nurcahyo
New member
TNI Tetap Berperan Dalam Pemberantasan Terorisme
Kapanlagi.com - TNI tetap memiliki peranan dalam pemberantasan terorisme di antaranya dengan melakukan tugas pengamanan dan pertahanan wilayah guna mencegah adanya penyusupan terorisme dari luar negeri.
"TNI berperan menjaga pertahanan dan menjaga wilayah perbatasan serta titik rawan konflik di Indonesia," kata Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik saat mendampingi Utusan khusus (special rapporteur) PBB untuk masalah HAM Vitit Muntarbhorn dan anggota Eminent Jurists Panel (EJP), Raul Zaffa Roni di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (06/12).
Rachland menjelaskan, selain melakukan pengamanan tersebut, TNI juga dapat memberikan bantuan memberikan informasi yang dianggap perlu dan berguna untuk penanggulangan terorisme.
"Namun, TNI tidak boleh melampaui kewenangannya sebagai fungsi pertahanan tersebut, TNI secara khusus tidak boleh mengambil alih peran penegakan hukum seperti penangkapan dan penahanan," katanya.
Rachland menegaskan, tugas penangkapan dan penahanan merupakan penegakan hukum yang menjadi kewenangan dari polisi. Jika pihak kepolisian melakukan salah tangkap, korban dapat mengajukan praperadilan dan hal itu berbeda dengan TNI, yang belum ada aturannya.
"TNI dapat ikut terlibat dengan melakukan pengerahan kekuatan, jika mereka diminta bantuan polisi, namun jangan sampai ikut melakukan investigasi. Jangan tentara dong yang melakukan investigasi," ujarnya.
Oleh karena itu, Rachland menambahkan bahwa pihaknya terus mendorong proses penyelesaian pembahasan RUU Intelijen di DPR yang saat ini masih berlangsung.
Proses pembahasan RUU Intelijen tersebut diharapkan dapat memberi jalan yang jelas terhadap batasan kewenangan kekuasaan intelijen agar tidak bertabrakan atau menjadi problem yang merusak sistem peradilan di Indonesia.
Rachland menambahkan, EJP merupakan lembaga yang dibentuk oleh International Commission of Jurists yang terdiri atas delapan orang pakar hukum yang bertugas secara khusus menangani masalah terorisme, penanganannya serta dampaknya terhadap HAM.
EJP bersama Imparsial melakukan public hearing selama dua hari (6-7/12) dari dua perspektif yakni masyarakat sipil dan dari pihak pemerintah, untuk mengali informasi mengenai upaya sejumlah negara dalam mengahadapi terorisme dengan dilakukan pemaparan para negara peserta di antaranya di Filipina, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Utusan khusus (special rapporteur) PBB untuk masalah HAM Vitit Muntarbhorn dalam kesempatan itu, mengkhawatirkan meluasnya penyebaran personel-personel intelijen ke dalam fungsi penegakan hukum dalam pemberantasan melawan terorisme.
Fungsi intelijen, katanya, seharusnya sebatas mengumpulkan informasi dan bukan melakukan fungsi investigasi, penahanan dan lainnya.
"Ini menjadi perhatian kami dalam melakukan upaya counter terrorism, intelijen harusnya tidak melakukan fungsi penegakan hukum, karena apa pun hukum yang dianut seharusnya tidak mengabaikan nilai HAM yang ada," katanya.
Persoalan yang saat ini mengemuka, katanya, adalah isu tentang perundang-undangan yang ada di setiap negara yang bisa dipakai untuk melawan terorisme. Di beberapa negara, beberapa UU kriminal juga bisa dipakai untuk melawan terorisme.
"Banyak negara melakukan aksi melawan terorisme namun tanpa perimbangan yang tepat antara penegakan hukum dengan penegakan HAM seperti memberikan hak-hak yang layak bagi tersangka seperti bertemu dengan keluarganya serta kesempatan berkomunikasi dan memperoleh informasi," katanya.
Kapanlagi.com - TNI tetap memiliki peranan dalam pemberantasan terorisme di antaranya dengan melakukan tugas pengamanan dan pertahanan wilayah guna mencegah adanya penyusupan terorisme dari luar negeri.
"TNI berperan menjaga pertahanan dan menjaga wilayah perbatasan serta titik rawan konflik di Indonesia," kata Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik saat mendampingi Utusan khusus (special rapporteur) PBB untuk masalah HAM Vitit Muntarbhorn dan anggota Eminent Jurists Panel (EJP), Raul Zaffa Roni di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (06/12).
Rachland menjelaskan, selain melakukan pengamanan tersebut, TNI juga dapat memberikan bantuan memberikan informasi yang dianggap perlu dan berguna untuk penanggulangan terorisme.
"Namun, TNI tidak boleh melampaui kewenangannya sebagai fungsi pertahanan tersebut, TNI secara khusus tidak boleh mengambil alih peran penegakan hukum seperti penangkapan dan penahanan," katanya.
Rachland menegaskan, tugas penangkapan dan penahanan merupakan penegakan hukum yang menjadi kewenangan dari polisi. Jika pihak kepolisian melakukan salah tangkap, korban dapat mengajukan praperadilan dan hal itu berbeda dengan TNI, yang belum ada aturannya.
"TNI dapat ikut terlibat dengan melakukan pengerahan kekuatan, jika mereka diminta bantuan polisi, namun jangan sampai ikut melakukan investigasi. Jangan tentara dong yang melakukan investigasi," ujarnya.
Oleh karena itu, Rachland menambahkan bahwa pihaknya terus mendorong proses penyelesaian pembahasan RUU Intelijen di DPR yang saat ini masih berlangsung.
Proses pembahasan RUU Intelijen tersebut diharapkan dapat memberi jalan yang jelas terhadap batasan kewenangan kekuasaan intelijen agar tidak bertabrakan atau menjadi problem yang merusak sistem peradilan di Indonesia.
Rachland menambahkan, EJP merupakan lembaga yang dibentuk oleh International Commission of Jurists yang terdiri atas delapan orang pakar hukum yang bertugas secara khusus menangani masalah terorisme, penanganannya serta dampaknya terhadap HAM.
EJP bersama Imparsial melakukan public hearing selama dua hari (6-7/12) dari dua perspektif yakni masyarakat sipil dan dari pihak pemerintah, untuk mengali informasi mengenai upaya sejumlah negara dalam mengahadapi terorisme dengan dilakukan pemaparan para negara peserta di antaranya di Filipina, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Utusan khusus (special rapporteur) PBB untuk masalah HAM Vitit Muntarbhorn dalam kesempatan itu, mengkhawatirkan meluasnya penyebaran personel-personel intelijen ke dalam fungsi penegakan hukum dalam pemberantasan melawan terorisme.
Fungsi intelijen, katanya, seharusnya sebatas mengumpulkan informasi dan bukan melakukan fungsi investigasi, penahanan dan lainnya.
"Ini menjadi perhatian kami dalam melakukan upaya counter terrorism, intelijen harusnya tidak melakukan fungsi penegakan hukum, karena apa pun hukum yang dianut seharusnya tidak mengabaikan nilai HAM yang ada," katanya.
Persoalan yang saat ini mengemuka, katanya, adalah isu tentang perundang-undangan yang ada di setiap negara yang bisa dipakai untuk melawan terorisme. Di beberapa negara, beberapa UU kriminal juga bisa dipakai untuk melawan terorisme.
"Banyak negara melakukan aksi melawan terorisme namun tanpa perimbangan yang tepat antara penegakan hukum dengan penegakan HAM seperti memberikan hak-hak yang layak bagi tersangka seperti bertemu dengan keluarganya serta kesempatan berkomunikasi dan memperoleh informasi," katanya.