PART FOUR
Ada knob pintu di belakang meja. Ya. Itu pintu! Dan, tak terkunci. Hanya diganjal meja, supaya tak terbuka. Mengarah ke mana ya, pintu ini? Aku tidak peduli. Kugeser meja yang tak terlalu berat itu. Kubuka pintunya. Berbarengan dengan keberhasilan si pembunuh merusak pintu basemen. Aku lari masuk ke lorong itu.
Ya Tuhan.. Jika lorong gelap dan lembab ini ternyata hanya jalan buntu.. Apa boleh buat.. Aku pasrah. Mas Joe.. tolong cepat datang.. Aku hampir putus asa..
Kudengar suara langkah kaki di belakangku. Si pembunuh mengejarku. Kuterangi jalan dengan lampu layar handphone. Baterainya hampir habis.. Aduh.. tolong, jangan mati dulu.."
Tubuhku menubruk sesuatu di ujung lorong. Sebuah pintu yang tak dikunci itu terbuka. Seberkas cahaya matahari senja menerpaku. Aku di mana? Tak sempat kuperiksa.. Aku tutup dulu pintu lorong itu. Kugeser sebuah rak besar yang tak terlalu berat untuk mengganjalnya.
Rupanya, lorong itu menembus sampai ke gudang belakang rumah. Ya ampun..! Selama 28 tahun tinggal di rumah ini, aku baru tau..
Tak ada waktu memikirkan itu. Aku harus kabur menyelamatkan diri. Karena kudengar rak itu mulai didobrak-dobrak.
Aku keluar dari gudang. Memutar lewat taman samping menuju halaman depan. Sekali lagi, kulihat jenazah Lyra yang mengenaskan..
Perasaanku lega seketika, saat kulihat mobil polisi berdatangan. Mas Joe datang. Aku berlari dan memeluknya. Tepat, pada saat itu, si pembunuh muncul di belakangku. Para polisi menodongkan pistol masing-masing.
"Jangan bergerak! Letakkan senjata anda! Atau kami tembak!" Begitulah aba-aba dari Mas Joe pada Cas Louvre. Aku berdiri di belakang para polisi.
Wajah Cas Louvre menyeringai. Ia tak meletakkan kapaknya. Malah, melaju ke arah kami. Tak pelak, belasan peluru memberondong tubuhnya. Aku ngeri. Kututupi mataku dengan kedua tangan.
Suara tembakan berhenti. Tewaskah si pembunuh? Kubuka mataku. Ia tampak terkapar di atas rerumputan.
Beberapa anggota polisi menghampiri tubuhnya. Mereka periksa. Lalu salah satu dari mereka memberitau Mas Joe, kalau Cas Louvre tewas.
Sekali lagi, kupeluk Mas Joe. Aku menangis di pundaknya.
"Udah.. Kamu aman sekarang..," katanya sembari menepuk-nepuk punggungku pelan.
"Tapi Lyra, Mas.. Adikku.."
"Kamu yang tabah, ya.. Ngomong-ngomong, kamu.. ada yang luka, gak? Maaf, ya.. aku sempat gak percaya sama kamu.."
Tak ada yang luka di tubuhku. Tapi mentalku cukup down.
Jenazah Lyra, juga Cas Louvre dibawa ke rumah sakit dr Soebandi, salah satu rumah sakit terbesar di Jember, kota tempat tinggalku. Petugas kepolisian menemukan potongan tubuh Lyra di dapur.
Ada banyak fakta mencengangkan di sini..
Pertama.. Mobil yang dipakai Cas Louvre itu milik seseorang yang sudah meninggal. Mungkin salah satu korbannya.
Ke dua.. Semua SIM dan STNK yang ada di laci dashboard yang kutemukan adalah.. palsu.
Ke tiga.. Cas Louvre merupakan nama samaran. Nama aslinya adalah Boy. Ia buronan polisi dalam berbagai kasus pembunuhan sadis, yang selalu berganti-ganti nama samaran.
Ke empat.. Cas Louvre ini menderita gangguan mental yang dinamakan.. Skadlegadjie. Ia akan merasa senang ketika menyakiti orang lain, juga menyakiti diri sendiri. Wajah rusaknya itu bisa dipastikan adalah hasil karyanya sendiri, akibat gangguan mental tersebut.
Mas Joe menjabarkan semua itu padaku.
Saat ini, aku berada di rumah sakit, guna memulihkan ketenangan jiwaku. Dan ia menjagaku.
"Mas, aku gak mau pulang ke rumah itu. Aku masih terbayang, gimana tubuh Lyra jatuh dalam kondisi kayak gitu di depan mataku.." Aku menangis.
Mas Joe mendekapku. "Iya. Aku ngerti. Untuk sementara.. kamu bisa tinggal di rumahku. Ibuku udah tau semuanya. Dan, Beliau sangat mencemaskan kamu.."
Aku mengangguk.
"Dan mungkin..," lanjutnya. "Udah saatnya aku fokus menjaga kamu. Meresmikan hubungan kita."
Aku tau, Mas Joe sudah berulang kali minta hubungan kami berlanjut ke jenjang pernikahan. Tapi saat itu aku merasa belum siap. Sekarang.. "Setelah kasus ini bener-bener beres ya, Mas.. Lagi pula, aku masih berduka atas kematian Lyra."
Mas Joe tersenyum. Ia memelukku lagi, lebih erat. Malam itu, ia benar-benar menemaniku di rumah sakit. Ia minta beberapa polisi berjaga di luar.