langit_byru
New member
Suwandi Sudjono
Dengan Tu-16 Fly Over Kualalumpur
1961, dia menjemput dua pesawat Tu-16 Badger ke Rusia. Sembilan tahun kemudian, 1970, dia pula yang menerbangkan pembom raksasa itu untuk terakhir kali dan langsung meng-grounded.
M-1625 TERAKHIR - M-1625 adalah Tu-16 terakhir yang diterbangkan./Foto: Dok. Suwandi
Seperti sudah menjadi pengetahuan bersama, Indonesia pernah mengoperasikan pembom strategis, Tupolev Tu-16 Badger. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, 24 pesawat. 12 versi pembom (Badger A), 12 pesawat lagi versi pembopong rudal anti kapal permukaan KS-1 (AS-1 Kennel). Versi pembom dioperasikan Skadron 41, sementara Tu-16 KS di Skadron 42. Keduanya beroperasi dibawah kendali Wing 003.
Marsma (Pur) Suwandi Sudjono, penerbang Indonesia pertama yang mencicipi Tu-16 sekaligus menerbangkannya untuk terakhir kali (farewell flight) pada bulan Oktober 1970, menuturkan pengalaman yang dilaluinya 39 tahun lalu. Disela keterbatasan daya ingat yang mulai menurun, penerbang lulusan Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) X 1960 ini, menerima Angkasa di kediamannya di Komplek Perumahan TNI AU, Jatiwaringin.
Diselimuti rahasia
Usai merampungkan pendidikan penerbang di SPL Yogjakarta, Letda Udara Suwandi beserta tiga rekannya Sumarno, J Wattimena, dan DEF Dumatubun, langsung ditempatkan di Skadron 1/Pembom, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. Malang tak bisa dihindari, Wattimena dan Dumatubun gugur dalam latihan terbang malam menggunakan pesawat B-25 Mitchell tanggal 25 Mei 1960. Pesawatnya jatuh di daerah Pondok Gede (sekarang stasiun pengisian bahan bakar umum-Red), enam hari sebelum Presiden Soekarno menyematkan wing penerbang di dadanya sebagai penerbang TNI AU.
Belum sampai setahun bercokol sebagai bomber, Februari 1961 datang panggilan yang tidak pernah diduga-duga Suwandi. Dia dan Sumarno (marsma purnawirawan, wafat 5 April 1991), ditugaskan menjemput pesawat yang paling menakutkan saat itu. Hanya Amerika dengan pembom B-58 Hustler-nya serta Inggris dengan pembom uniknya V bomber, yang mampu mengimbangi Uni Soviet. Lucunya, Suwandi dan tentu juga Sumarno, mengaku tidak tahu-menahu seperti apa sosok Tu-16 serta seberapa besar daya deterent-nya (bagi Barat). "Saya masih muda, tidak tahu menahu. Saya hanya merasa senang karena ke luar negeri. Pokoknya, tahunya berangkat dan membawa pulang Tu-16 dengan selamat," tutur Suwandi, pria kelahiran Banyumas, 4 April 1936.
"Padahal saya masih ko-pilot," katanya lagi. Memang, ketika diberangkatkan, Suwandi dan Sumarno masih berstatus ko-pilot (B-25). Tapi begitulah keadaan TNI AU pada tahun-tahun 50-an dan 60-an. Terutama setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1950 yang meninggalkan puluhan pesawat bagi TNI AU, kebutuhan kapten pilot menjadi sangat mendesak. Comot sana-sini, peralihan tugas hampir tidak terduga. Kalau hari ini terbang B-25, bisa saja besoknya pilot bersangkutan terbang C-47 Dakota. Keadaannya semakin tak terkendali, ketika Soekarno mengobarkan kampanye Trikora untuk merebut Irian Barat.
Dengan persiapan terbilang kilat untuk mengejar kebutuhan penerbang, Suwandi yang ber-callsign "Thunder Jet" dan Sumarno "Thunder Bird" berangkat ke Riazan, Uni Soviet. Kedua pemuda ini didampingi Mayor Saroso Hurip dan Mayor Sutopo. Mestinya, dituturkan Suwandi, Saroso Hurip yang akrab dipanggil Pak Cok tentu sangat mengerti tujuan yang hendak dicapai. Entah terlalu rahasianya, atau karena Saroso terlalu senior dibandingkan kedua anak muda ini, selama perjalanan tidak banyak pembicaraan yang bisa dilakukan Suwandi dengan Saroso. "Selama diperjalanan, Pak Cok tidak mengatakan apa-apa," kata Suwandi.
Setibanya di Moskow, mereka langsung menuju Riazan, selatan Moskow. Pengiriman Suwandi yang bisa disebut crash program, terlihat dari masalah bahasa. Keduanya tidak diberikan kursus Bahasa Rusia. Jalan keluarnya diambil dengan memanfaatkan jasa penterjemah. Pendidikan diberikan kepada Suwandi dan Sumarno sebagai ko-pilot secara cepat. Begitu buru-burunya, mereka hanya empat bulan di Riazan sebelum akhirnya pulang ke tanah air membawa Tu-16. Sementara Saroso dan Sutopo, sudah lama kembali ke Indonesia.
Hari kepulanganpun tiba. Sekali lagi, Suwandi tidak diberitahu. Terkesan dadakkan, dan dirahasiakan. Suwandi hanya ingat, ketika dua Polisi AU Rusia datang menjemputnya tengah malam di sebuah hotel tempat menginap di Kota Moskow. Petugas itu hanya berujar singkat sambil menyodorkan surat pengantar, bahwa Suwandi harus segera berkemas untuk bersiap membawa Tu-16 ke Indonesia.
Disini uniknya. Begitu dijemput, mereka dibawa naik mobil berputar-putar di Kota Moskow dengan arah yang sulit ditebak Suwandi maupun Sumarno. Tidak hanya dibawa berkelok-kelok, mobil dan petugas yang tidak mengucapkan sepatah katapun diganti, yang semakin mengaburkan bagi mereka dan memang itulah tujuannya. "Ini khasnya intelijen," jelas Suwandi.
Hingga sampailah mereka di sebuah pangkalan udara AU Uni Soviet. "Saya tidak tahu nama pangkalannya dan kemana arahnya. Membingungkan sekali." Suwandi hanya melihat jejeran dalam jumlah besar, pesawat tempur dan pembom Soviet. Tanpa membuang-buang waktu lagi, digelapnya malam, Suwandi dan Sumarno mempersiapkan diri. Briefing singkat diberikan. Semua peralatan, termasuk masker untuk menghindari kekurangan oksigen telah tersedia. Suwandi ditunjuk sebagai ko-pilot Tu-16 yang dinomori M-1601. Sementara Sumarno M-1602. Pilotnya orang Rusia.
Begitulah, dua pesawat Tu-16 pertama Indonesia berangkat dari sebuah pangkalan udara Rusia yang tidak jelas nama dan letaknya. Dari sini, mereka mengarah ke sebuah pangkalan di selatan Siberia, di wilayah Irkut. Dalam perjalanan panjang melelahkan yang memakan waktu sekitar tujuh jam itu, tidak banyak pula yang dibicarakan Suwandi dengan kapten pilotnya. Hanya hamparan salju putih sejauh mata memandang, selama perjalanan hingga mendarat di Irkut. Sekali lagi, di sini dia melihat deretan pesawat AU Rusia dalam jumlah besar. Setelah melakukan persiapan secukupnya, pesawat kembali mengudara.
Kali ini, mereka akan melintasi perbatasan menuju Cina. Demi keamanan dan menghemat bahan bakar, mereka terbang di ketinggian 12 kilometer. Pendaratan berikutnya ditentukan di Peking (sekarang Beijing-Red). Dari Peking, kedua pesawat direncanakan mendarat di Rangoon, Myanmar. Namun karena cuaca buruk (bad weather), pendaratan terpaksa dialihkan ke Kunming masih wilayah Cina, menjelang perbatasan Myanmar. Esoknya, baru mereka mendarat di Rangoon. Selama perjalanan, hampir tidak ditemui hambatan berarti, termasuk incaran dari pesawat-pesawat Barat.
Di Rangoon sudah menunggu Saroso dan Sutopo. Karena dalam perjalanan ke Indonesia, kedua penerbang ini akan on board sebagai kapten pilot. Lalu bagaimana dengan Suwandi dan Sumarno? "Kami disuruh ke Singapura untuk refreshing, sebelum kembali ke Jakarta dengan menumpang airline," jelas Suwandi senyum.
Baru beberapa hari di Indonesia, Suwandi sudah mendapat perintah operasi baru lagi. Dia ditugaskan ke Irian Barat menebarkan pamflet menggunakan B-25. Tapi lagi-lagi, belum lama bertugas, dia diperintahkan untuk kembali ke Rusia, persisnya ke Simferopol, untuk menjemput pesawat ketiga dan keempat versi KS. Dalam keberangkatan kedua ini, TNI AU mengirim empat kapten pilot : Kapten Udara Sardjono (pimpinan rombongan), Lettu Udara Jhony Herlaut, Lettu Udara Suwandi, dan Letda Udara Sumarno. Karena sebelumnya ke Simferopol sudah dikirim beberapa kadet penerbang, mereka langsung ditunjuk sebagai ko-pilot.
Rute yang diambil tidak berbeda dengan yang pertama. Waktu pendidikan juga masih sama, empat bulan. Hanya saja kali ini, mereka sempat menyaksikan penembakkan rudal KS, namun belum sempat terbang malam. Seperti yang pertama, setibanya di Rangoon pesawat kembali diambil alih oleh Pak Cok. Adapun set crew pengambilan kedua ini : Suwandi dengan (alm) Isnaen, Jhony Herlaut dengan Damanik, Sumarno dengan Rahmat, dan Sardjono dengan Masulili.
Sejak kedatangan kedua, berturut-turut setelah itu ke-24 pesawat Tu-16 datang silih berganti. Sementara menunggu rencana perebutan Irian Barat yang tidak jelas entah kapan, para penerbang berkebangsaan Rusia diinapkan di Sarangan, Madiun. Saat itu, hanya tiga lanud yang bisa menampung Tu-16, yaitu Lanud Halim Perdanakusuma, Iswahyudi Madiun, dan Polonia Medan. Menurut Suwandi, orang-orang Rusia ini disiapkan untuk menghantam target favorit kala itu, kapal induk Belanda Karel Doorman.
Sebagai mantan penerbang Tu-16 dengan rekor jam terbang terlama, tentu banyak kisah yang dilalui Suwandi selama hampir sepuluh tahun bersama pesawat karya sang maestro Andrei Tupolev. Suwandi sangat yakin, bahwa untuk jam terbang, dia paling banyak di Tu-16. Mengingat dialah orang pertama yang menerbangkan Tu-16, sekaligus mengakhiri penerbangan Tu-16 untuk selama-lamanya di Indonesia.
Last flight - Sebelum terbang terakhir semua crew menyempatkan foto bersama./Foto: Dok. Suwandi
Jatuh di ladang tebu
Begitu tiba di Indonesia, Tu-16 segera disiapkan menghadapi kampanye Trikora untuk merebut Irian Barat, walau urung dilaksanakan. Lanud Morotai turut disiapkan jika perang memang pecah. Namun setidaknya, keberanian awak Tu-16 pantas diacungkan jempol. Pernah ketika Armada ke-7 AL AS yang berpangkalan di Hawaii melintas diperairan Indonesia, "Dengan beraninya kita fly over di atas mereka," aku Suwandi. Tindakan ini jelas sangat berisiko tinggi. Apa jadinya kalau Armada ke-7 menembak jatuh waktu itu?
Dengan hadirnya Tu-16 dan puluhan pesawat Rusia lainnya memperkuat AURI, benar-benar efektif dalam mendukung kedaulatan negara saat itu. Boleh dikatakan, tidak satupun negara di kawasan ini "berani" menggelitik Indonesia. Bagi Suwandi sendiri, selain bangga sebagai penerbang Tu-16 karena terlibat dalam berbagai misi penting masa itu, juga tidak bisa melupakan beberapa peristiwa selama aktif sebagai penerbang Tu-16.
Yang paling mencekam dan hampir merenggut nyawanya adalah peristiwa tahun 1962, ketika pesawat yang diterbangkannya mendarat darurat di kebun tebu rakyat di desa Geneng, Madiun, Jawa Timur. Penerbangan nahas malam itu hingga merenggut nyawa dua orang krew, merupakan bagian dari latihan terbang malam yang belum sempat diterima Suwandi di Rusia. "Karena selama di Simferopol kita tidak sempat terbang malam," jelas Suwandi.
Malam itu, Bali ditetapkan sebagai daerah latihan. Disimulasikan Bali disusupi musuh. Latihannya langsung di bawah pengawasan instruktur Rusia. Ketika mesin pesawat dihidupkan, tidak ada tanda-tanda kejanggalan. Panel-panel indikator di kokpit menunjukkan pesawat dalam kondisi siap diterbangkan.
Pesawat sudah mengambil posisi di ujung landasan pacu, tinggal menunggu tanda dari tower. Setelah tower memberi izin, Suwandi mendorong throttle untuk mendapatkan tenaga penuh agar bisa lepas landas. Perlahan, pesawat mulai melaju ke arah selatan dan sesaat kemudian kesepuluh rodanya mulai terangkat dari permukaan landasan. Melihat selintas ke indikator lalu ke instrukturnya, Suwandi mengacungkan ibu jari pertanda semua berjalan baik. Pada detik-detik menentukan itu, ketika pesawat menjelang ujung landasan, mendadak satu mesin di sebelah kanan mati. "Padahal kita mendekati ujung landasan dengan full speed," tutur Suwandi. Kalau dihentikan, jelas pesawat akan overshoot dan terjungkal ke dalam jurang kecil yang menganga di ujung landasan.
Apa boleh buat, Suwandi dan instrukturnya harus meneruskan sesuai prosedur. Dengan satu mesin pesawat terus naik, dan setelah diskusi singkat dengan instrukturnya, mereka memutuskan kembali ke base (RTB). Namun upaya menghidupkan kembali mesin yang mati, tetap dilakukan. Pesawat berbelok, siap mendarat kembali. Celakanya, ketika sampai di down wind pada ketinggian sekitar 800 meter, mesin kedua pesawat yang membawa bahan bakar 30 ton itu ikut-ikutan mati.
Menghadapi situasi genting seperti itu, Suwandi berusaha tetap tenang. Mereka mempertahankan agar ketinggian pesawat tidak turun secara drastis. "Mau loncat, pesawat terlalu rendah," kata Suwandi. Akhirnya instrukturnya memutuskan pesawat dipaksa masuk ke final (lintasan pada pola pendaratan pesawat yang lurus ke landasan, di mana pesawat siap mendarat) agar bisa mendarat secepat mungkin.
Tapi sudah tidak keburu. Pesawat stall dan jatuh menghujam kebun tebu menjelang landasan. "Saya tidak tahu apa yang terjadi, karena begitu menghujam, saya seperti sudah mati, tidak merasakan apa-apa lagi" akunya. Apakah pesawat meluncur, Suwandi tidak bisa memastikan. "Beberapa detik sebelum jatuh, roda saya turunkan, lalu dengan setengah berteriak saya perintahkan Lettu Geraldus Ramba (second navigator-Red), fasten seat belt, turn off electrical system, lalu saya rasakan benturan keras dan saya tidak tahu lagi apa yang terjadi," tutur Suwandi lagi.
Pesawat hancur berantakkan. Bagian depannya (nose) lepas dari ruang kabin tengah, sementara ruang kabin tengah terpotong dari ekor (tail) yang rupanya tertancap di tanah. Dengan kata lain, pesawat Tu-16 itu terbelah menjadi tiga bagian. Di gelapnya malam itu, sulit mengetahui secara pasti dimana hidung pesawat dan dimana bagian tengah pesawat. Untung kebakaran tidak terjadi, karena sistem listrik sudah dimatikan.
Kerasnya benturan, membuat semua crew seperti batu yang dilontarkan dari ketapel, terdorong ke depan. Kepala Geraldus sampai menyodok di antara pilot dan kopilot. Posisi kepala pesawat yang miring ke kiri, menyulitkan Suwandi untuk keluar. Dia terhimpit dan tidak bisa bergerak lagi. Lalu terdengar suara, "Ndi, kon isih urip." Suwandi tahu, yang bertanya Didi Pribadi, first navigator. "Aku isih urip, mbok coba nggoleki bantuan neng jobo," jawab Suwandi.
Sesaat kemudian, dia lihat kepala Geraldus di sebelahnya. "Tapi saya tidak bisa melihat dengan jelas, karena gelap. Baru kemudian saya tahu kepalanya tertutup lumpur. Lalu saya bersihkan agar bisa bernapas," kata Suwandi. Karena melihat instrukturnya terkulai tak berdaya, Suwandi mencolek beberapa kali menggunakan kakinya. "Dia tidak beraksi, saya yakini dia tewas."
Ada peristiwa lucu di sini. Wahyudi, tail gunner, mengira Suwandi meninggal. Jadi setelah keluar dari bagian ekor pesawat, dia mencari-cari dan meraba-raba karena gelapnya malam. Yang bisa diketahuinya secara pasti hanyalah bagian ekor pesawat, dimana dia on board. Dia tidak melihat, bahwa bagian lain dari pesawat terpental jauh dari ekor. Yang ditemukannya ekor pesawat nungging ke atas. Wahyudi bergumam, "Berarti badan pesawat amblas ke dalam tanah." Langsung saja dia mengambil sikap sempurna, memberi hormat kepada pilotnya yang "gugur".
Pembom Tu-16 SELAMAT - Walau pesawatnya sampai terbelah tiga Suwandi (kedua dari kiri) masih selamat./Foto: Dok.Suwandi
Setelah memberi hormat secukupnya, dalam kepanikkan yang luar biasa, Wahyudi pergi melenggang untuk pulang ke rumahnya di Solo. "Kita ditinggal begitu saja," papar Suwandi. Dalam rentang waktu yang sulit diduga, first navigator Didi Pribadi berhasil pula keluar dari hidung pesawat lewat pecahan yang menganga.
Dalam kecelakaan malam itu, dua orang langsung meninggal. Kopilot (Rusia) dan special operator Letda Yoga. Tak lama berselang, penduduk setempat datang berbondong-bondong sambil membawa obor. Terangnya cahaya obor menyadarkan semua orang, bahwa pesawat telah terbelah menjadi tiga. Dengan sedikit susah payah karena terikat safety belt, mereka keluarkan jenazah kopilot. Saking tidak percayanya Suwandi akan keajaiban yang diberikan Tuhan kepadanya untuk masih bisa bernapas, dipegangnya (maaf) kemaluannya. "Oh... masih ada," tuturnya sambil tertawa.
Menurut penelitian yang dilakukan kala itu, jelas Suwandi, kecelakaan diduga karena terjadinya pengendapan ganggang mikro di dalam tanki bahan bakar. Ganggang ini, tambah Suwandi, berkembang biak di dalam molekul-molekul avtur. Jumlahnya terus bertambah, karena ternyata ketika masuk ke filter menjelang ke pembakaran (burner), ganggang justru membelah diri dan berkembang biak.
Sejak peristiwa itu, pemeriksaan selalu dilakukan sebelum Tu-16 terbang untuk mendeteksi kadar ganggang dalam tanki dengan mencelupkan alat pendeteksi. Kemungkinan lain munculnya ganggang menurut Suwandi, adalah cara penyulingan yang kurang sempurna. Beberapa hari kemudian, reruntuhan bangkai pesawat di bawa ke pangkalan dan ditempatkan di hanggar pemeliharaan. Didi Pribadi kaget alang kepalang begitu melihat pesawat. Ternyata, lubang tempat dia meloloskan diri teramat kecil untuk lelaki dewasa seperti dia bisa keluar. "Ajaib, sulit dipercaya," papar Suwandi.
Penerbang pertama DI RUSIA - Suwandi (pertama dari kiri) di Rusia bersama crew dan instrukturnya./Foto: Dok.Suwandi
20 mesin
Tu-16 terlibat penuh dalam kampanye Trikora dan Dwikora. Hanya saja, Dwikora lebih banyak memberikan kesan kepada Suwandi. Sebutlah suatu malam, Suwandi diperintahkan Komodor Leo Wattimena terbang di atas Kuala Lumpur. "Leo yang memerintahkan, dia juga ikut," aku Suwandi. Skenarionya lebih kurang begini: Tu-16 terbang dari Medan dan akan show of force di atas Kualalumpur. Untuk menipu radar lawan, pesawat Il-28 Beagle yang diterbangkan Oloan Silalahi disuruh berputar-putar di atas Belawan. Tapi apa yang terjadi. Baru saja pesawat memasuki wilayah udara Singapura, mendadak seluruh lampu padam. Inggris yang mengetahui kedatangan bomber menakutkan itu, langsung bertindak. Tu-16 di-jammed!
Kapten Suwandi yang sebenarnya belum diizinkan terbang malam oleh Dan Wing 003 Letkol Suyitno, sempat kehilangan akal. Avionik tidak berfungsi, sistem navigasi dibuat macet. Tapi tidak ada waktu lagi untuk berdebat. Dia langsung memutar arah pesawat, dan segera mengontak lewat radio tower Medan. Begitulah, lewat tuntunan radio dan kompas magnetik, dia menyusuri "jalan" ke Medan hingga mendarat dengan selamat.
Sebagai pesawat pembom jarak jauh (strategic bomber), pergerakkan Tu-16 sangat ketat. Penggunaan bom dan roketnya, konon harus seizin presiden. Pola terbangnya tak pernah lepas dari intelligence, surveillance, dan reconnaissance (ISR). Semisal diperintahkan stand by di Medan. Dari Madiun, pesawat akan terbang 100 kilometer dari batas pantai selatan ke arah barat. Tak jarang pula, mereka "bermain" hingga mencapai Pulau Andaman sebuah pulau kecil di Teluk Bengal yang memisahkan India dan Myanmar.
Presiden Soekarno yang menyadari kebesaran AURI, tak jarang memanfaatkan AURI untuk mempertegas kedaulatan negara. Kalau bertepatan Hari Kemerdekaan, puluhan pesawat mulai dari pemburu, pembom, angkut, dan latih, melintas seperti menutupi langit Istana Merdeka. Juga bertepatan Hari ABRI (sekarang TNI-Red) di Kemayoran. Hal yang sama juga diminta Soekarno setelah Irian Barat kembali ke pangkuan RI.
Tapi dengan meletusnya gerakan militer yang berupaya menjatuhkan pemerintahan berkuasa pada tanggal 30 September 1965 yang akhirnya berhasil ditumpas TNI, membawa dampak sangat besar buat AURI. Hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Timur menjadi putus. Bagi AURI berarti hilangnya sumber utama pemasok suku cadang. Alhasil, secara perlahan-lahan kesiapan pesawat-pesawat negara Timur ini mulai menurun. "Dalam setahun paling hanya 12 kali terbang," jelas Suwandi
Kanibalisasi tidak bisa dielakkan, untuk mempertahankan agar sejumlah pesawat tetap terbang. Sampai akhirnya pada suatu hari di bulan Oktober 1970, dilakukan test flight Tu-16 registrasi M-1625 setelah dikanibal habis-habisan. Itupun tidak segampang yang dibayangkan, karena suku cadang pesawat yang satu belum tentu cocok dipasangkan ke pesawat yang lain. Aneh, memang. Tapi menurut Marsda (Pur) Subagyo, Komandan Wing Logistik 040 saat itu, mesinnya masih banyak. "Saat itu ada 20 mesin baru, tapi hanya mesin, suku cadang yang lain tidak ada," jelas Subagyo.
Maka hari itu, Komandan Wing 003 merangkap Komandan Skadron 41 Letkol Suwandi (pilot), Kapten Udara Rahmat Somadinata (kopilot), dan Kapten Nav. Beny Subyanto (first navigator), menerbangkan M-1625. Yang paling menyentuh pada hari itu, M-1625 merupakan satu-satunya dari sekian puluh pesawat Tu-16 yang tersisa dalam kondisi siap terbang.
M-1625 terbang dengan baik hingga ketinggian 4.000 kaki di atas landasan. Hari itu, selain mereka rayakan dengan kembali terbangnya Tu-16 setelah disiapkan sekian lama, juga hari pertama para penerbang menerima uang wing.
Untuk kedua kalinya, Suwandi kembali diuji. Di ketinggian 4.000 kaki di atas landasan, kedua mesin mati berbarengan. Sebagai penerbang senior, Suwandi bertindak tenang. Tanpa memperlihatkan kepanikkan, pesawat diarahkannya ke landasan sambil memanfaatkan daya luncur pesawat. Landing gear diturunkan, dan begitu roda-roda menjejak landasan Suwandi segera melepaskan brake chute. Pesawat terhenti di ujung landasan.
Lalu apa? "Sejak hari itu, semua Tu-16 saya grounded," kata Suwandi. Agar para penerbang tidak nganggur, mereka disalurkan ke Skadron Angkut, Merpati, dan Garuda. "Termasuk Lettu Surendro (suami Megawati Soekarno Putri, saat itu, yang kemudian gugur ketika menerbangkan Sky- van-Red)," tambah Suwandi. Sebelum keputusan politik men-scrapped Tu-16 keluar sebagai syarat memperoleh F-86 Sabre dan T-33 T-bird dari Amerika, sekian lama pembom Tu-16 sempat dijejer di pinggir landasan Iswahjudi, Madiun, tanpa "penunggu".(ben)
**
Tu-16 Badger:
The Stealth from
the Southern Hemisphere
Tu-16 Badger Tu-16 Badger AURI
Until the 60's only three countries had long range bombers the Americans with their B-47 Stratojet, B-52 Stratofortress, and B-58 Hustler, the British with their V-bombers Vulcan, Victor and Valiant, the Russians with the Tu-16 primarily, omitting the operators of propeller-driven bombers. AURI felt a desperate need for a long range strike capability because of the vastness of the Indonesia archipelago, the rebellion in the other islands and the American embargo on spare parts that stringled its B-25 and P-51 striking force.
"The US secretly sided with the rebels. Offically there was no embargo, but in fact out of a long list of spare parts worth hundred of thousands of dollars only a single magneto for P-51 worth US$ 125,- got an export license," complained the Air Force Chief Air Marshal Suryadarma to Lt Col (now retired Air Vice Marshal) Salatun, secretary of the Joint Chiefs-of-Staff.
Because the air operations against the rebels become so intense the stock of spare parts dwindled alarmingly. Lt Col Salatun was appointed a member of our armed forces delegations which was sent to China in secrecy looking for spares. Salatun was disappointed because the whole P-51 fleet has long been scrapped, while there was only a single B-25 left, a Taiwanese bomber shot down and displayed in a museum. The delegation even met with Chairman Mao Ze Dong and Premier Chou-en-Lai, and instead of returning empty handed Salatun got 12 type 56 jet fighters (licence-built MiG-17), 12 Tu-2 bombers and 24 La-11 fighters (known as the Russians Thunderbolt).
"The first type 56 fighter suffred from tail flutter, but it has duely been remedied" explained Premier Chou-en-Lai. The type 56 fighter was excellent like the original MiG-17 and saw fine service during the Trikora and Dwikora campaigns later on. They were easily identified by the red colored numerals on the nose and the Chinese characters on their instruments. They had only one drawback: they offer no comfort during low level flying because they have no air conditioning.
The brightest side of the Chinese acquisition was free of charge. The honeymoon however was soon over when President Sukarno issued a decree prohibiting foreign business in villages and the deal was later fully charged. The influx of Chinese material eased the situation a little bit but did not alter the general situation.
It was during that precarious situation when Lt Col Salatun asked the atention of Air Marshal Suryadarma to the potentials of the Tu-16. "With the Tu-16 our aircrew can take-off after breakfast, reach and bomb targets any where in our territory and return before lunch time, a long range jet bomber is needed because there is only one airfield suitable for jet operations Kemayoran", explained Salatun to Suryadarma, who agreed and brought the request forward to President Sukarno.
He immediately summoned the Russian Ambasador Zhukov who later conveyed the request to the Kremlin, without visible result. Asked about the delay in the answer, Zhukov told President Sukarno that the aircraft in question was still in the development stage.
R.J. Salatun
Salatun was ordered by Suryadarma to closely watch the development of the request for Tu-16 and was even given the authority to contact and remind President Sukarno personally in his behalf in order to prevent the process from bogging down. President Sukarno kept pressing and later discussed the matter with Premier Kruschev presonally.
When in 1960 a high-level delegation under General A.H. Nasution was sent to the Kremlin to finalize an armament deal for Trikora campaign it was disclosed that under the various weapon system the Tu-16 bomber and MiG-21 fighter were included. "Because we offer the Tu-16 to Indonesia, we are obliged to make the same type of aircraft available to other friendly nation" said Foreign Minister Mikoyan wryly.
Thus AURI, the Indonesian Air Force, become the fourth Air Force in the world to operate long range strategic jet bombers beside being the first in the Southern Hemisphere to have Mach 2 jet fighter.
"AURI is the most dreaded Air Force in South East Asia," wrote the Dutch aviaton magazine Vliegwereld. "Material-wise the RAAF is completely out classed by AURI, the Indonesia Air Force," wrote the British aviation magazine Air Pictorial.
When a year later the first Tu-16 landed at Kemayoran airfield piloted by Air Commodore (now retired Air Vice Marshal) Cok Suroso Hurip, it was for the first time that said bomber made its appearance before the West at such close range. It was said that American intelligence immediately reviewed their estimates of the tankage and hence of the ranges.
AURI then sent cadets to Chekoslovakia and Russia. They were Cakra I, II, III, Ciptoning I and Ciptoning II. From 1961 all of the 24 Tu-16s started to arrive and were flown by both Indonesian and Russian pilots.
The Kennel shooting
To support Trikora, AURI prepared one flight of Tu-16 in Morotai, 1,5 hours flight from Madiun. One of the Tu-16 pilots, Col. Sidjijantono said, "Once a while we fly Tu-16 just to warm up the engines. But we never bombed or came into contact with Dutch aircraft," he told Angkasa. At the time the pilots of the Tu-16's had specific favorite target, namely the Dutch aircraft carrier Karel Doorman.
In addition to having 12 Tu-16 bomber version Badger A, under Skadron 41, AURI also had 12 Tu-16 KS-1 Badger B, under the Skadron 42 Wing 003 Lanud Iswahyudi. This type of Badger was capable to carry a pair of anti ship missile KS-1 (AS-Kennel), which worried the opponent. Six attacks of Kennels could easily send Karel Doorman to the bottom of the sea. It was unfortunate that until West Irian was resolved through the United Nations, mediated by Kennedy's government, the Tu-16 was never able to show its teeth.
Idrus Abas, at time was Air Sergeant 1st class, radio operator as well as tail gunner for Tu-16 said that the talk between the Indonesia Republic and the Dutch Government in UN, was one of the most scary moment and they were monitoring the talk using the transistor radio. "If the talk turns to be a failure, do not hesitate to bomb Biak." Abas continued. "We would not be sure whether we would be able to return home or not after the bombing." Sjahroemsjah added, at the time he was an Sergeant 1st class, it was then called a 'one way ticket operation'.
Tu-16 crews in Morotai could not forget how cooperative their ground crew were. "The most trouble-some was when the Tu-16 had to refuel, because it needed up to 70 drums. The jet would take up to 45,000 litres of fuel and it had to be handled manually which would take up to four days/four nights. A test took place between 1964-1965 in Arakan island, between Bali and Ujung Pandang. An ex reporter from TVRI, Hendro Subroto, recalled that he followed the test from a C-130 Hercules with Air Force Chief Air Marshal Omar Dhani. After the launching of Kennels, the Hercules landed in Denpasar, then using Mi-6 helicopter, the Air Force Chief together with the team flew to Arakan to see the results. "Exactly in the middle the steel platform had a hole," said Hendro.
Chased by Javelin
To be exact, during the Dwikora campaign the Tu-16 crew discovered how sturdy the Tu-16 was especially when British Javelin interceptors chased them.
"They knew that we would be shooting," said retired Air Vice Marshal Syah Alam Damanik, one of the pilots of Tu-16 over Malaka Strait. Damanik recalled when Javelins chased him and his co-pilot in 1964 with Gani and Ketut, as navigators during the Dwikora campaign. Gani suggested that the aircraft should head towards Kuala Lumpur, but suddenly from an base at Butterworth, the coastal of Penang, two British jets appeared and followed Damanik. Those Javelins were trying to force the Tu-16 to land either in Singapore or Butterworth. During the tense moments, Damanik ordered "the moment you see a fire being shot at us, you shoot back."
In the meantime Damanik was thinking fast as those Javelins were still chasing him, while their speed was higher and so Damanik showed what he could do. He increased the height all of sudden which surprised the Javelins pilots. He then hid himself behind the thick clouds to head for Medan. The tail gunner and other crew members were screaming because they were undergoing high G's when the jet shot up. But it was much better than being forced to land by the British, said Damanik.
Sudjijantono had a different story. "I was ordered to fly a Tu-16 to Medan through Malaka Strait, while in Medan there were always two Tu-16's during the Dwikora campaign. One flew southwards from Madiun over Christmas island (British territory), Cocos island, Andaman island, Nikobar, then Medan," he said. The other one used a different route, through the north through Makasar strait, Mindanao, West Kalimantan, North Kalimantan, South China Sea, Malaka strait, then Medan, sometimes surprisingly through Tanah Genting Kra.
"Although it seemed crazy, this mission was according to the instructions. President Sukarno ordered not to shoot aimlessly. Sometimes, during the monitoring period, the Javelins caught us. But the British only acted as a 'police' to warn Tu-16s not to cross over the border.
The Stealth Mission
Still within the Dwikora period, around the middle of 1963, AURI sent three Tu-16 Badger A bombers to distribute some messages in the enemy's side. One went to Serawak, the other to Sandakan and Kinibalu, Kalimantan, both in Malaysia's territory. The third had to fly to Australia. This one whose pilot was Suwondo brought equipment such as parachutes, communication set and canned food. The idea was that they drop these items near Alice Springs, Australia (exactly at the heart of the continent), to prove that AURI was able to reach the heart of the continent. "Although Alice Springs had an over the horizon radar system to monitor the whole Asia-Pacific region," said Air Vice Marshal Zainal Sudarmadji, a Tu-16 pilot from Ciptoning II. The mission called for the aircraft to take-off from Madiun at around midnight. The pilot Air Commodore Suwondo did not say much. He only ordered us to be at Wing 003 HQ at 11 p.m. bringing with a supply of drinking water." Said Sjahroemsjah, the new Tu-16 gunner who knew that they would have to fly to Australia.
The briefing was short. At 1 a.m. the aircraft left Madiun. It flew at low level to avoid the radar until it reached its destination. The F-86 Sabre, the Australian Bloodhound surface-to-air missiles were notably absent. The aircraft then reached Madiun at around 8 a.m. using another route. The other task was given to Sudjijantono and Lieutenant Col. Sardjono. They left Iswahyudi (Madiun) at 12 p.m. The aircraft reached as high as 11,000 m. Approaching dusk they reached Sandakan. While the lights were still on, the aircraft slowly reduced the height to 400 m.
After one sortie, the aircraft reversed to return to the original location. There it was dark, all lights were switched off. Sudjijantono later learnt that the British taught the people to anticipate more air attacks. Finally after all pamphlets had been dropped, they returned to Iswahyudi and landed safety at 8.30 a.m. It worked out that the total journey took 10 hours. All Tu-16s returned to the base safely.
One could not imagine in the 60s that AURI was capable of air penetrations without being detected nor caught by the defenders, not unlike NATO's stealth jets penetrating Yugoslavia.
Political conditions
It was unfortunate to note that foreign political pressure and domestic economic difficulties finally sealed the fate of the mighty Tu-16. For example, "In order for AURI to receive F-86 Sabres and T-33 T-birds from the US, we have to get rid of all the Tu-16s," said Bagio Utomo, who used to be one of the members of Skatek 042, who maintained the Tu-16.
It was undeniable that the Tu-16 was advanced for its time. As well as equipped with the latest electronic gadgets, its body was sturdy. Tu-16s were not perfect, the replacement of spare parts was sometimes difficult. "Some had to be refined and fitted manually. Some of the blisters had to be smoothen by hand." AURI later tried to sell their Tu-16s to the Egyptians but the deal did not materialize.
The farewell flight to the Tu-16 took place in October 1970. With 10 people aboard, a TU-16 numbered M-1625 flew from Madiun to Jakarta. "We almost got lost when we were looking for the National Monument (Monas)." Even up to the middle of the 80s the US government still considered the Tu-16 was a threat for its national security.
"My name is still registered as a Tu-16 pilot in Subic Bay," said Sudjijantono, from Cakra 1. Since the Air and Naval Force could not find spare parts anymore, they realised that they are more dependent on imported advanced technology than the Army. In the begining of 1970, Air Force Chief Air Marshal Suwoto Sukendar said that only 15-20 percent of the Air Force fleet remained operational, while it was 40 percent of the Navydue to the cut-off of imports of spare-parts from the Soviet Union. 1970 became a year of destructing the East Block weapons.(ben/avi/ron/sal/ida)
Dengan Tu-16 Fly Over Kualalumpur
1961, dia menjemput dua pesawat Tu-16 Badger ke Rusia. Sembilan tahun kemudian, 1970, dia pula yang menerbangkan pembom raksasa itu untuk terakhir kali dan langsung meng-grounded.
M-1625 TERAKHIR - M-1625 adalah Tu-16 terakhir yang diterbangkan./Foto: Dok. Suwandi
Seperti sudah menjadi pengetahuan bersama, Indonesia pernah mengoperasikan pembom strategis, Tupolev Tu-16 Badger. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, 24 pesawat. 12 versi pembom (Badger A), 12 pesawat lagi versi pembopong rudal anti kapal permukaan KS-1 (AS-1 Kennel). Versi pembom dioperasikan Skadron 41, sementara Tu-16 KS di Skadron 42. Keduanya beroperasi dibawah kendali Wing 003.
Marsma (Pur) Suwandi Sudjono, penerbang Indonesia pertama yang mencicipi Tu-16 sekaligus menerbangkannya untuk terakhir kali (farewell flight) pada bulan Oktober 1970, menuturkan pengalaman yang dilaluinya 39 tahun lalu. Disela keterbatasan daya ingat yang mulai menurun, penerbang lulusan Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) X 1960 ini, menerima Angkasa di kediamannya di Komplek Perumahan TNI AU, Jatiwaringin.
Diselimuti rahasia
Usai merampungkan pendidikan penerbang di SPL Yogjakarta, Letda Udara Suwandi beserta tiga rekannya Sumarno, J Wattimena, dan DEF Dumatubun, langsung ditempatkan di Skadron 1/Pembom, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. Malang tak bisa dihindari, Wattimena dan Dumatubun gugur dalam latihan terbang malam menggunakan pesawat B-25 Mitchell tanggal 25 Mei 1960. Pesawatnya jatuh di daerah Pondok Gede (sekarang stasiun pengisian bahan bakar umum-Red), enam hari sebelum Presiden Soekarno menyematkan wing penerbang di dadanya sebagai penerbang TNI AU.
Belum sampai setahun bercokol sebagai bomber, Februari 1961 datang panggilan yang tidak pernah diduga-duga Suwandi. Dia dan Sumarno (marsma purnawirawan, wafat 5 April 1991), ditugaskan menjemput pesawat yang paling menakutkan saat itu. Hanya Amerika dengan pembom B-58 Hustler-nya serta Inggris dengan pembom uniknya V bomber, yang mampu mengimbangi Uni Soviet. Lucunya, Suwandi dan tentu juga Sumarno, mengaku tidak tahu-menahu seperti apa sosok Tu-16 serta seberapa besar daya deterent-nya (bagi Barat). "Saya masih muda, tidak tahu menahu. Saya hanya merasa senang karena ke luar negeri. Pokoknya, tahunya berangkat dan membawa pulang Tu-16 dengan selamat," tutur Suwandi, pria kelahiran Banyumas, 4 April 1936.
"Padahal saya masih ko-pilot," katanya lagi. Memang, ketika diberangkatkan, Suwandi dan Sumarno masih berstatus ko-pilot (B-25). Tapi begitulah keadaan TNI AU pada tahun-tahun 50-an dan 60-an. Terutama setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1950 yang meninggalkan puluhan pesawat bagi TNI AU, kebutuhan kapten pilot menjadi sangat mendesak. Comot sana-sini, peralihan tugas hampir tidak terduga. Kalau hari ini terbang B-25, bisa saja besoknya pilot bersangkutan terbang C-47 Dakota. Keadaannya semakin tak terkendali, ketika Soekarno mengobarkan kampanye Trikora untuk merebut Irian Barat.
Dengan persiapan terbilang kilat untuk mengejar kebutuhan penerbang, Suwandi yang ber-callsign "Thunder Jet" dan Sumarno "Thunder Bird" berangkat ke Riazan, Uni Soviet. Kedua pemuda ini didampingi Mayor Saroso Hurip dan Mayor Sutopo. Mestinya, dituturkan Suwandi, Saroso Hurip yang akrab dipanggil Pak Cok tentu sangat mengerti tujuan yang hendak dicapai. Entah terlalu rahasianya, atau karena Saroso terlalu senior dibandingkan kedua anak muda ini, selama perjalanan tidak banyak pembicaraan yang bisa dilakukan Suwandi dengan Saroso. "Selama diperjalanan, Pak Cok tidak mengatakan apa-apa," kata Suwandi.
Setibanya di Moskow, mereka langsung menuju Riazan, selatan Moskow. Pengiriman Suwandi yang bisa disebut crash program, terlihat dari masalah bahasa. Keduanya tidak diberikan kursus Bahasa Rusia. Jalan keluarnya diambil dengan memanfaatkan jasa penterjemah. Pendidikan diberikan kepada Suwandi dan Sumarno sebagai ko-pilot secara cepat. Begitu buru-burunya, mereka hanya empat bulan di Riazan sebelum akhirnya pulang ke tanah air membawa Tu-16. Sementara Saroso dan Sutopo, sudah lama kembali ke Indonesia.
Hari kepulanganpun tiba. Sekali lagi, Suwandi tidak diberitahu. Terkesan dadakkan, dan dirahasiakan. Suwandi hanya ingat, ketika dua Polisi AU Rusia datang menjemputnya tengah malam di sebuah hotel tempat menginap di Kota Moskow. Petugas itu hanya berujar singkat sambil menyodorkan surat pengantar, bahwa Suwandi harus segera berkemas untuk bersiap membawa Tu-16 ke Indonesia.
Disini uniknya. Begitu dijemput, mereka dibawa naik mobil berputar-putar di Kota Moskow dengan arah yang sulit ditebak Suwandi maupun Sumarno. Tidak hanya dibawa berkelok-kelok, mobil dan petugas yang tidak mengucapkan sepatah katapun diganti, yang semakin mengaburkan bagi mereka dan memang itulah tujuannya. "Ini khasnya intelijen," jelas Suwandi.
Hingga sampailah mereka di sebuah pangkalan udara AU Uni Soviet. "Saya tidak tahu nama pangkalannya dan kemana arahnya. Membingungkan sekali." Suwandi hanya melihat jejeran dalam jumlah besar, pesawat tempur dan pembom Soviet. Tanpa membuang-buang waktu lagi, digelapnya malam, Suwandi dan Sumarno mempersiapkan diri. Briefing singkat diberikan. Semua peralatan, termasuk masker untuk menghindari kekurangan oksigen telah tersedia. Suwandi ditunjuk sebagai ko-pilot Tu-16 yang dinomori M-1601. Sementara Sumarno M-1602. Pilotnya orang Rusia.
Begitulah, dua pesawat Tu-16 pertama Indonesia berangkat dari sebuah pangkalan udara Rusia yang tidak jelas nama dan letaknya. Dari sini, mereka mengarah ke sebuah pangkalan di selatan Siberia, di wilayah Irkut. Dalam perjalanan panjang melelahkan yang memakan waktu sekitar tujuh jam itu, tidak banyak pula yang dibicarakan Suwandi dengan kapten pilotnya. Hanya hamparan salju putih sejauh mata memandang, selama perjalanan hingga mendarat di Irkut. Sekali lagi, di sini dia melihat deretan pesawat AU Rusia dalam jumlah besar. Setelah melakukan persiapan secukupnya, pesawat kembali mengudara.
Kali ini, mereka akan melintasi perbatasan menuju Cina. Demi keamanan dan menghemat bahan bakar, mereka terbang di ketinggian 12 kilometer. Pendaratan berikutnya ditentukan di Peking (sekarang Beijing-Red). Dari Peking, kedua pesawat direncanakan mendarat di Rangoon, Myanmar. Namun karena cuaca buruk (bad weather), pendaratan terpaksa dialihkan ke Kunming masih wilayah Cina, menjelang perbatasan Myanmar. Esoknya, baru mereka mendarat di Rangoon. Selama perjalanan, hampir tidak ditemui hambatan berarti, termasuk incaran dari pesawat-pesawat Barat.
Di Rangoon sudah menunggu Saroso dan Sutopo. Karena dalam perjalanan ke Indonesia, kedua penerbang ini akan on board sebagai kapten pilot. Lalu bagaimana dengan Suwandi dan Sumarno? "Kami disuruh ke Singapura untuk refreshing, sebelum kembali ke Jakarta dengan menumpang airline," jelas Suwandi senyum.
Baru beberapa hari di Indonesia, Suwandi sudah mendapat perintah operasi baru lagi. Dia ditugaskan ke Irian Barat menebarkan pamflet menggunakan B-25. Tapi lagi-lagi, belum lama bertugas, dia diperintahkan untuk kembali ke Rusia, persisnya ke Simferopol, untuk menjemput pesawat ketiga dan keempat versi KS. Dalam keberangkatan kedua ini, TNI AU mengirim empat kapten pilot : Kapten Udara Sardjono (pimpinan rombongan), Lettu Udara Jhony Herlaut, Lettu Udara Suwandi, dan Letda Udara Sumarno. Karena sebelumnya ke Simferopol sudah dikirim beberapa kadet penerbang, mereka langsung ditunjuk sebagai ko-pilot.
Rute yang diambil tidak berbeda dengan yang pertama. Waktu pendidikan juga masih sama, empat bulan. Hanya saja kali ini, mereka sempat menyaksikan penembakkan rudal KS, namun belum sempat terbang malam. Seperti yang pertama, setibanya di Rangoon pesawat kembali diambil alih oleh Pak Cok. Adapun set crew pengambilan kedua ini : Suwandi dengan (alm) Isnaen, Jhony Herlaut dengan Damanik, Sumarno dengan Rahmat, dan Sardjono dengan Masulili.
Sejak kedatangan kedua, berturut-turut setelah itu ke-24 pesawat Tu-16 datang silih berganti. Sementara menunggu rencana perebutan Irian Barat yang tidak jelas entah kapan, para penerbang berkebangsaan Rusia diinapkan di Sarangan, Madiun. Saat itu, hanya tiga lanud yang bisa menampung Tu-16, yaitu Lanud Halim Perdanakusuma, Iswahyudi Madiun, dan Polonia Medan. Menurut Suwandi, orang-orang Rusia ini disiapkan untuk menghantam target favorit kala itu, kapal induk Belanda Karel Doorman.
Sebagai mantan penerbang Tu-16 dengan rekor jam terbang terlama, tentu banyak kisah yang dilalui Suwandi selama hampir sepuluh tahun bersama pesawat karya sang maestro Andrei Tupolev. Suwandi sangat yakin, bahwa untuk jam terbang, dia paling banyak di Tu-16. Mengingat dialah orang pertama yang menerbangkan Tu-16, sekaligus mengakhiri penerbangan Tu-16 untuk selama-lamanya di Indonesia.
Last flight - Sebelum terbang terakhir semua crew menyempatkan foto bersama./Foto: Dok. Suwandi
Jatuh di ladang tebu
Begitu tiba di Indonesia, Tu-16 segera disiapkan menghadapi kampanye Trikora untuk merebut Irian Barat, walau urung dilaksanakan. Lanud Morotai turut disiapkan jika perang memang pecah. Namun setidaknya, keberanian awak Tu-16 pantas diacungkan jempol. Pernah ketika Armada ke-7 AL AS yang berpangkalan di Hawaii melintas diperairan Indonesia, "Dengan beraninya kita fly over di atas mereka," aku Suwandi. Tindakan ini jelas sangat berisiko tinggi. Apa jadinya kalau Armada ke-7 menembak jatuh waktu itu?
Dengan hadirnya Tu-16 dan puluhan pesawat Rusia lainnya memperkuat AURI, benar-benar efektif dalam mendukung kedaulatan negara saat itu. Boleh dikatakan, tidak satupun negara di kawasan ini "berani" menggelitik Indonesia. Bagi Suwandi sendiri, selain bangga sebagai penerbang Tu-16 karena terlibat dalam berbagai misi penting masa itu, juga tidak bisa melupakan beberapa peristiwa selama aktif sebagai penerbang Tu-16.
Yang paling mencekam dan hampir merenggut nyawanya adalah peristiwa tahun 1962, ketika pesawat yang diterbangkannya mendarat darurat di kebun tebu rakyat di desa Geneng, Madiun, Jawa Timur. Penerbangan nahas malam itu hingga merenggut nyawa dua orang krew, merupakan bagian dari latihan terbang malam yang belum sempat diterima Suwandi di Rusia. "Karena selama di Simferopol kita tidak sempat terbang malam," jelas Suwandi.
Malam itu, Bali ditetapkan sebagai daerah latihan. Disimulasikan Bali disusupi musuh. Latihannya langsung di bawah pengawasan instruktur Rusia. Ketika mesin pesawat dihidupkan, tidak ada tanda-tanda kejanggalan. Panel-panel indikator di kokpit menunjukkan pesawat dalam kondisi siap diterbangkan.
Pesawat sudah mengambil posisi di ujung landasan pacu, tinggal menunggu tanda dari tower. Setelah tower memberi izin, Suwandi mendorong throttle untuk mendapatkan tenaga penuh agar bisa lepas landas. Perlahan, pesawat mulai melaju ke arah selatan dan sesaat kemudian kesepuluh rodanya mulai terangkat dari permukaan landasan. Melihat selintas ke indikator lalu ke instrukturnya, Suwandi mengacungkan ibu jari pertanda semua berjalan baik. Pada detik-detik menentukan itu, ketika pesawat menjelang ujung landasan, mendadak satu mesin di sebelah kanan mati. "Padahal kita mendekati ujung landasan dengan full speed," tutur Suwandi. Kalau dihentikan, jelas pesawat akan overshoot dan terjungkal ke dalam jurang kecil yang menganga di ujung landasan.
Apa boleh buat, Suwandi dan instrukturnya harus meneruskan sesuai prosedur. Dengan satu mesin pesawat terus naik, dan setelah diskusi singkat dengan instrukturnya, mereka memutuskan kembali ke base (RTB). Namun upaya menghidupkan kembali mesin yang mati, tetap dilakukan. Pesawat berbelok, siap mendarat kembali. Celakanya, ketika sampai di down wind pada ketinggian sekitar 800 meter, mesin kedua pesawat yang membawa bahan bakar 30 ton itu ikut-ikutan mati.
Menghadapi situasi genting seperti itu, Suwandi berusaha tetap tenang. Mereka mempertahankan agar ketinggian pesawat tidak turun secara drastis. "Mau loncat, pesawat terlalu rendah," kata Suwandi. Akhirnya instrukturnya memutuskan pesawat dipaksa masuk ke final (lintasan pada pola pendaratan pesawat yang lurus ke landasan, di mana pesawat siap mendarat) agar bisa mendarat secepat mungkin.
Tapi sudah tidak keburu. Pesawat stall dan jatuh menghujam kebun tebu menjelang landasan. "Saya tidak tahu apa yang terjadi, karena begitu menghujam, saya seperti sudah mati, tidak merasakan apa-apa lagi" akunya. Apakah pesawat meluncur, Suwandi tidak bisa memastikan. "Beberapa detik sebelum jatuh, roda saya turunkan, lalu dengan setengah berteriak saya perintahkan Lettu Geraldus Ramba (second navigator-Red), fasten seat belt, turn off electrical system, lalu saya rasakan benturan keras dan saya tidak tahu lagi apa yang terjadi," tutur Suwandi lagi.
Pesawat hancur berantakkan. Bagian depannya (nose) lepas dari ruang kabin tengah, sementara ruang kabin tengah terpotong dari ekor (tail) yang rupanya tertancap di tanah. Dengan kata lain, pesawat Tu-16 itu terbelah menjadi tiga bagian. Di gelapnya malam itu, sulit mengetahui secara pasti dimana hidung pesawat dan dimana bagian tengah pesawat. Untung kebakaran tidak terjadi, karena sistem listrik sudah dimatikan.
Kerasnya benturan, membuat semua crew seperti batu yang dilontarkan dari ketapel, terdorong ke depan. Kepala Geraldus sampai menyodok di antara pilot dan kopilot. Posisi kepala pesawat yang miring ke kiri, menyulitkan Suwandi untuk keluar. Dia terhimpit dan tidak bisa bergerak lagi. Lalu terdengar suara, "Ndi, kon isih urip." Suwandi tahu, yang bertanya Didi Pribadi, first navigator. "Aku isih urip, mbok coba nggoleki bantuan neng jobo," jawab Suwandi.
Sesaat kemudian, dia lihat kepala Geraldus di sebelahnya. "Tapi saya tidak bisa melihat dengan jelas, karena gelap. Baru kemudian saya tahu kepalanya tertutup lumpur. Lalu saya bersihkan agar bisa bernapas," kata Suwandi. Karena melihat instrukturnya terkulai tak berdaya, Suwandi mencolek beberapa kali menggunakan kakinya. "Dia tidak beraksi, saya yakini dia tewas."
Ada peristiwa lucu di sini. Wahyudi, tail gunner, mengira Suwandi meninggal. Jadi setelah keluar dari bagian ekor pesawat, dia mencari-cari dan meraba-raba karena gelapnya malam. Yang bisa diketahuinya secara pasti hanyalah bagian ekor pesawat, dimana dia on board. Dia tidak melihat, bahwa bagian lain dari pesawat terpental jauh dari ekor. Yang ditemukannya ekor pesawat nungging ke atas. Wahyudi bergumam, "Berarti badan pesawat amblas ke dalam tanah." Langsung saja dia mengambil sikap sempurna, memberi hormat kepada pilotnya yang "gugur".
Pembom Tu-16 SELAMAT - Walau pesawatnya sampai terbelah tiga Suwandi (kedua dari kiri) masih selamat./Foto: Dok.Suwandi
Setelah memberi hormat secukupnya, dalam kepanikkan yang luar biasa, Wahyudi pergi melenggang untuk pulang ke rumahnya di Solo. "Kita ditinggal begitu saja," papar Suwandi. Dalam rentang waktu yang sulit diduga, first navigator Didi Pribadi berhasil pula keluar dari hidung pesawat lewat pecahan yang menganga.
Dalam kecelakaan malam itu, dua orang langsung meninggal. Kopilot (Rusia) dan special operator Letda Yoga. Tak lama berselang, penduduk setempat datang berbondong-bondong sambil membawa obor. Terangnya cahaya obor menyadarkan semua orang, bahwa pesawat telah terbelah menjadi tiga. Dengan sedikit susah payah karena terikat safety belt, mereka keluarkan jenazah kopilot. Saking tidak percayanya Suwandi akan keajaiban yang diberikan Tuhan kepadanya untuk masih bisa bernapas, dipegangnya (maaf) kemaluannya. "Oh... masih ada," tuturnya sambil tertawa.
Menurut penelitian yang dilakukan kala itu, jelas Suwandi, kecelakaan diduga karena terjadinya pengendapan ganggang mikro di dalam tanki bahan bakar. Ganggang ini, tambah Suwandi, berkembang biak di dalam molekul-molekul avtur. Jumlahnya terus bertambah, karena ternyata ketika masuk ke filter menjelang ke pembakaran (burner), ganggang justru membelah diri dan berkembang biak.
Sejak peristiwa itu, pemeriksaan selalu dilakukan sebelum Tu-16 terbang untuk mendeteksi kadar ganggang dalam tanki dengan mencelupkan alat pendeteksi. Kemungkinan lain munculnya ganggang menurut Suwandi, adalah cara penyulingan yang kurang sempurna. Beberapa hari kemudian, reruntuhan bangkai pesawat di bawa ke pangkalan dan ditempatkan di hanggar pemeliharaan. Didi Pribadi kaget alang kepalang begitu melihat pesawat. Ternyata, lubang tempat dia meloloskan diri teramat kecil untuk lelaki dewasa seperti dia bisa keluar. "Ajaib, sulit dipercaya," papar Suwandi.
Penerbang pertama DI RUSIA - Suwandi (pertama dari kiri) di Rusia bersama crew dan instrukturnya./Foto: Dok.Suwandi
20 mesin
Tu-16 terlibat penuh dalam kampanye Trikora dan Dwikora. Hanya saja, Dwikora lebih banyak memberikan kesan kepada Suwandi. Sebutlah suatu malam, Suwandi diperintahkan Komodor Leo Wattimena terbang di atas Kuala Lumpur. "Leo yang memerintahkan, dia juga ikut," aku Suwandi. Skenarionya lebih kurang begini: Tu-16 terbang dari Medan dan akan show of force di atas Kualalumpur. Untuk menipu radar lawan, pesawat Il-28 Beagle yang diterbangkan Oloan Silalahi disuruh berputar-putar di atas Belawan. Tapi apa yang terjadi. Baru saja pesawat memasuki wilayah udara Singapura, mendadak seluruh lampu padam. Inggris yang mengetahui kedatangan bomber menakutkan itu, langsung bertindak. Tu-16 di-jammed!
Kapten Suwandi yang sebenarnya belum diizinkan terbang malam oleh Dan Wing 003 Letkol Suyitno, sempat kehilangan akal. Avionik tidak berfungsi, sistem navigasi dibuat macet. Tapi tidak ada waktu lagi untuk berdebat. Dia langsung memutar arah pesawat, dan segera mengontak lewat radio tower Medan. Begitulah, lewat tuntunan radio dan kompas magnetik, dia menyusuri "jalan" ke Medan hingga mendarat dengan selamat.
Sebagai pesawat pembom jarak jauh (strategic bomber), pergerakkan Tu-16 sangat ketat. Penggunaan bom dan roketnya, konon harus seizin presiden. Pola terbangnya tak pernah lepas dari intelligence, surveillance, dan reconnaissance (ISR). Semisal diperintahkan stand by di Medan. Dari Madiun, pesawat akan terbang 100 kilometer dari batas pantai selatan ke arah barat. Tak jarang pula, mereka "bermain" hingga mencapai Pulau Andaman sebuah pulau kecil di Teluk Bengal yang memisahkan India dan Myanmar.
Presiden Soekarno yang menyadari kebesaran AURI, tak jarang memanfaatkan AURI untuk mempertegas kedaulatan negara. Kalau bertepatan Hari Kemerdekaan, puluhan pesawat mulai dari pemburu, pembom, angkut, dan latih, melintas seperti menutupi langit Istana Merdeka. Juga bertepatan Hari ABRI (sekarang TNI-Red) di Kemayoran. Hal yang sama juga diminta Soekarno setelah Irian Barat kembali ke pangkuan RI.
Tapi dengan meletusnya gerakan militer yang berupaya menjatuhkan pemerintahan berkuasa pada tanggal 30 September 1965 yang akhirnya berhasil ditumpas TNI, membawa dampak sangat besar buat AURI. Hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Timur menjadi putus. Bagi AURI berarti hilangnya sumber utama pemasok suku cadang. Alhasil, secara perlahan-lahan kesiapan pesawat-pesawat negara Timur ini mulai menurun. "Dalam setahun paling hanya 12 kali terbang," jelas Suwandi
Kanibalisasi tidak bisa dielakkan, untuk mempertahankan agar sejumlah pesawat tetap terbang. Sampai akhirnya pada suatu hari di bulan Oktober 1970, dilakukan test flight Tu-16 registrasi M-1625 setelah dikanibal habis-habisan. Itupun tidak segampang yang dibayangkan, karena suku cadang pesawat yang satu belum tentu cocok dipasangkan ke pesawat yang lain. Aneh, memang. Tapi menurut Marsda (Pur) Subagyo, Komandan Wing Logistik 040 saat itu, mesinnya masih banyak. "Saat itu ada 20 mesin baru, tapi hanya mesin, suku cadang yang lain tidak ada," jelas Subagyo.
Maka hari itu, Komandan Wing 003 merangkap Komandan Skadron 41 Letkol Suwandi (pilot), Kapten Udara Rahmat Somadinata (kopilot), dan Kapten Nav. Beny Subyanto (first navigator), menerbangkan M-1625. Yang paling menyentuh pada hari itu, M-1625 merupakan satu-satunya dari sekian puluh pesawat Tu-16 yang tersisa dalam kondisi siap terbang.
M-1625 terbang dengan baik hingga ketinggian 4.000 kaki di atas landasan. Hari itu, selain mereka rayakan dengan kembali terbangnya Tu-16 setelah disiapkan sekian lama, juga hari pertama para penerbang menerima uang wing.
Untuk kedua kalinya, Suwandi kembali diuji. Di ketinggian 4.000 kaki di atas landasan, kedua mesin mati berbarengan. Sebagai penerbang senior, Suwandi bertindak tenang. Tanpa memperlihatkan kepanikkan, pesawat diarahkannya ke landasan sambil memanfaatkan daya luncur pesawat. Landing gear diturunkan, dan begitu roda-roda menjejak landasan Suwandi segera melepaskan brake chute. Pesawat terhenti di ujung landasan.
Lalu apa? "Sejak hari itu, semua Tu-16 saya grounded," kata Suwandi. Agar para penerbang tidak nganggur, mereka disalurkan ke Skadron Angkut, Merpati, dan Garuda. "Termasuk Lettu Surendro (suami Megawati Soekarno Putri, saat itu, yang kemudian gugur ketika menerbangkan Sky- van-Red)," tambah Suwandi. Sebelum keputusan politik men-scrapped Tu-16 keluar sebagai syarat memperoleh F-86 Sabre dan T-33 T-bird dari Amerika, sekian lama pembom Tu-16 sempat dijejer di pinggir landasan Iswahjudi, Madiun, tanpa "penunggu".(ben)
**
Tu-16 Badger:
The Stealth from
the Southern Hemisphere
Tu-16 Badger Tu-16 Badger AURI
Until the 60's only three countries had long range bombers the Americans with their B-47 Stratojet, B-52 Stratofortress, and B-58 Hustler, the British with their V-bombers Vulcan, Victor and Valiant, the Russians with the Tu-16 primarily, omitting the operators of propeller-driven bombers. AURI felt a desperate need for a long range strike capability because of the vastness of the Indonesia archipelago, the rebellion in the other islands and the American embargo on spare parts that stringled its B-25 and P-51 striking force.
"The US secretly sided with the rebels. Offically there was no embargo, but in fact out of a long list of spare parts worth hundred of thousands of dollars only a single magneto for P-51 worth US$ 125,- got an export license," complained the Air Force Chief Air Marshal Suryadarma to Lt Col (now retired Air Vice Marshal) Salatun, secretary of the Joint Chiefs-of-Staff.
Because the air operations against the rebels become so intense the stock of spare parts dwindled alarmingly. Lt Col Salatun was appointed a member of our armed forces delegations which was sent to China in secrecy looking for spares. Salatun was disappointed because the whole P-51 fleet has long been scrapped, while there was only a single B-25 left, a Taiwanese bomber shot down and displayed in a museum. The delegation even met with Chairman Mao Ze Dong and Premier Chou-en-Lai, and instead of returning empty handed Salatun got 12 type 56 jet fighters (licence-built MiG-17), 12 Tu-2 bombers and 24 La-11 fighters (known as the Russians Thunderbolt).
"The first type 56 fighter suffred from tail flutter, but it has duely been remedied" explained Premier Chou-en-Lai. The type 56 fighter was excellent like the original MiG-17 and saw fine service during the Trikora and Dwikora campaigns later on. They were easily identified by the red colored numerals on the nose and the Chinese characters on their instruments. They had only one drawback: they offer no comfort during low level flying because they have no air conditioning.
The brightest side of the Chinese acquisition was free of charge. The honeymoon however was soon over when President Sukarno issued a decree prohibiting foreign business in villages and the deal was later fully charged. The influx of Chinese material eased the situation a little bit but did not alter the general situation.
It was during that precarious situation when Lt Col Salatun asked the atention of Air Marshal Suryadarma to the potentials of the Tu-16. "With the Tu-16 our aircrew can take-off after breakfast, reach and bomb targets any where in our territory and return before lunch time, a long range jet bomber is needed because there is only one airfield suitable for jet operations Kemayoran", explained Salatun to Suryadarma, who agreed and brought the request forward to President Sukarno.
He immediately summoned the Russian Ambasador Zhukov who later conveyed the request to the Kremlin, without visible result. Asked about the delay in the answer, Zhukov told President Sukarno that the aircraft in question was still in the development stage.
R.J. Salatun
Salatun was ordered by Suryadarma to closely watch the development of the request for Tu-16 and was even given the authority to contact and remind President Sukarno personally in his behalf in order to prevent the process from bogging down. President Sukarno kept pressing and later discussed the matter with Premier Kruschev presonally.
When in 1960 a high-level delegation under General A.H. Nasution was sent to the Kremlin to finalize an armament deal for Trikora campaign it was disclosed that under the various weapon system the Tu-16 bomber and MiG-21 fighter were included. "Because we offer the Tu-16 to Indonesia, we are obliged to make the same type of aircraft available to other friendly nation" said Foreign Minister Mikoyan wryly.
Thus AURI, the Indonesian Air Force, become the fourth Air Force in the world to operate long range strategic jet bombers beside being the first in the Southern Hemisphere to have Mach 2 jet fighter.
"AURI is the most dreaded Air Force in South East Asia," wrote the Dutch aviaton magazine Vliegwereld. "Material-wise the RAAF is completely out classed by AURI, the Indonesia Air Force," wrote the British aviation magazine Air Pictorial.
When a year later the first Tu-16 landed at Kemayoran airfield piloted by Air Commodore (now retired Air Vice Marshal) Cok Suroso Hurip, it was for the first time that said bomber made its appearance before the West at such close range. It was said that American intelligence immediately reviewed their estimates of the tankage and hence of the ranges.
AURI then sent cadets to Chekoslovakia and Russia. They were Cakra I, II, III, Ciptoning I and Ciptoning II. From 1961 all of the 24 Tu-16s started to arrive and were flown by both Indonesian and Russian pilots.
The Kennel shooting
To support Trikora, AURI prepared one flight of Tu-16 in Morotai, 1,5 hours flight from Madiun. One of the Tu-16 pilots, Col. Sidjijantono said, "Once a while we fly Tu-16 just to warm up the engines. But we never bombed or came into contact with Dutch aircraft," he told Angkasa. At the time the pilots of the Tu-16's had specific favorite target, namely the Dutch aircraft carrier Karel Doorman.
In addition to having 12 Tu-16 bomber version Badger A, under Skadron 41, AURI also had 12 Tu-16 KS-1 Badger B, under the Skadron 42 Wing 003 Lanud Iswahyudi. This type of Badger was capable to carry a pair of anti ship missile KS-1 (AS-Kennel), which worried the opponent. Six attacks of Kennels could easily send Karel Doorman to the bottom of the sea. It was unfortunate that until West Irian was resolved through the United Nations, mediated by Kennedy's government, the Tu-16 was never able to show its teeth.
Idrus Abas, at time was Air Sergeant 1st class, radio operator as well as tail gunner for Tu-16 said that the talk between the Indonesia Republic and the Dutch Government in UN, was one of the most scary moment and they were monitoring the talk using the transistor radio. "If the talk turns to be a failure, do not hesitate to bomb Biak." Abas continued. "We would not be sure whether we would be able to return home or not after the bombing." Sjahroemsjah added, at the time he was an Sergeant 1st class, it was then called a 'one way ticket operation'.
Tu-16 crews in Morotai could not forget how cooperative their ground crew were. "The most trouble-some was when the Tu-16 had to refuel, because it needed up to 70 drums. The jet would take up to 45,000 litres of fuel and it had to be handled manually which would take up to four days/four nights. A test took place between 1964-1965 in Arakan island, between Bali and Ujung Pandang. An ex reporter from TVRI, Hendro Subroto, recalled that he followed the test from a C-130 Hercules with Air Force Chief Air Marshal Omar Dhani. After the launching of Kennels, the Hercules landed in Denpasar, then using Mi-6 helicopter, the Air Force Chief together with the team flew to Arakan to see the results. "Exactly in the middle the steel platform had a hole," said Hendro.
Chased by Javelin
To be exact, during the Dwikora campaign the Tu-16 crew discovered how sturdy the Tu-16 was especially when British Javelin interceptors chased them.
"They knew that we would be shooting," said retired Air Vice Marshal Syah Alam Damanik, one of the pilots of Tu-16 over Malaka Strait. Damanik recalled when Javelins chased him and his co-pilot in 1964 with Gani and Ketut, as navigators during the Dwikora campaign. Gani suggested that the aircraft should head towards Kuala Lumpur, but suddenly from an base at Butterworth, the coastal of Penang, two British jets appeared and followed Damanik. Those Javelins were trying to force the Tu-16 to land either in Singapore or Butterworth. During the tense moments, Damanik ordered "the moment you see a fire being shot at us, you shoot back."
In the meantime Damanik was thinking fast as those Javelins were still chasing him, while their speed was higher and so Damanik showed what he could do. He increased the height all of sudden which surprised the Javelins pilots. He then hid himself behind the thick clouds to head for Medan. The tail gunner and other crew members were screaming because they were undergoing high G's when the jet shot up. But it was much better than being forced to land by the British, said Damanik.
Sudjijantono had a different story. "I was ordered to fly a Tu-16 to Medan through Malaka Strait, while in Medan there were always two Tu-16's during the Dwikora campaign. One flew southwards from Madiun over Christmas island (British territory), Cocos island, Andaman island, Nikobar, then Medan," he said. The other one used a different route, through the north through Makasar strait, Mindanao, West Kalimantan, North Kalimantan, South China Sea, Malaka strait, then Medan, sometimes surprisingly through Tanah Genting Kra.
"Although it seemed crazy, this mission was according to the instructions. President Sukarno ordered not to shoot aimlessly. Sometimes, during the monitoring period, the Javelins caught us. But the British only acted as a 'police' to warn Tu-16s not to cross over the border.
The Stealth Mission
Still within the Dwikora period, around the middle of 1963, AURI sent three Tu-16 Badger A bombers to distribute some messages in the enemy's side. One went to Serawak, the other to Sandakan and Kinibalu, Kalimantan, both in Malaysia's territory. The third had to fly to Australia. This one whose pilot was Suwondo brought equipment such as parachutes, communication set and canned food. The idea was that they drop these items near Alice Springs, Australia (exactly at the heart of the continent), to prove that AURI was able to reach the heart of the continent. "Although Alice Springs had an over the horizon radar system to monitor the whole Asia-Pacific region," said Air Vice Marshal Zainal Sudarmadji, a Tu-16 pilot from Ciptoning II. The mission called for the aircraft to take-off from Madiun at around midnight. The pilot Air Commodore Suwondo did not say much. He only ordered us to be at Wing 003 HQ at 11 p.m. bringing with a supply of drinking water." Said Sjahroemsjah, the new Tu-16 gunner who knew that they would have to fly to Australia.
The briefing was short. At 1 a.m. the aircraft left Madiun. It flew at low level to avoid the radar until it reached its destination. The F-86 Sabre, the Australian Bloodhound surface-to-air missiles were notably absent. The aircraft then reached Madiun at around 8 a.m. using another route. The other task was given to Sudjijantono and Lieutenant Col. Sardjono. They left Iswahyudi (Madiun) at 12 p.m. The aircraft reached as high as 11,000 m. Approaching dusk they reached Sandakan. While the lights were still on, the aircraft slowly reduced the height to 400 m.
After one sortie, the aircraft reversed to return to the original location. There it was dark, all lights were switched off. Sudjijantono later learnt that the British taught the people to anticipate more air attacks. Finally after all pamphlets had been dropped, they returned to Iswahyudi and landed safety at 8.30 a.m. It worked out that the total journey took 10 hours. All Tu-16s returned to the base safely.
One could not imagine in the 60s that AURI was capable of air penetrations without being detected nor caught by the defenders, not unlike NATO's stealth jets penetrating Yugoslavia.
Political conditions
It was unfortunate to note that foreign political pressure and domestic economic difficulties finally sealed the fate of the mighty Tu-16. For example, "In order for AURI to receive F-86 Sabres and T-33 T-birds from the US, we have to get rid of all the Tu-16s," said Bagio Utomo, who used to be one of the members of Skatek 042, who maintained the Tu-16.
It was undeniable that the Tu-16 was advanced for its time. As well as equipped with the latest electronic gadgets, its body was sturdy. Tu-16s were not perfect, the replacement of spare parts was sometimes difficult. "Some had to be refined and fitted manually. Some of the blisters had to be smoothen by hand." AURI later tried to sell their Tu-16s to the Egyptians but the deal did not materialize.
The farewell flight to the Tu-16 took place in October 1970. With 10 people aboard, a TU-16 numbered M-1625 flew from Madiun to Jakarta. "We almost got lost when we were looking for the National Monument (Monas)." Even up to the middle of the 80s the US government still considered the Tu-16 was a threat for its national security.
"My name is still registered as a Tu-16 pilot in Subic Bay," said Sudjijantono, from Cakra 1. Since the Air and Naval Force could not find spare parts anymore, they realised that they are more dependent on imported advanced technology than the Army. In the begining of 1970, Air Force Chief Air Marshal Suwoto Sukendar said that only 15-20 percent of the Air Force fleet remained operational, while it was 40 percent of the Navydue to the cut-off of imports of spare-parts from the Soviet Union. 1970 became a year of destructing the East Block weapons.(ben/avi/ron/sal/ida)
Last edited: