singthung
New member
Transcendence
Oleh: Ajahn Chah
Oleh: Ajahn Chah
Ketika kelompok lima pertapa ( Pancavaggiya Bhikkhu, atau "kelompok lima pertapa", yang mengikuti Sang Calon Buddha (Bodhisatta) ketika Beliau mengembangkan berbagai praktek pertapaan, serta yang meninggalkan Beliau ketika Beliau meninggalkan praktek tersebut menuju praktek Jalan Tengah, dan segera setelah itu Sang Bodhisatta mencapai Pencerahan Sempurna.) meninggalkan Sang Buddha, Beliau memandang hal itu sebagai pukulan yang menguntungkan, karena Beliau bisa melanjutkan praktek Beliau tanpa rintangan. Dengan lima orang pertapa yang hidup bersama Beliau, suasana mejadi tidak begitu tenang, Beliau menanggung berbagai tanggung-jawab. Kini kelima pertapa telah meninggalkan Beliau karena mereka merasa bahwa Beliau telah mengendurkan latihan dan kembali pada kesenangan. Sebelumnya Beliau sangat tekun pada praktek pertapaan dan penyiksaan diri. Dalam hal makan, tidur, dan sebagainya, Beliau telah menyiksa dirinya secara hebat, tetapi hal itu sampai pada satu titik di mana setelah diperiksa secara jujur, Beliau menyadari bahwa praktek-praktek seperti itu tidaklah bermanfaat. Ia hanyalah suatu pandangan, yang diptaktekkan atas dasar kesombongan dan kemelekatan. Beliau telah salah memandang nilai-nilai duniawi dan menduganya sebagai kebenaran.
Misalnya, jika seseorang memutuskan untuk menerjunkan dirinya dalam praktek pertapaan dengan tujuan untuk memperoleh pujian ?praktek semacam ini semuanya merupakan "semangat duniawi", praktek untuk mendapatkan pujian dan kemasyhuran. Praktek dengan tujuan semacam ini disebut "menilai jalan duniawi sebagai kebenaran".
Cara lain yang salah dalam praktek adalah "menilai pandangan sendiri sebagai kebenaran". Kalian hanya mempercayai diri sendiri, mempercayai praktek kalian sendiri. Tidak peduli apa yang dikatakan orang lain, kalian melekat pada pilihan sendiri. Kalian tidak mempertimbangkan praktek dengan cermat. Ini disebut "menilai diri sendiri sebagai kebenaran".
Apakah kalian memandang dunia atau diri sendiri sebagai kebenaran, ?semuanya hanyalah kemelekatan membuta. Sang Buddha melihat hal ini, dan melihat bahwa tidak ada "menyatu dalam Dhamma", praktek demi kebenaran. Sehingga prakteknya tidak memberikan hasil, ia tetap belum melepaskan kekotoran-kekotoran.
Selanjutnya Beliau berbalik dan mempertimbangkan kembali semua hal yang sudah Beliau praktekkan sejak awal ditinjau dari segi hasilnya. Apakah hasil dari semua praktek itu? Setelah memeriksa dengan seksama, Beliau menyadari bahwa hal itu salah. Hal itu penuh kesombongan, dan penuh dengan hal-hal duniawi. Di sana tak ada Dhamma, tak ada pandangan-terang tentang anatta (tanpa-pribadi), tak ada kekosongan atau pelepasan. Mungkin di sana ada sejenis pelepasan, tetapi ia adalah dari jenis yang masih belum melepas.
Setelah mempertimbangkan keadaan dengan berhati-hati, Sang Buddha melihat bahwa seandainya pun Beliau menjelaskan hal-hal ini pada kelima pertapa, mereka tak akan mampu untuk mengerti. Hal itu bukanlah sesuatu yang bisa secara mudah Beliau sampaikan kepada mereka, karena para pertapa itu masih sangat berakar pada cara lama dalam prakteknya dan dalam melihat segala sesuatunya.
Setelah mempertimbangkan dengan dalam, Beliau melihat praktek yang benar, samma patipada: batin adalah batin, jasmani adalah jasmani. Jasmani bukanlah nafsu-keinginan atau kekotoran-batin. Meskipun seandainya kalian melenyapkan si jasmani, kalian tidak akan melenyapkan kekotoran-kekotoran batin. Ia bukanlah sembernya. Bahkan berpuasa dan tidak tidur sama sekali sampai jasmani memjadi layu mengerikan, tak akan melenyapkan kekotoran-kekotoran batin. Tetapi kepercayaan bahwa kekotoran bisa disingkirkan dengan cara itu, ajaran penyiksaan diri, sudah sangat mendarah daging pada kelima pertapa itu.
Sang Buddha selanjutnya mulai makan lebih banyak, makan seperti biasa, praktek secara lebih wajar. Ketika kelima petapa melihat perubahan cara praktek Sang Buddha, mereka mengira bahwa Beliau sudah menyerah dan kembali pada kesenangan inderawi. Pemahaman seseorang telah bergeser ke arah yang lebih tinggi, yang melampaui penampilan, sedangkan orang lain melihat bahwa pandangan orang itu tergelincir ke bawah, kembali pada kenikmatan. Penyiksaan diri sangat melekat dalam batin kelima pertapa itu karena pada awalnya Sang Buddha telah mengajarkan dan berlatih seperti itu. Sekarang Beliau melihat kesalahan itu. Dengan melihat kesalahan tersebut secara jelas, Beliau mampu melepaskan hal itu.
Ketika kelima pertapa melihat Sang Buddha melakukan ini mereka meninggalkan Beliau, karena merasa bahwa Beliau berlatih dengan salah dan mereka tak ingin mengikuti Beliau lagi. Tepat seperti burung yang meninggalkan pohon yang tidak bisa menyediakan tempat berteduh lagi, atau ikan yang meninggalkan kolam yang terlalu kecil, kotor atau dingin, demikianlah kelima pertapa meninggalkan Sang Buddha.
Jadi sekarang Sang Buddha memusatkan pada perenungan terhadap Dhamma. Beliau makan lebih baik dan hidup secara lebih wajar. Beliau membiarkan batin sebagai batin, jasmani sebagai jasmani. Beliau tidak memaksakan praktek secara berlebihan, hanya sepantasnya untuk melepaskan cengkraman keserakahan, keengganan dan khayalan. Selanjutnya Beliau telah menjalani dua ekstrim: kamasukhallikanuyogo ?jika timbul kebahagiaan atau cinta beliau akan terpikat dan melekat padanya. Beliau akan memihak padanya dan tak akan membiarkannya pergi. Jika Beliau menjumpai penderitaan Beliau akan melekat padanya juga. Kedua ekstrim ini Beliau sebut "kamasukhallikanuyogo" dan "attakilamathanuyogo".
Sang Buddha telah memahami berbagai keadaan. Dengan jelas Beliau melihat bahwa kedua jalan ini bukanlah jalan bagi seorang samana. Melekat pada kebahagiaan, melekat pada penderitaan: seorang samana tidalah seperti itu. Melekat pada hal-hal itu bukanlah Sang Jalan. Karena melekat pada hal-hal itu Beliau terikat pada pandangan tentang pribadi dan dunia. Seandainya Beliau terus menggeluti kedua jalan ini, Beliau tak akan pernah menjadi seorang yang memahami dunia dengan terang dan jelas. Beliau akan tetap berlari dari satu kelahiran ke kelahiran yang lain. Sekarang Sang Buddha memutuskan perhatian pada batin itu sendiri dan mencermati latihan itu.
Semua segi dari alam berjalan sesuai dengan berbagai kondisi pendukungnya, mereka bukanlah merupakan persoalan di dalam dirinya sendiri. Misalnya penyakit dalam tubuh. Jasmani merasakan nyeri, sakit, demam, selesma dan sebagainya. Mereka semua muncul begitu saja. Sesungguhnya orang terlalu mencemaskan jasmaninya. Mereka begitu cemas dan melekat pada jasmaninya karena pandangan salah, mereka tak bisa melepaskannya.
Lihatlah ruangan ini. Kita membangun ruangan ini dan mengatakan ini milik kita, tetapi cicak datang dan hidup di sini, tikus dan tokek datang dan hidup di sini, dan kita selalu mengusir mereka, karena kita menganggap bahwa ruangan ini milik kita, bukan milik tikus dan cicak.
Begitu pula dengan penyakit di dalam tubuh. Kita menganggap tubuh ini sebagai rumah kita, sesuatu yang benar-benar milik kita. Jika kita terkena sakit kepala atau perut, kita terganggu, kita tidak menginginkan rasa nyeri dan penderitaan. Kaki ini "kaki kita", kita tidak menginginkan mereka terluka, tangan ini "tangan kita", kita tidak menginginkan mereka terluka. Kita melihat kepala sebagai "kepala kita", kita tak menginginkan ada yang salah padanya. Kita membelanjakan berapa pun untuk menyembuhkan semua rasa nyeri dan penyakit.
Di sinilah kita dikelabui dan menyimpang dari kebenaran. Kita hanyalah pengunjung pada jasmani ini. Tepat seperti ruangan ini, sesungguhnya ia bukan milik kita. Kita hanyalah penyewa sementara, seperti para tikus, cicak, dan tokek... tetapi kita tidak mengetahuinya. Begitulah jasmani ini. Sang Buddha mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada tempat pribadi di dalam jasmani ini, tetapi kita mengejar dan menangkapnya sebagai diri kita. Sebagai betul-betul "kita" dan "mereka". Ketika jasmani berubah, kita tidak menginginkannya seperti itu. Tak peduli sudah berapa kali kita diberitahu, kita tetap tidak memahaminya. Jika saya katakan secara langsung kalian bahkan akan lebih bingung. "Ini bukanlah dirimu sendiri", saya katakan demikian, dan kalian akan lebih tersesat, kalian akan lebih keliru dan praktek kalian hanya akan memperkuat sang diri/pribadi.
Jadi pada umumnya orang-orang tidak benar-benar melihat sang diri ini. Ia yang melihat sang diri adalah ia yang melihat bahwa "ini bukanlah sang diri maupun menjadi milik pribadi". Ia melihat diri/pribadi sebagai apa adanya di semesta. Melihat pribadi melalui kekuatan kemelekatan bukanlah melihat yang sesungguhnya. Kemelekatan mengganggu seluruh pekerjaan. Tidaklah mudah untuk menyadari jasmani ini sebagai apa adanya karena upadana melekat kuat pada semuanya.
Oleh karena itu dikatakan bahwa kita harus menyelidiki untuk mengetahui secara jelas dengan kebijaksanaan. Ini berarti menyelidiki sankhara (Sankhara: fenomena yang terkondisi. Penggunaan istilah ini dalam bahasa Thai biasanya secara khusus menunjuk pada jasmani, walaupun sankhara juga menunjuk pada perwujudan mental.) sesuai dengan sifat alamiah mereka. Gunakan kebijaksanaan. Mengetahui sifat alamiah sankhara adalah kebijaksanaan. Jika kalian tidak mengetahui sifat alamiah sankhara kalian selalu berselisih dengan mereka, selalu menolak mereka. Jadi, apakah lebih baik melepaskan sankhara ataukah berusaha menentang atau menolak mereka? Sekalipun demikian kita minta mereka dengan sangat untuk menuruti pengharapan-pengharapan kita. Kita mencari berbagai cara untuk mengatur mereka atau "membuat janji" dengan mereka. Jika jasmani sakit dan sedang merasa nyeri, kita tidak menginginkannya begitu, maka kita mencari berbagai Sutta untuk dialunkan, seperti Bojjhango, Dhammacakkap pavattanasutta, Anattalakkhanasutta, dan sebagainya. Kita tidak menginginkan jasmani dalam keadaan sakit, kita ingin melindunginya, mengendalikannya. Sutta-sutta ini menjadi suatu bentuk upacara mistik, yang menjadikan kita lebih terjerat di dalam kemelekatan. Ini karena mereka mengalunkan sutta/paritta untuk menangkal penyakit, untuk memperpanjang kehidupan dan sebagainya. Sesungguhnya Sang Buddha memberi kita ajaran-ajaran ini untuk melihat secara jelas tetapi kita akhirnya mengalunkan mereka untuk menambah khayalan kita.
Rupam aniccam, vedana aniccam, sa??a aniccam, sankhara aniccam, vi??anam aniccam (Bentuk/jasmani adalah tidak kekal,perasaan tidaklah kekal, pencerapan tidaklah kekal, kehendak tidaklah kekal, kesadaran tidaklah kekal.)... Seharusnya kita tidak mengalunkan kata-kata ini untuk menambah khayalan kita. mereka merupakan renungan untuk membantu kita mengetahui kebenaran dari jasmani ini, sehingga kita bisa melepaskannya dan membuang kerinduan/keinginan kita.
Ini disebut mengalunkan sesuatu untuk memotong, tetapi kita cenderung mengalunkan sesuatu untuk memperluasnya, atau bila kita merasa mereka terlalu panjang kita berusaha menyingkatnya, untuk memaksa semesta memenuhi pengharapan kita. Ini semua merupakan khayalan. Semua orang yang duduk di ruangan itu diperdaya, setiap orang dari mereka. Mereka yang mengalunkan diperdaya, mereka yang mendengarkan diperdaya, mereka semua diperdaya! Semua yang bisa mereka pikirkan adalah "Bagaimana kita bisa menghindari penderitaan?" Lalu di manakah mereka pernah berlatih?
Ketika penyakit datang, mereka yang telah mengetahui tidak melihat adanya keanehan di sana. Dengan terlahirkan di dunia ini tentulah membawa pengalaman diserang peyakit. Bagaimanapun, bahkan Sang Buddha dan para Siswa Mulia, dalam perjalanan hidupnya terkena penyakit, dan juga, dalam perjalanan hidupnya mereka merawatnya dengan obat. Bagi mereka, hal itu hanyalah persoalan memperbaiki unsur-unsur. Mereka tidak melekat pada jasmani secara membuta atau terikat pada upacara-upacara mistik dan semacamnya. Mereka memperlakukan penyakit dengan Pandangan Benar, mereka tidak memperlakukannya dengan khayalan. "Jika ia sembuh, ya sembuh, jika tidak, ya tidak" ?begitulah mereka melihatnya.
Mereka mengatakan bahwa sekarang ini agama Buddha di Thailand sedang berkembang, tetapi bagi saya tampaknya agama Buddha merosot sangat jauh. Ruangan Dhamma penuh dengan telinga yang memperhatikan, tetapi mereka memperhatikan secara salah. Bahkan anggota masyarakat yang senior pun seperti itu, jadi setiap orang hanya menuntun yang lainnya ke dalam khayalan yang lebih besar.
Orang yang memahami hal ini akan mengetahui bahwa praktek yang sejati hampir berlawanan dengan yang dikerjakan orang pada umumnya, kedua kelompok ini hampir tidak bisa saling memahami. Bagaimana orang-orang seperti itu akan mengatasi penderitaan? Mereka memiliki sutta/paritta untuk dapat menyadari kebenaran tetapi mereka berputar dan menggunakannya untuk memperbesar khayalan mereka. Mereka membelakangi jalan yang benar. Yang satu ke Timur, yang lainnya ke Barat ?bagaimana mereka bisa bertemu? Mereka bahkan tidak menjadi lebih dekat satu dengan yang lainnya.
Jika kalian telah memeriksanya kalian akan mengetahui begitulah persoalannya. Kebanyakan orang tersesat. Tetapi bagaimana kalian bisa memberitahu mereka? Segala sesuatu telah menjadi tatacara, upacara, dan upacara mistik. Mereka ber-chanting (mengalunkan sutta/paritta) tetapi mereka mengalunkan dengan kebodohan, mereka tidak mengalunkan dengan kebijaksanaan. Mereka belajar, tetapi mereka belajar dengan kebodohan, tidak dengan kebijaksanaan. Mereka mengetahui, tetapi mereka mengetahui dengan kebodohan, tidak dengan kebijaksanaan. Jadi mereka berakhir dengan kebodohan, hidup dengan kebodohan, mengetahui dengan kebodohan. Begitulah adanya. Dan mengajar... semua yang mereka kerjakan sekarang ini adalah mengajar orang-orang agar pandai, memberi mereka pengetahuan, tetapi jika kalian meninjau dari segi kebenaran, kalian melihat bahwa mereka benar-benar mengajar orang-orang untuk tersesat dan terikat pada muslihat.
Dasar dari ajaran yang sebenarnya adalah untuk melihat atta sang diri/pribadi, sebagai kosong, tidak mempunyai identitas yang pasti. Ia tidak berisi sesuatu yang hakiki. Tetapi orang belajar Dhamma untuk memperkuat pandangan pribadi mereka, jadi mereka tidak ingin merasakan penderitaan atau kesulitan. Mereka ingin agar semuanya menyenangkan. Mereka mungkin ingin mengatasi penderitaan, tetapi jika masih tetap ada pribadi bagaimana mereka bisa melakukannya?
Coba pikirkan... seandainya kita mempunyai satu benda yang sangat mahal. Tepat pada saat benda itu telah kita miliki pikiran kita berubah... "Sekarang, di mana saya bisa menyimpannya? Jika saya biarkan di sana seseorang mungkin mencurinya" ...Kita menyusahkan diri sendiri dalam suatu keadaan, berusaha menemukan tempat untuk menyimpannya. Dan kapankah pikiran itu berubah? Ia berubah pada saat kita mempunyai benda tadi ?penderitaan segera timbul. Tidak peduli di mana kita meninggalkan benda tadi kita tidak bisa santai, jadi kita mewarisi persoalan. Apakah ketika sedang duduk, berjalan, atau berbaring, kita tenggelam di dalam kecemasan.
Inilah penderitaan. Dan kapankah ia timbul? Ia timbul segera setelah kita mengerti bahwa kita telah mendapatkan sesuatu, di sanalah letak penderitaan. Sebelum kita memiliki benda itu tidak ada penderitaan. Ia belum muncul karena belum ada benda baginya untuk dilekati.
Atta, sang diri, juga begitu. Jika kita berpikir dengan pola "diriku", maka segala sesuatu di sekeliling kita menjadi "milikku". Kebingungan mengikutinya. Mengapa demikian? Penyebab semua itu adalah adanya sang diri, kita tidak melepaskan apa Yang Tertampak untuk melihat Yang Transenden (yang melampauinya). Kalian tahu, sang diri ini hanyalah yang tertampak. Kalian harus mengelupas yang tertampak ini untuk melihat intinya, yaitu Yang Transenden. Balikkan Yang Tertampak untuk menemukan Yang Transenden.
Kalian bisa membandingkannya dengan padi yang belum diirik. Dapatkah padi yang belum diirik itu dimakan? Tentunya bisa, tetapi kalian harus mengiriknya dahulu. Pisahkan dari sekamnya dan kalian akan mendapatkan beras di dalamnya.
Sekarang jika kita tidak mengirik sekamnya, kita tak mendapatkan berasnya. Bagaikan seekor anjing tidur di atas tumpukan padi yang belum diirik. Perutnya keroncongan "grok-grok-grok", tetapi yang bisa dilakukannya hanya berbaring di sana, dengan pikiran "Di manakah dapat kuperoleh sesuatu untuk dimakan?" Ketika dia lapar, dia meloncat meninggalkan tumpukan padi dan berlari mencari sisa-sisa makanan. Walaupun dia tidur tepat di atas timbunan makanan tetapi dia tidak menyadarinya. Mengapa? Dia tidak bisa melihat beras. Anjing tidak bisa memakan butiran padi yang belum diirik. Makanan ada di sana tetapi si anjing tidak bisa memakannya.
Kita mungkin sudah belajar tetapi jika kita tidak praktek sesuai dengan itu kita tetap tidak memahaminya, terlena seperti si anjing yang tidur di atas tumpukan padi. Dia tidur pada setumpuk makanan tetapi dia tidak mengetahuinya. Ketika dia lapar dia meloncat dan pergi mencari makanan di tempat lain. Memalukan, bukan?
Sekarang ini juga sama: ada butir padi tetapi apa yang menghalanginya? Sekam yang menyembunyikan butir padi, sehingga si anjing tidak bisa memakannya. Dan ada Yang Transenden. Apa yang menyembunyikannya? Yang Tertampak menyembunyikan Yang Transenden, membuat orang hanya "duduk di atas tumpukan padi, tak bisa memakannya", tidak bisa berlatih, tidak bisa melihat Yang Transenden. Dengan demikian mereka hanya melekat pada penampilan dari waktu ke waktu. Jika kalian melekat pada penampilan/yang tertampak maka penderitaan yang akan terjadi, kalian akan dikepung oleh proses dumadi, kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian.
Janganlah berpikir bahwa dengan belajar dan tahu banyak, kalian akan mengerti Buddha Dhamma. Hal itu bagaikan mengatakan kalian telah melihat segala sesuatu yang bisa dilihat hanya karena kalian memiliki mata, atau bahwa kalian telah mendengar segala sesuatu yang bisa didengar hanya karena kalian memiliki telinga. Kalian mungkin melihat tetapi kalian tidak melihat sepenuhnya. Kalian hanya melihat dengan "mata luar", tidak dengan "mata dalam"; kalian mendengar dengan "telinga luar", tidak dengan "telinga dalam".
Jika kalian membalik Yang Tertampak dan membuka Yang Transenden, kalian akan menggapai kebenaran dan melihat dengan jelas. Kalian akan merobohkan Yang Tertampak dan merobohkan kemelekatan.
Ini seperti buah yang manis: biarpun buahnya manis tetapi kita harus mencobanya dulu sebelum kita bisa mengetahui bagaimana rasanya. Sekarang buah itu, walaupun tidak seorangpun mencobanya, tetaplah selalu manis. Tetapi tidak seorangpun mengetahuinya. Begitulah Dhamma Sang Buddha. meskipun merupakan kebenaran, tetapi ia tidaklah benar bagi mereka yang tidak sungguh-sungguh mengetahuinya. Tidak peduli betapa unggul dan bagus keadaannya, ia tetap tidak berharga untuk mereka.
Sekarang mengapa orang merebut penderitaan? Siapakah di dunia ini yang ingin memberi penderitaan pada dirinya? Tidak seorangpun tentunya. Tidak seorangpun menginginkan penderitaan tetapi orangtetap membuat sebab-sebab penderitaan, tepat bagaikan mereka berkelana untuk mencari penderitaan. Di dalam batinnya orang mencari kebahagiaan, mereka tidak menginginkan penderitaan. Lalu mengapa batin kita menciptakan begitu banyak penderitaan? Kita tidak menyukai penderitaan tetapi mengapa kita menciptakan penderitaan bagi diri kita sendiri? Sangatlah mudah... itu semua karena kita tidak mengetahui penderitaan. Kita tidak mengetahui penderitaan, tidak mengetahui sebab penderitaan, tidak mengetahui akhir penderitaan, dan tidak mengetahui jalan yang membawa pada akhir penderitaan. Itulah sebabnya orang berkelakuan seperti yang mereka lakukan. Bagaimana mereka tidak menderita jika mereka tetap berkelakuan seperti itu?