jmw01
New member
Hidup di dunia bagi seorang mukmin merupakan daftar panjang menghadapi aneka ujian yang datang dari Allah Sang Pencipta Yang Maha Berkehendak lagi Maha Kuasa. Terkadang hidup diwarnai dengan kondisi suka dan terkadang dengan kondisi duka. Seorang mukmin tidak pernah mengeluh apalagi menyalahkan Allah ketika sedang diuji dengan kesulitan hidup. Ia selalu berusaha untuk tetap bersabar manakala ujian duka melanda hidupnya. Sebaliknya seorang mukmin tidak bakal lupa bersyukur tatkala sedang diuji dengan karunia kenikmatan dari Allah. Demikian indah dan bagusnya respon seorang mukmin menghadapi aneka ujian hidup sehingga Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengungkapkan ketakjuban beliau.
“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman! Sesungguhnya semua urusannya baik. Dan yang demikian tidak dapat dirasakan oleh siapapun selain orang beriman. Jika ia memperoleh kebahagiaan, maka ia bersyukur. Bersyukur itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa mudharat, maka ia bersabar. Dan bersabar itu baik baginya.” (HR Muslim 5318)
Bahkan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan kita agar memberikan respon yang sesuai untuk setiap kondisi ujian yang sedang datang kepada diri seorang mukmin. Dalam hadits di bawah ini sekurangnya Nabi mengajarkan tiga jenis ucapan berbeda untuk merespon tiga jenis kondisi ujian yang menghadang seorang mukmin dalam hidupnya di dunia.
”Barangsiapa dikaruniai Allah kenikmatan hendaklah dia bertahmid (memuji) kepada Allah, dan barangsiapa merasa diperlambat rezekinya hendaklah dia beristighfar kepada Allah. Barangsiapa dilanda kesusahan dalam suatu masalah hendaklah mengucapkan "Laa haula walaa quwwata illaa billaahil'aliyyil'adzhim." (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung)" (HR. Al-Baihaqi dan Ar-Rabii')
Pertama, saat menghadapi kondisi memperoleh kenikmatan. Dalam kondisi seperti ini seorang mukmin diharuskan mengucapkan pujian bagi Allah, yaitu mengucapkan Alhamdulillah. Sebab dengan dia mengucapkan kalimat yang menegaskan kembali bahwa segala karunia berasal hanya dari Allah, maka berarti ia menutup segala celah negatif yang bisa jadi muncul dan diolah setan, yaitu menganggap bahwa kenikmatan yang ia peroleh adalah karena kehebatan dirinya dalam berprestasi. Setan sangat suka menggoda manusia dengan menanamkan sifat ’ujub atau bangga diri bilamana baru meraih suatu keberhasilan atau kenikmatan. Manusia dibuat lupa akan kehadiran Allah yang pada hakekatnya merupakan sumber sebenarnya dari datangnya kenikmatan. Jika Allah tidak izinkan suatu kenikmatan sampai kepada seseorang bagaimana mungkin orang tersebut akan pernah dapat menikmatinya?
Sebenarnya dalam kehidupan di dunia kenikmatan Allah senantiasa tercurah kepada segenap hamba-hambaNya. Bahkan jumlah nikmat yang diterima setiap orang selalu saja jauh melebihi kemampuan orang itu untuk mensyukurinya. Jangankan kemampuan bersyukur seseorang melebihi nikmat yang ia terima dari Allah, bahkan sebatas mengimbanginya saja sudah tidak akan pernah sanggup. Maka, saudaraku, marilah kita lazimkan diri untuk sering-sering mengucapkan kalimat tahmid, baik saat kita menyadari datangnya nikmat maupun tidak.
Kedua, saat merasa berada dalam kondisi rezeki sedang diperlambat. Dalam kondisi seperti ini seorang mukmin disuruh untuk banyak mengucapkan kalimat istighfar. Kalimat istighfar berarti kalimat mengajukan permohonan agar Allah mengampuni dosa-dosa kita. Nabi Hud menyuruh kaumnya untuk beristighfar dan menjamin bahwa dengan melakukan hal itu, maka hujan deras bakal turun. Istilah ”hujan” di dalam tradisi ajaran Islam seringkali bermakna rezeki. Sehingga kaitannya menjadi sangat jelas. Orang yang sedang merasa rezekinya lambat atau seret kemudian ia beristighfar, maka ia sedang berusaha mengundang turunnya hujan alias rezeki dari Allah.
“Dan (Hud berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu." (QS Hud ayat 52)
Ketiga, kondisi sedang dilanda kesusahan dalam suatu masalah. Menghadapi kondisi seperti iniNabi shollallahu ’alaih wa sallam menyuruh seorang mukmin untuk membaca kalimat Laa haula walaa quwwata illaa billaahil'aliyyil'adzhim. Kalimat ini sungguh sarat makna yang bermuatan aqidah. Bayangkan, kalimat ini bila diterjemahkan menjadi: Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Kalimat ini kembali mengingatkan kita akan pentingya kemantapan iman Tauhid seorang mukmin. Begitu si mukmin membaca kalimat tersebut dengan penuh pemahaman, penghayatan dan keyakinan, maka saat itu juga jiwanya akan meninggi dan berusaha menggapai kekuatan dan pertolongan Allah yang Maha Kuat lagi Maha Terpuji. Bila Allah telah mengizinkan kekuatan dan pertolonganNya datang kepada seseorang, maka masalah manakah yang tidak bakal sanggup diatasinya?
Oleh karena itu, sekali lagi kami tegaskan, Islam sangat mencela sikap ketergantungan seseorang kepada selain Allah saat menangani masalahnya. Hanya Allah tempat bergantung, tempat kembali dan tempat memohon pertolongan. Hanya Allah tempat kita ber-tawakkal. Malah seorang mukmin tidak boleh ber-tawakkal kepada dirinya sendiri.
“Wahai Allah Yang Maha Hidup, wahai Allah Yang Senantiasa Mengurusi, tidak ada tuhan selain Engkau, dengan rahmatMu aku memohon pertolongan, perbaikilah keadaan diriku seluruhnya dan jangan Engkau serahkan nasibku kepada diriku sendiri (walau) sekejap mata, tidak pula kepada seorang manusiapun.” (HR Thabrani 445)
Sumber : Surat sahabat
“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman! Sesungguhnya semua urusannya baik. Dan yang demikian tidak dapat dirasakan oleh siapapun selain orang beriman. Jika ia memperoleh kebahagiaan, maka ia bersyukur. Bersyukur itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa mudharat, maka ia bersabar. Dan bersabar itu baik baginya.” (HR Muslim 5318)
Bahkan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan kita agar memberikan respon yang sesuai untuk setiap kondisi ujian yang sedang datang kepada diri seorang mukmin. Dalam hadits di bawah ini sekurangnya Nabi mengajarkan tiga jenis ucapan berbeda untuk merespon tiga jenis kondisi ujian yang menghadang seorang mukmin dalam hidupnya di dunia.
”Barangsiapa dikaruniai Allah kenikmatan hendaklah dia bertahmid (memuji) kepada Allah, dan barangsiapa merasa diperlambat rezekinya hendaklah dia beristighfar kepada Allah. Barangsiapa dilanda kesusahan dalam suatu masalah hendaklah mengucapkan "Laa haula walaa quwwata illaa billaahil'aliyyil'adzhim." (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung)" (HR. Al-Baihaqi dan Ar-Rabii')
Pertama, saat menghadapi kondisi memperoleh kenikmatan. Dalam kondisi seperti ini seorang mukmin diharuskan mengucapkan pujian bagi Allah, yaitu mengucapkan Alhamdulillah. Sebab dengan dia mengucapkan kalimat yang menegaskan kembali bahwa segala karunia berasal hanya dari Allah, maka berarti ia menutup segala celah negatif yang bisa jadi muncul dan diolah setan, yaitu menganggap bahwa kenikmatan yang ia peroleh adalah karena kehebatan dirinya dalam berprestasi. Setan sangat suka menggoda manusia dengan menanamkan sifat ’ujub atau bangga diri bilamana baru meraih suatu keberhasilan atau kenikmatan. Manusia dibuat lupa akan kehadiran Allah yang pada hakekatnya merupakan sumber sebenarnya dari datangnya kenikmatan. Jika Allah tidak izinkan suatu kenikmatan sampai kepada seseorang bagaimana mungkin orang tersebut akan pernah dapat menikmatinya?
Sebenarnya dalam kehidupan di dunia kenikmatan Allah senantiasa tercurah kepada segenap hamba-hambaNya. Bahkan jumlah nikmat yang diterima setiap orang selalu saja jauh melebihi kemampuan orang itu untuk mensyukurinya. Jangankan kemampuan bersyukur seseorang melebihi nikmat yang ia terima dari Allah, bahkan sebatas mengimbanginya saja sudah tidak akan pernah sanggup. Maka, saudaraku, marilah kita lazimkan diri untuk sering-sering mengucapkan kalimat tahmid, baik saat kita menyadari datangnya nikmat maupun tidak.
Kedua, saat merasa berada dalam kondisi rezeki sedang diperlambat. Dalam kondisi seperti ini seorang mukmin disuruh untuk banyak mengucapkan kalimat istighfar. Kalimat istighfar berarti kalimat mengajukan permohonan agar Allah mengampuni dosa-dosa kita. Nabi Hud menyuruh kaumnya untuk beristighfar dan menjamin bahwa dengan melakukan hal itu, maka hujan deras bakal turun. Istilah ”hujan” di dalam tradisi ajaran Islam seringkali bermakna rezeki. Sehingga kaitannya menjadi sangat jelas. Orang yang sedang merasa rezekinya lambat atau seret kemudian ia beristighfar, maka ia sedang berusaha mengundang turunnya hujan alias rezeki dari Allah.
“Dan (Hud berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu." (QS Hud ayat 52)
Ketiga, kondisi sedang dilanda kesusahan dalam suatu masalah. Menghadapi kondisi seperti iniNabi shollallahu ’alaih wa sallam menyuruh seorang mukmin untuk membaca kalimat Laa haula walaa quwwata illaa billaahil'aliyyil'adzhim. Kalimat ini sungguh sarat makna yang bermuatan aqidah. Bayangkan, kalimat ini bila diterjemahkan menjadi: Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Kalimat ini kembali mengingatkan kita akan pentingya kemantapan iman Tauhid seorang mukmin. Begitu si mukmin membaca kalimat tersebut dengan penuh pemahaman, penghayatan dan keyakinan, maka saat itu juga jiwanya akan meninggi dan berusaha menggapai kekuatan dan pertolongan Allah yang Maha Kuat lagi Maha Terpuji. Bila Allah telah mengizinkan kekuatan dan pertolonganNya datang kepada seseorang, maka masalah manakah yang tidak bakal sanggup diatasinya?
Oleh karena itu, sekali lagi kami tegaskan, Islam sangat mencela sikap ketergantungan seseorang kepada selain Allah saat menangani masalahnya. Hanya Allah tempat bergantung, tempat kembali dan tempat memohon pertolongan. Hanya Allah tempat kita ber-tawakkal. Malah seorang mukmin tidak boleh ber-tawakkal kepada dirinya sendiri.
“Wahai Allah Yang Maha Hidup, wahai Allah Yang Senantiasa Mengurusi, tidak ada tuhan selain Engkau, dengan rahmatMu aku memohon pertolongan, perbaikilah keadaan diriku seluruhnya dan jangan Engkau serahkan nasibku kepada diriku sendiri (walau) sekejap mata, tidak pula kepada seorang manusiapun.” (HR Thabrani 445)
Sumber : Surat sahabat