Suatu kebijakan yang konyol. Pemerintah selama ini selalu dalam posisi reaktif dan bukan dalam posisi aktif. Yang harus dipastikan pemerintah Indonesia adalah bagimana mendesak negara-negara tujuan yang selama ini belum memberikan kepastian hukum atas hak informasi dan komunikasi. Harus dipastikan bahwa hak tersebut diatur dalam kontrak kerja maupun MoU atau bilateral agreement dengan negara tujuan, dan bukan pada pengadaan HPnya. Masalah akses informasi dan komunikasi sangatlah tidak cukup diatasi dengan memberikan kelengkapan alat telekomunikasinya, tetapi lebih dari itu adalah perlindungan hukum. Persoalan krusial buruh migran di berbagai negara terutama Saudi Arabia, Malaysia, dan beberapa negara di Timur Tengah harus dituntaskan dengan perlindungan hukum yang berpihak serta diplomasi yang berkualitas.
Dan soal TKI ini nggak bisa dipaksakan solusinya dengan sepotong-sepotong. Harus secara menyeluruh. Bukan hanya yang disoroti soal skill saja, bukan yang disoroti hanya hukumnya saja bla bla bla. Setidaknya ada tiga poin utama yang harus jadi perhatian bersama. Pertama, kasus ini mestinya jadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penempatan dan perlindungan buruh migran yang terbukti gagal memberikan perlindungan.
Evaluasi ini untuk melihat efektivitas keseluruhan kebijakan yang ada, baik UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, nota kesepahaman dengan sejumlah negara tujuan, maupun peraturan lain. Termasuk kinerja 18 instansi berwenang dalam penempatan dan perlindungan buruh migran tetapi tak efektif bersinergi.
Kedua, evaluasi terhadap kinerja legislatif secara menyeluruh, baik pada tingkat legislasi, pengawasan, maupun anggaran. Tahun 2010, revisi UU No 39 Tahun 2004 telah jadi prioritas Prolegnas DPR. Akan tetapi, progres proses pembahasan belum tampak sama sekali. Bahkan, hingga kini DPR belum selesai membuat draf legal, padahal tahun 2010 tinggal sebulan.
Ditundanya pembahasan RUU PRT yang sejatinya prioritas 2010 juga pertanyaan besar dalam situasi di mana PRT migran Indonesia di sejumlah negara minim perlindungan. Tersendatnya penuntasan revisi MoU RI-Malaysia mengenai penempatan domestic workers yang sudah berjalan 1,5 tahun salah satunya karena Pemerintah Indonesia belum memiliki legislasi nasional untuk perlindungan PRT.
Ratifikasi konvensi buruh migran mestinya jadi concern bersama. Namun, ironisnya, ratifikasi ini tidak masuk dalam agenda Prolegnas DPR 2009-2014.
Ketiga, evaluasi terhadap kinerja kabinet, terutama menteri tenaga kerja dan menteri luar negeri. Terulangnya kembali kasus serupa dan tak hanya sekali bisa jadi pertimbangan bagi SBY untuk mengevaluasi kinerja kabinetnya. Masyarakat menunggu ketegasan SBY untuk secara obyektif dan tegas memberikan penilaian terhadap kinerja kabinet yang terbukti lemah dan tak punya kompetensi layak.
Persoalan buruh migran sejatinya persoalan kegagalan negara menyediakan lapangan kerja dan kegagalan melindungi warga negara di luar negeri. Inti dari persoalan ini: lemahnya perlindungan hukum, penegakan HAM, penegakan hukum, dan diplomasi pemerintah yang tak bisa dijawab dengan alat komunikasi.
Penyelesaian kasus Sumiati sesungguhnya menuntut diplomasi tingkat tinggi antarkepala negara. SBY semestinya menyatakan protes langsung ke Raja Arab Saudi atas penganiayaan keji terhadap Sumiati dan menuntut tanggung jawab untuk menuntaskan kasus ini melalui proses hukum yang fair. Hal ini sungguh lebih strategis di mata internasional daripada pejabat negara setingkat menteri mendatangi rumah korban. Meskipun hal ini juga tidak salah, mestinya para pejabat memiliki skala prioritas dalam menuntaskan kasus-kasus buruh migran.
Sepanjang 2010, setidaknya ada 5.635 PRT migran Indonesia mengalami persoalan serius di Arab. Persoalan meliputi penyiksaan, kekerasan seksual, tidak digaji, kerja over-time, dan kerja tak layak. Terjadinya kasus-kasus tersebut, termasuk kasus Sumiati, tak relevan dikaitkan dengan tingkat pendidikan dan keterampilan PRT migran. Ini lebih karena lemahnya perlindungan hukum kedua negara dan masih kuatnya praktik perbudakan di Arab Saudi.
Kasus Sumiati harus jadi daya dorong bagi Indonesia dan Arab Saudi untuk segera membentuk kesepakatan bilateral bagi perlindungan PRT migran Indonesia. Dalam proses menuju ke arah itu, pemerintah harus segera menyatakan moratorium atau penghentian pengiriman buruh migran ke Arab Saudi dan menyatakan Arab Saudi zona merah karena terbukti tak menghormati HAM.
Untuk itu, moratorium tak sekadar dipahami sebagai sikap politik, tetapi harus jadi momentum evaluasi menyeluruh sehingga terjadi perubahan dan perbaikan bagi perlindungan buruh migran.
Sekian dan terima kasih!!!