, aku berani bertaruh, seperempat dari rasa mabuk yang dialami Jason itu lenyap, digantikan rasa tidak percaya karena bertemu dengan orang yang begitu ngotot dan keras kepala. Di sela-sela rasa mabuknya, dia bengong. Mulutnya bahkan sedikit terbuka karena terkejutnya. Bengong dan mabuknya Jason langsung kusambar, "Jas, di mana elu parkir mobil?!" Tanyaku agak galak. Jason menggaruk kepalanya sambil mengingat-ingat sebelum menjawab, "lantai dua, tapi..." dia hendak berkata sesuatu. Kalimat berikutnya kupotong dengan gerakanku berjalan menuju lift. Aku menduga bahwa Nadia dan Jason pasti bakal berdebat denganku soal pulang. Maka dari itu, aku memancing mereka menuju tempat parkir, supaya kami bisa berdebat dengan leluasa tanpa mengganggu keadaan hotel yang damai.

Ketika kami masuk ke tempat parkir, perdebatan kami semakin memanas. Kami terus berjalan menuju mobil Jason sambil berdebat dan bertengkar. Aku tetap ngotot bahwa aku ingin dianter hingga seperempat jalan oleh Jason dan Nadia, meskipun kondisi Jason sedang mabuk. Jason dan Nadia juga ngotot bahwa tidak mungkin Jason menyetir mobil dalam keadaan seperti itu, bisa berbahaya. Aku lantas menyalahkan jason yang tidak tau diri karena membuat dirinya mabuk. Nadia membela Jason, dengan alasan, Jason tidak salah karena dia tidak ada teman di pesta itu sehingga dia mencari kesibukan sendiri dan wajar jika dia tanpa sengaja menjadi kebablasan. Akhirnya Jason menyerah karena tidak tahan dengan perdebatan dan pertengkaran ini, ditambah lagi dia sendiri juga mabuk. "Udah-udah. Gue pusing. Kita turuti aja maunya Ting-Ting," dia berkata lemah sambil memejamkan mata dan menunduk, serta meletakan telapak tanganya ke dahinya. Dia menggelengkan kepalanya sedikit sebelum mengangkat wajahnya dan memandangku. "Ting, gue dan Nadia udah peringatin elu bahwa bahaya kalau gue nyetir dalam keadaan mabuk seperti ini. Tapi karena elu ngotot, yaudah, gue mengalah. Cuma, elu jangan salahin gue dan Nadia kalau misalnya kita kecelakaan di jalan. Inget, gue dan Nadia udah kasih tau elu." Katanya lemah. Perkataan Jason itu bukanya membuatku sadar, tetapi malah semakin membuatku panas, "OK, gue terima kesepakatan ini!" kataku sombong. Nadia tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya bisa berharap mereka bisa pulang dengan selamat dan merupakan suatu keajaiban bahwa dengan kondisi Jason yang mabuk seperti itu, dia masih bisa menyetir dengan benar dan selamat.

The Ironism - Part 4

Singkat cerita, kami berada di dalam mobil Jason untuk pulang. Suasana di dalam mobil sangat tegang. Tak ada yang bisa berbicara. Ini terjadi karena 2 alasan, pertama, karena pertengkaran dan ke-degil-an sikapku yang keras kepala; dan yang kedua, karena Jason dan Nadia harus terus berdoa untuk keselamatan kami semua karena Jason harus mengemudi mobil dalam keadaan mabuk (silahkan kau bayangkan sendiri bagaimana perjuangan Jason menjaga supaya kesadaranya tetap ada dalam mengemudi sedang dia sendiri mabuk) disertai rasa tidak percayanya karena bertemu dengan orang yang begitu keras hati bernama Ting-Ting. Aku sendiri masih tetap teguh akan pendirianku. Ini salah Jason. Dia yang tidak tau diri sehingga membuat dirinya mabuk. Boleh jadi Nadia memahami alasan Jason karena Jason tidak punya teman di pesta tadi, dan mencari sesuatu kesibukan untuk menyenangkan dirinya hingga tanpa sengaja kebablasan. Tapi aku tidak mau tau. Aku sudah cukup "baik hati" karena aku hanya minta Jason mengantarku hingga seperempat jalan, dan tidak ada tawar-menawar lagi, sekalipun kondisi Jason yang mabuk.

Rupanya Tuhan punya suatu rencana untuk mendidik dan mengubahku agar aku menjadi orang yang lebih baik. Ketika kami sedang di jalan tol (sebetulnya kami bisa memakai jalan biasa, tapi kami menggunakan jalan tol agar perjalanan kami lebih cepat), Jason tidak bisa menguasai dirinya lagi. Mobil semakin lama semakin oleng hingga akhirnya menabrak pagar pembatas jalan dan masuk ke dalam parit sedalam 2 meter. Hal terakhir yang aku ingat hanyalah ketika mobil menabrak pagar, lalu terjun setinggi 2 meter dan jeritan kami semua. Tubuhku terasa sakit yang amat sangat, lalu semua menjadi gelap. Aku membuka mataku. Ada cahaya putih terang. Aku meninggal dalam kecelakaan itu. Tidak. Cahaya itu makin lama makin berbentuk, dan ternyata itu cahaya lampu. Lalu aku mulai mengumpulkan kembali kesadaran dan ingatanku. Rupanya aku di rumah sakit. Tampak mami sedang berdiri dengan cemas di pinggir tempat di mana aku berbaring. Mami merasa lega dan gembira ketika melihaku membuka mata. Sekujur tubuhku terasa sakit dan perih. Sebagian besar tubuhku dibalut perban. Aku mencoba untuk mengerti keadaanku saat ini. Jelas bahwa aku dirawat di rumah sakit karena kecelakaan yang kualami. Tapi sepertinya aku masih selamat dengan luka di sekujur tubuhku. Tulangku mungkin patah di sana-sini. Tapi intinya aku selamat. Kupejamkan mataku lagi, berusaha mengingat. Rupanya aku pingsan saat kecelakaan, dan kini aku baru tersadar kembali. Aku tidak tau berapa lama aku pingsan. Akhrinya aku berhasil mengingat semuanya. "Mami, gimana keadaan Jason dan Nadia?" kataku lemah. Mami tersenyum sambil berurai air mata, "Mereka akan baik-baik saja. Luka Jason lebih parah daripada kamu. Begitu juga Nadia. Jason luka parah di wajahnya karena wajahnya terbentur kemudi. Nadia juga kena banyak pecahan kaca. Tapi selain daripada itu, keadaan mereka sama seperti kamu. Luka di sana-sini dan juga patah tulang di beberapa tempat. Tapi yang penting mereka semua selamat. Orang tua mereka sedang menemani mereka," Mami menjelaskan. "Jason di kamar sebelah," Mami menunjuk ke salah satu arah, "dan Nadia di kamar seberang," katanya lagi sambil menunjuk ke arah kamar seberang.

Aku tidak menjawab apa-apa, melainkan hanya termenung. Mami tampak ragu-ragu, tapi sepertinya dia juga tidak bisa menahan apa yang hendak dikatakanya. Dia megeringkan air matanya, berusaha tegar, dan mulai berbicara, "Ironis sekali, ya, Ting?" Mami membuka pembicaraan. Aku masih diam, maka mami meneruskan, "nama mandarin kamu 'Ting-Ting'. 'Ting' dalam bahasa mandarin artinya 'mendengar'. Tapi sepertinya nama itu tidak pantas untuk kamu karena sikap kamu justru kebalikanya dari nama kamu. Kamu tidak pernah mendengarkan perkataan orang lain, dan hanya mementingkan diri kamu sendiri. Padahal nama kamu 'mendengar'. Waktu Mami dan papi memberi kamu nama mandarin itu, kami berharap bahwa kamu akan menjadi orang yang mendengarkan tidak hanya nasihat atau perintah mami dan papi, tapi kami juga berharap bahwa kamu akan mendengarkan orang lain, baik itu nasihat atau saran atau keluh-kesah atau curhat. Kami berharap bahwa kami bisa membagi senang-susah kami kepada kamu. Meskipun mungkin ketika kami kesulitan dan kamu tidak bisa membantu, paling tidak, kamu mendengarkan curhat kami. kami ingin mengajarkan kepadamu untuk berbagi dengan mendengarkan. Tapi seiring kamu tumbuh besar dan kejadian akhir-akhir ini, kami akhirnya harus mengakui bahwa kami kalah. Ternyata nama 'ting-ting' itu salah. Pada kenyataanya kamu jutru manusia yang egois." Mami berhenti sebentar. "Yah," mami meneruskan lagi, "tapi apalah arti sebuah nama. Meskipun nama kamu 'ting-ting' dan pada kenyataanya sikap kamu itu egois, tetap saja kamu itu anak kami. Jadi kami tetap menerima dan menyayangimu apa adanya sambil kami terus berdoa dan berharap bahwa suatu saat kamu akan menjadi lunak." Dia diam menghela napas. Aku sendiri masih tidak berkata apa-apa. "Yah, mungki ini memang sudah rencana Tuhan. Kami semua sudah menyerah dengan sikapmu yang keras. Yah, mungkin inilah cara yang dipakai Tuhan untuk mengubah kamu agar lebih baik, karena jujur, kami sudah menyerah dengan sikapmu yang keras dan degil." Mami menangis.

Secara perlahan tapi pasti, aku juga merasakan bahwa pintu hati nuraniku diketuk oleh Tuhan. Aku memejamkan mata. Suasana hening. Dalam keheningan itu, pikiranku, ingatanku, hati nuraniku, semua bekerja dan saling berkecamuk. Aku tidak tau berapa lama proses itu berlangsung. Tapi entah kenapa, aku juga merasakan kedamaian. Tuhan sedang bekerja, mengubahku dengan cara-NYA yang ajaib. Pikiran, ingatan, dan hati nuraniku terus berputar. Otaku mulai terasa pusing dan akhirnya aku tertidur. Entah apa ini nyata atau mimpi, aku tidak tahu. Tapi aku berada di suatu tempat yang damai, dan ada seorang dengan jubah putih terang berjalan bersamaku. Wajah-NYA penuh kasih. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku merasa begitu tentram dan damai. Kami berjalan dalam diam. Aku hanya berjalan sambil menunduk malu, tidak sanggup memandang DIA YANG PENUH KASIH KEPADA UMATNYA. Setelah berjalan beberapa langkah, akhirnya DIA mulai berbicara, "Sebetulnya AKU juga tidak ingin membuatmu celaka," bahkan di suara-NYA pun kurasakan kasih-NYA dan kemuliaan-NYA yang begitu luar biasa. "Tapi orang-orang di sekitarmu tidak tahan dengan sikap hatimu yang keras. Mereka, terutama mami kamu, terus menerus berdoa, meminta-KU bertindak sesuatu supaya kamu diubahkan menjadi orang yang lebih baik. AKU masih memberi kamu kesempatan untuk berubah. AKU sudah menegur-mu beberapa kali tapi tidak engkau hiraukan. Papi-mu juga sedih melihat perilaku kamu yang buruk." DIA berhenti berjalan dan aku juga berhenti. DIA menunjuk ke seseorang tak berapa jauh dariku. "Papi!" Aku memanggil. Papi menoleh. Aku dan papi saling berpandangan dan kami saling berlari mendekat. Kami saling berpelukan. Aku menangis bahagia, demikian juga papi. TUHAN kemudian menyusul kami. Papi melepaskan pelukanya dan mengangguk kepada TUHAN. Mereka saling berpandangan dan tersenyum penuh arti, "Memang, anak ini perlu di-didik dengan keras, kalau tidak, dia tidak akan berubah. Biarlah ENGKAU yang memberi pendidikan yang pantas untuknya," kata papi kepada TUHAN. TUHAN lalu memandangku, "Nak, AKU harap, melalui pengalaman ini, engkau belajar untuk tidak menjadi egois dan mulai mendengarkan dan memperhatikan orang lain. Buatlah nama 'Ting-Ting' itu pantas untuk kamu pakai. Seperti yang dikatakan mami kamu, mungkin kamu tidak bisa memberi solusi kepada orang yang menceritakan masalahnya kepadamu, tapi asal kamu tau saja, asal mereka diperhatikan, didengarkan, dan dihargai, itu sudah cukup untuk mereka. Biarlah AKU yang akan membuka jalan bagi mereka yang sedang mengalami kesulitan. Kamu cukup mendengarkan dan membantunya dengan berdoa hanya kepada-KU. Sisanya, biarlah AKU yang bekerja. Sekarang, kamu sudah menjadi orang yang lebih baik. AKU tau bahwa hal itu sulit dan membutuhkan proses yang panjang. Seperti manusia yang ingin membuat emas murni, harus melalui proses tempa dan pembakaran yang panas dan panjang. Tapi biarkan dirimu itu untuk AKU bentuk. AKU akan terus menyertai, melindungi, memberkati, dan membimbing engkau hingga saatnya nanti. Sekarang, kembalilah ke tempat asalmu. AKU juga akan menyembuhkan seluruh luka dan tulangmu yang patah, juga Jason dan Nadia. Biarlah seluruh dokter dan suster di rumah sakit ter-heran-heran karena mukjizat ini. Bagi mereka itu mustahil, tapi tidak ada yang mustahil bagi-KU," kata TUHAN. Maka aku meninggalkan tempat itu. Jujur, aku merasa sedih karena harus berpisah dengan TUHAN dan dengan papi. Malah, aku tidak ingin meninggalkan tempat itu. Aku ingin terus bersama dengan TUHAN dan papi. Tapi rupanya ini belum dan bukan saatku untuk mati. Jadi, dengan berat hati, aku meninggalkan tempat yang penuh damai dan kasih tersebut. Kembali ke dunia yang fana. Tapi dengan harapan dan keyakinan bahwa DIA sudah berjanji kepadaku untuk mengubah hidupku, menyertai, membimbing, mendampingi, dan memberkati-ku. Dan aku tau bahwa DIA tidak pernah ingkar janji.


The Ironism - Part 5 - Ending - Epilogue

Hari sudah pagi ketika aku membuka mataku, kembali ke rumah sakit. Seluruh rasa sakit dan tulang yang patah sudah disembuhkan oleh TUHAN. Mami tampak tertidur karena menjagaku semalaman. Aku tidak mau membangukan mami dari tidurnya. Aku merasa haus dan ingin pergi ke kamar mandi. Perlahan aku bangun dari tempat tidur, mengambil gelas, mengisi air dan minum. Aku minum sebanyak 2-3 gelas sebelum aku pergi ke kamar mandi. Sepertinya tidur mami juga tidak begitu lelap karena ketika aku sedang di kamar mandi, dia terbangun. Dari kamar mandi, aku bisa mendengar kebingungan mami karena aku mendadak hilang entah ke mana. Aku sebetulnya ingin menjawab mami, memberi tau bahwa aku sedang di kamar mandi. Tapi aku sendiri juga sedang "sibuk" di kamar mandi. Di sela-sela "kesibukan"-ku di kamar mandi, aku berusaha untuk mengetuk pintu kamar mandi dari dalam sebagai tanda untuk mami. Akhirnya mami mendengar ketukanku dari dalam kamar mandi. Setelah beberapa saat, aku keluar dari kamar mandi dengan kondisi sehat, bersih dan rapi. Aku buang air, sikat gigi dan mandi tadi, makanya sekarang aku bersih dan segar. Mami memandang tidak percaya begitu melihatku dalam keadaan sehat, tanpa luka sedikit pun dan semua tulangku yang patah sudah disembuhkan. Aku tersenyum kepada mami sebelum berkata, "TUHAN menjawab doa mami. Aku juga bertemu TUHAN dan papi di surga. Tapi, sori, aku mau menutup semua masa laluku. Aku sudah menjadi manusia baru. Aku ingin membuka lembaran baru dalam hidupku. Aku sudah dijamah TUHAN dan menjadi orang yang lebih baik. Jadi, aku tidak mau mengungkit-ungkit soal kecelakaan ini. Aku juga tidak mau cerita pengalamanku saat bertemu TUHAN di surga. Biarlah pengalamanku di surga itu menjadi rahasia antara aku, TUHAN dan papi." Mami masih bengong tidak percaya. "Oh, ya, Jason dan Nadia juga harusnya sudah sembuh dan bisa keluar dari rumah sakit sekarang juga, karena TUHAN juga bilang bahwa DIA akan menyembuhkan mereka," kataku sambil tersenyum. Dan, benar saja, terdengar hiruk-pikuk dari kamar sebelah dan kamar seberang, tempat Jason dan Nadia dirawat. Dokter dan suster yang menangani kami heran, tapi mereka tau bahwa ada KUASA yang lebih besar daripada KUASA manusia manapun di bumi ini. Jadi mereka tau bahwa mukjizat terjadi. Sadar bahwa mereka tidak diperlukan lagi karena kami semua sudah sembuh, mereka hanya mengangguk singkat dan mengijinkan kami pulang.

Esok harinya aku menghubungi Nadia dan Jason. Aku meminta maaf atas segala perilaku buruku. Sepertinya bukan hanya aku saja yang dijamah TUHAN. Jason dan Nadia juga, karena ketika aku menghubungi mereka, mereka dengan tulus mengampuniku dan kami sepakat bahwa semua itu memang sudah rencana TUHAN untuk mengubahku menjadi lebih baik. Kami juga sepakat untuk menutup masa lalu kami yang buruk dan mulai lembaran baru hidup kami bersama TUHAN. Akhirnya, tahun baru imlek tiba. Kami semua bersuka ria. Keluarga besarku berkumpul dalam kesempatan yang berbahagia ini. Salah seorang saudara sepupuku yang berusia 15 tahun mengajaku ke kamar. Rupanya dia ingin curhat masalah cinta remaja. Dia tidak mengetahui bahwa sekarang aku sudah berubah. Karena itu dia terkejut ketika aku tidak menolak untuk membantunya dengan mendengarkan curhatnya. Dia bercerita dan aku mendengarkan. Setelah ceritanya selesai, kini giliranku untuk berbicara. Aku tidak menghakiminya, melainkan aku hanya berkata, "kita serahkan masalah ini ke dalam tangan TUHAN. Biarlah DIA yang bekerja." Alangkah terkejutnya sepupuku itu karena reaksiku yang luar biasa. Aku tersenyum dan dia mengangguk. "Yah, mungkin TUHAN sudah menyiapkan pasangan jodoh yang lebih baik. Kalaupun aku ga bisa jadian sama dia, tapi aku masih bisa jadi sahabat dia kan? Aku juga percaya bahwa TUHAN punya rencana sendiri buat kita," kata sepupuku itu lagi. Aku mengangguk, "pasti." Yah, langkah kecil dalam proses perubahanku. Aku tau bahwa perjalanan ini tidak mudah, tapi aku tetap memegang janji TUHAN. Oh ya, bagaimana dengan pakaian model seksi yang kubeli beberapa waktu lalu? Karena aku sudah terlanjur membelinya, maka pakaian itu tetap kupakai. Tapi aku juga memakai celana yang sopan dan pantas untuk menutupi bagian bawah, sehingga aku "aman" dan bisa duduk dengan leluasa. Tapi aku juga berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku tidak akan memakai pakaian seksi ini lagi. Biarlah pakaian seksi ini menjadi saksi bisu atas sikap buruku di masa lalu. Sekarang aku telah berubah.



____________________TAMAT____________________________________
 
Kok aku jadi agak sinis ya sama karakternya Ting-ting dicerita ini :D tapi bagus deh happy ending semoga aku gak seperti ......

cerita yang bagus ;)
 
sebetulnya inti cerita ini adalah ironisme. nama si karakter kan "Ting-Ting". nama Ting-Ting itu dr bahasa mandarin, artinya "mendengarkan". nah, tapi kenyataanya, hidup si Ting-Ting ini itu tidak sesuai dengan "mendengarkan", sebaliknya, dia malah keras kepala, egois, dll. gt. itulah letak "ironisme", nama "mendengarkan" tapi justru sifatnya sangat buruk. :) thx atas support anda :) sebetulnya saya juga ada bbrp menulis cerita di forum ini, silakan anda baca. cerita yg pertama saya buat judulnya "the perfect love triangle" :)
 
Back
Top