Tiga Jenis Tanha (BHARA SUTTA)

singthung

New member


Tiga Jenis Tanha


Terdapat tiga jenis tanha :

(1) kamatanha, kemelekatan atas kenikmatan indra;

(2) bhavatanha, kemelekatan akan kenikmatan indra yang berhubungan dengan pandangan bahwa segala sesuatu bersifat kekal;

(3) vibhavatanha, kemelekatan akan kenikmatan indra yang berhubungan dengan faham nihilisme. Tanha-tanha ini menampung dan menerima tubuh yang dinamakan khandha. Di bawah adalah penjelasan tentang tanha-tanha tersebut.

1. Kamatanha:

Kamatanha adalah kemelekatan terhadap obyek-obyek yang menghasilkan kenikmatan indra. Obyek-obyek ini bisa berasal dari dalam maupun luar diri. Ketika muncul sesuatu yang indah dan menyenangkan, kalian harus segera mengenali kemelekatan yang berkembang di dalam diri terhadap obyek tersebut. Obyek-obyek yang indah ini bukanlah obyek utama dari kecantikan dan kesenangan.

Saat melihat seorang gadis cantik atau anak laki-laki yang tampan, kalian tidak hanya merujuk kepada gadis atau anak laki-laki yang memiliki wajah yang mempesona itu saja. Tapi juga kepada sesuatu yang menempel sebagai pernak-pernik dari kecantikan atau ketampanan tersebut seperti, pakaian, dan lain-lain.

Saat itu bisa dikatakan kemelekatan telah berkembang. Kemelekatan ini bukan hanya seputar penglihatan dan suara yang menyenangkan, tapi juga pada pernak-pernik yang melekat pada obyek-obyek itu.

Masih tentang kemelekatan. Ketika berbicara tentang rindu pada aroma yang harum, rasa lezat, sentuhan-sentuhan yang menyenangkan dan bentuk-bentuk khayalan yang indah, atau ketika ingin menjadi manusia, dewa, laki-laki, perempuan, dan lain-lain, keinginan ini berhubungan dengan kesenangan indra. Ini terjadi akibat kontak antara obyek-obyek indra dengan keenam pintu indra.

Avijja, ketidaktahuan, mengakibatkan tanha berkembang. Karena avijja ini maka kesunyataan segala fenomena tertutupi. Hal ini berseberangan dengan kebenaran dan membuat munculnya cara berpikir yang salah.

Karena kebenaran tertutupi, kebohongan menjadi cahaya kebenaran. Dengan ini ketidakkekalan dianggap sebagai kekekalan, penderitaan dianggap sebagai kenikmatan, ketiadaan inti yang kekal diakui sebagai adanya inti yang kekal. Karenanya anatta, tak ada ?diri?, disalah-artikan sebagai atta atau ?diri?.

Dengan cara pandang semacam ini keburukan dan ketiadagunaan disalah mengertikan sebagai bermanfaat dan tampak menarik. Saat khayalan menguasai; kemelekatan, upadana, muncul. Setelah itu muncul keserakahan. Karena kemelekatan ini kalian berusaha sekeras mungkin untuk mewujudkan keinginan-keinginan tersebut.

Setelah itu kalian akan berupaya untuk memperoleh apa-apa yang diinginkan. Berikutnya kamma, tindakan, dan sankhara, aktifitas kehendak, bermain di dalamnya. Mereka menciptakan khandha yang baru. Sehingga, selalu muncul khandha yang baru dari satu kehidupan ke kehidupan lain. Ini terjadi karena adanya keinginan yang didorong oleh khayalan-khayalan. Akhirnya, sekali lagi kalian harus memanggul beban khandha baru yang sangat berat.

1.1. Nafsu Keinginan yang tak Terpuaskan

Semua orang selalu ingin yang terbaik. Tapi, hal-hal terbaik itu sangat sulit dicapai. Misalnya, seseorang ingin terlahir lagi sebagai laki-laki atau dewa. Namun ia terlahir kembali di tempat yang tidak diinginkannya. Karena dorongan kamma, ia justru terlahir lagi di empat alam-alam bawah atau ke alam-alam peta. Bisa jadi ia terlahir lagi ke alam binatang, terlahir kembali sebagai sapi jantan, serigala, ayam atau menjadi seekor cacing.

Hidup ini seperti permainan lotere. Setiap orang yang menyetorkan uang berharap memenangkan sejumlah uang yang sangat besar. Tapi, hanya sedikit orang yang bernasib baik memperoleh uang tersebut. Sebagian dari mereka harus puas dengan hadiah uang yang sedikit. Sementara sisanya tidak mendapat apapun. Jadi, tidak setiap orang bisa memperoleh hadian utama.

Dengan cara yang sama diketahui tidak setiap mahkluk bisa terlahir sebagai seorang manusia atau dewa. Bagi mahkluk-mahkluk dengan kamma baik yang cukup akan terlahir di alam-alam tingkat tinggi. Namun kamma baik hanya bisa dikumpulkan melalui berdana, melaksanakan sila dan melatih pikiran. Barang siapa gagal mengumpulkan kusala kamma, kamma baik, ia tak bisa terlahir di alam manusia atau alam-alam dewa. Malah sebaliknya ia akan jatuh ke alam-alam tingkat bawah (neraka), alam binatang atau alam peta.

Seluruh khandha yang baru berasal dari tanha, kemelekatan, yang menemukan kenikmatan melalui obyek-obyek kesenangan. Keadaan ini dikatakan sebagai memanggul beban. Setiap menikmati obyek-obyek indra yang menggiurkan, saat itulah kalian memanggul beban berat dari khandha. Dengan memanggul beban tersebut, kalian harus membawa dan melayaninya, katakanlah, selama empat puluh, lima puluh atau seratus tahun dari hidup kalian yang berat dan penuh kesulitan ini.

Pernahkan kalian menyadari hal ini sebelumnya? Dengan menyadari hal ini kalian akan melihat kemelekatan terhadap obyek-obyek indra yang kalian rindukan dengan perasaan muak. Kenyataannya kalian akan lebih dari sekedar ngeri saat mengetahui kemelekatan membuat kalian terlahir ke alam-alam binatang dan memikul beban khandha binatang. Atau yang lebih buruk dari itu, kalian bisa terjerumus ke alam peta dan memanggul beban khandha peta.
Sebelumnya telah disebutkan tentang para peta yang menderita akibat perbuatan buruk yang dilakukan atas dorongan nafsu keinginan. Juga telah diceritakan sebelumnya bagaimana nafsu-nafsu keinginan ini secara telak akan mengantarkan kalian ke neraka. Ini sungguh mengerikan.

Raja Ajatasattu memiliki keinginan yang kuat untuk hidup dan menikmati kemewahan sebagai Raja. Ia membunuh ayah kandungnya untuk mewujudkan keinginannya itu. Akibat perbuatan buruknya ini ia jatuh ke alam neraka dan menderita di neraka lohakumbhi. Neraka Lohakumbhi sebelumnya telah dihuni oleh empat pemuda anak orang kaya. Dikisahkan, saat masih menjadi manusia, empat pemuda itu berselingkuh dengan istri orang lain dengan imbalan uang.

Lohakumbhi adalah neraka berbentuk sebuah kawah raksasa, dimana keempat pemuda tersebut direbus dalam cairan besi mendidih. Mereka meluncur ke dasar kawah dan muncul lagi ke permukaan. Hal ini berlangsung terus-menerus. Diperlukan waktu 30.000 tahun bagi masing-masing pemuda itu untuk meluncur dari permukaan ke dasar kawah dan 30.000 tahun lagi naik dari dasar ke permukaan kawah. Jadi, katakanlah, setelah 60.000 tahun keempatnya bisa bertemu pada kesempatan yang sangat singkat di permukaan kawah yang mendidih. Ketika keempat pemuda itu bertemu mereka ingin menceritakan keadaannya yang sangat susah dan menderita. Pada saat itu mereka hanya bisa mengucapkan kata-kata yang tidak lengkap seperti, ?du, sa, na dan so?.

Pemuda pertama yang hanya bisa berucap ?du? sebenarnya ingin mengatakan, ketika dulu terlahir sebagai manusia ia telah gagal melakukan berbuat baik seperti berdana atau membangun moralitas yang baik. Ia hanya menghabiskan seluruh hidupnya melakukan hal-hal buruk. Pada saat baru saja mau mengatakan maksudnya, ia telah meluncur ke dasar kawah.

Pemuda kedua yang baru mulai mengatakan ?sa? sebenarnya ingin menceritakan bahwa ia telah lebih dari 60.000 tahun mondar-mandir di neraka. Ia berharap kapan kiranya bisa terbebas dari kawah mendidih ini. Seperti pemuda pertama, sebelum menceritakan maksudnya, ia telah meluncur kembali ke dasar kawah sebelum mampu mengucapkan satu kata pun secara lengkap.

Pemuda ketiga juga hanya punya waktu sangat singkat sehingga penggalan kata yang tertangkap hanya suku kata ?na? saat tiba di permukaan kawah. Sebenarnya ia bermaksud mengatakan bahwa ia dan teman-temannya melihat penderitaan ini tanpa akhir. Hal ini disebabkan saat sebagai manusia dulu mereka hanya melakukan perbuatan buruk.

Dan pemuda terakhir yang meneriakkan suku kata ?so? sudah terbenam lagi ke dasar kawah sebelum ia mampu menyelesaikan kata-katanya secara lengkap. Apa yang ingin disampaikan sebenarnya adalah ungkapan penyesalan. Ia berjanji jika terbebas dari alam neraka, akan mempraktekkan dana, menegakkan sila dan melakukan banyak kebajikan lainnya.

1.2. Penyesalan

Mereka, keempat pemuda itu, tak diragukan lagi, penuh penyesalan. Tapi, penyesalan ini tak ada gunanya setelah perbuatan buruk itu berbuah. Karenanya Sang Buddha selalu mengingatkan untuk sepenuhnya sadar pada saat yang tepat.
?O, para bhikkhu, camkan hal ini baik-baik. Waspadalah. Sehingga kamu tidak memiliki penyesalan yang dalam karena telah melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Saya telah berulang-ulang mengingatkanmu tentang hal ini?.

Dalam hal ini, seseorang harus awas, tidak kehilangan kewaspadaannya. Seseorang bisa menjadi tidak awas saat dirinya dipenuhi obyek-obyek indrawi yang gemerlapan. Sang Buddha telah mengingatkan untuk tidak tergila-gila pada obyek-obyek tersebut. Hanya ketika menjadi tua, sudah dekat dengan kematian, terlahir kembali di alam binatang, peta atau alam neraka, kalian baru merasa menyesal karena tidak mempraktekkan dhamma saat masih muda, kuat dan sehat dulu. Penyesalan sungguh tidak berguna. Dalam keadaan semacam itu, tak ada satupun hal yang bisa dilakukan untuk merubahnya. Saat ini, kalian masih memiliki kesempatan untuk mempraktekkan vipassana, meditasi pandangan terang, maka segeralah lakukan.

Para bhikkhu maupun umat awam harus bersungguh-sungguh memperhatikan kata-kata Sang Buddha dan mematuhi nasehat beliau. Saat ini kalian tengah menikmati hidup. Tapi untuk berapa lama? Setelah meninggalkan masa muda dan memasuki usia tua, yang hanya berlangsung sekitar 40 atau 50 tahun, kalian ternyata hanya melayani khandha-khandha tersebut. Jika selama masa itu hidup kalian tidak ditunjang oleh perbuatan-perbuatan baik dan hanya sibuk melakukan perbuatan buruk, maka perbuatan buruk tersebut akan mengirim kalian ke neraka.

Adapun keempat pemuda putra orang kaya yang berada di kawah mendidih hidup dengan sangat menderita. Mereka hanya bisa berteriak ?du, sa, na dan so?, menderita selama ribuan tahun dalam satu kali putaran kehidupan. Jadi, perbuatan buruk, akusala kamma, bisa mengantarkan kalian pada akhir yang sama dengan mereka di kawah mendidih neraka lohakumbhi. Ingatlah juga nasib para peta, mahkluk-mahkluk yang telah diceritakan sebelumnya.

Para mahkluk yang masih menderita di alam-alam bawah atau di alam peta semasa masih jadi manusia telah lupa melakukan perbuatan-perbuatan bajik seperti berdana dan mempraktekkan sila. Apabila dalam kehidupan saat ini kalian gagal mempraktekkan dhamma untuk meraih ?jalan? dan ?buah? (magga dan phala), kalian hanya memberikan saluran dari nafsu-nafsu keinginan. Bila demikian siapa yang bisa menjamin kalian tidak akan pergi ke empat alam-alam tingkat bawah setelah meninggal nantinya?

Saat ini adalah kesempatan bagi kalian untuk mengambil manfaat dari ajaran Sang Buddha. Karena ajaran beliau masih bisa dinikmati. Gunakanlah kesempatan ini untuk mempraktekkan dana, sila, bhavana, khususnya vipassana. Melakukan hal ini merupakan tindakan tepat. Berkenaan dengan ini ada kalimat yang digubah oleh seorang Sayadaw dalam menggambarkan pengalamannya.
?O tubuh, saya bukanlah budakmu, bukan juga hambamu. Saya telah memetik keuntungan dari ajaran Sang Buddha. Saya tak akan berlama-lama lagi memelihara dan memberimu makan?.

Sebelum masa Sang Buddha, saat ajaranNya belum disampaikan, orang-orang memelihara dan memberi makan tubuhnya menurut apa yang didiktekan oleh keinginan tubuh tersebut. Tapi Sang Buddha mengatakan bahwa tubuh yang merupakan khandha adalah suatu beban, beban yang sangat berat. Bahwa khanda-khandha itu tak pernah bisa terpuaskan, sebanyak apapun yang diberikan kepadanya. Tubuh tak bisa melakukan apapun pada saat kritis karena sifatnya yang tidak kekal. Dan, memanggul mereka berarti penderitaan yang tak terkatakan sepanjang lingkaran kehidupan.

Tubuh menuntut kalian agar tunduk pada harapan dan keinginan-keinginannya serta membalik pikiran dari praktek dhamma. Mengapa tubuh begitu penuntut? Bagian kedua dari kata-kata Sayadaw tersebut memberi kalian jawaban.
?Saya telah memberi makan engkau dan tetap saja aku menderita yang tak terperi dalam lingkaran samsara tak berkesudahan ini.?

Kalian telah memberikan apa yang tubuh inginkan dan harapkan. Ketika kalian diperintah untuk pergi, kalian pergi, berbicara, kalian berbicara, mencari makanan baginya, kalian lakukan.

Ini berarti kalian adalah pelayan bagi tubuh. Sebagai pelayan ada kemungkinan kalian telah menyelesaikan tugas dengan setia dan patuh. Ini sungguh menakutkan. Namun tidak secara keseluruhan ini buruk. Ada kemungkinan baik. Bila dalam melayani tubuh kalian melakukan tindakan-tindakan buruk, seperti mencari nafkah dengan tidak jujur, sebagai akibatnya kalian akan berputar-putar di lingkaran samsara yang tak berkesudahan, menderita, baik di alam-alam tingkat bawah, di alam binatang atau di alam peta.

Misalnya, kalian telah mengisi hidup dengan berbohong, menipu, mencuri atau membunuh. Bahkan kalian telah memfitnah pihak lain hanya untuk memperoleh keuntungan dari kekacauan yang diciptakan. Semua perbuatan ini adalah akusala dhamma. Perbuatan-perbuatan buruk yang akan membangun jalan setapak ke neraka.

Bila berhasil menghindari perbuatan buruk, maka kalian akan terlahir di alam manusia atau dewa. Meski demikian, manusia maupun dewa dapat menderita oleh keinginan terlahir kembali menjadi mahkluk seperti yang diharapkan.

1.3. Penderitaan Menurut Kacamata Orang Bijaksana dan Para Yogi

Sejauh ini penderitaan digambarkan dalam hubungannya dengan pengalaman-pengalaman yang dialami manusia biasa. Bagi para yogi dan orang bijaksana, meski manusia, dewa atau brahma tampak memiliki kehidupan yang bahagia, mereka tetap subyek dari dukkha, penderitaan.

Dalam dunia manusia, meskipun seseorang merasa dirinya sangat bahagia, sesungguhnya ia terbebani oleh khandha-nya. Dimana khandha-khandha ini harus dirawat dan diberi makan sepanjang hidup. Melakukan hal ini adalah penderitaan.

Penderitaan ini akan lebih kelihatan saat ia jatuh sakit. Manusia lain yang tak ada hubungan dengannya, tak akan mau merawatnya. Mungkin saja ia mempekerjakan seorang perawat untuk menjaga dan memberinya perhatian. Namun agak diragukan jika perawat ini bisa memperhatikannya sepanjang hari dalam jangka waktu yang panjang sekalipun diberi upah yang besar.

Kalau kalian membicarakan kehidupan para dewa, akan sulit menceritakannya secara tepat karena kalian tak pernah melihat mereka. Namun mengingat para dewa itu juga menikmati kehidupan indrawi, maka mereka pun memiliki dukkha berkaitan dengan keinginannya menikmati kesenangan indra tersebut.

Raja para dewa dikenal sebagai sesosok dewa yang memiliki banyak pelayan perempuan. Tapi ada saat-saat ia tak dapat menikmati semua keinginan dan hasratnya sepanjang waktu. Bila keinginan dan hasrat tersebut tak terpenuhi, maka ia pun akan merasa menderita.

Para brahma tidak hidup dalam kenikmatan indra. Meski begitu, mereka menghadapi permasalahan dengan keadaan aktifitas kemauan atau sankhara yang membuat mereka sibuk menghabiskan waktu dengan berpikir begini atau begitu. Inilah beban khandha yang mereka bawa.

Seorang yogi atau orang bijaksana melihat keadaan ini sebagai dukkha atau penderitaan. Bayangkan seseorang yang hanya duduk sepanjang hari tanpa melakukan apapun. Ia akan merasa jemu. Apabila ada orang yang hanya duduk dan merenung selama sebulan penuh, ia juga akan menderita. Lantas apa yang akan kalian katakan tentang para brahma yang ?duduk? selama ribuan tahun tanpa melakukan apapun kecuali melakukan perenungan. Perenungan ini bisa berlangsung selama ber-kalpa-kalpa lamanya. Inilah yang dinamakan sankhara dukkha, penderitaan yang berhubungan dengan aktifitas batin.

Bila para brahma ini meninggal sekali lagi ia akan memasuki alam manusia. Di alam ini sudah menantinya seluruh penderitaan khas manusia. Jika keadaannya tidak memungkinkan, meski brahma bisa terlahir lagi sebagai seekor binatang, peta atau ia bisa meluncur turun ke alam neraka, alam kehidupan yang terburuk.

Mengetahui hal ini seorang yogi atau orang bijaksana tidak berhasrat untuk menjadi brahma. Karena brahma pun punya peluang untuk memikul lima khandha yang akan bermuara pada dukkha. Maka para arahat di malam parinibbana-nya melakukan perenungan yang diungkapkan dengan kata-kata demikian:
?Untuk berapa lama lagi saya akan memikul beban khandha yang membuahkan penderitaan ?...Kiwa ciram nukho ayam dukkhabaro vahitabho??

2. Bhavatanha

Setelah membahas panjang lebar tentang kama tanha sekarang waktunya membahas bhavatanha. Ada dua pandangan salah tentang kehidupan manusia. Yang pertama disebut sassata ditthi, cara pandang kekekalan. Sementara yang satunya lagi dinamakan uccheda ditthi, cara pandang nihilisme.

Bhavatanha, kemelekatan atau kemelekatan untuk menjadi, tumbuh dan bergabung dengan cara pandang adanya kekekalan yang beranggapan bahwa kesenangan tidak bisa dihancurkan karena substansi hidup yang ada di dalam diri bersifat kekal. Dalam pandangan ini, badan jasmani bisa saja lapuk atau hancur. Tapi, ?jiwa? di dalamnya tetap hidup dan akan berpindah dari satu tubuh ke tubuh lain. Setelah kematian ?jiwa? akan berpindah dan bersemayam di tubuh yang baru. Begitulah proses keberadaan yang akan berlangsung terus-menerus.

Alam raya bisa saja hancur tapi ?jiwa-jiwa? dari mahkluk hidup tetap hidup. Jiwa tetap ada selamanya. Jiwa bersifat kekal dan tak terhancurkan. Ajaran ini yang paling populer di dunia. Orang-orang yang berpegang pada pandangan ini beranggapan jika seseorang meninggal dunia ia akan terlahir di alam surga. Ia akan hidup kekal di tempat ini. Disisi lain ada kemungkinan juga ia akan jatuh di alam neraka dan hidup kekal pula di tempat ini sesuai dengan kehendak tuhan.

Kelompok yang lain lebih suka percaya bahwa ?jiwa? seseorang berpindah dari satu tubuh ke tubuh yang lain dan memperbaharui ?diri? menurut bekerjanya kamma mereka. Sementara kelompok yang lainnya lagi percaya bahwa hidup telah dikodratkan dan tak bisa diubah. Suatu waktu ia akan pergi menuju ke kekekalan sesuai kodratnya. Secara jelas disebutkan oleh cara pandang ini bahwa ?substansi? yang bersemayam di dalam diri bersifat kekal. Inilah bentuk-bentuk pemikiran sassata ditthi. Dibawah anggapan kelompok ini hidup layaknya seperti seekor burung yang hinggap dari satu pohon ke pohon lain.

Sebagaimana sebuah pohon tua yang menunggu keluruhannya sambil menanti anak pohonnya tumbuh. Jadi, saat meninggal jasmani akan hancur, sementara ?zat hidup? bergerak keluar dan menuju ke jasmani barunya. Di bawah pengaruh bhavatanha yang didukung oleh konsep kekekalan seseorang terpuaskan dengan beranggapan bahwa atta, ?diri?, berada di dalam dirinya secara tetap. Ia begitu percaya diri dan merasa bahwa yang ada di dalam dirinya adalah ?dirinya? sendiri. Hal-hal yang ia nikmati sekarang bisa juga dinikmatinya di masa yang akan datang. Disini, kemelekatan kepada semua yang dilihat, didengar, dibaui, dicicip, disentuh dan dipikirkan tumbuh lebih kuat dan semakin kuat dari satu keberadaan ke keberadaan yang lain. Ia tak hanya bisa menikmati obyek-obyek indra yang dinikmatinya saat ini.

Tapi, ia pun berharap bisa menikmati hal yang sama di masa yang akan datang. Biasanya, setelah memiliki kehidupan yang bahagia sebagai manusia ia memimpikan lebih dari itu. Ia berharap bisa hidup lagi dan terlahir sebagai dewa yang berbahagia. Itulah proses berkembangnya keinginan. Sementara kelompok lain ingin terlahir sebagai pria di seluruh kelahirannya. Dan kelompok lainnya lagi ingin terlahir sebagai perempuan. Semua keinginan-keinginan ini ada akibat bekerjanya bhavatanha. Lebih jauh, bhavatanha rindu akan kenikmatan indrawi yang berakar dari konsep adanya kekekalan jiwa.

3. Vibhavatanha

Secara jelas telah diterangkan di atas bahwa uccheda ditthi adalah suatu pandangan yang menyakini tidak adanya kehidupan apapun setelah kematian. Segala sesuatu berakhir setelah kematian. Inilah pandangan salah yang dibabarkan oleh pertapa Ajita, seorang pertapa yang sangat terkenal dimasa kehidupan Sang Buddha.

Inti cara pandang ini adalah; individu terbuat dari unsur-unsur atau elemen-elemen utama yakni tanah, air, api dan udara. Setelah meninggal elemen air mengalir ke dalam massa air. Elemen api berubah menjadi panas. Elemen udara mengalir bersama massa udara. Semua organ indra seperti penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau, peraba dan indra pemikir lenyap ke angkasa. Saat individu, apakah ia orang bijaksana atau orang bodoh meninggal, maka tubuhnya akan hancur dan lenyap. Tak ada yang tersisa setelah kematian.

Sewaktu berada di dalam jasad hidup, elemen tanah merubah diri ke dalam bentuk keras dan lunak. Tapi, ketika tubuh mati maka elemen tanah akan pergi dan menyatukan dirinya dengan tanah kembali. Diluar tubuh elemen tanah menjadi materi tanah, pathavi rupa, dimana pohon-pohon dan tanaman lain tumbuh di atasnya. Di sisi lain, elemen air pada tubuh yang telah mati diasumsikan menjadi basah dan mencair ke dalam materi air.

Konsep nihilisme dari cara pandang Ajita tak mengenal adanya kesadaran. Semua kemampuan melihat, mendengar, dan lain-lain terkondisi oleh keadaan. Ketika menunjuk kepada kemampuan ini mereka menggunakan istilah organ-organ indra. Lebih jauh, saat seseorang meninggal, seluruh materinya lenyap. Sementara itu, kemampuan indranya menguap ke angkasa. Tak perduli siapapun yang mati, apakah orang bijaksana atau orang bodoh, keberadaannya akan ?terputus? atau ?habis?.

Sewaktu orang bodoh meninggal dunia, tak akan ada kelahiran kembali sehingga ia tak perlu bertanggungjawab terhadap akusala kamma-nya atau perbuatan buruknya. Begitu juga dengan orang bijaksana yang meninggal dunia, tak ada kamma baik yang berhubungan lagi dengan dirinya.

Inilah cara pandang pertapa Ajita yang terlihat menarik bagi mereka yang suka melakukan perbuatan buruk. Orang-orang ini menemukan landasan yang kuat untuk tak melakukan perbuatan baik. Sebab mereka beranggapan tak ada kehidupan setelah kematian. Argumentasi mereka adalah bahwa hanya ada hidup sebelum kematian. Bila memang demikian, pertanyaan lebih lanjut adalah: ?Apa itu hidup sebelum kematian??

Jawabnya, menurut kepercayaan Ajita dan pengikutnya, adanya atta (diri) yang hidup atau satta (keberadaan). Walau pandangan ini mempercayai adanya empat elemen utama, atta atau satta tetap ada. Inilah kemelekatan terhadap adanya sesuatu yang suci di dalam diri. Bagi kelompok orang yang percaya akan pandangan ini beranggapan bahwa tak perlu membuang-buang waktu untuk melakukan perbuatan baik sebagai bekal dalam hidup mendatang. Karena keberadaan yang akan datang itu tidak ada. Sehingga mereka umumnya memenuhi hari-harinya dengan menikmati kesenangan sebanyak-banyaknya dalam satu kehidupan ini. Karena hanya kehidupan satu-satunya inilah yang mereka miliki.

Kemelekatan yang muncul dari cara pandang ketidakberadaan semacam ini dinamakan vibhavatanha. Kelompok ini memperkenalkan gaya hidup penuh kenikmatan dan kesenangan karena semuanya akan lenyap setelah kematian. Secara alami kelompok ini memiliki banyak pengikut terdiri dari orang-orang yang suka melakukan perbuatan buruk, tak memiliki moral dan enggan mengumpulkan kebajikan. Karena tak ada apapun lagi setelah kematian, maka tak ada kebutuhan untuk mengumpulkan kebajikan. Mereka yang bersandar pada cara pandang ini tak suka dengan gagasan bahwa hidup akan secara konstan terbaharui. Dan ada akibat dari kamma baik dan kamma buruk yang mengikuti mereka seperti bayangan.

Jika tak ada kehidupan baru setelah kematian semua perbuatan buruk mereka akan berakhir dengan berakhirnya keberadaan. Orang-orang ini tak perlu bertanggungjawab terhadap semua perbuatannya, baik atau buruk. Karena perbuatan buruk yang mereka lakukan akan terhapus ketika mereka meninggal. Demikian juga semua perbuatan baik akan terhapus setelah meninggal dunia. Penganut vibhavatanha menemukan kepuasan pada pandangan tentang kehancuran total.

Seseorang yang terikat dengan gagasan ini selalu tergerak untuk menikmati semua kesenangan hidup tanpa adanya pengekangan terhadap semua hal-hal buruk. Melakukan semua kenikmatan hidup saat ini serupa dengan menerima khandha-khandha yang akan muncul dalam kehidupan mendatang. Perbuatan buruk yang terkumpul pada kehidupan ini adalah akusala kamma. Saat kematian mereka akan berhadapan dengan perbuatan buruknya dan dilekati olehnya. Digambarkan, mereka akan diterangi oleh kamma-kamma-nya sehingga akan muncul khandha yang baru.

Kemelekatan semacam ini berlangsung terus-menerus dan dalam waktu yang tak terhitung sehingga keberadaan yang baru tak bisa dihindarkan. Di sisi lain cara pandang nihilisme ini tak bisa dipertahankan. Ada ilustrasi yang bisa diberikan di sini. Biasanya seorang dokter menganjurkan agar pasiennya yang sedang sakit tak diberikan makanan yang akan menganggu kesehatannya. Tapi, pasien bersangkutan justru tak bisa menahan diri. Ia tetap mengkonsumsi makanan-makanan pantangan itu. Akibatnya, kondisi kesehatannya semakin buruk. Mungkin saja ia akan menghadapi kematian.

Orang yang melekat dengan cara pandang uccheda ditthi seperti pasien bandel di atas. Meski ia percaya tak ada keberadaan apapun setelah kematian, kemelekatannya akan obyek-obyek yang menyenangkan begitu kuat. Sehingga sekali lagi ia akan ?menjadi?, apapun cara pandangnya. Setelah itu keberadaannya yang baru akan sangat sulit dan keras karena ia tak pernah melakukan perbuatan baik sebelumnya. Perlu diingat, setiap perbuatan buruk akan menghasilkan akibat buruk. Atau dengan kata lain, dari setiap perbuatan buruk akan muncul suatu reaksi yang buruk pula.

Cara pandang ini menjadi fondasi bagi tumbuhnya rasa mementingkan diri sendiri. Dalam hal ini tak ada tempat untuk menghormati keberadaan pihak lain. Biarkan yang lain meninggal dan ia tetap hidup. Dengan cara pandang ini ia tak punya rasa cemas atau penyesalan terhadap perbuatannya yang menyakiti pihak lain. Yang dikembangkan hanya perbuatan-perbuatan buruk. Dengan cara hidup demikian ia tak akan memiliki harapan apapun kecuali akan terlahir dalam bentuk keberadaan yang rendah dan buruk pada kehidupan mendatang.

Sekali lagi, vibhavatanha adalah kemelekatan atas obyek-obyek indra dalam satu kehidupan dimana ia percaya tak akan ada hari esok. Seseorang yang dilekati oleh jenis kemelekatan semacam ini akan menggali kenikmatan tanpa adanya pengekangan di dalamnya. Apa yang ia percayai adalah keyakinan yang membahagiakan bahwa semua mahkluk akan lenyap atau habis setelah kematian. Sehingga seseorang tak perlu sibuk melakukan perbuatan baik dan buruk selama hidupnya.

Sekarang izinkan saya mengatakan sekali lagi tentang segala sesuatu yang telah dijelaskan sebelumnya:

*) Apakah beban yang berat itu? Khandha-khandha adalah beban yang berat.
*) Siapa si pembawa beban yang berat itu? Individu yang terdiri dari khandha-khandha adalah si pemanggul beban yang berat itu.
*) Siapa yang menerima beban yang berat untuk dipanggul? Tanha adalah si penerima beban yang berat untuk dipanggul.

 
Back
Top