THE SCARY NIGHTS

Kalina

Moderator
12987134_214190382283303_6647554898674230299_n.jpg

Cerita ini terinspirasi dari sebuah mimpi di suatu malam yang begitu membuat saya sulit melupakan..

Dan, sudah pernah saya publish di Facebook..
Ini beberapa komentar pembaca saya..

attachment.php


attachment.php

selain di Facebook, juga ada di Wattpad

Selamat membaca..
 

Attachments

  • kom1.JPG
    kom1.JPG
    9.2 KB · Views: 65
  • kom2.JPG
    kom2.JPG
    8.7 KB · Views: 43
PART ONE​

Hari yang sibuk. Aku pulang cukup larut malam. Bahkan bisa dibilang, pekerjaanku di kantor majalah sebagai pimpinan redaksi belum selesai. Untungnya majalah bulanan. Deadlinenya tak sampai membuat frustasi. Cuma ya begitu.. Ada banyak artikel yang masuk, dan harus disortir dengan baik.
Seperti biasa, aku hanya naik motor bebek matic yang cicilannya belum lunas. Aku melihat sesuatu di depan mataku. Tiba-tiba, aku hentikan motorku. Reflek, kumatikan lampu motor. Kuandalkan lampu jalan untuk melihat dengan jelas.

Sebuah mobil sedan berwarna biru dongker terparkir di tepi jalan. Pintu bilik kemudinya terbuka lebar. Dan, tak jauh dari sana, seseorang tengah duduk berlutut, sembari mengayunkan semacam kapak ke arah tanah yang dipijaknya.
Astaga..! Itu bukan tanah. Tapi.. manusia(?) Apa yang ia lakukan? Pembunuhan!
Buru-buru kunyalakan motor. Dan, si pembunuh tampak menghentikan laju kapaknya. Ia mendengar suara motorku. Ia menyadari keberadaanku. Segera kutancap gas. Kabur! Sempat kulirik kondisi manusia berjenis kelamin laki-laki itu. Mengenaskan. Darah memenuhi wajahnya.
Agak kusesali. Kenapa aku melewati jalan ini? Biasanya aku lebih suka lewat kota sambil cuci mata. Namun karena jam sudah sangat larut, aku putuskan lewat jalanan sepi ini, karena lebih cepat sampai ke rumah.

Ada sinar kuning tampak di kaca spion motorku. Oh..! Si pembunuh itu mengejarku?! Aku makin ngebut. Sampai.. sampai.. Tiba-tiba motorku berjalan pelan, serta merta mati. Aduh! Bensinnya habis! Dan, si pembunuh semakin dekat di belakangku. Terpaksa, kutinggalkan motorku di tepi jalan. Aku berlari. Usaha terakhirku mengandalkan diri sendiri untuk tetap hidup. Walau akhirnya mobil si pembunuh lebih cepat dari kedua kakiku, dan.. aku merasa benda tumpul menghantamku. Kepalaku pusing sekali. Aku roboh ke tanah di pinggir jalan. Tapi tak sampai pingsan. Kulawan rasa pusing. Ketika si pembunuh mendekat, aku dapat melihat wajahnya yang menakutkan. Penuh jahitan. Mirip boneka Chucky. Saat ia mendekat.. Bamp!! Sekuat tenaga kutendang perutnya. Sampai ia terhuyung ke belakang beberapa langkah. Sementara ia meringis, aku segera berdiri.
Entah, apa yang merasuki pikiranku.. Aku kabur dengan mengendarai mobilnya.

Hingga sampailah aku di rumah.. Aku berpikir.. Mau kutaruh di mana mobil ini? Oh iya! Garasi kan lagi kosong. Mobilku sedang dipinjam teman untuk ke luar kota. Maka, kuparkir mobilnya di dalam.
Sebelum keluar dari mobil.. Kunyalakan lampunya. Kuperhatikan seisi mobil. Ini mobil lama. Secara visual pun kurang terawat. Kubuka laci dashboardnya. Aha! Ada beberapa berkas. SIM dan STNK. Tertera foto. Ya, foto si pembunuh, sepertinya sebelum wajahnya rusak. Karena aku ingat betul bentuk mata dan bibirnya. Kubaca.. Namanya Cas Louvre. Seperti bukan nama orang Indonesia. Membuatku teringat dengan nama sebuah museum di Perancis. Aku ingin periksa bagasinya. Tapi aku takut menemukan hal yang tak diinginkan. Aku pun segera keluar dari mobil itu. Buru-buru mengunci pintu gerbang dan menutup pintu garasi. Ada untungnya, pintu gerbang dan pagar rumahku tinggi. Orang luar tak bisa melihat ke dalam. Jadi, tak kan ada yang tau aku bawa mobil asing.

Saat masuk ke rumah..
Kulihat adik perempuanku tertidur di sofa, depan televisi. Di dunia ini, keluargaku hanya tersisa kami berdua. Aku, dan adikku, Lyra.
"Dek.." Kusentuh pundaknya. Kugoyangkan sedikit. Ia menggeliat.
"Eh, Kak Lorena udah pulang.." Ia duduk. Sembari merapikan rambutnya dengan jemari.
"Iya. Pindah gih, ke kamar..," suruhku.
"Iya, Kak.." Ia membawa bantalnya. Berjalan gontai ke kamarnya yang berada di lantai dua rumah ini. Bersebelahan dengan kamarku.
Sedangkan aku? Menikmati rasa lega, karena baru saja lolos dari malam yang mencekam. Aku duduk di sofa.
Astaga.. Itu tadi apa? Aku berharap, tadi itu cuma mimpi. Tapi kepalaku masih terasa pusing. Lalu, kulepas selempang tasku. Meletakkannya di meja. Ada hal aneh yang tertangkap oleh mataku. Bagian bawah tasku robek! Apakah tadi terjadi sesuatu yang kulewatkan? Kuperiksa isinya.. Dompetku tak ada! Handphone? Syukurlah.. Handphoneku ada di saku jaket bagian dalam.
Yang membuatku resah.. Di dalam dompet ada beberapa kartu penting. Salah satunya KTP dengan alamat rumah ini tertera. Aduh..! Bagaimana kalau si pembunuh itu membaca isi KTPku, dan mengetahui alamat rumah ini?
 
PART TWO

Aku segera menelepon seseorang, keesokan paginya. "Halo..! Pagi, Mas Joe.."
Dari seberang, terdengar suara pria yang selama ini sangat baik padaku dan Lyra. "Ya, ada apa, Ren?"
"Aku.." Ah, susah sekali mengatakannya. "Mas.. bisa ke rumahku gak, sekarang?" Sulit kujabarkan segalanya lewat telepon. "Please.."
"Oke.. Aku ke sana sekarang.."
Rasa tak enak hati memang menerpaku. Aku tau, kesibukan Mas Joe sebagai polisi cukup padat. Tapi, aku belum mendapatkan pilihan lain.

Lyra sudah pamit pergi ke sekolah, saat Mas Joe datang. Ia tampak gagah dengan seragam polisinya.
"Lorena.. Ada apa?" tanya pria yang telah tiga tahun ini menjadi sandaran hatiku. "Suaramu di telepon tadi, kedengaran seperti ada sesuatu yang sangat genting."
"Mas.. Ayo, sini.." Aku mengajaknya ke garasi, hendak menunjukkan mobil itu, tapi.. Mendadak aku syok! Seluruh tubuhku lemas. Mobil itu sudah tak ada! Aku gemetaran.
"Ada apa, Ren? Kamu kenapa?" Mas Joe makin penasaran.
Tangisku merebak, setelah kulihat kunci pintu garasinya terbuka. Kapan dan bagaimana si pembunuh itu masuk ke rumah ini? Aku kian lemas, ketika ingat, bahwa kunci rumah cadangan milikku yang ada di dalam tas juga hilang bersama dompetku. Lalu, kenapa aku tak mendengar suara apapun sepanjang malam tadi? Astaga.. Rasa takut membuatku sulit tidur, sehingga kututup telingaku dengan headset, sembari mendengarkan instrumen lembut pengantar tidur. Sedangkan Lyra, memang tukang tidur. Kalau sudah lelap, seperti orang mati. Tak dengar apa-apa.

Pelan-pelan, kuceritakan apa yang terjadi semalam pada Mas Joe. "Kepalaku sempat dihantam sesuatu. Aku berani divisum." Mas Joe terus menyimak ceritaku. "Aku kabur dengan mobilnya. Aku.. aku ingat nama orang itu. Sebelum keluar dari mobil, kuperiksa laci dashboardnya. Namanya Cas Louvre. Nomor polisinya P 8821 CZ."
"Bentar.." Mas Joe punya aplikasi di smartphonenya untuk melacak nomor polisi sebuah kendaraan. "Kamu yakin, namanya.. apa tadi?"
"Cas Louvre.."
"Iya itu.. Yakin gak salah?"
"Iya, aku yakin. Kenapa, Mas?"
"Ini.." Ia memperlihatkan data yang ia dapat dari aplikasinya. Oh.. tidak! Nama dan foto orangnya.. Berbeda!"

Apakah.. aku hanya berhalusinasi? Kalau iya, aku malah bersyukur. Tapi.. tidak.. tidak..! Aku ingat betul saat kepalaku dihantam, lalu saat kutendang perutnya itu. Buktinya.. motorku tak ada, kan? Karena kutinggalkan di jalan semalam. Lalu tasku? Masa iya, kurobek sendiri? Aku kan tidak gila..
Mas Joe.. bukannya tak percaya. Tapi, bukti dari ceritaku belum kuat.
Aku harus bagaimana? Mobilnya tak ada, berarti.. si pembunuh sudah tau rumah ini.

Aku takut.. Takut berada di rumah sendiri. Takut pergi ke mana-mana, sehingga terpaksa izin tak masuk kantor. Aku bersembunyi di besmen rumah. Aku telah menyuruh Lyra pulang ke rumah Mas Joe dulu, supaya aman. Mas Joe paham bagaimana perasaanku. Dan, ini bukan kali pertama Lyra menginap di sana. Ibunya Mas Joe, bahkan sangat menyayangi adikku itu.
 
PART THREE

Aku meringkuk di pojokan ruang besmen, yang tidak terlalu luas. Di tangan kananku, aku memegang stick golf, milik mendiang ayah. Sedangkan di tangan kiriku, aku ready dengan HP.
Beberapa saat kemudian, ada SMS masuk. Hah? Lyra?
"Kak, aq mau ambil buku2 sklh, dong. Ada pr yg hrs aq kerjakan, nih.."
Aduh, Lyra.. Aku terpaksa keluar dari besmen. Terdengar suara klakson motor. Pasti Lyra pinjam motornya Mas Joe. Saat kubuka pintu depan menuju teras..
Perasaan aneh menyerangku. Pintu gerbang yang sudah kugembok itu terbuka sangat lebar?! Dan, di ambang pintu terdapat sebuah motor Yamaha Mio berwarna putih.. nomor polisinya P 1987 LR. Itu milikku! Yang kutinggalkan di jalan semalam. La, lalu.. SMS ini..? Belum sempat aku memikirkannya kembali.. Tiba-tiba, sesuatu jatuh berkedebug menghantam keras lantai teras, tepat di depan mataku.
"Lyraaaaaaa..!!!" Teriakanku meledak! Melihat adikku satu-satunya itu.. tubuhnya telah berlumur darah. Dan tak lagi utuh.. Tangan dan kakinya.. tak ada!! Dan, aku mendengar suara benda jatuh dari dalam rumah. Apakah itu.. dia? Buru-buru, aku berlari ke halaman. Hampir melewati pintu gerbang, saat kulihat Cas Louvre tiba-tiba sudah berdiri di dekat motorku, memegang sebilah kapak. Aku kembali berlari menuju ke dalam rumah. Darah Lyra yang mengalir membasahi teras membuatku terpeleset. Aku dapat melihat si pembunuh itu mendekat di belakangku. Perlahan tapi pasti.

Aku harus berdiri! Kukerahkan seluruh tenagaku. Aku berlari lagi masuk ke kamar ayah, di mana pintu basemen berada. Kukunci pintu kamar ayah dari dalam, namun, Cas Louvre menghancurkan daun pintunya hanya dengan beberapa kali ayunan kapak. Ia dapat masuk.
Aku sempat melihatnya mempercepat langkah mengejarku yang sudah masuk ke balik pintu basemen. Kami saling adu tenaga. Ia mendorong pintu agar terbuka, sedangkan aku mendorongnya agar tertutup.
"Pergi kamu! Jangan ganggu aku!"
Berhasil kututup pintunya, dan kukunci. Aku menjauh dari pintu. Tapi ku dengar ia mendobrak-dobraknya. Pintu basemen terbuat dari kayu jati yang cukup tebal. Dikapak pun, tak kan cepat terbuka.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku harus lolos dari sini! Handphone! Aku coba menghubungi Mas Joe dengan video call. Tersambung. "Mas.. Tolong aku.. Pembunuh itu ada di sini.. Dia udah ngebunuh Lyra.. Tolong, Mas.." Aku menangis.
"Lorena.. kamu tenang dulu.. Bicara pelan-pelan.." Sepertinya Mas Joe belum paham.
"Aku mau dibunuh, Mas!! Tolong aku! Lihat ini..!" Kuarahkan kamera depan handphone ke pintu.
"Astaga, Lorena! Kamu bertahanlah..! Aku akan ke sana, bawa beberapa anggota."
"Iya, Mas.. Cepetan.."
Aku kembali meringkuk di pojokan. Menangis. Dan, tampaklah, pintu itu, sedikit demi sedikit hampir hancur. Pembunuh itu tak mau menyerah. Aku harus gimana? Aku mengamati seluruh ruangan basemen. Berharap menemukan senjata atau apapun untuk membela diri. Dan, mataku menatap sesuatu..
 
PART FOUR

Ada knob pintu di belakang meja. Ya. Itu pintu! Dan, tak terkunci. Hanya diganjal meja, supaya tak terbuka. Mengarah ke mana ya, pintu ini? Aku tidak peduli. Kugeser meja yang tak terlalu berat itu. Kubuka pintunya. Berbarengan dengan keberhasilan si pembunuh merusak pintu basemen. Aku lari masuk ke lorong itu.
Ya Tuhan.. Jika lorong gelap dan lembab ini ternyata hanya jalan buntu.. Apa boleh buat.. Aku pasrah. Mas Joe.. tolong cepat datang.. Aku hampir putus asa..
Kudengar suara langkah kaki di belakangku. Si pembunuh mengejarku. Kuterangi jalan dengan lampu layar handphone. Baterainya hampir habis.. Aduh.. tolong, jangan mati dulu.."

Tubuhku menubruk sesuatu di ujung lorong. Sebuah pintu yang tak dikunci itu terbuka. Seberkas cahaya matahari senja menerpaku. Aku di mana? Tak sempat kuperiksa.. Aku tutup dulu pintu lorong itu. Kugeser sebuah rak besar yang tak terlalu berat untuk mengganjalnya.

Rupanya, lorong itu menembus sampai ke gudang belakang rumah. Ya ampun..! Selama 28 tahun tinggal di rumah ini, aku baru tau..
Tak ada waktu memikirkan itu. Aku harus kabur menyelamatkan diri. Karena kudengar rak itu mulai didobrak-dobrak.
Aku keluar dari gudang. Memutar lewat taman samping menuju halaman depan. Sekali lagi, kulihat jenazah Lyra yang mengenaskan..

Perasaanku lega seketika, saat kulihat mobil polisi berdatangan. Mas Joe datang. Aku berlari dan memeluknya. Tepat, pada saat itu, si pembunuh muncul di belakangku. Para polisi menodongkan pistol masing-masing.
"Jangan bergerak! Letakkan senjata anda! Atau kami tembak!" Begitulah aba-aba dari Mas Joe pada Cas Louvre. Aku berdiri di belakang para polisi.
Wajah Cas Louvre menyeringai. Ia tak meletakkan kapaknya. Malah, melaju ke arah kami. Tak pelak, belasan peluru memberondong tubuhnya. Aku ngeri. Kututupi mataku dengan kedua tangan.
Suara tembakan berhenti. Tewaskah si pembunuh? Kubuka mataku. Ia tampak terkapar di atas rerumputan.

Beberapa anggota polisi menghampiri tubuhnya. Mereka periksa. Lalu salah satu dari mereka memberitau Mas Joe, kalau Cas Louvre tewas.

Sekali lagi, kupeluk Mas Joe. Aku menangis di pundaknya.
"Udah.. Kamu aman sekarang..," katanya sembari menepuk-nepuk punggungku pelan.
"Tapi Lyra, Mas.. Adikku.."
"Kamu yang tabah, ya.. Ngomong-ngomong, kamu.. ada yang luka, gak? Maaf, ya.. aku sempat gak percaya sama kamu.."
Tak ada yang luka di tubuhku. Tapi mentalku cukup down.

Jenazah Lyra, juga Cas Louvre dibawa ke rumah sakit dr Soebandi, salah satu rumah sakit terbesar di Jember, kota tempat tinggalku. Petugas kepolisian menemukan potongan tubuh Lyra di dapur.
Ada banyak fakta mencengangkan di sini..

Pertama.. Mobil yang dipakai Cas Louvre itu milik seseorang yang sudah meninggal. Mungkin salah satu korbannya.
Ke dua.. Semua SIM dan STNK yang ada di laci dashboard yang kutemukan adalah.. palsu.
Ke tiga.. Cas Louvre merupakan nama samaran. Nama aslinya adalah Boy. Ia buronan polisi dalam berbagai kasus pembunuhan sadis, yang selalu berganti-ganti nama samaran.
Ke empat.. Cas Louvre ini menderita gangguan mental yang dinamakan.. Skadlegadjie. Ia akan merasa senang ketika menyakiti orang lain, juga menyakiti diri sendiri. Wajah rusaknya itu bisa dipastikan adalah hasil karyanya sendiri, akibat gangguan mental tersebut.

Mas Joe menjabarkan semua itu padaku.
Saat ini, aku berada di rumah sakit, guna memulihkan ketenangan jiwaku. Dan ia menjagaku.
"Mas, aku gak mau pulang ke rumah itu. Aku masih terbayang, gimana tubuh Lyra jatuh dalam kondisi kayak gitu di depan mataku.." Aku menangis.
Mas Joe mendekapku. "Iya. Aku ngerti. Untuk sementara.. kamu bisa tinggal di rumahku. Ibuku udah tau semuanya. Dan, Beliau sangat mencemaskan kamu.."
Aku mengangguk.
"Dan mungkin..," lanjutnya. "Udah saatnya aku fokus menjaga kamu. Meresmikan hubungan kita."
Aku tau, Mas Joe sudah berulang kali minta hubungan kami berlanjut ke jenjang pernikahan. Tapi saat itu aku merasa belum siap. Sekarang.. "Setelah kasus ini bener-bener beres ya, Mas.. Lagi pula, aku masih berduka atas kematian Lyra."
Mas Joe tersenyum. Ia memelukku lagi, lebih erat. Malam itu, ia benar-benar menemaniku di rumah sakit. Ia minta beberapa polisi berjaga di luar.
 
PART FIVE​

Ada knob pintu di belakang meja. Ya. Itu pintu! Dan, tak terkunci. Hanya diganjal meja, supaya tak terbuka. Mengarah ke mana ya, pintu ini? Aku tidak peduli. Kugeser meja yang tak terlalu berat itu. Kubuka pintunya. Berbarengan dengan keberhasilan si pembunuh merusak pintu basemen. Aku lari masuk ke lorong itu.
Ya Tuhan.. Jika lorong gelap dan lembab ini ternyata hanya jalan buntu.. Apa boleh buat.. Aku pasrah. Mas Joe.. tolong cepat datang.. Aku hampir putus asa..
Kudengar suara langkah kaki di belakangku. Si pembunuh mengejarku. Kuterangi jalan dengan lampu layar handphone. Baterainya hampir habis.. Aduh.. tolong, jangan mati dulu.."

Tubuhku menubruk sesuatu di ujung lorong. Sebuah pintu yang tak dikunci itu terbuka. Seberkas cahaya matahari senja menerpaku. Aku di mana? Tak sempat kuperiksa.. Aku tutup dulu pintu lorong itu. Kugeser sebuah rak besar yang tak terlalu berat untuk mengganjalnya.

Rupanya, lorong itu menembus sampai ke gudang belakang rumah. Ya ampun..! Selama 28 tahun tinggal di rumah ini, aku baru tau..
Tak ada waktu memikirkan itu. Aku harus kabur menyelamatkan diri. Karena kudengar rak itu mulai didobrak-dobrak.
Aku keluar dari gudang. Memutar lewat taman samping menuju halaman depan. Sekali lagi, kulihat jenazah Lyra yang mengenaskan..

Perasaanku lega seketika, saat kulihat mobil polisi berdatangan. Mas Joe datang. Aku berlari dan memeluknya. Tepat, pada saat itu, si pembunuh muncul di belakangku. Para polisi menodongkan pistol masing-masing.
"Jangan bergerak! Letakkan senjata anda! Atau kami tembak!" Begitulah aba-aba dari Mas Joe pada Cas Louvre. Aku berdiri di belakang para polisi.
Wajah Cas Louvre menyeringai. Ia tak meletakkan kapaknya. Malah, melaju ke arah kami. Tak pelak, belasan peluru memberondong tubuhnya. Aku ngeri. Kututupi mataku dengan kedua tangan.
Suara tembakan berhenti. Tewaskah si pembunuh? Kubuka mataku. Ia tampak terkapar di atas rerumputan.

Beberapa anggota polisi menghampiri tubuhnya. Mereka periksa. Lalu salah satu dari mereka memberitau Mas Joe, kalau Cas Louvre tewas.

Sekali lagi, kupeluk Mas Joe. Aku menangis di pundaknya.
"Udah.. Kamu aman sekarang..," katanya sembari menepuk-nepuk punggungku pelan.
"Tapi Lyra, Mas.. Adikku.."
"Kamu yang tabah, ya.. Ngomong-ngomong, kamu.. ada yang luka, gak? Maaf, ya.. aku sempat gak percaya sama kamu.."
Tak ada yang luka di tubuhku. Tapi mentalku cukup down.

Jenazah Lyra, juga Cas Louvre dibawa ke rumah sakit dr Soebandi, salah satu rumah sakit terbesar di Jember, kota tempat tinggalku. Petugas kepolisian menemukan potongan tubuh Lyra di dapur.
Ada banyak fakta mencengangkan di sini..

Pertama.. Mobil yang dipakai Cas Louvre itu milik seseorang yang sudah meninggal. Mungkin salah satu korbannya.
Ke dua.. Semua SIM dan STNK yang ada di laci dashboard yang kutemukan adalah.. palsu.
Ke tiga.. Cas Louvre merupakan nama samaran. Nama aslinya adalah Boy. Ia buronan polisi dalam berbagai kasus pembunuhan sadis, yang selalu berganti-ganti nama samaran.
Ke empat.. Cas Louvre ini menderita gangguan mental yang dinamakan.. Skadlegadjie. Ia akan merasa senang ketika menyakiti orang lain, juga menyakiti diri sendiri. Wajah rusaknya itu bisa dipastikan adalah hasil karyanya sendiri, akibat gangguan mental tersebut.

Mas Joe menjabarkan semua itu padaku.
Saat ini, aku berada di rumah sakit, guna memulihkan ketenangan jiwaku. Dan ia menjagaku.
"Mas, aku gak mau pulang ke rumah itu. Aku masih terbayang, gimana tubuh Lyra jatuh dalam kondisi kayak gitu di depan mataku.." Aku menangis.
Mas Joe mendekapku. "Iya. Aku ngerti. Untuk sementara.. kamu bisa tinggal di rumahku. Ibuku udah tau semuanya. Dan, Beliau sangat mencemaskan kamu.."
Aku mengangguk.
"Dan mungkin..," lanjutnya. "Udah saatnya aku fokus menjaga kamu. Meresmikan hubungan kita."
Aku tau, Mas Joe sudah berulang kali minta hubungan kami berlanjut ke jenjang pernikahan. Tapi saat itu aku merasa belum siap. Sekarang.. "Setelah kasus ini bener-bener beres ya, Mas.. Lagi pula, aku masih berduka atas kematian Lyra."
Mas Joe tersenyum. Ia memelukku lagi, lebih erat. Malam itu, ia benar-benar menemaniku di rumah sakit. Ia minta beberapa polisi berjaga di luar.
 
PART SIX

Ada knob pintu di belakang meja. Ya. Itu pintu! Dan, tak terkunci. Hanya diganjal meja, supaya tak terbuka. Mengarah ke mana ya, pintu ini? Aku tidak peduli. Kugeser meja yang tak terlalu berat itu. Kubuka pintunya. Berbarengan dengan keberhasilan si pembunuh merusak pintu basemen. Aku lari masuk ke lorong itu.
Ya Tuhan.. Jika lorong gelap dan lembab ini ternyata hanya jalan buntu.. Apa boleh buat.. Aku pasrah. Mas Joe.. tolong cepat datang.. Aku hampir putus asa..
Kudengar suara langkah kaki di belakangku. Si pembunuh mengejarku. Kuterangi jalan dengan lampu layar handphone. Baterainya hampir habis.. Aduh.. tolong, jangan mati dulu.."

Tubuhku menubruk sesuatu di ujung lorong. Sebuah pintu yang tak dikunci itu terbuka. Seberkas cahaya matahari senja menerpaku. Aku di mana? Tak sempat kuperiksa.. Aku tutup dulu pintu lorong itu. Kugeser sebuah rak besar yang tak terlalu berat untuk mengganjalnya.

Rupanya, lorong itu menembus sampai ke gudang belakang rumah. Ya ampun..! Selama 28 tahun tinggal di rumah ini, aku baru tau..
Tak ada waktu memikirkan itu. Aku harus kabur menyelamatkan diri. Karena kudengar rak itu mulai didobrak-dobrak.
Aku keluar dari gudang. Memutar lewat taman samping menuju halaman depan. Sekali lagi, kulihat jenazah Lyra yang mengenaskan..

Perasaanku lega seketika, saat kulihat mobil polisi berdatangan. Mas Joe datang. Aku berlari dan memeluknya. Tepat, pada saat itu, si pembunuh muncul di belakangku. Para polisi menodongkan pistol masing-masing.
"Jangan bergerak! Letakkan senjata anda! Atau kami tembak!" Begitulah aba-aba dari Mas Joe pada Cas Louvre. Aku berdiri di belakang para polisi.
Wajah Cas Louvre menyeringai. Ia tak meletakkan kapaknya. Malah, melaju ke arah kami. Tak pelak, belasan peluru memberondong tubuhnya. Aku ngeri. Kututupi mataku dengan kedua tangan.
Suara tembakan berhenti. Tewaskah si pembunuh? Kubuka mataku. Ia tampak terkapar di atas rerumputan.

Beberapa anggota polisi menghampiri tubuhnya. Mereka periksa. Lalu salah satu dari mereka memberitau Mas Joe, kalau Cas Louvre tewas.

Sekali lagi, kupeluk Mas Joe. Aku menangis di pundaknya.
"Udah.. Kamu aman sekarang..," katanya sembari menepuk-nepuk punggungku pelan.
"Tapi Lyra, Mas.. Adikku.."
"Kamu yang tabah, ya.. Ngomong-ngomong, kamu.. ada yang luka, gak? Maaf, ya.. aku sempat gak percaya sama kamu.."
Tak ada yang luka di tubuhku. Tapi mentalku cukup down.

Jenazah Lyra, juga Cas Louvre dibawa ke rumah sakit dr Soebandi, salah satu rumah sakit terbesar di Jember, kota tempat tinggalku. Petugas kepolisian menemukan potongan tubuh Lyra di dapur.
Ada banyak fakta mencengangkan di sini..

Pertama.. Mobil yang dipakai Cas Louvre itu milik seseorang yang sudah meninggal. Mungkin salah satu korbannya.
Ke dua.. Semua SIM dan STNK yang ada di laci dashboard yang kutemukan adalah.. palsu.
Ke tiga.. Cas Louvre merupakan nama samaran. Nama aslinya adalah Boy. Ia buronan polisi dalam berbagai kasus pembunuhan sadis, yang selalu berganti-ganti nama samaran.
Ke empat.. Cas Louvre ini menderita gangguan mental yang dinamakan.. Skadlegadjie. Ia akan merasa senang ketika menyakiti orang lain, juga menyakiti diri sendiri. Wajah rusaknya itu bisa dipastikan adalah hasil karyanya sendiri, akibat gangguan mental tersebut.

Mas Joe menjabarkan semua itu padaku.
Saat ini, aku berada di rumah sakit, guna memulihkan ketenangan jiwaku. Dan ia menjagaku.
"Mas, aku gak mau pulang ke rumah itu. Aku masih terbayang, gimana tubuh Lyra jatuh dalam kondisi kayak gitu di depan mataku.." Aku menangis.
Mas Joe mendekapku. "Iya. Aku ngerti. Untuk sementara.. kamu bisa tinggal di rumahku. Ibuku udah tau semuanya. Dan, Beliau sangat mencemaskan kamu.."
Aku mengangguk.
"Dan mungkin..," lanjutnya. "Udah saatnya aku fokus menjaga kamu. Meresmikan hubungan kita."
Aku tau, Mas Joe sudah berulang kali minta hubungan kami berlanjut ke jenjang pernikahan. Tapi saat itu aku merasa belum siap. Sekarang.. "Setelah kasus ini bener-bener beres ya, Mas.. Lagi pula, aku masih berduka atas kematian Lyra."
Mas Joe tersenyum. Ia memelukku lagi, lebih erat. Malam itu, ia benar-benar menemaniku di rumah sakit. Ia minta beberapa polisi berjaga di luar.
 
PART SEVEN

Ada knob pintu di belakang meja. Ya. Itu pintu! Dan, tak terkunci. Hanya diganjal meja, supaya tak terbuka. Mengarah ke mana ya, pintu ini? Aku tidak peduli. Kugeser meja yang tak terlalu berat itu. Kubuka pintunya. Berbarengan dengan keberhasilan si pembunuh merusak pintu basemen. Aku lari masuk ke lorong itu.
Ya Tuhan.. Jika lorong gelap dan lembab ini ternyata hanya jalan buntu.. Apa boleh buat.. Aku pasrah. Mas Joe.. tolong cepat datang.. Aku hampir putus asa..
Kudengar suara langkah kaki di belakangku. Si pembunuh mengejarku. Kuterangi jalan dengan lampu layar handphone. Baterainya hampir habis.. Aduh.. tolong, jangan mati dulu.."

Tubuhku menubruk sesuatu di ujung lorong. Sebuah pintu yang tak dikunci itu terbuka. Seberkas cahaya matahari senja menerpaku. Aku di mana? Tak sempat kuperiksa.. Aku tutup dulu pintu lorong itu. Kugeser sebuah rak besar yang tak terlalu berat untuk mengganjalnya.

Rupanya, lorong itu menembus sampai ke gudang belakang rumah. Ya ampun..! Selama 28 tahun tinggal di rumah ini, aku baru tau..
Tak ada waktu memikirkan itu. Aku harus kabur menyelamatkan diri. Karena kudengar rak itu mulai didobrak-dobrak.
Aku keluar dari gudang. Memutar lewat taman samping menuju halaman depan. Sekali lagi, kulihat jenazah Lyra yang mengenaskan..

Perasaanku lega seketika, saat kulihat mobil polisi berdatangan. Mas Joe datang. Aku berlari dan memeluknya. Tepat, pada saat itu, si pembunuh muncul di belakangku. Para polisi menodongkan pistol masing-masing.
"Jangan bergerak! Letakkan senjata anda! Atau kami tembak!" Begitulah aba-aba dari Mas Joe pada Cas Louvre. Aku berdiri di belakang para polisi.
Wajah Cas Louvre menyeringai. Ia tak meletakkan kapaknya. Malah, melaju ke arah kami. Tak pelak, belasan peluru memberondong tubuhnya. Aku ngeri. Kututupi mataku dengan kedua tangan.
Suara tembakan berhenti. Tewaskah si pembunuh? Kubuka mataku. Ia tampak terkapar di atas rerumputan.

Beberapa anggota polisi menghampiri tubuhnya. Mereka periksa. Lalu salah satu dari mereka memberitau Mas Joe, kalau Cas Louvre tewas.

Sekali lagi, kupeluk Mas Joe. Aku menangis di pundaknya.
"Udah.. Kamu aman sekarang..," katanya sembari menepuk-nepuk punggungku pelan.
"Tapi Lyra, Mas.. Adikku.."
"Kamu yang tabah, ya.. Ngomong-ngomong, kamu.. ada yang luka, gak? Maaf, ya.. aku sempat gak percaya sama kamu.."
Tak ada yang luka di tubuhku. Tapi mentalku cukup down.

Jenazah Lyra, juga Cas Louvre dibawa ke rumah sakit dr Soebandi, salah satu rumah sakit terbesar di Jember, kota tempat tinggalku. Petugas kepolisian menemukan potongan tubuh Lyra di dapur.
Ada banyak fakta mencengangkan di sini..

Pertama.. Mobil yang dipakai Cas Louvre itu milik seseorang yang sudah meninggal. Mungkin salah satu korbannya.
Ke dua.. Semua SIM dan STNK yang ada di laci dashboard yang kutemukan adalah.. palsu.
Ke tiga.. Cas Louvre merupakan nama samaran. Nama aslinya adalah Boy. Ia buronan polisi dalam berbagai kasus pembunuhan sadis, yang selalu berganti-ganti nama samaran.
Ke empat.. Cas Louvre ini menderita gangguan mental yang dinamakan.. Skadlegadjie. Ia akan merasa senang ketika menyakiti orang lain, juga menyakiti diri sendiri. Wajah rusaknya itu bisa dipastikan adalah hasil karyanya sendiri, akibat gangguan mental tersebut.

Mas Joe menjabarkan semua itu padaku.
Saat ini, aku berada di rumah sakit, guna memulihkan ketenangan jiwaku. Dan ia menjagaku.
"Mas, aku gak mau pulang ke rumah itu. Aku masih terbayang, gimana tubuh Lyra jatuh dalam kondisi kayak gitu di depan mataku.." Aku menangis.
Mas Joe mendekapku. "Iya. Aku ngerti. Untuk sementara.. kamu bisa tinggal di rumahku. Ibuku udah tau semuanya. Dan, Beliau sangat mencemaskan kamu.."
Aku mengangguk.
"Dan mungkin..," lanjutnya. "Udah saatnya aku fokus menjaga kamu. Meresmikan hubungan kita."
Aku tau, Mas Joe sudah berulang kali minta hubungan kami berlanjut ke jenjang pernikahan. Tapi saat itu aku merasa belum siap. Sekarang.. "Setelah kasus ini bener-bener beres ya, Mas.. Lagi pula, aku masih berduka atas kematian Lyra."
Mas Joe tersenyum. Ia memelukku lagi, lebih erat. Malam itu, ia benar-benar menemaniku di rumah sakit. Ia minta beberapa polisi berjaga di luar.
 
Back
Top