The "Perfect" Love Triangle -end-

Randy_Muxnahtis

New member
Note: Cerita ini 100% fiksi... Jika ada persamaan hal/karakter, penulis jamin 100% itu hanya kebetulan...



Namaku Jimmy. Aku memiliki dua orang sahabat karib sejak aku masih kecil. Mereka adalah David dan Jennifer. Kami tinggal cukup berdekatan, kami juga pergi ke sekolah yang sama. Kurasa itulah mengapa kami bisa akrab satu sama lain. Tentu saja, hal ini tidak berarti pergaulan kami hanya terbatas kami bertiga. Kami masih ada beberapa teman lain dari sekolah, dari internet, dan sebagainya. Tapi, ya, aku tidak membantah bahwa, hubungan kami dengan teman-teman lain tersebut, tidak akan melebihi kami bertiga. Kami sudah berteman selama sekitar 15 tahun, sejak kami berumur 4-5 tahun.

Sebelum aku melangkah lebih jauh, aku akan bercerita sedikit mengenai latar belakang kami. Aku akan mulai dengan Jennifer. Jennifer adalah gadis yang berpenampilan sedang, tidak terlalu gemuk-tidak terlalu kurus. Berambut hitam, agak panjang, dan berkaca mata, tetapi kadang, dia memakai lensa kontak. Dia hampir tidak pernah ber-make-up yang berlebihan. Kalaupun dia pergi ke pesta atau mall, dia hanya make-up secukupnya. Dan dia bukan tipe orang yang suka memakai celana pndek atau rok mini. David, berkulit agak gelap, berambut pendek, bermuka sedikit jerawat, juga berkaca mata. Aku sendiri punya rambut pendek-cepak, muka agak berjerawat, cukup tinggi, dan juga berkaca mata. Keluarga kami umunya baik-baik saja, kecuali David. David berasal dari keluarga yang berantakan. Orang tuanya bercerai, dan sepertinya orang tuanya juga tidak terlalu memperdulikan David. Aku rasa cukup sekian tentang kami bertiga, sekarang aku akan mulai cerita ini...

"Huh, sebentar lagi liburan, BT kalau gak punya kegiatan waktu libur!" David menggerutu soal libur natal dan tahun baru yang akan tiba sebentar lagi. "Elu ada rencana apa ga, ngapain gitu? Mancing atau apa? Yang penting liburan ada kegiatan?" David bertanya kepadaku. Aku dan david memang lumayan suka memancing. "Ah, bosen ah, masa mancing melulu? Lagian, sekarang lagi musim ujan, ga enak mancing waktu musim ujan, ombak pada gede, bikin pusing kepala." Aku menjawab. "Terus, mau ngapain dong kita?" kata David lagi. "Sama, gue juga BT sich, kalau liburan ga ada kerjaan." Aku mulai berpikir tentang rencana liburan. "Ah, ya, gue tau kita ngapain!" kata David tiba-tiba sambil menepuk tanganya. "Kebetulan, temen kuliah gue punya villa di Puncak. Gimana kalau kita sewa aja villa temen gue itu? Biaya sewa, ongkos, tetek-bengek, kita patungan." David nyengir. "Cuma kita berdua?" Aku bertanya. "Ya.... elu.... ajak Jennifer lah." kata David, kesal. "Cuma bertiga?" Aku ragu-ragu. "Ya... ajak siapa lagi kek, Steven, Jake, Kartika gitu?" kata David enteng. Steven, Jake, dan Kartika adalah juga teman kami bertiga, meskipun tidak begitu dekat. "Lagian, kan lumayan, ada dua cewek, jadi urusan dapur, biar cewek-cewek yang urus. Udah gitu, kalau banyak orang, patungan kita jadi lebih enteng." David berkata sambil nyengir nakal. Aku berpikir sebentar. Memang sich, Steven, Jake, dan Kartika juga senggang liburan nanti, jadi, kenapa tidak ajak mereka aja? Meskipun aku agak tidak setuju dengan perkataan David yang menyerahkan urusan dapur kepada para cewek...

Singkat cerita, aku, David, Jennifer, Steven, Jake, dan Kartika ada di Puncak. Kami menyewa villa kenalan David selama kira-kira sepuluh hari. Tentu saja, aku juga sedikit merubah aturan. David, yang semula berkata bahwa biar cewek-cewek yang mengurus dapur, aku ubah menjadi, kita bagi tugas. Cewek-cewek yang masak, karena cowok ga bisa masak. Tapi kalau mencuci piring, setrika baju, dan sebagainya, berdasarkan giliran. Mencuci baju, ada mesin cuci di villa itu, jadi tugas kami lumayan ringan.

Komplek villa tersebut memiliki fasilitas yang lumayan baik. Ada kolam renang, lapangan tennis, jogging track, dan sebuah playground. Meskipun kami tidak bisa bermain tennis, tapi kami bisa berenang. Aku juga berpikir mau melakukan pendekatan dengan Jennifer, malah, udara dingin Puncak bisa membuat suasana lebih romantis. Jujur aja, aku memang suka Jennifer. Sejak kecil, aku memang sudah suka dia, tapi tentu tidak serius seperti ini. Sore datang, kabut mulai turun. Aku duduk-duduk di teras villa sambil minum kopi, menikmati udara yang sejuk. David, Jennifer, Steven, dan Kartika sedang bermain karu "cap-sa". Jake sedang mencuci piring, karena memang hari ini giliran dia. Setelah ini, kami berencana mau pergi ke Cipanas. Merasakan keramaian Cipanas. Suara ledakan kembang api dan petasan mulai terdengar di sekitar villa. Aku berencana ingin berjalan berdua dengan Jennifer saat di Cipanas nanti. Setelah Jake selesai mencuci, kami bersiap-siap untuk pergi ke Cipanas. Aku yang menyetir mobil. Suasana di Cipanas ramai. Suara terompet, kembang api, petasan terus terdengar. Di pinggir jalan, banyak jual jagung bakar, terompet, dan lain-lain. Aku memarkir mobil di sebuah pinggir jalan, dan kami turun dari mobil. Kami mau merasakan hiruk-pikuk liburan Cipanas dengan berjalan kaki.Setelah turun dari mobil, aku mengedarkan pandangan, mencari Jennifer. Itu dia, sedang memakai jacket birunya. Dengan cepat aku menghampirinya. "Hai, mau jalan sama gue?" kataku. Dia agak kaget, tapi mengangguk. "Cie-cie.... Prikitew...." Steven, Jake, dan Kartika menggoda usahaku. Aku tidak menghiraukan mereka, menggandeng Jennifer, aku dan Jennifer meninggalkan mereka di belakang. Ketika kami berjalan, aku merasa bahwa Jennifer merasa agak tidak nyaman bersamaku. Tetapi dia berusaha menutupinya. Namun, aku, yang suka membaca cerita detektif, masih bisa menangkap gelagat tersebut. Jennifer membuat alasan agar bisa agak menjauh dariku. Dia berpura-pura tertarik dengan sebuah terompet yang lucu, dan berlari menghampiri penjual terompet tersebut. Namun, setelah itu, dia berlari ke arah David, dan bertanya kepada David tentang bagusnya terompet tersebut.

Melihat gelagat tersebut, aku bisa menebak bahwa usahaku tidak akan berhasil. Jennifer suka kepada David, bukan kepadaku. Tapi, aku tidak marah atau cemburu kepada baik jennifer ataupun David. Toh, aku bukan tipe pemaksa dalam mencari pasangan. Jika jennifer suka david, ngapain aku ribut? Anggap saja dia bukan jodohku. Aku dan Jennifer hanya dijodohkan sebagai teman. Tak lebih, dan tak kurang. Dengan santai, meskipun agak sakit hati, aku berjalan menuju David dan Jennifer. Dengan cepat, aku dapat melihat raut wajah bersalah pada Jennifer. Tapi aku hanya tersenyum sambil mengangguk, isyarat "tidak apa-apa". Jennifer mengerti isyaratku, dia ikut tersenyum, dan kami bertiga kemudian berjalan bersama (Jake, Steven, dan Kartika jadi agak telupakan).

Tetapi, aku tidak melihat bahwa David gembira berdampingan bersama Jennifer. Malahan, dia cenderung bersikap kaku, berjalan sambil menatap langit ataupun jalan. Bahkan, sesekali, dia berusaha menghindari Jennifer dan berjalan di sebelahku. Ada apa ini???
 
The "Perfect" Love Triangle ( Part 2 )

Keramaian kota Cipanas membuat aku melupakan perilaku David yang agak aneh. Kami semua menyukai keramaian Cipanas saat liburan. Di sana, kami masing-masing, membeli jagung bakar. Udara yang dingin mulai menggangguku, jadi aku memakai jacketku yang dari tadi aku ikat mengelilingi pinggangku. Sama seperti Jennifer, jacketku bewarna biru, tapi aku punya berwarna biru tua. Kami pulang dari Cipanas sekitar jam setengah sebelas malam.

Esok harinya, sekitar jam sembilan pagi, kami berenang. Udara yang dingin, di tambah air yang dingin, membuat pori-pori dan kulit kami protes kedinginan. Dingin, tapi menyegarkan. Para ladies tidak iktu berenang. Mereka sedang masak makan siang sekaligus menjaga villa. Mungkin nanti siang, mereka berenang. Karena, seperti kataku, peraturan bergilir. Setelah makan siang, giliranku yang mencuci piring, sedangkan Steven menyetrika pakaian. David, Jennifer, Kartika, dan Jake sedang menonton TV sementara aku dan Steven bekerja. Sekitar jam empat sore, hujan turun, membuat rencana kami pergi ke Kota Bunga Puncak batal. Aku sedang mendegarkan walkman dari HP-ku di kamar, ketika David masuk ke kamar. Dia kemudian duduk di sebelahku. "Elu suka sama Jennifer, ya?" dia bertanya secara tiba-tiba. Aku mematikan walkman HP-ku, agak kaget. "Ya?" aku menjawab. "Kenapa?" aku menambahkan. David menggelengkan kepalanya sambil berdiri. "Ngga. Ga kenapa-napa kok." Dia menjawab, lalu meninggalkan kamar. Dia tampak berpikir keras. Hanya Tuhan yang tau apa yang ada di dalam kepala David saat itu. Aku agak penasaran dengan sikap David yang agak aneh itu. Aku menjadi bertanya-tanya... "Apa dia merasa bersalah, karena Jennifer suka dia, bukanya gue?".... Aku teringat kejadian semalem, David berusaha menjauh dari Jennifer. Aku merasa ada sesuatu yang ganjil di perilaku David. "David agak aneh semalem.... Apa dia merasa ga enak sama gue, gara-gara Jennifer deket dia, sedangkan gue suka Jennifer?" aku berkata pelan kepada diriku sendiri. "Tapi, terus ngapain dia ngedeketin gue?" aku berpikir mencari jawaban. "Ah, udahlah, paling dia cuma merasa ga enak sama gue." Aku menggelengkan kepalaku, mengusir pikiran yang aneh-aneh dari kepalaku. Lalu aku melanjutkan mendengarkan walkman dari HP-ku... Sisa hari itu berjalan normal... Kami semua bersikap seperti biasa, seolah kejadian semalem di Cipanas, dan pembicaraan antara aku dan David tidak pernah terjadi. Untuk makan malam, kami memutuskan untuk makan di Rindu Alam. Biar ngga jenuh dengan masakan rumah.

Setelah makan malam, kami kembali ke villa. Aku dan Steven bermain catur di teras villa. David dan Jake duduk-duduk dekat kami sambil minum kopi. Jennifer dan Kartika nonton TV. "Ada yang mau karaoke ga?" Kartika bertanya kepada kami, sambil berdiri di depan pintu. "Lho, bukany elu lagi nonton TV sama Jennifer?" Steven mengangkat kepalanya, menjawab Kartika. "Iya sich, cuma ga ada film yang bagus. Mendingan kita karaoke aja. Ini villa ada DVD player plus fasilitas karaoke kecil-kecilan." kata Kartika. "Wah, boleh juga tuch." kata David. Akhirnya, kami pun karaoke di villa. Ga berasa, kami berkaraoke selama sekitar tiga jam. Setelah karaoke, kami bersiap-siap tidur. Tapi aku masih belum mengantuk. Jadi aku bikin kopi dan duduk-duduk di teras. Saat aku sedang duduk-duduk, Jennifer datang menghampiriku. "Belum tidur?" aku bertanya. "Belum ngantuk." jawab Jennifer. Dia kemudian duduk di sebelahku. "Um..." dia tampak ragu-ragu. "Bisa kita ngomong sebentar?" katanya lagi. Agak bingung, sekaligus kaget, aku mengangguk. "Ngomong aja." kataku. Dia kembali ragu-ragu. "Ga enak kalau ngomong di sini, takut ada yang denger." katanya lagi. Akhirnya, kami pergi ke kolam renang. Di dekat kolam renang, ada playground. Di playground tersebut, ada tiga buah ayunan. Ayunan yang cukup besar untuk dinaiki oleh orang dewasa, dan terbuat dari besi, jadi cukup kuat apabila orang dewasa main ayunan tersebut. Aku dan Jennifer duduk di ayunan tersebut. "Um.... gue sori soal yang di Cipanas." dia memulai pembicaraan. "Oh, itu?" aku menjawab sambil menggoyang-goyangkan ayunan. Dia menunggu responku. Maka aku meneruskan, "jujur, gue emang udah suka elu dari kecil." kataku singkat. "Tapi kejadian di Cipanas itu, cukup membuktikan bahwa elu lebih suka David." kataku ringan sambil menatap langit. Aku diam sebentar, lalu melanjutkan, "malah, gue yang mustinya sori, tau-tau langsung ngedeketin elu." Dia tersenyum. "Ga apa-apa, namanya juga elu usaha. Dan gue hargain kebaikan elu juga usaha elu. Tapi sori, sepertinya elu bukan jodoh gue." katanya. Dia juga mengangkat kepalanya, menatap langit malam. Rumput-rumput di playground tersebut masih basah bekas hujan. Suara serangga terdengar nyaring di playground yang sepi itu. Kami berdua terdiam.
 
The "Perfect" Love Triangle ( Part 3 )

Hari berikutnya cuaca cerah, jadi kami memutuskan untuk pergi ke Kota Bunga Puncak. Di sana, kami melihat-lihat villa-villa yang beraneka model, seperti model China, model Jepang, dan lainya. Di sana juga ada spanduk tentang acara pesta kembang api untuk menyambut malam tahun baru. Selama di Kota Bunga, Jennifer berusaha mendekati David. Tetapi, David lagi-lagi menghindar. Yang agak aneh dari David, dia selalu menghindar ke arahku. Jennifer, Jake, dan Steven pun juga merasa agak heran melihat perilaku David yang agak aneh. Memamng sich, aku, David, dan Jennifer teman akrab sejak kecil. Tapi, tetap saja, perilaku David ini berlebihan. Masa iya sich, mau menghindar dari cewek aja, musti berlindung kepadaku? Kalaupun dia merasa bersalah kepadaku, karena Jennifer lebih suka dia daripada aku, tetap saja, perilaku dia berlebihan. Tapi, masing-masing dari kami berusaha menutupi keheranan kami. David sendiri pun juga tampak malu dengan tingkahnya yang agak tidak biasa itu. Akhirnya, kami pun berjalan yang cowok bersama yang cowok, yang cewek bersama yang cewek. Tampaknya ini lumayan menyelesaikan masalah. Ketika kami sampai di kawasan Little Venice, kami berfoto-foto. Sepanjang hari itu berlangsung normal.

Akan tetapi, malam harinya, terjadi hal yang sama sekali tidak kusangka...

Hampir sama seperti malam sebelumnya. Ketika itu, kami, para cowok, sedang nonton siaran pertandingan sepak bola sambil minum teh manis. Para ladies tidak suka sepakbola, jadi mereka tidur lebih awal. Ketika pertandingan babak pertama selesai, David secara tiba-tiba mengajaku ke tempat kolam renang. Dia membuat alasan bahwa dia mau melihat suasana kolam renang dan playground di malam hari. Dia juga mau mencoba bermain ayunan di malam hari. Tentu saja, hal ini membuat kaget aku, Steven, dan Jake. "Tenang aja, elu berdua terus aja nonton, gue cuma sebentar kok sama Jimmy." kata David ketika aku dan dia berjalan ke arah pintu. "Gue udah lama ga maen ayunan, tiba-tiba gue jadi pengen maen ayunan." David berkata kepada Steven dan Jake sambil tersenyum. Tapi aku yakin, itu senyum terpaksa. Pasti ada sesuatu yang mau disampaikan David kepadaku. Sesuatu yang menyangkut Jennifer dan tingkah lakunya yang sedikit aneh? Jadi, aku pun memakai jacket dan berjalan bersama David ke tempat kolam renang. Sesampainya di tempat kolam renang, aku langsung berkata kepadanya, "Mau ngomong apa? Ngomong aja sekarang." David terkejut dengan perkataanku. Dia ragu-ragu sejenak, tapi kemudian memantapkan tekadnya, seolah dia hendak menceritakan semua masalahnya hanya kepadaku seorang.

Raut wajahnya serius, malah, cenderung tegang. "Jim, gue mau membuat pengakuan, pengakuan ini menyangkut soal gue, elu, juga Jennifer." Aku, tentu saja sama sekali tidak menduga tentang apa yang mau disampaikan, jadi aku masih bersikap rileks. Paling-paling dia mau ngomong tentang perasaanya terhadap Jennifer plus hubungan gue sama Jennifer, kataku dalam hati. Tapi mendadak, dia mulai menangis dan menggenggam tanganku. Spontan, aku kaget. Aku menarik tanganku dari genggamanya. "Jim, elu tau kan, gimana kondisi keluarga gue?" katanya. Aku diam saja, menunggu dia melanjutkan. "Elu tau kan, gimana bokap gue selalu bersikap kasar terhadap gue dan nyokap gue?" air mata mengalir di pipinya. Tapi aku diam saja. Menunggu. "Jim, karena gue liat perlakuan bokap gue yang selalu kasar sama gue dan nyokap gue, itu bikin gue jadi merasa ill-feel terhadap laki-laki." perkataan David ini membuatku tersentak, tiba-tiba, aku mendapat firasat tidak enak. "Jangan-jangan.... alasan kenapa elu menjauh dari Jennifer dan malah lari ke arah gue itu.....????!!!!" kataku menyadari tentang kemungkinan yang akan terjadi berikutnya. Di saat yang sama, aku mulai menggigil karena takut dan marah. "Betul, Jim. Perilaku kasar bokap gue, bikin kondisi gue ga stabil. Gue merasa nyaman kalau gue maen sama elu waktu kecil sampe sekarang. Elu tuch orang yang baik, Jim. Dulu elu sering dengerin curhat gue dan kasih gue solusi kalau gue lagi ada masalah sama bokap gue. Gue merasa nyaman kalau bersama elu. Sesuatu yang ga pernah gue dan nyokap gue dapet dari bokap gue. Jim, gue rasa, gue jatuh cinta sama elu." air mata mengalir deras di pipinya. Ini dia, tebakanku tidak meleset. Namun, tetap saja, aku shock mendengarnya. Aku shock sekaligus marah dan sedih. Aku shock, ternyata teman aku ini seorang gay. Tapi itu bukan kehendaknya sendiri. Dia menjadi gay, karena faktor keluarganya yang tidak harmonis, dan dia memilihku untuk menjadi tempat pelarian. Aku sama sekali tidak menyalahkanya. aku sedih, karena temanku ini menjadi seorang gay, dan dia jatuh cinta kepadaku. Tapi, tetap saja, aku marah, karena aku ini laki-laki normal, tidak bisa menikah dengan sesama jenis. Aku menjadi agak kalap. Yang terakhir aku ingat adalah, aku melayangkan tinju ke arah David, saat berikutnya, aku lihat dia sudah berlutut sambil mengangis. "Jim, tolong elu ngerti perasaan gue dan alasan gue, Jim. Elu kan udah kenal gue sejak kecil." kata David sambil menangis berlutut. Dia juga memegang pipinya yang tadi kena tinjuku. Dengan agak kalap, kutarik dia ke pinggir kolam renang, lalu kuceburkan dia ke kolam renang. Aku juga menceburkan diriku. Alasanku melakukan hal itu adalah, biar aku dan David bisa berpikir dengan kepala dingin. Tentu saja, ketika kami mencebur ke kolam, pori-pori dan kulit kami protes kedinginan. "Jim, Jim, eh, elu gila apa?" rasa dingin mengalahkan emosi David. Tangisnya langsung berhenti, dikalahkan oleh rasa dingin. Kami berdua segera naik dari kolam renang. "Oke, sekarang, kita bahas secara baik-baik." kataku sambil menggigil. "Elu suka gue? Sedangkan gue suka sama Jennifer." kataku. Dia mengangguk lesu dan kedinginan. "Ok, gue bisa ngerti alasan elu jadi gay. Itu gara-gara kondisi keluarga elu yang berantakan." aku berkata lagi. Jujur saja, meskipun kami habis mencebur ke kolam, tetap saja, sulit untuk berpikir jernih, tapi aku mencoba untuk tetap berpikir jernih, meskipun kenyataan bahwa David adalah seorang gay. Aku diam sebentar, mengatur napas. Berpikir sebentar. "Ok, gue, sebagai temen bae elu, ga bisa biarin elu jadi gay, apapun alsanya. Ngerti?" aku berkata agak galak kepadanya. Sepertinya aku bisa mendapatkan solusi buat masalah ini, hanya saja, solusinya tidak semudah teori. Dia mengangguk lesu. Tampaknya dia masih merasa kedinginan untuk bergerak dan berbicara. Aku juga merasa kedinginan. Tapi aku harus menyelesaikan masalah ini, jadi, mau-tidak mau, aku harus melawan rasa dingin ini. "Sori, tapi gue normal. Gue suka sama Jennifer, bukan sama elu. Kalaupun Jennifer ga suka sama gue, dan dia lebih suka sama elu, itu bukan masalah besar buat gue. Gue bisa anggap, dia bukan jodoh gue. Tapi kasus elu ini, butuh penanganan khusus." kataku agak galak kepadanya. Namun di sela-sela perkataanku, tetap saja, aku merasa kedinginan. "Oke, besok kita balik ke Jakarta. Gue mau ajak elu konsultasi ke ahli jiwa. Elu temen gue, gue ga mau elu jadi gay. Kalau gue liat, kondisi gay elu ga begitu parah, jadi, mudah-mudahan elu masih bisa balik ke jalan normal. Deal?" kataku lagi, masih agak galak dan kedinginan. "O-ok. Thanks ya... elu masih mau tolongin gue balik ke hidup normal." David berkata sambil menggigil kedinginan. Aku dan David kemudian saling tersenyum dan berpelukan. Berpelukan bukan karena dia gay, tetapi berpelukan, karena kami bersahabat.

Ketika kami kembali ke villa, Steven dan Jake hanya bisa bengong melihat kami basah kuyup dan menggigil kedinginan. Tapi mereka bisa melihat bahwa raut wajah kami serius, jadi mereka memutuskan untuk menunda pertanyaan ataupun komentar. Segera, aku dan David berbenah diri. Setelah beres, aku dan David bergabung kembali dengan Steven dan Jake untuk menonton pertandingan sepak bola. "Elu berdua tadi ngapain?" tanya Steven. Aku dan David menggelengkan kepala dalam diam. "Panjang ceritanya." kataku singkat. "Yang pasti, besok kita musti balik ke Jakarta. Ada sesuatu yang mendesak yang gue dan David harus lakukan di Jakarta." aku menambahkan. Aku bisa melihat raut wajah Steven dan Jake yang penasaran, minta keterangan lebih detil. Tapi aku dan David memasang raut serius, sehingga mereka tidak bertanya lebih jauh.

Hari berikutnya, kami kembali ke Jakarta. Tentu saja, Jennifer dan Kartika bertanya-tanya apa yang terjadi. Tapi aku dan David tidak menjawab. Aku menatap David, yang balas menatapku, dan mengangguk. Aku balas mengangguk, lalu aku menatap ke arah Steven, Jake, Jennifer, dan Kartika. "Nanti gue jelasin semuanya." kataku kepada mereka. Sesampainya di Jakarta, lalu keesokan harinya, aku dan David segera mencari dokter ahli jiwa untuk membantu terapi David. "Dia harus normal. Harus." aku berkata dalam hati. Seetelah itu, David pun mulai menjalani terapi dan konselingnya. Sewaktu David menjalani terapi dan konselingnya, aku menepati janjiku untuk menceritakan semuanya kepada Jennifer, Kartika, Steven, dan Jake. Mereka bagai di sambar petir ketika mengetahui bahwa David adalah gay. Tapi aku juga menjelaskan begaimana aku dan David sedang berusaha membuat David menjadi normal, mereka kembali merasa lega. "Mudah-mudahan David bisa jadi normal."
 
The "Perfect" Love Triangle ( Part 4-end-epilogue )

Beberapa waktu lamanya kemudian, David pun menjadi normal. Dia dapat menyelesaikan masalah kejiwaanya lewat terapi dan konseling. Kami pun sepakat menerima dia kembali dan tetap berteman, meskipun dia punya masa lalau sebagai seorang gay. Kami juga sepakat, menutup masa lalu David rapat-rapat. Dan, Jennifer pun pacaran dengan David. Entah bagaimana David juga bisa mulai suka Jennifer, aku tidak tau pasti. Mungkin karena Jennifer yang paling memperhatikan David, dan David juga merasa betapa Jennifer suka David, jadi rasa suka pun tumbuh dalam hati David. Yah.... kalau Jennifer bukan jodoh untukku, ngapain akau harus maksa dan marah? Lagipula, kami tetap berteman. Malah, aku juga berharap Jennifer dan David bisa lanjut hingga tahap menikah dan berumah tangga. Dan tentu saja, David dan Jennifer menjadi keluarga yang harmonis bagi anak-anak mereka.

Beberapa tahun kemudian, kami lulus universitas, dan kami pun bekerja. Aku lupa bilang, meskipun kami bersahabat karib, bukan berarti aku, David, dan Jennifer masuk universitas dan jurusan yang sama. Aku masuk fakultas teknik mesin di sebuah universitas di Jakarta. Jennifer masuk kuliah sastra Mandarin, dan David masuk kuliah komputer. Di tempatku bekerja, aku sepertinya jatuh hati kepada seorang asisten bagian research and development.... Dan, dia juga memberi respon positif buatku.... Jadi, kalian bisa tebak sendiri, bagaimana cerita ini berakhir.......

Dan inilah akhir cerita ini......





----------------------------------------------------TAMAT--------------------------------------------------------













Acknowledgement:



cerita ini 100% fiksi, tapi dalam membuat karakter, gue ngebayangin beberapa temen gue, cuma nama dan sifatnya gue ubah, cuma secara penampilan fisik, itu temen2 gue. ^^. lokasi cerita ini g ambil di suatu kawasan vila di daerah puncak. ada yang Kota Bunga, Cipanas, Restoran Rindu Alam, tapi setting vila dan kolam renang n playground, itu g ambil dari satu tempat, yang sori, gue rahasiakan.

cerita ini 100% ide gue sendiri, meskipun lokasi settingnya betulan ada di daerah Puncak sana.
 
Bls: The "Perfect" Love Triangle ( Part 4-end-epilogue

[lang=en]well, satisfied read it all.[/lang]
cerita ini 100% fiksi, tapi dalam membuat karakter, gue ngebayangin beberapa temen gue, cuma nama dan sifatnya gue ubah, cuma secara penampilan fisik, itu temen2 gue. ^^. lokasi cerita ini g ambil di suatu kawasan vila di daerah puncak. ada yang Kota Bunga, Cipanas, Restoran Rindu Alam, tapi setting vila dan kolam renang n playground, itu g ambil dari satu tempat, yang sori, gue rahasiakan.

cerita ini 100% ide gue sendiri, meskipun lokasi settingnya betulan ada di daerah Puncak sana.
[lang=en]I have same idea with you, this is my true story and very implicated. If you want write it, I'll be glad to tell you.[/lang]
 
Bls: The "Perfect" Love Triangle ( Part 1 )

Suasana di Cipanas ramai. Suara terompet, kembang api, petasan terus terdengar. Di pinggir jalan, banyak jual jagung bakar, terompet, dan lain-lain
[lang=en]these words are messier :D[/lang]
 
Bls: The "Perfect" Love Triangle ( Part 4-end-epilogue )

hm.... saya langsung aja membalas komentar anda, karena, jika di-pecah-pecah seperti anda, itu akan membuat bingung. Pertama-taman, saya terima kasih karena anda memberi komentar/masukan buat saya, dan perkenankan saya untuk minta maaf, apabila ada kata-kata yg rancu, karena saya masih merupakan pengarang cerita kelas amatiran. Sebetulnya, tujuan/ide dr cerita saya ini, saya hanya ingin "mendobrak" industri sastra atau film indonesia. karena saya lihat, kebanyakan dari cerita atau novel atau film, atau sinetron indonesia, itu berkisar ttg cinta dan cinta segitiga, terutama di mana tokoh jahat membuat segudang rencana jahat untuk merebut/merusak kebahagiaan tokoh baik (contoh, seperti cinta fitri, d mana tokoh miskah membuat sejuta rencana untuk menghancrukan tokoh fitri n farrel). Saya hanya ingin memberikan warna baru dalam cerita seperti itu, dgn menghadirkan sosok gay, yg menurut saya, belum pernah ada dlm cerita indonesia. Kemudian, saya juga merasa senang, apabila anda menyukai karya saya tersebut, mungkin ini berarti eksistensi saya sebagai pengarang, mulai dilirik oleh beberapa orang. :) Namun, di lain pihak, saya tidak mengerti dgn komentar anda yg terakhir (part 4) di mana anda berkata bahwa "kisah nyata anda dan sangat terlibat". Sebelumnya, saya minta beribu-ribu maaf, tapi, demi menghindari ke-salah-paham-an, saya terpaksa bertanya hal ini. Maaf, sekali lagi, maaf, tapi, apakah komentar anda itu berarti bahwa anda adalah seorang gay? sekali lagi, saya tidak ada maksud buruk dengan pertanyaan ini, tapi hal ini terpaksa saya lakukan demi menghindari ke-salah-paham-an. akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada anda dan respon anda, kiranya respon anda ini dapat saya jadikan sebagai masukan untuk cerita saya di lain waktu. Terima kasih, dan salam.

Randy Muxnahtis.
 
Back
Top